Minggu, 04 Februari 2024

BUKU WARISAN PASSOKKORANG

Selamat datang Buku "Warisan Passokkorang" dalam deretan diksi sejarah di Mandar. Semoga kehadiranmu menjadi pemantik bagi siapapun yang punya keinginan untuk merekonstruksi kembali Babad Tanah Passokkorang. 

Passokkorang mungkin akan menjadi salah satu kosakata sulit dan tak lagi dikenal generasi hari ini. Tapi mengabaikan Passokkorang tentu bukan langkah bijak bagi siapapun. Ia adalah narasi penting untuk menemukenali Jejak Mandar yang sesungguhnya. 

Mari bersama mengulik dan menguliti suguhan narasi yang disuguhkan oleh Muhammad Munir ini.

MENGENAL IMAM JANGGO'

MENGENAL IMAM JANGGOQ, IMAM LEGENDARIS MESJID AL HURRIYYAH TINAMBUNG.

By Muhammad Ridwan Alimuddin

Dari sekian imam mesjid Al Hurriyyah Tinambung, ada satu yang melegenda. Mungkin karena sapaannya yang nyentrik dan mudah diingat, Imam Janggoq "imam berjanggut". Nama aslinya K. H. Achmad Alwy, ulama dari Pambusuang yang lahir di Mekkah di awal abad ke-20. Achmad lahir bisa lahir di Mekkah karena saat menunaikan ibadah haji, ibunya, bernama Puang Sapi, sedang hamil.

Selain belajar agama dari orangtuanya, K. H. Alwy "Annangguru Kaeyyang", juga berguru ke pamannya, K. H. Yasin (Annangguru Kacing, menjadi warga negara Arab Saudi dan wafat di sana), K. H. M. Ghalib (Annangguru Gale), K. H. Syed Hasan bin Sahil, dan K. H. Syahabuddin (bukan K. H. Syahabuddin pendiri Univ. As Syariah Mandar).

Imam Janggoq memegang amanah sebagai imam mesjid Tinambung dua periode. Pertama dari tahun 1936 – 1942, menggantikan ayahandanya yang wafat di tahun 1936, tepat 1 Ramadhan kala memimpin jamaah tarwih (imam) di rakaat terakhir shalat witir.

Jabatan imam dilepaskan ketika terlibat dalam perang kemerdekaan. Alwy muda terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Pambusuang. Hal itu membuatnya jadi buronan Belanda. Lewat campur tangan Imam Lapeo, Alwy diungsikan ke luar Mandar, berpindah dari satu pulau kecil ke pulau kecil lain di Selat Makassar dan Laut Jawa sambil tetap berdakwah.

Sang imam berjuang lewat organisasi Jami’atul Islamiyah dan KRIS Muda Mandar. Sebelumnya pada 1929 mulai aktif politik lewat partainya HOS Cokroaminoto, yaitu Partai Syarikat Islam Indonesia cabang Mandar.

Tahun 1959 bekerja di Kantor Legiun Veteran Cabang Mandar yang berkedudukan di Makassar di bawah pimpinan Riri Amin Daud. Tahun 1962 diutus ke Bandung mempelajari persuteraan alam. Imam Janggoq-lah pionir budidaya ulat sutera di Mandar, yang mana sebelumnya bahan baku benang sutera diimpor dari Cina.

Kembali diminta menjadi imam mesjid Tinambung pada awal Januari 1963. Andi Depu, sang Raja Balanipa, mengutus adiknya Abdul Malik Pattana Endeng ke Pambusuang, menemui K. H. Ahmad Alwy. Jabatan imam terus diembang sampai wafatnya, 19 Maret 1983. Makamnya di dalam "koqba" di Kompleks Makam Koqba, Pambusuang.

