Kamis, 02 Februari 2017

REVITALISASI NILAI BUDAYA MANDAR DEMI PENGUKUHAN JATI DIRI KEMANDARAN


 
OLEH :
DARMAWAN MAS’UD RAHMAN
I.     PENDAHULUAN

Sekitar tahun 1970-an para peneliti budaya di Amerika mulai sadar bahwa hasil-hasil tulisan (Armchair theory) para pendahulu mereka dari tahun 1800-1960-an dianggap biasa karena ia tidak merepresentasikan nilai budaya dari orang yang ditelitinya, khususnya masyarakat dan budaya luar Amerika. Di antara Pelopornya adalah Michael dan Renato Rosaldo tercermin di dalam salah satu bukunya Knowledge and Passion IIongot Nations Of Self & Social Life (1980) tentang masyarakat IIongot di Philipina diikuti oleh teman-temannya seperti Clifford Marcus dll. Pendapat mereka menyatakan bahwa nilai budaya,apresiasi, Pikiran dan perasaan orang-orang yang diteliti harus dapat merepresentasikan makna budaya mereka sesungguhnya dalam tatanan nilai-nilai budaya lokal. Pendapat ini menggaung sedunia dan sampai dewasa ini mendapat respons yang Positf dan menghasilkan berbagai tulisan yang mempesona .
Interpretasi baru tentang makna-makna budaya dalam nuansa lokal, antara lain dapat disebutkan : Penulis Anna Lewenhaunt Tsing dalam bukunya In The Realm of the Diamond Queen (1993) tentang masyarakat Meratus di Kalimantan dan Kenneth M .George dalam bukunya showing Sign of Violence (1996) tentang pitu ulunna salu ‘. Keduanya adalah penerima penghargaan kategori penulis terbaik dimasanya . lebih menghebohkan lagi interpretasi baru dari penulis John Pemberton dalam bukunya on the subject of java (1994) yang melukiskan bahwa budaya adi luhung di dalam keratin jawa adalah rekayasa Belanda.
Sehubungan dengan kebangkitan interpretasi itu maka pengungkapan nilai budaya lokal merupakan pengukuhan identitas untuk membuat batas-batas cultural antara bangsa dan Negara. Ia menumbuhkan rasa percaya diri bagi munculnya konsep-konsep nilai budaya luhur yang dapat menahan homogenitas budaya global . Kubu budaya global dan budaya lokal telah menciptakan tegangan-tegangan budaya yang meninggi , saling ingin mendominasi satu dengan yang lainnya dan sulit untuk mendamaikan .
Dari seluruh tulisan pakar-pakar budaya dunia mutakhir ternyata nilai-nilai budaya lokal mempunyai peran yang penting sebagai motor penggerak dalam berfikir dan berprilaku karena ia berfungsi sebagai piƱata sikap dan prilaku, pembentuk identitas, dan pembangunan kwalitas manusia . Ketiga fungsi tersebut merupakan landasan kokoh yang dapat kemudian digunakan untuk membaca ulang bagaimana seorang individu Mandar untuk mengerti, memegang, melaksanakan konsep-konsep nilai budaya yang diakuinya dalam rasa dan perasaan kemandaran agar ia dapat beradaptasi secara sempurna ke dalam binkai keserasian nilai budaya Indonesia yang teguh dan kekar dalam mengarungi era budaya yang global. Nilai budaya kemandaran tersebut perlu segera diangkat dan direaktualisasikan karena ia merupakan puncak budaya Indonesia sesuai kandungan makna undang-undang Dasar 1945 pasal 32 dan penjelasannya

II.   MANDAR DALAM KEPUSTAKAAN ASING DAN INDONESIA

Diantara Keempat etnis utama di Sulsel tulisan secara ilmiah tentang budaya mandar masih dapat dihitung jari. Lebih sedih lagi kalau kita membandingkan tulisan ilmiah yang diangkat dari ketiga etnis di Sulawesi selatan . Salah satu contoh yang dapat dikemukakan bahwa ada sekitar 20 disertasi asing yang dibuat oleh Kenneth M. George (1994) tentang Mamasa .
Di dalam bahasa Indonesia tulisan ilmiah yang berkaitan dengan budaya kemandaran baru ada 4 disertasi . Diakui bahwa ada juga beberapa skripsi mahasiswa dan tulisan-tulisan dari beberapa orang namun masih dalam bentuk informasi dan belum merupakan suatu hasil tulisan melalui analisis wacana (discourse analisis) dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah . Demikian juga ada beberapa tulisan asing yang menyinggung tentang mandar yang sulit ditemukan antara lain ditulis oleh Van Leyds (1940) , Ligtvoet (1876), Mallinckrotd (1933), Nooteboon (1940), Bosch (1933), Bikker (1932), De Graff & Stibbe (1918) , J . Dalton (1937) dll.
Disamping itu ada tulisan-tulisan singkat telah dibuat oleh Robert Wells tentang tenunan Mandar dan pengobatan tradisional , Toby Volkman dan Kathy Rabinson tentang perenan wanita Mandar (1980-an) . Satu rencana disertasi yang dibuat oleh Charles Zarnes yang telah meneliti tentang penggunaan laut dan hukum-hukum adat (1986) namun hingga saat ini belum selesai . Akibat minimnya penulisan tersebut maka kebudayaan Mandar belum terungkap secara meluas , terbukti seminar internasional tentang Sulawesi Selatan yang dilaksanakan di Australia (2000) pada konverensi OXIS (The Origin of Complex Societi In South Sulawesi ) dan 2 buku sebagai hasil seminar Internasional yang masing-masing dilaksanakan di Leidin (1987) dan Makassar (1995) di dalam South Sulawesi In The Whole Histori editor Kathy Rabbinson (2000) dan Authority and Among the people of South Sulawesi editor Roger Tol, Van Dijk dan Greg Accoalli (2000) Nederland sama sekali tidak menyinggung tentang Mandar.
Walaupun Lontara-lontara Mandar kebanyakan telah hilang namun perlu dihargai usaha dari Macknight (1972) memicrofilmkan beberapa lembar lontara dari yayasan kebudayaan Sulawesi Selatan dan kini tersimpan di ANU , Canberra , dan masih ada juga koleksi salinan lontara Mandar di leidin Unifersity di Belanda.

