Selasa, 14 November 2023

KONE-KONE'E

KONE-KONEE  adalah salah satu jenis bahasa yang banyak digunakan oleh komunitas masyarakat di Campalagian, Mapilli dan Nepo/buku. Wilayah ini dikenal  sebagai daerah Tallum boccoe pada masa sesudah kerajaan Passokkorang hancur. Kone-Konee  memiliki sejarah yang amat unik, Campalagian pun termasuk kampung yang unik karena ia hanya menyandang nama sebagai nama kecamatan tapi tak diketahui dan tak dikenal dusun Campalgian, desa Campalagian, yang ada kemudian adalah kampung  atau pasar Tomadio.

Sejatinya, masyarakat Campalagian menggunakan bahasa Mandar, tapi ternyata tidak. Mereka memiliki bahasa sendiri yang sangat jauh berbeda dengan bahasa Mandar. Bahasa kone-konee adalah bahasa Bugis dialek ke tujuh. Almarhum Prof. Darmawan pernah bercerita bahwa dulu ada kampung yang bernama Cempalagi di Bone, Sulawesi Selatan, yang didiami oleh masyarakat Bugis. Saat itu masih jaman kerajaan, suatu hari terjadi perebutan kekuasaan antara kakak beradik yang ingin menggantikan tahta ayahnya  sebagai raja yang telah baru saja meninggal dunia. Pemilihan pun dilakukan, namun karena sang kakak mempunyai watak keras, sombong dan serakah maka tidak ada rakyat yang mendukung.

Sebaliknya sang adik yang baik hati dan dermawan didukung penuh oleh rakyat di Cempalagi (sebuah nama gunung yang terletak di pesisir teluk Bone),  tepatnya di Desa Mallari Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone, kira-kira 14 km di sebelah utara kota Watampone).

Sang kakak pun marah karena tidak terima kekalahannya. Ia pun berniat membunuh sang adik. Berkat ketulusan sang adik, ia mundur menjadi raja dan menyerahkan tahtanya kepada kakaknya. Namun sang kakak sudah terlanjur marah, sehingga ia tetap tidak terima keputusan adiknya itu. Akhirnya sang adik dan semua rakyat yang mendukungnya memutuskan untuk kabur dari Campalagi menuju daerah yang aman. Sang kakak ternyata tetap mengejar adik dan semua rakyat yang ikut. Akhirnya sang adik tiba di perbatasan kerajaan Balanipa (yang saat itu dibatasi oleh sungai Mapilli). Mereka  berharap mendapat perlindungan dari Balanipa karena ia tau kakaknya tidak mungkin masuk ke kekuasaan kerajaan lain.

Selang beberapa lama kemudian,  raja Balanipa akhirnya memutuskan untuk memberikan satu wilayahnya kepada sang adik raja Campalagi ini untuk tinggal bersama pengikutnya asalkan mereka mau tetap tinggal di Balanipa. Sang adik dan pengikutnya setuju dan gembira dengan keputusan raja Balanipa tersebut.

Akhirnya mereka semua tinggal dan menetap di Balanipa dan wilayah itu diberi nama Campalagian. Jadi jangan heran jika orang di wilayah ini memakai bahasa kone-kone’e yang tak lain adalah bahasa Bugis dialek ke tujuh.

SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.


 

Senin, 13 November 2023

KULIWA

KULIWA merupakan ritual yang banyak dilaksanakan oleh masyarakat Mandar entah di pesisir maupung di pegunungan. Kuliwa dalam pandangan masyarakat terkesan menjadikannya sebagai sesuatu yang hukumnya ‘wajib’ dilaksanakan. Kuliwa sesungguhnya adalah simbol pernyataan syukur kepada sang pencipta atas sebuah pencapaian atau reski dari-Nya.

Pada masyarakat pesisir, kuliwa dilaksanakan ketika akan “meresmikan” sesuatu, baik benda maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap (jala dan gae) dan ketika memulai kegiatan penangkapan. Mereka meyakini, jika tidak melakukan kuliwa ketika akan memulai turun ke laut (pelayaran pertama), maka boleh jadi akan ada sesuatu hal yang merisaukan hati di dalam pelayaran.

Dalam prakteknya, kuliwa dilaksanakan ketika akan ‘meresmikan’ sesuatu, baik benda maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap dan ketika memulai kegiatan penangkapan (setelah lama tidak melaut). Nelayan biasa juga melakukan kuliwa dalam pertengahan musim motangnga ketika pada beberapa operasi pertama mereka tidak memperoleh hasil.