Sebagai ulama cum pejuang dan praktisi (sutera), Imam Janggoq aktif berdakwah, mengelola mesjid, dan sosial kemasyarakatan. Perawatan dan pengembangan mesjid Raya yang bertiang 100 buah, pagar-pagar, dan sebagainya, semuanya menjadi tanggung jawab beliau di samping menjaga agar jama’ah mesjid tetap terpelihara. 

Imam Janggoq-lah yang memulai pengadaan lampu listrik di mesjid Tinambung serta penyediaan "kollang" untuk berwudhu. Penting dicatat, masa Imam Janggoq-lah sehingga mesjid di Tinambung memiliki nama. Awalnya hanya disebut Mesjid Jami Tinambung untuk kemudian menjadi Mesjid Al Hurriyyah Tinambung.

BUKU SEJARAH DESA PARAPPE

PARAPPE DAN PUSAT PENDIDIKAN ISLAM DI MANDAR. 

Desa Parappe mungkin hanya setitik noda pada peta negeri ini, tapi noktah sejarah membeberkan kepada kita bahwa jauh sebelum Kappung Masigi (Desa Bonde) menjadi pusat keagamaan, di Banua Desa Parappe telah menjadi pusat pencetak ulama yang kemudian menyebar jadi seorang Annangguru di daerah lain. 

Buku ini memberikan informasi tentang Lamassagoni Tomatinroe Ri Dara'na, Syekh Muhammad Amin Tosalama Panyampa yang merintis pusat keagamaan yang ditandai dengan adanya sebuah langgar di Banua sebagai pusat pendidikan keagamaan. Dari sinilah Syekh Hasan Yamani merekam jejaknya ketika harus meninggalkan Kota Makkah saat terjadinya kudeta dari Wahabi. 

Dari Parappe inilah, embrio pendidikan Islam dimulai dan hingga hari ini, 2 Pondok Pesantren terbesar di Sulbar ada disini. 

Tertarik membaca bukunya? Silahkan terhubung dengan PUSAKAKU (Pusat Studi Sosial dan Kajian Kebudayaan).

Daftar Isi 

TARIAN PATTU'DU'



Buku Claire Holt yang bagus dan menarik, Dance quest in Celebes, yang memberikan deskripsi berbagai tarian dalam bentuk laporan perjalanan, telah menunjukkan kepada kita betapa Berbagai ekspresi tarian ditemukan di wilayah ini.

Pattu'du' ini dapat ditemukan di bentang alam Mandar di pesisir barat Sulawesi Selatan, kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh seorang Raja Mandiri dengan gelar Mara'dia, dibantu oleh dewan tokoh terkemuka, yang dalam bahasa resmi Sulawesi Selatan biasa disebut Hadat. Untuk membedakannya dari Maradia yang lebih rendah, yang menguasai wilayah yang lebih kecil dari mana Lanskap Berpemerintahan Sendiri dibangun, pangeran utama kadang-kadang juga disebut sebagai aradjang.

Pattu'du' muncul dari kalangan bawah serta dari kelas anggota hadat, dari topia. Dalam kasus pertama seseorang berbicara tentang pattu'du' sassaoarrang, karena tarian mereka adalah sassaoarrang, layanan wajib bagi raja, kategori kedua disebut sebagai pattoe'du' ke pia. Lebih jauh lagi, di lanskap Mandarian pattu'du' masih dibedakan menurut kampung atau distrik asalnya. Semua pattoe'du' ini membentuk kelompok terpisah yang terdiri dari sepuluh hingga enam belas anak perempuan atau laki-laki. Bahkan gadis-gadis dari kelas kerajaan suka menerapkan tarian ini; ketika gadis-gadis seperti itu hadir di pesta, mereka tidak membentuk kelompok terpisah, tetapi bergabung dengan salah satu kelompok lain, sering kali dalam pattu'du' sassauarrang. 

