Abdullah
Madjid lahir di Karama Tinambung pada tahun 1927. Terlahir dari rahim
seorang ibu yang dipersunting oleh H. Yahyaddin. Abdullah Madjid terlahir
ketika seluruh kawasan Mandar berada dalam kekuasaan penjajah Belanda. Abdullah
kecil tumbuh dan berkembang sebagai seorang anak yatim sebab tak lama setelah
ia lahir, ibu tercintanya dipanggil oleh yang maha kuasa. Kondisi keamanan yang
tak kondusif saat itu lagi-lagi menjadi bagian dari takdir seorang Abdullah
untuk ikut dalam asuhan pamannya, H. Abdul Rasyak, seorang pejuang yang juga
Kadhi Balanipa yang kerap ditangkap oleh Belanda.
Baik
H. Yahyaddin maupun H. Abdul Rasyak adalah anggota pasukan Kris Muda
Mandar dibawah pimpinan Hj. Andi Depu.
Hj. Andi Depu adalah tokoh pejuang kesohor yang berhasil menitipkan embrio
perjuangan dalam diri Abdullah Madjid. Abdullah Madjid ketika umur belasan
tahun sudah terbiasa ikut dalam medan perang melawan Belanda. Baik Abdullah,
maupun pihak pejuang termasuk diuntungkan dengan postur Abdullah yang kecil
sehingga memudahkannya untuk ikut dari tempat ke tempat lain mengikuti pejuang
senior. Abdullah dipercayakan untuk membawa semua dokumen-dokumen rahasia.
Membawa
dokumen rahasia sesungguhnya merupakan strategi yang cerdas dari para pejuang,
sebab Abdullah Madjid ketika Belanda menangkap atau menggeledah, tidak mungkin
anak sekecil Abdullah akan ikut digeledah sebab Belanda menganggap Abdullah
hanya seorang anak kecil yang tak tahu menahu soal dokumen penting. Ternyata
taktik ini berhasil mengelabui para penjajah itu.
Abdullah
Madjid termasuk sosok yang luar biasa, sebab diantara deru mesiu perang di
Mandar, justeru bisa menamatkan pendidikannya di SR (Sekolah Rakyat). Dan
ketika pamannya H. Abdul Rasyak pindah ke Sidrap, Abdullah pun ikut serta. Tak lama
di Sidrap, pamannya pindah ke Makassar dan mendaftarkan Abdullah di sekolah
MULO (setingkat SMP). Sekolah ini sebenarnya khusus untuk anak bangsawan dan
para bule. Abdullah bisa diterima belajar di sekolah Belanda, sebab Abdullah
Madjid juga seorang bangsawan. Itu juga yang memberinya peluang bisa lanjut kdi
AMS (sekolah Belanda setingkat SLTA).
******
Tahun
1950-an Abdullah Madjid masuk tentara. Ia berpindah-pindah tugas dari satu
daerah ke daerah yang lain. Dari Makassar pindah ke Bone, pernah juga tugas di
Palopo. Abdullah tugas di Palopo bersamaan Kahar Muzakkar tengah
gencar-gencarnya menyusun kekuatan pemberontakan bersenjata terhadap republik.
Kahar Muzakkar bahkan sudah menguasai beberapa daerah yang membuat Kepala
Militer di Sulawesi mulai gusar dengan pengerahan kekuatan pemberontak republik
tersebut.
Abdullah
Madjid diutus ke Palopo, terutama di Masamba dengan pertimbangan bahwa di
Masamba banyak orang Mandar bermukim sejak lama. Abdullah menerima tugas itu
dan merumuskan strategi gerakan dengan cara memperkecil ruang gerak Kahar
Muzakkar. Daerah-daerah yang dikuasai Kahar Muzakkar pelan-pelan diambil alih
penguasaan oleh Abdullah Madjid sebagai Komandan di Kompi Masamba. Untuk
menumpas gerakan Kahar Muzakkar ini, ada tiga Kompi yang diturunkan, yaitu
Kompi Masamba dipimpin oleh Abdullah Madjid dan Kompi lainnya ada di Bone-Bone
dan Malili.
Abdullah
Madjid menjalankan tugas dan tanggung jawabnya menghadapi pemberontakan Kahar
Muzakkar. Bahkan sampai kedatangan pasukan Siliwangi pun, Abdullah Madjid masih
tetap berada di front terdepan. Sampai pada suatu ketika, Kahar Muzakkar
ditempat yang terjal, Kahar Muzakkar terjebak yang membuatnya harus menyerah
dengan pasukannya. Tahun 1963, Abdullah Madjid ditarik dari Palopo untuk
kembali ke Makassar.