II    I. REKONSTRUKSI BUDAYA MANDAR MELALUI BERBAGAI SUMBER

Pada tahun 1930-an Penilik sekolah Tn. Maula dalam inspeksi ke daerah Kalumpang menemukan sebuah patung Budha perunggu di Sikendeng ditepi sungai karama ‘ di Mamuju . Ia kemudian melapor kepada Y.Caron Gubernur jenderal di Makassar dan langsung memerintahkan Dr.A.A Cense ke daerah tersebut dan menemukan kreweng (gerabah) yang bercorak prasejarah dan beliung-beliung persegi . Pada tahun 1933 atas perintah gubernur jenderal, ahli arkeologi Van Stein Callenfels mengadakan panggilan di kamasi, Palemba di kalumpang kemudian di lanjutkan tahun 1964 oleh DR. Van Heekeren Penggalian di Kamasi dan Minanga Sipakko, hasil Penelitian dari penggalian ini membuahkan sebuah pendapat bahwa situs-situs tersebut di atas adalah salah satu tonggak budaya Indonesia yang bernilai tinggi. Stein Callenfels dan Van Heekeren menemukan alat-alat batu yang terdiri atas beliung persegi dalam ciri morfotehnologi yang bervariasi dengan tajam monofasial. Tipe ini tersebar di asia tenggara dan pasifik, sedangkan kapak batu atau kapak lonjong tidak hanya tersebar di Indonesia bagian timur tetapi juga terdapat di beberapa Negara antara lain Birma, Korea, Jepang, Vietnam, Thaiwan, Philipina hingga ke pasifik . Pahat batu, batu asah batu giling semuanya merupakan hasil industri lokal yang mempunyai tehnik pembuatan yang cukup baik dilihat dari bentuk dan keluasannya. Disamping itu gerabah atau Kreweng dengan hiasan-hiasan bervariasi mulai dari pola geometris, segitiga, belah ketupat , bulat dan pilin memakai tehnik gores, tusuk, temple, tekan dan eksisi sangat menarik. Bahkan Solheim 11 mengatakan bahwa motif ini masuk Ke dalam kelompok Sahuynh Kalanay yang tersebar di Asia Tenggara sampai ke Pasifik.
Penemuan batu Pemukul Kayu untuk membuat Pakaian merupakan temuan penting di mana manusianya telah mengenal busana di tambah lagi industri gerabah yang berhias indah dan pembuatan batu halus yang di asah telah mengenal tehnologi tinggi. Keseluruhannya memberi tanda bahwa orang Kalumpang disamping menerima unsur budaya asing (Allochtone) juga tetap mengembangkan budaya sendiri (Autochtone). Dasar budaya inilah sehingga di dalam sejarah Kebudayaan Indonesia Kebudayaan Kalumpang merupakan suatu tonggak yang penting di Indonesia dari tanah mandar
Patung Budha perunggu yang tersebut diatas kemudian diteliti oleh Dr. Bosch (1933) yang menyimpulkan bahwa patung itu adalah khas di bawah dari india selatan (Amarawati) ke Asia Tenggara dan tipe patung Budha abad 11 sampai abad ke V1 masehi yang tidak ada samanya di Indonesia.
Dari semua hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa situs Kalumpang , Minanga Sipakko, dan Kamasi termasuk dalam kebudayaan hunian sungai yang bercorak Neolitik-paleometalik (perundagian) yang berumur sekitar 1500 SM berlanjut sampai pada abad 1 & 11 Masehi. Pelras dalam bukunya The Bugis (1996) menyatakan sikendeng yang berada ditepi sungai karama’ pernah merupakan pelabuhan Internasional.
Bila penemuan diatas dihubungkan dengan cerita rakyat yang di rekam oleh Van Leyds (1940) menyebutkan bahwa tanah Mandar telah dipimpin oleh 41 Tomakaka . Cerita rakyat lainnya mengatakan bahwa Tomakaka berkristalisasi baik melalui koalisi ataupun perang antar mereka pada akhirnya muncul Amara’diang –Amara’diang di pitu Ba’bana Binanga dan pitu Ulunna Salu’. Cerita rakyat juga menyebutkan bahwa hubungan genealogis antar mereka mulai dari Pa’doran yang beranak tujuh kemudian melahirkan anak sebelas dari pongkapadang dan lambere’ susu sampai kepada Ta’bittoeng sebagai cucu dari la’simbangdatu menurungkan Tomannyambungi raja pertama di Balanipa. Keturunan mereka inilah yang kemudian melahirkan manusia-manusia yang memerintah di pitu Ba’bana Binanga dan pitu Ulunnasalu’. Berdasarkan landasan dasar budaya yang tinggi dan demokratis itu dikokohkan Kerjasama akrab yang masing-masing didampingi oleh pemangku-pemangku adat mulai dari poambi ‘ (pa’ambi’) Tomakaka dan Peppuangan (institusi pappuangan) serta Mara’dia di masing-masing wilayah mereka telah memberikan bukti munculnya berbagai konsep-konsep nilai budaya yang dapat dijadikan pedoman untuk masa depan .
Nilai-nilai budaya tinggi dalam berbagai konsep-konsep yang sangat moderen telah dipunyai dan diamalkan oleh orang-orang mandar sebelum di obrak-abrik oleh Belanda. Dari memori Van Leyds ditemukan bahwa benturan antara bangsawan raja dan bangsawan adat di mulai dengan kekalahan perang antara Belanda dengan passimandaran yang diakhiri oleh perjanjian plakat pendek (lange dan korte Verklaringe ) mulai pada tahun 1870-an dan berbagai peraturan-peraturan yang mengikat pada tahun1880-an . Apalagi setelah Mara’dia diangkat sebagai penguasa tunggal dan anggota adat adalah bagian dari penguasa tunggal itu. Diperparah dengan perbedaan gaji yaitu Mara’dia di gaji denga F 1800 setahun, dan anggota adat yang terdiri atas : Pa’bicara kaiyyang di gaji dengan F 480, Pa’bicara Kenje dengan gaji F 420 sedangkan pappuangan limboro Biring lembang dan tenggelang mendapat gaji F 300 pertahun. Rakyat kecil di bebani dengan pajak yang tinggi dan kerja rodi yang terdiri atas herediesent (rodi besar) dan gemeentediesent (rodi kecil) yang dapat diganti dengan uang sebesar F 5 dan F 3 yang sangat memberatkan. Akibat ulah Belanda tersebut maka puncak-puncak nilai-nilai budaya kemandaran yang luhur telah hancur dan kemudian muncul nilai negative seperti sipat siri’ate (iri hati), situna-tunai (saling menghina) sitaiyyang lassa-lassangan (saling mencari kesalahan ), sitaiyyang adaeyang tassitaiyang apiyangan (saling tuding) , sibesonaung tassibesodai ‘ (saling ingin mencelakakan satu dengan yang lain) dll. Sifat-sifat itu disebut rasung digollai (racun yang di beri gula) oleh orang Mandar.