Perbedaan status diekspresikan terutama dalam pakaian. Gadis-gadis dari kalangan kaya dihias dengan harta karun berupa perhiasan emas senilai beberapa ribu gulden, dan mereka juga mengenakan semacam sarung negara dari kain polos yang berharga dengan ujung yang terdiri dari emas batangan kecil (a'di' ). Pakaian penari kelas bawah jauh lebih sederhana; perhiasannya juga tidak begitu banyak dan lebih murah.

Gadis-gadis nubile, yang mengenakan pakaian renang transparan yang bagus, dan gadis-gadis yang lebih kecil, yang tampil bertelanjang dada, juga dibagi menjadi beberapa kelompok. Atribut penari adalah kain sempit dari bahan halus, di salah satu ujungnya diikat semua jenis benda emas atau perak dan kipas.

Sedangkan anak laki-laki, mereka yang termasuk golongan mampu mengenakan cerutu sebagai hiasan kepala, gulungan kain merah yang dililitkan di kepala dan disulam dengan lempengan emas, pakaian yang di daerah Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan termasuk pakaian negara pangeran atau pengantin pria. Sebuah topi, biasanya dihiasi dengan manik-manik emas atau emas, adalah hiasan kepala para penari kelas bawah. Tombak, agak seperti kemoceng, dengan perisai yang menyertainya, peniup atau kipas, menjadi atribut yang digunakan oleh anak laki-laki.

Peristiwa pattu'du' terjadi terbatas pada beberapa upacara kerajaan yang berhubungan dengan ritual khusus, yang disebut pappogauang dalam bahasa Mandar. Kesempatan seperti pelantikan raja, perkawinan, pengarsipan gigi, upacara mengayunkan anak kecil, khitanan, dan lain-lain. Hanya ketika berita telah diterima dari bahwa pesta sudah dekat, pattoe'du' dimulai dari awal.
untuk memiliki tarian pattoe du di lingkaran keluarganya pada upacara-upacara penting. Di sana-sini terjadi juga pada festival pattoe'du' Mara'dia yang lebih rendah; penggunaan tersebut kemudian didasarkan pada alasan sejarah, izin dari den Aradjang, bagaimanapun, selalu diperlukan.

(Supplement op het Triwindoe-Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII-1940)

FORMULIR UPDATE DATA SIMPUL PUSTAKA BERGERAKA


Salam Bergerak kawan-kawan semua. 🇲🇨
Semoga sehat dan selalu bahagia 😊🤲

Ditahun 2024 ini, dengan tetap membawa semangat kesetaraan, sama rasa dan sama raga. Pustaka Bergerak Indonesia terus berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada Simpul Pustaka. Oleh karena itu, diharapkan partisipasinya untuk membantu kami memperbaharui data simpul pustaka yang selama ini telah banyak membantu kita bersama.

Selain itu, pada formulir ini terdapat survei sederhana untuk meminta saran & masukan penyempurnaan layanan fasilitas Pustaka Bergerak Indonesia untuk para Simpul Pustaka. Oleh karena itu, kami harapkan diisi dengan sepenuh hati dan riang gembira serta jangan lupa siapkan secangkir kopi dan gorengan hangat jika ada 😅

Klik Link berikut :
https://s.id/updatePBI

Tidak lama, namun akan sedikit meminta waktu rekan-rekan. Tapi tenang, jika anda mengalami sedikit kesulitan. Silahkan hubungi kontak berikut :

+62 853-1172-3613 - Cak Mus
‪+62 822‑9032‑2224‬ - Sultan

Salam hangat,
Pustaka Bergerak Indonesia

Membaca Teater Tradisi Lewat Pertunjukan To Manurung dan I Pundakko.

Oleh: Sahabuddin Mahganna. 

Tomanurung dalam kisah Tokombong di wura dan To wisse ri tallang, diperkenalkan ke ruang publik lewat pertunjukan teater tradisi di Taman Budaya dan Museum (TBM) Sulawesi Barat Butut Ciping 1 Desember 2023. Garapan dua seniman Mandar Rifai Husdar dan Dalif berhasil memukau penontonnya, membangkitkan kembali gairah tontonan teater yang telah sekian lama redup di tanah ini, kendati demikian dan tidak juga begitu, sebab masih tetap ada segelintir orang yang punya kepedulian menghidupkan teater-teater meskipun di lorong-lorong, yang tidak menjadi tiba-tiba seniman ketika ada "anu".