Di
Makassar, Abdullah memutuskan untuk ikut pendidikan formal kemiliteran di
Pakkatto. Ini membuat Abdullah bisa langsung ditempatkan di kesatuan
territorial Sulawesi setelah menempuh pendidikan formal militer. Pada saat itu,
bertepatan hampir semua daerah kabupaten
di Sulawesi Selatan mempunyai kesatuan militer (setingkat Kodim), namanya
Koordinator Teritorial. Abdullah Madjid dipindah tugaskan lalu diangkat sebagai
perwira Koordinator Teritorial (Pa’koster) Polewali, menggantikan pejabat lama,
Daeng Patompo yang kebetulan saat itu Bupati Polmas dijabat oleh Andi Hasan
Manggabarani.
Tak
lama di Polewali, ia dipindahkan ke Parepare dengan jabatan Komandan Sektor
Kota (Setingkat dibawah Korem). Abdullah saat itu sudah berpangkat Letnan. Dari
Parepare ia dipindahkan lagi ke Pinrang dengan jabatan Kepala Staf (setingkat
Kasdim) dan sudah menjadi Kapten (1964-1965). Pada tahun 1965, Polmas masih
dalam suasana berkabut. Pergolakan baru
saja usai dan belum bisa pulih benar di perparah lagi adanya transisi pemerintahan
yang tentunya peralihan kekuasan dari Orde Lama ke Orde Baru yang berdampak
pada carut marutnya situasi dalam negeri. Peralihan kekuasaan di tingkat
nasional ternyata juga berimbas ke daerah, termasuk Polmas.
Andi
Hasan Manggabarani yang menjabat sebagai Bupati Polmas saat itu harus menerima
kenyataan. Bahkan Andi Hasan dimasa-masa terakhir kekuasaanya diperhadapkan
dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang menuntut perubahan kepemimpinan.
Tuntutan Mahasiswa tersebut ternyata mempertemukan takdir Abdullah Madjid
sebagai Bapati Polmas kedua untuk periode 1966-1971. Bisa dibayangkan, menjadi
Bupati dalam kondisi daerah yang dipimpinnya terpuruk. Mulai dari sektor
ekonomi yang morat marit, keamanan yang belum terkendali sehingga sebagai
Bupati harus berfikir ekstra untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan.
Abdullah
Madjid mulai berbenah. Dimulai pada sektor pertanian karena Polmas memang
mempunyai potensi pertanian. Setelah pertanian, ia menyentuh wilayah
pendidikan. Satu persatu dibangun sekolah. SMA Negeri 1 Polewali mulai di
bangun, bendungan air di Lakkese dan di Kunyi juga dibangun dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat yang dipimpinnya. Untuk mendukung sektor
pertanian, Inmas dan Bimas digerakkan. Pengembangan perekonomian daerah tak
luput dari perhatiannya, pasar Tinambung, Polewali, Wonomulyo (pasar pertama)
mulai dibangun sebagai pusat transaksi antar komunitas ramai di beberapa titik.
Bahkan, perumahan pegawai di sepanjang Lantora pun ia garap. Perumahan ini
disamping sebagai tuntutan untuk tempat tinggal yang layak bagi pegawai kelas
atas, juga untuk memperkenalkan penataan kota Polewali sebagai ibukota
kabupaten. Dan pada periodenya memang ada semacam keputusan tak tertulis bahwa,
sepanjang jalur kanan dari Pekkabata-Polewali akan dijadikan jalur hijau, dan
tak diperuntukkan untuk bangunan apapun.
Tak
berhenti sampai disitu, penataan kota Polewali terus digenjot. Konsep
pembangunan tanggul sepanjang pantai bahari Polewali ia lahirkan agar kelak
Polewali tak tercemari kotoran dari laut. Sejalan dengan itu, pembenahan
pendidikan mulai dinampakkan. Peningkatan SDM anak-anak daerah tak cukup hanya
membangun sekolah. Bagi mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di Makassar,
masing-masing kecamatan dibangunkan asrama mahasiswa.
Bupati
Abdullah Madjid juga tidak menyepelekan kondisi sumber daya aparatnya sendiri.
Sebab pada tahun 1970-an, hampir bisa dikatakan aparatur belum professional.
Mulailah ia membenahi administrasi sebagai implementasi dari pengalamannya
selama di militer. Dalam pandangannya, seluk beluk administrasi pemerintahan
butuh kesungguhan dan persoalan administrasi ini bukan hal sulit buatnya, sebab
ia unggul dibidang ini.
Berdasarkan
kondisi itu, ia melakukan terobosan-terobosan baru, untik mendukung kegiatan
aparatnya (meski saat itu belum ada inpres), Bupati melengkapi aparatnya dengan
fasilitas sepeda untuk setiap aparat, terutama bagi mereka yang tugas di
lapangan dan tempat tinggalnya jauh dari kantor pemerintah daerah. Hal ini juga
menjadi motivasi besar bagi aparatnya, sebab mobil truk yang diperuntukkan
untuk mengantar-jemput pegawai dari Polewali ke Pekkabata, tempat kantor daerah
lama kelamaan tak maksimal lagi fungsinya dan tak bisa lagi dipertahankan,
sehingga sepedalah yang menjadi penggantinya. Tak hanya sepeda, kendaraan roda
dua bermesin (motor)pun disiapkan bagi aparat yang memang teramat berat
tugasnya di lapangan.