Keadaan diatas muncul akibat keserakahan Belanda untuk menguasai tanah Mandar melalui strategi pembenturan antara bangsawan raja dan bangsawan adat . padahal kesetaraan dan kerjasama yang akrab berdasarkan kewajiban demi tanah dan rakyat telah tertanam sebelumnya secara baku. Hal tersebut tercermin dari perjanjian luhur di masa awal munculnya Amara’diang pada pelantikan Todilaling. Pada pelantikan itu ketua adat puang Dipoyosang bertitah :
Upakaiyyangngo’o, mupakaraya, dimadondonna di duambongi anna Marra’ba-ra’bao petawung, Mambottu-bottu bassi’ , Marrattaso’o uwake’ , Marruppu’o batu, Marrusa’o allewuang, Mamboe’o puralao ualai membali akaiyangan (kami menjunjung tinggi kebesaran dan kekuasaan raja, namun selayaknya raja selalu menghargai hak dan peranan kami, besok atau lusa raja melakukan tindakan berupa merusak hukum melanggar konstitusi, memotong aturan-aturan adat / melanggar hukum, merusak dasar budaya dan kehidupan rakyat banyak, menindas rakyat kecil, merusak persatuan dan kesatuan dan ingkar dari kata dan janji maka saya cabut kekuasaan yang telah di berikan. Karena itulah maka Ammara’diang di Mandar khususnya di Balanipa menggariskan suatu kaidah politik yang menyatakan bahwa :
Anak kodai mara’dia, Banua Kaiyyang toilopi (dalam kerajaan diibaratkan,raja hanyalah sebagai nahkoda, sedangkan pemiliknya adalah rakyat melalui wakil-wakilnya (dari Napo, Samasundu, Toda-Todang, Mosso ).
Selanjutnya pesan dari Imanyambungi sebelum wafat mengatakan :
Madondong duambongi anna matea’, mau’ ana’u mau’ appou, damuannai menjari mara’dia , mua Tania tonamaasayangi pa’banua , damuannai dai’ dipe’uluang mua’ masuangi pulu-pulunna, mato’dori kedona, apa’ iamo tu’u namarruppu-ruppu lita’ (besok atau lusa manakala saya mangkat, walau dia putraku ataupun cucuku, janganlah hendaknya diangkat menjadi raja kalau di tidak cintah tanah air dan tidak belah rakyat kecil, jangan pula angkat seorang raja bila ia mempunyai tutur kata yang kasar, berbuat dan bertindak kasar pula karena orang yang seperti itulah yang akan menghancurkan negeri.
Nilai-nilai budaya kemandaran lebih dipertegas lagi dalam Piagam Tammajarra : Inggai Para Diasse’i kedo ta’, Diposipa’i sipa’ta’, diposoe soeta, para mellambai tau di petawung marorota’, disesena panggauang namappatumballe’ lita’ inggai sitaiyang apiangan, tassitaiyang adaeng, mara’ba sipatokkong , malilu sipakainga’, dibuttu, dilappar, andiangi tau mala sisara’ malluluare’. Madondong dumbongi anna daiang sara namappatumbiring lita’ anna disullu’ – I tammala diondongngi tammala, maganna’ tomi tia mesa tomuane namaosoangnaung lette ingga lekkoang anna mimbere’ di waona lita’, nasumbaling tomi tia me ita tama, nanarua tomi tunda simemanganna todiolo’ membulu pindang tammembulu pinjari-jarianna, membura’bemme’ boi, meana’ takkeulu, meana’ sangga lette’ meana’ take lette’. Meana’ sangga ulu.
(Marilah kita melakukan yang terbaik untuk kepentingan negri kita masing-masing, khususnya kepentingan menjaga keamanan , kesejahtraan , demi kemaslahatan rakyat. Mari kita bersama-sama mencari jalan yang baik demi kepentingan bersama dan tidak mengutamakan jalan yang buruk . Andai kita hanyut, rebah dan runtuh ,marilah bersama-sama untuk tolong menolong . Andai kita saling khilaf, marilah saling mengingatkan baik digunung maupun di daratan tidak ada sesuatu yang dapat memisahkan kekeluargaan kita sekalian . Besok lusa mana kala ada kesusahan yang akan menghancurkan dan tidak dapat lagi dilangkahi, dilewati dan dihindari karena teramat sukar . Maka marilah membulatkan tekad yang teguh seteguh mungkin sebagai ksatria perkasa dan siap mempertahankan negeri walau lancer sekalipun. Siapa yang menyimpan dari kata sepakat ini ada merusak perjanjian yang telah disepakati berarti ia tidak akan membela negeri ,ia keluar dari persekutuan , hanya akan memandang dari luar kedalam , dan akan rusak kejadian dari kemanusiaannya. Jika memijak tanah, tanah akan runtuh, berpegangan di dahan, dahan akan patah bila berakar akarpun akan putus, bertuns tunasnya juga akan hancur dan bila punya anak maka anaknya hanya punya kepala tanpa kaki, jika punya anak anaknya hanya punya kaki tanpa kepala. Peranan mara’dia demi tanah dan rakyat seperti yang telah di pesankan oleh todilaling dipertegas lagi oleh mara’dia Balanipa Daetta ke 1V Kakanna 1 Pattang yang berbunyi sebagai berikut :
Naiyya mara’dia , tammatindo dibongi , tarrare diallo, namamandangmata, dimamatana daung ayu, dimalimbonna rura, dimadinginna lita’, diajarinna banne tau, diatepuanna agama (sesungguhnya seorang raja pemimpin, tidak akan terlena dalam lelap tidur dikeheningan malam, tidak akan berdiam diri atau berpangku tangan di waktu siang hari, namun ia terus berfikir dan berusaha untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian, berlimpah ruahnya hasil perikanan di tambak-tambak’, terciptanya kedamaian dan ketentraman, demi menjaga kelangsungan hidup manusempurnanya ajaran agama). Keserasian antara pengaruh agama dan adat dimasa Daetta juga dijelaskan sebagai berikut ;
’Naiyya adat syara’ nala sulo, Naiyya syara’, adat nala gassing, Matei adat mua’ andiang syara’ Matei syara’ mua’ andiang adat’’ (keberadaan hadat, syara’ dijadikan pedoman, sedangkan keberadaan syara’ menjadikan kekuatan tulang punggung, musna syara’ tanpa kehadiran hadat, musna hadat tanpa ditunjang oleh syara’)