Evoria yang disaksikan secara langsung itu, dan betapa sangat saya tertinggal karena lama berteduh di Uwake Cultur Foundation, hujan deras mengalahkan niat mem-bersama-i sejarah dan peristiwa yang baru saja berlangsung, memilih mengikuti arus diskusi, sekadar mengisi kejenuhan. Bersama Rahmat Muchtar asyik mengobrol tanpa arah yang jelas tema pembicaraan, tidak berselang lama, Syuman Saeha, Subaer Sunar, Muliady dan teman lainnya yang juga terjebak hujan itu, telah bergabung. 

Diskusi kemudian lebih mengerucut ke kajian Tomanurung dan tata kelola pertunjukan, nyatanya sangat penting untuk dipahami dengan baik dan diteruskan ke generasi dengan menyorot sudut pandang yang berbeda. 

Pemahaman tentang konsepsi Tomanurung sebagai manusia dewa, manusia pilihan, manusia yang memiliki sematan atau predikat khusus, dijunjung, didengar, serta menjadi contoh, sehingga dia bukan manusia biasa, setiap itemnya musti hati-hati dalam mewakilkan untuk beberapa hal, apalagi sebuah permainan dalam teater. 

Salah satu contoh kecil yang dilontarkan Subaer Sunar, kesaktian arung Palakka jika dibayangkan, meskipun keseharian kita hanya mengenalnya dalam catatan sejarah. 15 generasi ke atas baru dapat tau manurungnge Mallajang ri ase'na tasi' loppoe. punya nama dan makam, dan menghilang di atas lautan (1330 an). Tau Manurung kedua, La Umase Petta Panre Bassie 1423 dan seterusnya termasuk beberapa nama di Mandar. Dalam cerita berbagai suku kelahiran Tomanurung selalu dikaitkan dengan tallang (bambu), yang berarti ada proses lahir, hadir yang berbeda dengan manusia biasa. 

Pentas malam itu dalam penokohan lahirnya menjadi "manusia" biasa dengan proses biologis, tanpa sedikit menelaah bagaimana proses sesungguhnya. "Tomanurung, tidak satupun yang pernah menyaksikan secara langsung  kejadiannya", konon predikat itu tersematkan pada sesuatu (manusia). Tomanurung bukan pribadi biasa, lahir bukan atau tidak diketahui Bapak dan ibu seperti Isa  AS. Tomanurung sebagai pribadi yang ditempati Nur (biologis pasti bersentuhan dengan Nur, dengan kata lain bukan persentuhan jantan dan betina.  Karena alasan inilah sehingga jenis kelaminnya pun, ada yang menyatakan tak tunggal. Khusus perdebatan tentang jenis kelamin, dalam perspektif Bugis, ada contoh BISSU. Bissu bukan bencong, tapi tidak lelaki, tidak perempuan. 

Untuk lebih memudahkan barangkali kata "to manurung" harusnya terjadi pemenggalan antara to dan manurung itu sendiri. Manurung adalah predikat tidak terlihat oleh kasat mata, dan menjadi nampak jika dia tersematkan pada obyek (to), itupun orang-orang khusus yang sanggup memahaminya. Itulah sebabnya, kemungkinan pendahulu kita lebih memilih menamai sesuatu dengan bahasa yang berbeda, ini untuk menghindari beberapa kejadian yang akan menimpa dirinya. Wallahu Alam Bisssawab. 

