Tampilkan postingan dengan label Musik Tradisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Musik Tradisi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Februari 2024

CURIGA DALAM BUDAYA (Berpijak Pada Budaya “Ekspresi” Bunyi dan Melodi)


Oleh: Sahabuddin Mahganna

Di Sulawesi, terkhusus untuk Mandar yang umumnya mengandung makna dan simbolik. Klaim ketika menemukan pernyataan Timothy Rice (1994) “simbol-simbol yang mewakili banyak dunia” hampir seluruhnya selalu beragam jenis, sering ambigu dan sangat mungkin bertentangan. 

Pemahaman tradisi pada bunyi dan melodi Mandar didekap dari sisi nilai, merupakan perwujudan mendasar yang harus ditaati walau sifatnya absur, kendati demikian penguatannya selalu bertaruh pada keyakinan akan pentingnya memposisikan suatu benda maupun bukan, dan tidak jarang menjadi kunci dalam memutuskan setiap permasalahan atau perlakuan. Bunyi dan melodi Mandar kemungkinan akan bertentangan dengan paham lain atau tak mungkin sama dalam pemaknaan. 

Setiap simbol di Mandar oleh pelaku dan masyarakatnya jelas memiliki makna, meski tidak terlihat atau tak punya bukti sekalipun. Rasakan jika bunyi-bunyi sesuai dengan letak geografisnya di Mandar, juga akan mempengaruhi bagaimana alunan itu akan muncul. (Mis. Bunyi ombak yang ada didataran rendah Mandar, menandai dan seakan alunannya melow serta sangat berpotensi menemukan melodi dibandingkan ritmis. Berbeda yang dipegunungan, maka unsur yang paling menonjol adalah hentakan, namun seperti yang diakui banyak peneliti lainnya bahwa ini hanya mempunyai nilai penting saja. Dan masalahnya, estetika bunyi dan melodi yang sama-sama tak terlihat, menjadi fokus dan bimbang dalam memandang atau menilainya.

Tidak jarang, laku skeptis di Mandar ditemukan, dan itu kemungkinan akan berdampak pada pengetahuan yang berakibat dalam perkembangan atau pun keberadaan budaya yang sifatnya menghambat pelestarian, karena disadari atau tidak budaya ekspresi akan berjalan dinamis, kemudian di lain sisi, juga tetap diinginkan untuk terhindar dari kepunahan. Sebagaimana R. Anderson Sutton mengkaji bahwa penafsiran seni dan makna simboliknya sebagai sesuatu yang dibentuk, dilipatgandakan, dan cair, maka penting memandang budaya, identitas etnis, berserta tradisinya bukan sebagai kebenaran yang tak berbantah atas eksistensi manusia, sebab aspek-aspek ini pun merupakan hasil bentukan dan negosiasi aktor-aktor manusia. 

Kemunculan makna-simbolik dari adat, tradisi dan budaya disetiap tempat, memang sebagai primordialisme bentukan, lalu murni dikaji atas nama representasi, atau berpotensi diluruskan serta pula dibantah. Para pengkaji pun sebelumnya banyak mengadopsi dari hasil representasi itu, ternyata menghadapi satu tantangan dalam upayanya membawa kerana keilmuan, kendati pun ini sudah disederhanakan dirks (1990) bahwa “kontenstasi dalam sebuah kajian antropologi yang terlibat dalam mengulang-ulang dan menaturalisasikan tradisi dan adat merupakan sebuah usaha yang kompleks”. 

Benarkah, jika tradisi dan budaya kita saat ini mampu bertahan? Atau bisakah kita curiga dalam tradisi dan budaya?. Sedang kita mungkin tahu, bahwa lahirnya kebudayaan boleh jadi bukan atas dasar primordialisme bentukan, namun atas hasil tiruan dari pelaku yang munculkan sesuatu secara alami.