Pada
saat itu, jika dikalkulasi pendapatan daerah untuk gaji pegawai saja, bupati
masih pusing tujuh keliling, apalagi harus menambah fasilitas sepeda dengan
motor bagi aparatnya. Tapi toh kenyataannya, itu bisa terwujud dalam
pemerintahannya. Beruntung saat itu ketika program efektifitas mau
dilaksanakan, jauh-jauh hari bupati sudah punya sedikit persiapan dana yang
bersumber dari usaha-usaha pemerintah dengan adanya upaya-upaya pencarian dana
pihak ketiga. Mungkin upaya itu bisa dipadankan dengan Perusahaan Daerah
(PERUSDA). Rupanya pula, ini menjadi alternative ketika pemerintah kewalahan
membayar gaji pegawai. Jadi usaha-usaha daerah saat itu benar-benar efektif.
Bupati
Abdullah Madjid memang jeli merangkul masyarakatnya. Daerah yang terdiri dari
sub-sub etnik dengan medannya yang terdiri dari pantai dan gunung mampu ia
kunjungi dan konsisten ingin lebih dekat dengan rakyatnya. Tak peduli harus
mendaki gunung, jika tak mampu ia jangkau dengan kendaraan, maka menunggang
kudapun ia lakukan asalkan bisa bertemu dengan warga masyarakat yang
dipimpinnya. Kebetulan juga, Abdullah keci adalah seorang penunggang kuda yang
hebat dan lincah. Bahkan tak jarangm ia harus melakukan perjalanan dengan jalan
kaki. Ini adalah konsep pembinaan territorial kawasan.
Abdullah
Madjid benar-benar total meletakkan dasar-dasar penataan pembangunan. Terlebih
pada level diatasnya bertepatan Dr. Ahmad Amiruddin menggantikan Ahmad
Lamosebagai Gubernur Sulawesi Selatan ternyata juga dikenal “gila” ide. Salah
satu konsep pembangunan yang popular ia terapkan adalah Konsep Trikonsepsi
Pembangunan: Perubahan pola pikir, pengwilayahan komoditas dan petik olah jual.
Ternyata,
jauh hari sebelum konsep itu membumi di tingkat provinsi, Abdullah Madjid sudah
lebih awal menerapkannya, meski tidak secara langsung terkonsep dengan anama
Tri konsepsi. Sebab berdasar dari dimensi kewilayahan di Polmas,di wilayah
pegunungan jutru sudah ia perkenalkan penanaman kopi dan kakao, sebab memang
peluang untuk komoditas ini juga sangat cocok di wilayah gunung. Bahkan ketika
itu Kopi Jember sudah dikenal. Terkait kopi Jember ini, pernah suatu ketika
Bupati dan rombongan berkunjung ke Jember, saat itulah ia membawa bibit kopi
untuk ditanam di Mandar. Dan hasil dari kopi pegunungan ini telah membuat
ratusan bahkan ribuan rakyat Polmas menjadi seorang haji berkat kopi Jember.
Di
wilayah pantai, komoditas kelapa dalam masih tetap ia pertahankan sebagai salah
satu primadona penghasilan petani. Khusus di Wonomulyo, kawasan kolonis Jawa
yang datang pada sekitar tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an dikembangkan padi
dan palawija. Inilah pendekatan keunggulan kewilayahan yang diterapkan oleh
Abdullah Madjid.
Abdullah
Madjid sikapnya jelas, kukuh dan punya dedikasi yang tinggi, tak neko-neko,
sederhana, pekerja, kosisten, jujur dan berwibawa. Potensi dalam Abdullah
Madjid itulah yang menjadi alat yang ampuh meredam dinamika panas politik yang
ada di Polmas. Mungkin semua itu yang mebuat Abdullah Madjid lebih lama menjadi
Bupati. Selam 13 tahun ia menjadi Bupati di Polmas tentu sangat banyak
menyimpan banyak kesan.
Masyarakat
mencintainya sebab ia juga sangat menyayangi rakyatnya. Abdullah Madjid adalah
sosok yang tak serakah pada jabatan. Masyarakat meminta untuk tetap menjadi
Bupati di Polmas, tapi ia menolak, termasuk ditawari menjadi Bupati Mamuju,
lagi-lagi ia tolak dan lebih memilih pensiun total. Menjadi masyarakat biasa
dan toatal mengabdi kepada khaliq-Nya. Ia banyak berguru agama pada kedua tokoh
besar di Mandar, Annangguru Saleh dan KH. Dr. Sahabuddin. Rupanya pemahaman
agamanya yang membuat Ia lebih damai menhadap Tuhan-Nya pada tahun 1999.[1]
A'ba🥰🤗
BalasHapus