I     V. PUNCAK-PUNCAK NILAI BUDAYA DALAM RASA KEMANDARAN

Pada awalnya kata ‘’Mandar’’ itu bukanlah suatu penamaan yang terkait dengan geografis dan demografis tetapi ia merupakan Kumpulan nilai-nilai yang bertitik tolak kepada sistem nilai budaya yang luhur yang berasal dari kata ‘’ Waimarandanna odi ada’ odi biasa’’ (kejernihan dari adat dan kebiasaan leluhur). Untuk menjadi orang mandar seseorang wajib mengenal inti dari nilai Passemandaran yang merupakan puncak nilai yang terkandung didalam tallu ponna atonganan (3 dasar kebijakan ) yang terdiri atas :
Mesa ponge’ pallangga (aspek ketuhanan )
Da’duatassisara’ (aspek hukum dan demokrasi )
Tallu tammalaesang (aspek ekonomi, aspek keadilan dan aspek persatuan).
Ketiga dasar kebijakan tersebut dijabarkan tersebut dijabarkan dalam annang Pappeyappuu di Lita’ Mandar (Enam pegangan utama di tanah Mandar ) yang terdiri atas :
Buttutandira’bai (tegaknya hukum secara utuh) .
Manu’ tandipessissi’ (demokrasi dalam segala lini kehidupan )
Bea’ tandicupa’(ekonomi kerakyatan yang merata)
Karra’arrangtandidappai (keadilan tanpa takaran
Waitandipolong (persatuan yang berkesinambungan )
Buttutanditema’ Diammemanganna Tokuana tokua (keutuhan keyakinan akan kekuasaan Zat yang Maha Tinggi ).
Keseluruhan nilai itu berada didalam suatu bingkai kokoh Mesa tanggesar yaitu odi ada’ odi biasa (sesuai dengan adat dan kebiasaan adat). Odi ada’ odi biasa inilah suatu tanda masyarakat egalitarian karena orang Mandar tidak mengenal konsep to manurung yang melahirkan masyarakat yang mempunyai stratifikasi sosial yang ketat berdasarkan darah to manurung dan darah orang kebanyakan. Hal tersebut ditegaskan oleh puang Dipojjosang ke 11 yaitu 1 Pasu tau Taji barani yang menyatakan dimuka Tomepayung bahwa kriteria utama seorang Mandar : Ita’ to mandar cera’ mappamula sipa’ mappacappurang disesena taupiatonganan (kami orang mandar kriteria darah hanya pada awalnya dan sifatlah yang menentukan pada akhirnya ). Sifat itu tercermin di dalam ajaran luhur orang Mandar yang disebut Limai gau diajappui na disanga paramata matappak (lima perbuatan sebagai permata yang bercahaya ) yaitu
Lappu ‘ sola rakee (jujur bersama takut kepada sang pencipta )
Loa tongan sola matikka (perkataan benar bersama waspada )
Akkalang sola nia ‘ mappaccing (akal bersama niat yang suci ).
Siri ‘ sola pannassa (siri ‘ bersama keyakinan )
Barani sola pappejappu (berani bersama ketetapan hati ).
Perbuatan tersebut diatas terhalang bila :
Naiyya Massamboi Lappu gau’ bawang ( Adapun menutupi kejujuran adalah perbuatan sia-sia )
Naiyya loa’tongang alosongang ( adapun menutupi perkataan yang benar adala dusta )
Naiyya massamboi akkalang abiloang (adapun yang menutupi akal sehat adalah kebodohan)
Naiyya massamboi siri’ ke’lla- ke’lla (adapun yang menutupi siri’ adalah pikiran jahat )
Naiyya massamboi abaraniang bali’balla (adapun yang menutupi keberanian adalah khianat)
Cerminan dan aplikasi nilai budaya tersebut terdapat dalam
Loa mappa ‘bati’ di ada ‘ (perkataan tercrmin di dalam adat ). Ada’ mappa ‘bati’ di kedo (adat tercermin di dalam perbuatan )
Kedo mappa ‘bati ‘ di gau’ (perbuatan tercermin dalam prilaku )
Gau’ mappa ‘bati’ di tau ( prilaku tercermin dalam tau )
Tau mappa’bati’ di siri’ (tau tercermin di siri’ )
Siri’ mappa’bati’ di lokko’ ( siri’ tercermin dalam martabat dan harga diri yang mendalam)
Perlu ditambahkan berbagai konsep-konsep kebijakan dari nilai-nilai luhur kemandaran yang berkaitan dengan kemasyarakatan sbb :
Kesepakatan. Mua ‘purami dipallandang bassi’ pemali diliai, mua’ pura, di pobamba pemali di pepondo’I di sesena atonanganan. B assi tambbottu petabung tarrabba (Apabila sudah ditentukan sesuatu haram untuk dilangkahi, kalau sudah diucapkan/disepakati pantang diingkari, aturan harus tetap berjalan sesuai dengan asasnya ).
Penegakan Hukum. Naiyya ada’ tammaelo pai dipasoso ‘tatti tonggang pai lembarna , ta ‘ keindopai, ta’ keamma ‘ pai, ta ‘kelelluluare ‘ pai, ta’ ke sola pai, ta’ ke wali pai andiappa to dikalepa’na andiang to disaliwanna, andiang to na poriana, andiang to nabire’na Tammappucung tandoppas toi ( yang disebut badan penegak hukum adalah tegas dalam mengambil keputusan, tidak berat sebelah, tidak beribu, tidak berbapak, tidak punya saudara, tidak punya teman, tidak punya musuh, tidak diiming-iming kesenangan, tidak punya anak buah dan tidak pernah serakah ).
Mencari Kebenaran ( Puang Sodo ) Appei ruppanna uru bicara tutumasagala balibali palalo balibali. Sa’be balibali ( ada 4 pokok untuk memutuskan suatu masalah yaitu meneliti dan menganalisis perkataan kedua belah pihak , kata benar dari keluarga kedua belah pihak , saksi yang terpercaya dari kedua belah pihak .
Demokrasi. Mua’ mendi-mendi oloi elo’na toarajang disesena odiada ‘ odibiasa, turu ‘I ada ‘mua’ mendi-mendi oloi elona ada’ disesena odi ada’ odibiasa, turu’I Toarajang ( Apbila keinginan bangsawan raja agak kedepan sesuai dengan adat dan kebiasaan adat maka bangsawan adat hendaknya ikut dan demikian juga sebaliknya ).
Iyyakodhi rappanna anna mara’dia anna to kaiyyang. Mua sisalai rappanna, ditokaiyyang diule. Apa nauwang todiolo, iddai naule. Diule dai, diule’naung . Mua sisalai tokaiyyang , tau tappa diule ( Inilah suatu ibarat apabila mara’dia berhadapan dengan kaum adat, apabila mereka bersebrangan maka kaum adat harus diikuti dan apabila kaum adat bersebrangan dengan kaum adat maka rakyat harus dikuti ).
Otonomi ( Daetta Kakanna I Pattang ) Madondomg duambongi anna diang api naung bakarna napideitoi tia alabena, mu’andiani mala napideitoi pendoama’o lao diindo ada’mu, mua pitumbongi pitungallo andianni mala mupiddei siola indo ada’mu, pendoa mo’o diama ada’mu apa nasiolamo’o mappiddei (besok lusa apabila ada api menyala disuatu wilayah maka sebaiknya api itu dapat diredam sendiri dan jika tidak dapat diredam hendaknya engkau meminta pertolongan kepada ibu adatmu . Jika tujuh hari tujuh malam belum dapat diredam hendaknya engkau dating ke bapak adatmu untuk datang bersama-sama meredam api itu ).
Kaiyyang tammaccina dikende ‘ kende’na tammaccinna dikaiyanganna (yang merintah seharusnya tidak memaksakan kemauan kepada rakyat dan rakyat tidak seharusnya memaksakan kehendak kepada yang memerintah ).
Konsep Kepemimpinan (tammatindo Dilangganna).Pallaku lakuanni mie lita’mu, apa’ medondong duambongi inai-inai mala mappatumbalie lita’ di balanipa, ia tomo tia nadianna dai dipeuluang, na dipesokkoi anna malai toma’tia naung ditambing mengngada’dai ( pertahankanlah tanah air anda bila besok lusa siapapun yang dapat menyelamatkan negeri Balanipa ia berhak diangkat sebagai pemimpin dan saya akan turun tahta dan mendukung dengan sepenuh hati ).
Persatuan ( Ammana Wewang / Ammana Pattolawali ) Dotai tau siamateang mie namembere diolona lita’ dadi nanaparentah tedong pute to kaper ( lebih baik mati berkalan tanah dari pada diperintah oleh Belanda si Kafir laknat). Disamping nilai-nilai tersebut di atas masih banyak lagi nilai-nilai rasa kemandaran yang perlu diinventarisir untuk revitalisasi dan direktualisasi dalam kehidupan keseharian orang mandar, misalnya kebijakan luhur, etos kerja yang tinggi, berfikir secara positif, menghargai iptek, bertindak secara propesional , persaingan dan ketangguhan yang sehat . Apabila nilai tersebut dapat dijadikan pegangan yang kuat bagi kehidupan dimanapun dan kapanpun. Saya yakin orang Mandar akan tegar menghadapi segala macam gangguan yang mungkin merubah orientasi nilai mereka di dalam mengarungi dampak negatif dari era globalisasi ini .