Meski tidak mengapresiasi secara utuh, produksi pentas dan pemanggungan terlihat berjarak dengan publikasi dengan tulisan tradisi, kata tradisional dalam pentas mungkin masih agak kaku. Teater tradisi menurut pakemnya yakni teater tradisi rakyat dan istana, cirinya umum menggunakan bahasa daerah, dilakukan secara improvisasi, ada unsur nyanyian dan tarian, diiringi tetabuhan (musik daerah), diwarnai dengan dagelan/banyolan, ada keakraban antara pemain dan penonton, serta suasananya santai. Syuman Saeha mengatakan kalau kita merujuk ke Mandar, di sini sangat sedikit yang dapat dijadikan sebagai literatur, paling hanya Koayang, dan Kacaping dari unsur pertunjukannya saja, juga Lake (meski malu malu kucing) sedikit mendekati. Mengangkat cerita rakyat ke atas panggung teater, tidak serta merta dapat disebut sebagai teater tradisi, karena garapan tersebut hanya mengambil satu unsur dari sekian unsur yang mengusung teater tradisi. 

Ruang dan waktu yang dibangun lewat digital, mengindikasi jalur lain dari pakemnya atau boleh jadi sudah menjadi bagian dari pengembangan. Jika demikian, problemnya berarti standar penilaian tentang tradisi yang dimaksud TBM beda dengan pemahaman mayoritas publik. Sebagai fasilitator, ini bagian tanggung jawab bersama dengan para senimannya, paling tidak berdasar pada telaah dan riset . Taman budaya, selain menghibur, harus mencerdaskan dan menjadi ruang eksperimen serta menciptakan ruang pertumbuhan pemikiran kesenian.

Pementasan teater To Manurung dan I Pundakko, dalam catatan ini tidak sedang membahas kekeliruan, hanya saja keramaian atau banyaknya penonton bukan satu satunya ukuran keberhasilan sebuah pertunjukan, bukan pula dipahami adalah suatu kebenaran yang mutlak, sebab generasi yang akan datang khususnya para pemain yang polos itu, memungkinkan bisa salah kaprah dikemudian hari. 

Dengan ini, selamat untuk para yang terlibat, kepada para penonton, terkhusus buat pemerintah, dalam hal ini UPTD Taman Budaya dan Museum Sulawesi Barat yang sudah memberi ruang untuk para seniman.

FOOTNOTE HISTORIS: BAGAI PAGAR MAKAN TANAMAN

 Oleh: Prof. Dr. Ahmad M. Sewang 

Beberapa dekade lalu, saya ketemu almarhun Bapak Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH di rumahnya sepupu H. Hilaluddin bin Ismail di Jiyad, Mekah al-Mukarramah. Pertanyaan pertama yang saya ajukan bahwa saya dengar di tanah air bahwa dalam penyusun kabinet Presiden Soeharto bahwa "Bapak disebut-sebut masuk dalam kabinet untuk mengisi fortofolio kejaksaan". Beliau spontan menjawab, "Untung saya tidak terpilih masuk kabinet, andai saya terpilih, orang pertama saya tangkap adalah Pak Harto". Saya begitu kaget bercampur khawatir mendengar jawaban itu, sehingga saya tidak pernah membocorkan pada siapa pun kecuali saya tulis hari ini, karena keduanya sudah dipanggil Allh swt. Jadi saya sudah merasa aman. Selanjutnya, saya hanya ingin mendengar alasan Beliau berpandangan demikian. Beliau beralasan bahwa seharusnya Pak Harto sebagai kepala negara menjadi contoh teladan di tengah masyarakatnya yang masih susah tetapi dia mencontohkan yang buruk dengan mempraktekkan KKN

