Sabtu, 14 Januari 2017

MENGENAL LETKOL H. ABDULLAH MADJID (1966-1979),

Abdullah Madjid lahir di Karama Tinambung pada tahun 1927. Terlahir dari rahim seorang ibu yang dipersunting oleh H. Yahyaddin. Abdullah Madjid terlahir ketika seluruh kawasan Mandar berada dalam kekuasaan penjajah Belanda. Abdullah kecil tumbuh dan berkembang sebagai seorang anak yatim sebab tak lama setelah ia lahir, ibu tercintanya dipanggil oleh yang maha kuasa. Kondisi keamanan yang tak kondusif saat itu lagi-lagi menjadi bagian dari takdir seorang Abdullah untuk ikut dalam asuhan pamannya, H. Abdul Rasyak, seorang pejuang yang juga Kadhi Balanipa yang kerap ditangkap oleh Belanda.

Baik H. Yahyaddin maupun H. Abdul Rasyak adalah anggota pasukan Kris Muda Mandar  dibawah pimpinan Hj. Andi Depu. Hj. Andi Depu adalah tokoh pejuang kesohor yang berhasil menitipkan embrio perjuangan dalam diri Abdullah Madjid. Abdullah Madjid ketika umur belasan tahun sudah terbiasa ikut dalam medan perang melawan Belanda. Baik Abdullah, maupun pihak pejuang termasuk diuntungkan dengan postur Abdullah yang kecil sehingga memudahkannya untuk ikut dari tempat ke tempat lain mengikuti pejuang senior. Abdullah dipercayakan untuk membawa semua dokumen-dokumen rahasia.

Membawa dokumen rahasia sesungguhnya merupakan strategi yang cerdas dari para pejuang, sebab Abdullah Madjid ketika Belanda menangkap atau menggeledah, tidak mungkin anak sekecil Abdullah akan ikut digeledah sebab Belanda menganggap Abdullah hanya seorang anak kecil yang tak tahu menahu soal dokumen penting. Ternyata taktik ini berhasil mengelabui para penjajah itu.

Abdullah Madjid termasuk sosok yang luar biasa, sebab diantara deru mesiu perang di Mandar, justeru bisa menamatkan pendidikannya di SR (Sekolah Rakyat). Dan ketika pamannya H. Abdul Rasyak pindah ke Sidrap, Abdullah pun ikut serta. Tak lama di Sidrap, pamannya pindah ke Makassar dan mendaftarkan Abdullah di sekolah MULO (setingkat SMP). Sekolah ini sebenarnya khusus untuk anak bangsawan dan para bule. Abdullah bisa diterima belajar di sekolah Belanda, sebab Abdullah Madjid juga seorang bangsawan. Itu juga yang memberinya peluang bisa lanjut kdi AMS (sekolah Belanda setingkat SLTA).
******
Tahun 1950-an Abdullah Madjid masuk tentara. Ia berpindah-pindah tugas dari satu daerah ke daerah yang lain. Dari Makassar pindah ke Bone, pernah juga tugas di Palopo. Abdullah tugas di Palopo bersamaan Kahar Muzakkar tengah gencar-gencarnya menyusun kekuatan pemberontakan bersenjata terhadap republik. Kahar Muzakkar bahkan sudah menguasai beberapa daerah yang membuat Kepala Militer di Sulawesi mulai gusar dengan pengerahan kekuatan pemberontak republik tersebut.

Abdullah Madjid diutus ke Palopo, terutama di Masamba dengan pertimbangan bahwa di Masamba banyak orang Mandar bermukim sejak lama. Abdullah menerima tugas itu dan merumuskan strategi gerakan dengan cara memperkecil ruang gerak Kahar Muzakkar. Daerah-daerah yang dikuasai Kahar Muzakkar pelan-pelan diambil alih penguasaan oleh Abdullah Madjid sebagai Komandan di Kompi Masamba. Untuk menumpas gerakan Kahar Muzakkar ini, ada tiga Kompi yang diturunkan, yaitu Kompi Masamba dipimpin oleh Abdullah Madjid dan Kompi lainnya ada di Bone-Bone dan Malili.

Abdullah Madjid menjalankan tugas dan tanggung jawabnya menghadapi pemberontakan Kahar Muzakkar. Bahkan sampai kedatangan pasukan Siliwangi pun, Abdullah Madjid masih tetap berada di front terdepan. Sampai pada suatu ketika, Kahar Muzakkar ditempat yang terjal, Kahar Muzakkar terjebak yang membuatnya harus menyerah dengan pasukannya. Tahun 1963, Abdullah Madjid ditarik dari Palopo untuk kembali ke Makassar.