RUJUKAN KEPUSTAKAAN
Andaya , L. Y , 1981 : The Heritage of Arung Palakka, ver handelingen van Het Koninklijk institute vorr Tall, Land-en volkenkunde 91 . The Hague Martinus Nijhoff.
Anonim , 1909 , Mededeelingen Betreffende Eenige Mandharsche Landschappen (outleend aan het archief, Van het , Departement van kolonien ). Didalam Bijdragen Tot De taal land-en volkenkunde van Nederlandsch Indie 62; 649- 769.
Bikker, A, 1932 : Mededeelingen Een en Ander over bet Onsttaan der destricten in de onderafdeeling Binoeng en Pitoe- oeloena-saloe “ Ti –jdschrift Voor Indische Taal-, Lan –en Volkenkunde 72 : 759 – 766.
Bosch, F , D , K , 1933 : Budha – Beeld Van Celebes ‘ Weskust “ T . B . G . L XXIII, hal 495 – 513.
Dalton, John, 1968 (1837) : ‘’ Mamoodjoo in Mandar ‘’ (dalam) J .H . Moor , Notices of the Indian Archipelago, Singapore (reprint) London hal 75-79
Graaff,De, S & stibbe D. G (ed) .1918 “ Mandar Mandasch, Mandarsch Talen “. Encyelopedie van Nederlandsch-Indie . Tweede dell (H-M). Leiden : ‘ S –Graven-Hage, Martinus Ni jhoff, p. 684-685.
Heekeren,Robert Van (1992) : The Stone Age of Indonesia, The Hagua : Martinus Nijhoff.
Mallinckrodt, J. 1933 : ‘’ Zuid-celebes serie P no. 77, Gegevens over Mandar en Anders .Landshappen Van Zuid-Celebes. ‘’ adatrechtbundels KLTLV XXXV1Gravenhage’ : Martinus Nijhoff.
Macknight,C.C, 1973 : ‘’Notes On South Celebes Manuscripts’’. Canberra :Departement O
Ligtvoet, A . 1876 .” Naamsafleiding van het Rijk Balanipa in Mandar “ . Tijdschriff voor Indische Taal Land –en volkenkunde 23 : 40-41.
Lopa, Baharuddin.1982 Hukum laut . Pelayaran dan Perniagaan. Bandung, Alumni,
Rahman, Darmawan Mas’ud. 1988 .” Puang dan Daeng di Balanipa’’ Suatu Kajian tentang sistem nilai budaya orang Balanipa Mandar, Disertasi, UNHAS, Ujung Pandang
Rahman, Darmawan Mas’ud. 1987. “ Nilai Budaya ( Etos Kerja dan Semangat Kebaharian) dalam Sastra dan Pola Tingka laku Orang Mandar ‘’ (paper) .Ujung Pandang : Seminar Lagaligo.
Rahman, Darmawan Mas’ud. 1987 .’’ Lokko dan Siri’ Orang Mandar ‘’ (paper). Polewali : Seminar Budaya Mandar.
Rahman , Darmawan Masud. 1987. ‘’ Kekerabatan dan Politik di Balanipa : Suatu cerminan Hubungan Balanipa dengan Gowa (Makassar) di Abad 16 sampai dengan 19 Masehi ‘’ (paper) . Internasional Workshop on Indonesia Studies no . 2, South Sulawesi Trade , Society and Belief . Leiden : KLTL V .
Rahman, Darmawan Mas’ud . 1987.” Sawerigading di Mandar ‘’ (paper) Seminar Nasional Folktale Sawerigading . Palu (Sulawesi Tengah ) :Universitas Tadulako.
Stein Callenfels , P . V . Van 1951 . ‘’ Prehistoric Sites on The Karama River ‘’ University of Journal of East Asiatic Studies , vol , I , no 1 . Oktober 1951.
Sumber: http://mustarimula.blogspot.co.id/2010/10/revitalisasi-nilai-budaya-mandar-demi_9026.html 