Kisah kedua. Biasanya selesai Jumatan, saya masih duduk beberapa menit selesai salat sunat menungguh jamaah, siapa tahu ada masalah kemasjidan yang ingin diadukan sebagai Ketum DPP IMMIM. Benar saja ada seorang jaksa dari Majene yang singgah berjamaah di masjid jalan Macan mengisahkan bukan kemasjidan, tetapi pengalamannya selama bertugas. Menurutnya, suatu saat ketika Prof. Baharuddin Lopa jadi Kalanwil Kejaksaan di Sulawesi Selatan ia menerima tamu. Setelah tamu itu  pulang dan kantor pun mulai di tutup. Barlop singkatan dari Baharuddin Lopa sudah siap-siap pulang. Barlop memanggil sopir dan memberitahunya "tadi saya lihat mobil kekurangan bensin karena itu kita singgah di pompa bensin dahulu mengisinya", tapi sopir bilang "sudah diisi, Pak!". Barlop bertanya kaget, "Siapa yang mengisinya"?. Sang sopir menjawabnya, "Itu tamunya tadi yang baru pulang." Barlop bereaksi, "Tetapi kita tetap ke pompa bensin!" Sambil memeritahkan untuk  mengeluarkan dahulu bensin yang diisi tadi, lalu isi ulang bensin mobil ini." Demikian kebersihan hati Barlop yang tidak ingin dikotori dengan korupsi sekecil apa pun. 

Kenyataan sekarang bahwa dua kisah di atas dianggap kisah kayangan seakan hanya terjadi di dunia khayal. Seakan kisah para bidadari yang turun lewat pelangi dari Pulau kayangan di hari mendung untuk mandi, tetapi seorang calon pangeran mengintipnya kemudian menyembunyikan pakaiannya, menyebabkan salah seorang bidadari itu tidak bisa lagi kembali ke peraduannya di Pulau Kayangan. 

Dua kisah di atas adakah kisah nyata yang sungguh terjadi dalam kenyataan dan merupakan reaksi keras Barlop melihat kondisi negaranya yang seharusnya gemah ripah loh jinawi, tetapi ulah penyelenggara negara  yang tidak jujur membuat tujuan bernegara tambah jauh.

Banyak penguasa sekarang yang punya wewenang menegakkan aturan justru merekalah melanggar aturan itu sendiri. Ini yang disindir. Nenek moyang kita pada judul artikel ini, "Bagai pagar makan tanaman," sebagai contoh:
1. Satpol PP yang seharusnya memberi contoh, bersikap netral dalam pemilu, justru ramai-ramai terang-terangan memihak,
2. Jalanan pusat kota di Medan, Sumarera Utara, yang tidak boleh dipasangi peragaan alat kampanye, justru yang tahu aturan, merekalah  yang melanggarnya.
3. Gus Miftah  sebagai ulama di Pamekasan, Madura. Seharusnya tidak money politics karena dilarang, justru terang-terangan 
membagi-bagikan  uang secara terbuka sambil menyebut nama paslon yang didukungnya.
4. Mendatangkan aparat desa di istanah yang membawa kecurigaan yang seharusnya bisa dihindari, apa lagi dekat pemilu.
5. Cap Pree Day seharusnya tidak digunakan kampanye tetapi digunakan kampanye bagi-bagi susu.
6. Alangkah legowonya jika Presiden sendiri secara tebuka memberi teladan dan berkata, "Saya berbesar hati menerima apa pun hasil pemilu. Saya sama dengan presiden sebelumnya tidak akan cawe-cawe."
7. Pelanggaran ini masih panjang jika ingin ditulis semua. Orang sekarang nampaknya lebih suka melanggar daripada ikut aturan. Ini mungkin disebut orang, Qiamat semakin dekat. Di sinilah kita memerlukan orang yang jujur, sederhana, dan berhati bersih. Kita perlu 10 orang semacam 0Barlop baru untuk memperbaiki negara ini.

Sekali lagi laksanakan pemilu  dengan penuh jurdil agar bisa meninggalkan legecy positif. Kalau tidak, akan kena sindiran nenek moyang, "Bagai Pagar Makan Tanaman." "Jangan terpengaruh apa yang ditulis orang sekarang, tetapi ingatlah apa yang ditulis sejarawan yang akan datang."

Wasalam,
Kompleks GPM, 8 Januari 2024