Kuliwa dilaksanakan di kediaman punggawa posasi’ yang dipimpin oleh seorang pemuka agama (panrita) dan dihadiri oleh awak kapal (sawi kappal). Jika meresmikan perahu, acara kuliwa (pembacaan barasanji) dilaksanakan di atas perahu. Demikian juga ketika meresmikan roppong yang telah selesai dibuat, tapi praktek kuliwa untuk roppong sudah lama tidak dilaksanakan. Acara inti dalam kegiatan kuliwa adalah pembacaan barasanji yang dipimpin oleh seorang pemuka agama. Selesai membaca barasanji, dilanjutkan dengan pembacaan do’a kepada Allah SWT untuk memohon keselamatan dan rezeki. Kemudian acara dilanjutkan dengan menyantap hidangan yang telah disediakan.[1]

Pada sebagian besar masyarakat pegunungan, kuliwa dilakukan pada saat mendapatkan anugerah berupa pembelian barang berharga seperti mesin atau kendaraan bermotor. Kuliwa dilakukan dengan menggelar ritual do’a selamatan untuk barang yang mereka baru saja beli. Bagi kedaraan atau mesin biasanya menggunakan makanan yang manis-manis. Ini merupakan ussul agar dalam menggunakan barang tersebut selalu diberkati oleh Allah hal-hal yang menyenangkan dan terjauhkan dari hal-hal yang merisaukan.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.


 

Minggu, 12 November 2023

KAWAO

KAWAO adalah ‘gurita raksasasa’ yang dipercayai sebagai isyarat baik atau sebaliknya pertanda buruk bagi nelayan yang sedang melaut. Agar terhindar bertemu dengan kawao, perlu disiapkan sesajian berupa makanan atau telur yang dibuang ke dalam laut sebagai persembahan.
Kepercayan kepada makhluk gaib seperti kawao ini juga ditemukan dalam kepercayaan nelayan di Wakatobi dan mereka menyebutnya dengan gurita berkaki sembilan. Kawao di tengah laut bisa ditafsirkan sebagai pertanda akan terjadi musibah atau malah sebaliknya yaitu, keberuntungan. Makhluk kawao ini sering dilihat atau muncul di tempat-tempat tertentu seperti di Baturoro di Kabupaten Majene atau di Tanjung Rangas (semacam segitiga bermuda) di laut Mandar (Dahri Dahlan, Rahman Hamid, 2018).
Kemunculan kawao ditengah laut menurut Suradi Yasil (2022:81), dari kejauhan matanya yang sebesar bola kaki menyala seperti lampu listrik yang menyala kemerah-merahan. Ketika mendekat seluruh jari-jarinya (tentakel) tampak menyala di dalam laut. Ia menyerang dengan melilitkan salah satu jari-jarinya melingkari badan perahu atau menarik tiangnya lalu membalikkannya. Giginya seperti paruh burung kakatua sebesar kapak yang dapat melukai atau membunuh mangsanya.
Untuk menghindari serangan kawao, maka awak kapal ketika berada diperairan yang disinyalir tempat tinggal kawao seperti di Pulau Sembilan (antara pulau Kalimantan Selawesi), termasuk Tanjung Ngalo, Tanjung Buku dan lainnya akan memadamkan lampu atau memindahkan semua benda yang menyala di perahu. Ritual membuang terasi atau tembkau di laut adalah salah satu cara yang dilakukan para awak kapal. Ada juga yang menirukan suara kokok ayam untuk memberikan rasa takut pada makhluk ini sebab suara kokok ayam identik dengan daratan dan kawao tidak menginginkan tinggal di dekat perkampungan.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.

 

Senin, 06 November 2023

CALONG

CALONG (1) atau paccalong adalah ragam kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Mandar. Calong ini adalah salah satu jenis musik yang sangat unik, karena hanya terbuat dari bahan dasar buah kelapa dan bambu.

Alat musik ini biasanya dimainkan secara solo. Pada masa sebelum tahun 90-an  banyak dijumpai jenis musik ini dimainkan oleh para petani yang sementara mitteppe (menunggu kebun yang sudah menjelang panen) termasuk maqdongi (menjaga burung yang mengganggu/memakan padi yang sudah berisi dan siap panen), biasa juga di pakai di rumah-rumah pohon tempat menunggu langsat (rang-orang).

Jenis alat musik ini kerap digunakan masyarakat sebagai penghibur dari rasa sunyi dan kesepian (karena waktu itu belum ada alat pemutar musik). Calong ini kemudian dalam perkembangannya mengalami kemajuan dan biasa di mainkan/di pentaskan secara massal, seperti yang terlihat pada pembukaan pekan olahraga Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2007 lalu di Polewali Mandar. Dan bahkan Sahabuddin (Kanne Bala) memoles jenis kesenian tradisional ini menjadi sebuah pertunjukkan yang menarik dan menghibur karena dikolaborasikan dengan beberapa alat musik lainnya seperti biola dan harmonika yang di selenggarakan pada peringatan HUT Sulbar ke-8 di Gor Mario Pappang Campalagian dalam pameran dokumentasi perjuangan dan diskusi sejarah bertajuk “Mengguat Senyum Westerling” (19 November 2012).

Hal yang sama dilakukan oleh rumah musik Beru-Beru Orchestra Kandemeng Pimpinan Ainun Nurdin. Di komunitas ini segala macam musik tradisional dikolaborasi, ditampilkan dalam even-even resmi dan diajarkan secara gratis (tidak ada pungutan resmi dari pihak rumah musik).