MANDAR DALAM PERSPEKTIF KESEJARAHAN




Oleh:
Edward L. Poelinggomang
(Sumber : Kumpulan Makalah Seminar Sehari Tahap II Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Pelaksana : DPD KNPI Polewali Mandar Masa Bakti 2003-2006)
     Pengantar
Topik Sejarah Mandar telah menjadi objek penelitian keilmuan dan tajuk pembicaraan dalam berbagai seminar. Meskipun demikian tampak bahwa penggalan-penggalan objek studi dan pembicaraan itu masih belum diramu menjadi karya standar Sejarah Mandar. Itulah sebabnya dalam beberapa makalah seminar masih dijumpai beberapa hal yang belum baku untuk di pahami dan dijadikan dasar berpijak.
Sebagai contoh dapat ditampilkan pengertian Mandar. Dalam makalah dari H. Mochtar Husein (1984) diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.
Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.
Gambaran tentang nama Mandar ini cukup membingungkan, apabila direnungkan tanpa referensi. Karena itu dapat memberikan kecerahan menyangkut penamaan itu, saya ingin mengajak untuk berpaling pada latar kesejarahan. Saya berharap dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan Kesejahteraan, kita dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan itu.

     Latar Kesejarahan 

Dalam salah satu naskah lokal (lontara) di Mandar ditemukan keterangan yang menyatakan bahwa manusia pertama yang datang ke daerah ini mendarat di hulu Sungai Sadang. Sementara dalam tulisan dari Salahuddin Mahmud (1984) dinyatakan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu’ Sadang. Keterangan itu memberikan petunjuk bahwa pemukiman di daerah ini telah berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut (masa glasial). Selain itu juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini adalah Kelompok Migran yang datang dari daerah lain, diperkirakan dari daerah Cina Selatan, yang kemudian menetap dan membangun persekutuan masyarakat. Juga dapat berarti bahwa penduduk daerah pesisiran maupun daerah pedalaman bercikal bakal pada keturunan yang sama, yang oleh berbagai alasan, pertambahan penduduk , bencana alam, wabah penyakit atau karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, berpindah dan membangun pemukiman baru.
Dalam tradisi lokal masyarakat Sulawesi Selatan diperoleh keterangan yang cukup memikat tentang persebaran pemukiman. Kisah kerajaan mitis di Rura yang bersifat teokratis, terjadinya persebaran penduduk ke berbagai penjuru daerah itu disebabkan karena raja Rura, Londong di Rura yang bergelar Sappang ri Galete berkehendak melakukan perkawinan antara anak-anak sendiri, yang laki-laki di kawinkan dengan yang puteri (insest), suata rencana yang dilarang para dewata. Menurut tradisi jika terjadi insest maka pasti dewata yang mendatangkan mala petaka yang besar, sehingga sebulum upacara pernikahan dilakukan para keluarga kerajaan dan rakyat yang tidak menyetujuinya tidak berangkat meninggalkan negerinya (Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, 1991). Tampak hal yang senada juga dijumpai dalam kisah Sawerigading yang berkeinginan untuk mempersunting saudara kembarnya, We Tenriabeng. Meskipun kisahnya mengarah pada pengembaraannya ke Cina untuk mempersunting sepupunya di Cina, We Cudai, namun karena ingin kembali ke Luwu, maka akhirnya ia ditarik ke paratiwi (ke bawa bumi) dan saudara kembarnya dimarairatkan ke dunia atas (boting langi). Tampaknya kisah-kisah ini mendasari aturan adat bagi penghukuman pelaku insest untuk didaerah dan ditenggelamkan ke air dalam, di danau atau di laut.
Akibat lain dari perbuatan insest adalah bencana dalam kehidupan masyarakat yang digambarkan bagaikan kehidupan yang kaos. Yang kuat memangsai yang lemah sehingga terjadi terus menerus perang tanding antar satu persekutuan dengan persekutuan lainnya. Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan, kondisi itu diungkapkan dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia sama seperti kehidupan ikan dilaut yang saling memangsai. Hal itu yang mendorong masyarakat senangtiasa bermohon kepada dewata kiranya dapat menemukan tokoh yang dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Hal itu terpenuhi dengan ditampilkan konsep Tumanurung, yang ditempatlkan menjadi tokoh pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat, dan membangun tatanan pemerintahan yang terorganisir dalam bentuk monarkhi namun raja tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibentuk pula dewan hadat yang berfungsi legislatif dalam mengontrol kewenangan pemegang kendali politik.
Gambaran proses politik dengan konsep Tumanurung ini memiliki corak yang berbeda dengan pengkisahan sejarah dengan Mandar. Tumanurung lebih tampak sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar ke berbagai daerah, yang pada prinsipnya untuk menunjukan bahwa penduduk Sulawesi Selatan, bahkan hingga Sulawesi tengah memiliki latar kesejarahan yang sama dan bersaudara. Dalam kisah Sejarah Sendawa, berdasarkan tradisi lisan, manusia pertama (Tumanurung) yang datang di Tanetena adalah tujuan orang Tumanurung yang kemudian masing-masing mengembara ke kaili, luwu, toraja, Bone, Cina, Sendana, dan yang satunya tidak diketahui ke mana perginya karena masing-masing memiliki semangat kepemimpinan. (Ahmad Sahur 1984). Kisah pengembaraan yang sama pula dalam ceritra rakyat di Enrekang, sehubungan dengan kerajaan Rura, dan kisah dalam satra I Galigo.
Sementara penyelesaian proses kehidupan masyarakat yang kaos itu terkisah dengan tampilnya I Manyambungi (Tamanyambungngi) yang dikenal juga dengan nama Todilaling. Ia adalah putera dari Tomakaka Napo, Pong ri Gadang. Ia mengembara dan diketahui pernah menjadi salah seorang pemimpin pemberani (Tobarani) Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pada periode Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada waktu menjadi pertentangan di negerinya, Ia dipanggil pulang untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi. Keberhasilan menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan itu dibentuk dari: Napo. Mosso, Todang Todang, dan Samasundu. Pusat pemerintahan di Napo, satu wilayah yang sejak lama dikenal menjadi bandar niaga di daerah ini. Persekutuan ini menjadi dasar kerajaan Balanipa, sehingga dia dikenal sebagai raja Balanipa I. Proses pemilihan dan pengangkatannya ini di pandang sebagai dasar bagi pembentukan kesatuan pemerintahan yang dikategorikan dengan kerajaan.