Di Makassar, Abdullah memutuskan untuk ikut pendidikan formal kemiliteran di Pakkatto. Ini membuat Abdullah bisa langsung ditempatkan di kesatuan territorial Sulawesi setelah menempuh pendidikan formal militer. Pada saat itu, bertepatan hampir semua  daerah kabupaten di Sulawesi Selatan mempunyai kesatuan militer (setingkat Kodim), namanya Koordinator Teritorial. Abdullah Madjid dipindah tugaskan lalu diangkat sebagai perwira Koordinator Teritorial (Pa’koster) Polewali, menggantikan pejabat lama, Daeng Patompo yang kebetulan saat itu Bupati Polmas dijabat oleh Andi Hasan Manggabarani.

Tak lama di Polewali, ia dipindahkan ke Parepare dengan jabatan Komandan Sektor Kota (Setingkat dibawah Korem). Abdullah saat itu sudah berpangkat Letnan. Dari Parepare ia dipindahkan lagi ke Pinrang dengan jabatan Kepala Staf (setingkat Kasdim) dan sudah menjadi Kapten (1964-1965). Pada tahun 1965, Polmas masih dalam suasana berkabut.  Pergolakan baru saja usai dan belum bisa pulih benar di perparah lagi adanya transisi pemerintahan yang tentunya peralihan kekuasan dari Orde Lama ke Orde Baru yang berdampak pada carut marutnya situasi dalam negeri. Peralihan kekuasaan di tingkat nasional ternyata juga berimbas ke daerah, termasuk Polmas.

Andi Hasan Manggabarani yang menjabat sebagai Bupati Polmas saat itu harus menerima kenyataan. Bahkan Andi Hasan dimasa-masa terakhir kekuasaanya diperhadapkan dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang menuntut perubahan kepemimpinan. Tuntutan Mahasiswa tersebut ternyata mempertemukan takdir Abdullah Madjid sebagai Bapati Polmas kedua untuk periode 1966-1971. Bisa dibayangkan, menjadi Bupati dalam kondisi daerah yang dipimpinnya terpuruk. Mulai dari sektor ekonomi yang morat marit, keamanan yang belum terkendali sehingga sebagai Bupati harus berfikir ekstra untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan.

Abdullah Madjid mulai berbenah. Dimulai pada sektor pertanian karena Polmas memang mempunyai potensi pertanian. Setelah pertanian, ia menyentuh wilayah pendidikan. Satu persatu dibangun sekolah. SMA Negeri 1 Polewali mulai di bangun, bendungan air di Lakkese dan di Kunyi juga dibangun dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat yang dipimpinnya. Untuk mendukung sektor pertanian, Inmas dan Bimas digerakkan. Pengembangan perekonomian daerah tak luput dari perhatiannya, pasar Tinambung, Polewali, Wonomulyo (pasar pertama) mulai dibangun sebagai pusat transaksi antar komunitas ramai di beberapa titik. Bahkan, perumahan pegawai di sepanjang Lantora pun ia garap. Perumahan ini disamping sebagai tuntutan untuk tempat tinggal yang layak bagi pegawai kelas atas, juga untuk memperkenalkan penataan kota Polewali sebagai ibukota kabupaten. Dan pada periodenya memang ada semacam keputusan tak tertulis bahwa, sepanjang jalur kanan dari Pekkabata-Polewali akan dijadikan jalur hijau, dan tak diperuntukkan untuk  bangunan apapun.

Tak berhenti sampai disitu, penataan kota Polewali terus digenjot. Konsep pembangunan tanggul sepanjang pantai bahari Polewali ia lahirkan agar kelak Polewali tak tercemari kotoran dari laut. Sejalan dengan itu, pembenahan pendidikan mulai dinampakkan. Peningkatan SDM anak-anak daerah tak cukup hanya membangun sekolah. Bagi mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di Makassar, masing-masing kecamatan dibangunkan asrama mahasiswa.

Bupati Abdullah Madjid juga tidak menyepelekan kondisi sumber daya aparatnya sendiri. Sebab pada tahun 1970-an, hampir bisa dikatakan aparatur belum professional. Mulailah ia membenahi administrasi sebagai implementasi dari pengalamannya selama di militer. Dalam pandangannya, seluk beluk administrasi pemerintahan butuh kesungguhan dan persoalan administrasi ini bukan hal sulit buatnya, sebab ia unggul dibidang ini.

Berdasarkan kondisi itu, ia melakukan terobosan-terobosan baru, untik mendukung kegiatan aparatnya (meski saat itu belum ada inpres), Bupati melengkapi aparatnya dengan fasilitas sepeda untuk setiap aparat, terutama bagi mereka yang tugas di lapangan dan tempat tinggalnya jauh dari kantor pemerintah daerah. Hal ini juga menjadi motivasi besar bagi aparatnya, sebab mobil truk yang diperuntukkan untuk mengantar-jemput pegawai dari Polewali ke Pekkabata, tempat kantor daerah lama kelamaan tak maksimal lagi fungsinya dan tak bisa lagi dipertahankan, sehingga sepedalah yang menjadi penggantinya. Tak hanya sepeda, kendaraan roda dua bermesin (motor)pun disiapkan bagi aparat yang memang teramat berat tugasnya di lapangan. 