Keberhasilan dalam memulihkan dan menentramkan masyarakat dengan konsep menyatukan kelompok-kelompok Tomakaka itu dilanjutkan pula oleh penerus pemegang kendali kekuasaan di kerajaan itu. Tomepayung, yang dinobatkan menggantikan I Manyambungi, tercatat berhasil mendamaikan dan menggabungkan lagi tiga Tomakaka, yaitu: Boroboro, Banato, dan Andau (baca: Ahmad Sahur, 1984: 89-93; Saharuddin, 1985: 35-40). Ia juga memprakarsai Muktamar Tammenjarra yang menghasilkan persekutuan pitu Babana Binanga (PBB). Pada dasarnya pembentukan wadah ini merupakan wadah persekutuan Kerajaan-Kerajaan (bondgenootshappijke landen) dengan menempatkan Kerajaan Balanipa sebagai pemimpin persekutuan itu dengan status sebagai “ayah” dan Kerajaan Sendana berstatus “ibu” dan Kerajaan lainnya sebagai anggota dengan status “anak”.
Dalam perkembangan kemudian, ia juga bergiat menjalin persekutuan dengan Kerajaan-Kerajaan kecil di daerah pedalaman yang telah membentuk persekutuan Pitu Ulunna Salu (PUS) yang terdiri dari kerajaan: Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Permusyarawatan yang diselenggarakan di Luyo Tabasalah itu menghasilkan perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Luyo). Isi pokok perjanjian itu adalah kesepakatan bersama untuk menjamin ketentraman kerajaan-kerajaan persekutuan. Itulah sebabnya pengaturannya adalah PUS mengemban kewajiban menangkal musuh yang datang dari arah pedalaman sementara PBB menangkal musuh yang datang dari arah laut. Persekutuan itu di ibaratkan bagaikan sebuah pupil mata yang terpadu warna hitam dan putih, paduan yang memungsikan mata. Menurut Darwis Hamzah, Perjanjian Luyo ini yang dikenal dengan istilah ‘Sipamandar’ yang berarti saling kuat menguatkan (Saharuddin, 1985: 41).
Latar Kesejarahan ini yang mendasari penyebutan dalam penataan pemerintahan di daerah ini setelah pihak pemerintah Hindia Balanda berhasil memaksakan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menandatangani pernyataan pendek (Korte Verklaring)4 dengan menyebut wilayah PUS sebagai negeri-negeri pedalaman dari Balanipa (bovenlanden van Balanipa) dan Polewali dan Kerajaan Binuang sebagai negeri pesisir dari Balanipa (beneden landen van Balanipa)5 Dalam penamaan wilayah di daerah ini tampak pemerintah Hindia Balanda mengalami kesulitan untuk menyebut berdasarkan nama daerah mengingat pembentukan wilayah itu terdiri dari beberapa kerajaan yang menjadi satu federasi ataupun berbentuk konfederasi. Oleh karena itu pusat pemerintahan dijadikan patokan penamaan wilayah itu. Sebagai contoh, wilayah PUS yang berpusat di Mamasa (Wilayah Tabulahan) menjadi nama wilayah PUS; sementara Balanipa dan Binuang yang berpusat di Polewali disebut saja Polewali.
Pada periode pemerintahan Hindia Belanda ini, yang secara de yure dan de fakto setelah penandatanganan Pernyataan Pendek itu pada permulaan abad ke-20 itu, seluruh wilayah yang tergabung dalam PBB dan PUS disebut afdeeling Mandar, dengan pusat pemerintahan di Majene. Wilayah afdeeling ini terbagi dalam empat onderafdeeling, yaitu onderafdeeling: Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa. (Staatblad 1924 No. 476 dan Staatblad 1940 No. 21). Penamaan itu memberikan petunjuk bahwa nama Mandar telah mencakup wilayah pemukiman rakyat dari pesekutuan PBB dan PUS, dan telah menjadi konsep perwilayahan yang luas. Penamaan wilayah itu kemudian menampilkan nama itu sebagai mengejawantakan diri kelompok penduduk penghuni wilayah ini, sehingga umum dijadikan salah satu etnis di Sulawesi Selatan, untuk membedakannya dari kelompok Makassar dan Bugis.
Sesungguhnya, berdasar pada latar kesejarahaan, pembentukan kelompok Bugis dan Makassar adalah suatu gagasan dari Cornelis Speelman yang mengarah pada politik adu-domba. Karena itu dalam Perjanjian Bungaya (1667), Kelompok Bugis adalah Kerajaan-Kerajaan yang berpihak pada VOC dan Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669), yaitu Bone, Soppeng, Luwu, dan Federasi Toratea (Binamu, Bangkala, dan Laikang). Sementara kerajaan-kerajaan yang berpihak kepada kerajaan Makassar dijadikan Kelompok Makassar, yaitu semua kerajaan yang tidak berpihak pada VOC, termasuk Kerajaan-Kerajaan di Mandar. Yang menjadi pemimpin kelompok Bugis adalah Kerajaan Bone, sementara yang menjadi pemimpin Kelompok Makassar adalah kerajaan Gowa. Namun dalam penataannya Kelompok Bugis mendapat peluang memperluas pengaruh kekuasaannya sehingga dalam pengembangan kemudian kerajaan-kerajaan yang dahulunya masuk dalam Kelompok Makassar beralih menjadi anggota Kelompok Bugis seperti Maros, Pangkajene, Tanatte, Malusse Tasi, Kelompok Ajataparang dan Mandar. Oleh karena itulah dalam pemberitaan pihak pemerintahan Belanda kemudian orang-orang Mandar (Madereezen) disebut juga orang Bugis (Bugineezen) (Encyclopedie Van. Nederlandsch-Indie, “Mandar”: 664).
Penataan administrasi pemerintahan kolonial itu mengalami perubahan ketika pemerintah Indonesia menata organisasi pemerintahan di Sulawesi. Berdasarkan peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 Nomor 38). Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara terdiri dari 27 Daerah Tingkat II, dimana wilayah Mandar terbagi dalam tiga daerah Tingkat II (Kabupaten) yaitu Kabupaten: Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa. Pada perkembangan terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002, pemerintahan memisahkan Mamasa dari Kabupaten polewali-Mamasa dan menjadikannya satu Kabupaten daerah Tingkat II yang Menjadi dengan nama Kabupaten daerah Tingkat II Mamasa. Penataan ini tampak kembali mengikuti penataan pada waktu pemerintahan Hindia Belanda maupun ketika Belanda tentang daerah ini yang saya tekuni, saya belum menemukan satu artikel yang menjelaskan tentang nama Mandar, kecuali penyebutan Makassar dan Sulawesi.
Interpretasi tentang pengadopsian kata mandar yang berarti sungai menjadi dasar penyebutan kewilayahan Mandar cukup beralasan Hal itu didasarkan pembentukan persekutuan menggunakan keterangan “Sungai” yaitu Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan Muara Sungai) dan Pitu Ulunna Salu (Tuju Kerajaan Hulu Sungai). Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di wilayah ini terbentuk di daerah aliran sungai, sehingga mendapat penyebutan Mandar yang berarti “Sungai”. Kenyataan menunjukan bahwa di daerah Mandar terdapat sejumlah besar sungai yang bermuara di Selat Makassar. Perkiraan ini juga di ungkapkan oleh Mocktar Husein dan H. Saharuddin, dan tentu hal itu terkait dengan kosa kata bahasa penduduk Balanipa yang menyebut sungai dengan kata mandar (mandi ke sungai = namauna di mandar). Sementara kosa kata lainnya adalah binanga dan salu yang memiliki arti “Sungai”.

    Tinjauan Akhir

Gambaran periode kesejarahan daerah ini menunjukan bahwa penamaan Mandar telah mencakup wilayah yang meliputi dibagian utara Kerajaan Mamuju hingga ke Selatan Kerajaan Binuang dan bagian Timur Wilayah PUS. Dalam konsep kewilayahan sekarang meliputi Kabupaten daerah Tingkat II: Mamuju, Majene, Polewali Mamasa, dan Mamasa. Sesungguhnya penataan wilayah Kabupaten dalam kehidupan pemerintahan sekarang ini telah menggeser konsep kewilayahan Mandar, namun karena gagasan kewilayahan itu telah melahirkan pemahaman etnisitas bagi penduduk asli yang mendiami wilayah itu, maka konsep ini masih menghangat dan memiliki juga oleh penduduk Mamuju, Majene, dan Mamasa.
Mandar dengan berbagai interpretasi penamaannya dapat dipandang berpangkal dan berbasis pada Kerajaan Balanipa, yang Wilayahnya kini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Polewali-Mamasa, sekarang minius wilayah Mamasa. Dipandang dari Latar Kesejarahan, daerah Kabupaten ini mengemban peran pemersatu, pencipta keteraturan dan ketertiban di wilayah PBB dan PUS, bahkan telah berpengaruh bagi penetapan kelompok etnis. Dengan demikian beralasan apabila pemekaran wilayah kabupaten ini mendorong munulnya gagasan untuk menempatkan kembali Kabupaten Polewali-Mamasa menjadi Kabupaten dengan mengembang nama Mandar.
Namun demikian patut dipikirkan mengingat nama Mandar telah mengikat kesatuan kaum yang lebih luas, bukan hanya Penduduk Kabupaten Polewali Mamasa. Hal itu berarti penamaan Kabupaten Mandar untuk satu bagian dari wilayah etnis Mandar akan dapat melabilkan ikatan emosional Kelompok Mandar. Namun bila penamaan itu mendapat dukungan dari semua Kelompok kaum yang telah mengidentifikasi diri menjadi Mandar, sebagai wujud pengembangan Sipamandar, hal itu dapat menjadi katup pengaman, bagi tampilnya Kabupaten Mandar sebagai nama baru Kabupaten Polewali-Mamasa.
Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah mencari nama lain. Penamaan Polewali lebih berpatokan pada nama pusat pemerintahan untuk seluruh wilayah Kekuasaannya. Terdapat beberapa nama yang perna teremban dan cukup beralasan untuk dijadikan nama, seperti: napo, Balanipa, dan Binuang. Latar sejarah menunjukan adanya keungulan yang muncul dari kerajaan-kerajaan dahulu dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan tentram. Karena itu dapat diabadikan melalui akronim, untuk memperoleh penyebutan nama Kabupaten yang baru, sebagai dasar motivasi bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintah yang tertib dan tentram.
Perlu saya tambahkan bahwa Napo telah lama dikenal sebagai salah satu bandar niaga terpenting pada pesisir barat Sulawesi, disamping: Siang, Bacokiki, dan Suppa. Bandar Tallo dan kemudian Sombaopu baru dibangun oleh raja Gowa Ke-9, Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Mandar (sesungguhnya Kerajaan Napo) mengalihkan kekuasaannya atas Gorontalo kepada kerajaan Makassar. Hal itu tercatat dalam Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo membentuk persekutuan dan melibatkan diri dalam dunia perdagangan maritim, kerajaan-kerajaan di Mandar telah mengembangkan pengaruh kekuasaannya ke daerah lain, terutama kaili (Donggala) dan Gorontalo.