Pada saat itu, jika dikalkulasi pendapatan daerah untuk gaji pegawai saja, bupati masih pusing tujuh keliling, apalagi harus menambah fasilitas sepeda dengan motor bagi aparatnya. Tapi toh kenyataannya, itu bisa terwujud dalam pemerintahannya. Beruntung saat itu ketika program efektifitas mau dilaksanakan, jauh-jauh hari bupati sudah punya sedikit persiapan dana yang bersumber dari usaha-usaha pemerintah dengan adanya upaya-upaya pencarian dana pihak ketiga. Mungkin upaya itu bisa dipadankan dengan Perusahaan Daerah (PERUSDA). Rupanya pula, ini menjadi alternative ketika pemerintah kewalahan membayar gaji pegawai. Jadi usaha-usaha daerah saat itu benar-benar efektif.

Bupati Abdullah Madjid memang jeli merangkul masyarakatnya. Daerah yang terdiri dari sub-sub etnik dengan medannya yang terdiri dari pantai dan gunung mampu ia kunjungi dan konsisten ingin lebih dekat dengan rakyatnya. Tak peduli harus mendaki gunung, jika tak mampu ia jangkau dengan kendaraan, maka menunggang kudapun ia lakukan asalkan bisa bertemu dengan warga masyarakat yang dipimpinnya. Kebetulan juga, Abdullah keci adalah seorang penunggang kuda yang hebat dan lincah. Bahkan tak jarangm ia harus melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Ini adalah konsep pembinaan territorial kawasan.

Abdullah Madjid benar-benar total meletakkan dasar-dasar penataan pembangunan. Terlebih pada level diatasnya bertepatan Dr. Ahmad Amiruddin menggantikan Ahmad Lamosebagai Gubernur Sulawesi Selatan ternyata juga dikenal “gila” ide. Salah satu konsep pembangunan yang popular ia terapkan adalah Konsep Trikonsepsi Pembangunan: Perubahan pola pikir, pengwilayahan komoditas dan petik olah jual.

Ternyata, jauh hari sebelum konsep itu membumi di tingkat provinsi, Abdullah Madjid sudah lebih awal menerapkannya, meski tidak secara langsung terkonsep dengan anama Tri konsepsi. Sebab berdasar dari dimensi kewilayahan di Polmas,di wilayah pegunungan jutru sudah ia perkenalkan penanaman kopi dan kakao, sebab memang peluang untuk komoditas ini juga sangat cocok di wilayah gunung. Bahkan ketika itu Kopi Jember sudah dikenal. Terkait kopi Jember ini, pernah suatu ketika Bupati dan rombongan berkunjung ke Jember, saat itulah ia membawa bibit kopi untuk ditanam di Mandar. Dan hasil dari kopi pegunungan ini telah membuat ratusan bahkan ribuan rakyat Polmas menjadi seorang haji berkat kopi Jember.

Di wilayah pantai, komoditas kelapa dalam masih tetap ia pertahankan sebagai salah satu primadona penghasilan petani. Khusus di Wonomulyo, kawasan kolonis Jawa yang datang pada sekitar tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an dikembangkan padi dan palawija. Inilah pendekatan keunggulan kewilayahan yang diterapkan oleh Abdullah Madjid.

Abdullah Madjid sikapnya jelas, kukuh dan punya dedikasi yang tinggi, tak neko-neko, sederhana, pekerja, kosisten, jujur dan berwibawa. Potensi dalam Abdullah Madjid itulah yang menjadi alat yang ampuh meredam dinamika panas politik yang ada di Polmas. Mungkin semua itu yang mebuat Abdullah Madjid lebih lama menjadi Bupati. Selam 13 tahun ia menjadi Bupati di Polmas tentu sangat banyak menyimpan banyak kesan.

Masyarakat mencintainya sebab ia juga sangat menyayangi rakyatnya. Abdullah Madjid adalah sosok yang tak serakah pada jabatan. Masyarakat meminta untuk tetap menjadi Bupati di Polmas, tapi ia menolak, termasuk ditawari menjadi Bupati Mamuju, lagi-lagi ia tolak dan lebih memilih pensiun total. Menjadi masyarakat biasa dan toatal mengabdi kepada khaliq-Nya. Ia banyak berguru agama pada kedua tokoh besar di Mandar, Annangguru Saleh dan KH. Dr. Sahabuddin. Rupanya pemahaman agamanya yang membuat Ia lebih damai menhadap Tuhan-Nya pada tahun 1999.[1]



[1] Sarman Sahuding, 2006

1 komentar: