0leh: Muhammad Munir-Tinambung
Desa Putta'da adalah salah satu desa
yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Sendana Kabupaten Majene. Drs.
Darmansyah adalah salah satu orang yang pernah menjadi Kepala Desa sebelum
memilih masuk jalur politik untuk menjadi anggota DPRD Majene. Berawal dari
sebuah aktifitas pemerhati lingkungan, Darmansyah berhasil menjadi Kepala Desa
Putta'da. Desa Putta'da dan masyarakatnya menjadi bagian dari investasi pilitik
yang mengantarnya menjadi Anggota DPRD sampai sekarang mempertemukan takdirnya
sebagai Ketua DPRD Majene.
Di DPRD, Darmansyah membuat Putta'da
tidak saja menjadi sebuah desa yang sedikit maju dibanding desa pegunungan yang
lain, tapi ia juga berhasil memperjuangkan semua dusun di wilayah Desa Putta'da
menjadi sebuah Desa. Diantara Dusun yang berhasil ia perjuangkan menjadi desa
tersebut adalah Lalattedong, Binanga, Leppangan, Pundau dan Paminggalan. Saat
ini Darmansyah lagi mengawal sebuah perda tentang Pelestarian Cagar Budaya di
Kab. Majene. Ini adalah salah satu diantara obsesi besar yang akan ia wujudkan
selama ia menjabat jadi Ketua DPRD.
Darmansyah juga menginginkan jejak
sejarah peradaban di Mandar tidak sekedar menjadi sejarah tutur dan mitos,
melainkan bisa dibuktikan dengan keberadaan situs yang kelak bisa lebih benar
dan ilmiah. Kedepan ilmu sejarah dibutuhkan lebih tangguh untuk merekonstruksi
apa saja yang sudah di fikirkan, di kerjakan, di katakan dan di alami oleh
orang terdahulu. Namun, bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, sebab
sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan bukan untuk masa yang akan datang.
Olehnya itu, perkembangan ilmu sejarah dituntut konstribusinya menuju hal yang
lebih benar, rasional, obyektif dan ilmiah. Jika ilmu sejarah tidak tangguh
untuk itu, maka kemajuan-kemajuan zaman seperti sekarang ini justru akan
menghilangkan kesadaran penghuni zamannya sendiri. Ketika masa lalu tidak lagi
bisa di tengok, apalagi pada masa berikutnya, maka generasi akan rusak. Kedepan
sejarah dibutuhkan sebagai pengawal setiap idea of progres.
Membincang sejarah Kerajaan Sendana
tak bisa dilepaskan dari sebuah nama Kampung yang bernama Sa'Adawang yang konon
ditemukan oleh Daeng Tumana (Dettumana/Demmangana) salah satu keturunan dari
Tomakaka Tabulahan di Pitu Ulunna Salu. Suatu ketika Tomakaka Tabulahan turun
gunung bersama pengikutnya untuk mencari keperluan kebutuhan hidup digunung
seperti ikan, garam dll. Dalam perjalanan mereka menemukan kawasan yang
panorama alamnya sangat indah. Hal ini membuat Tomakaka tertarik untuk
menjadikan wilayah itu sebagai tempat peristirahatan saat turun dari gunung ke
pantai. Dalam perjalanan sejarah, wilayah ini tidak saja menjadi persinggahan
tapi sebagian dari orang Tabulahan dijadikan sebagai tempat bermukim secara
tetap.
Kondisi alam dan kontur tanah memang
sangat mendukung sebagai hunian baru, sebab selain bukit dan gunung yang hijau
subur, juga terdapat luasan tanah datar yang cocok dijadikan tanah persawahan.
Wilayah Sa'Adawang kian hari kian bertambah perduduk yang mendiaminya, sehingga
terbentuk sebuah komunitas masyarakat yang berkoloni itu mendaulat Daeng Tumana
sebagai orang yang dipertuan atau tomakaka yang kepemimpinan awalnya disebut
sebagai "Bawa Tau". Kepemimpinan Daeng Tumana belumlah memenuhi
persyaratan sebagai sebuah kerajaan selain hanya sebuah komunitas atau banua.
Hingga pada suatu hari Daeng
Palulung datang bersama Istrinya yang bernama Tomesaraung Bulawang. Daeng
Palulung sebagaimana disebutkan dalam lontar adalah adalah keturunan bangsawan
kerajaan Luwu dan Tomesaraung Bulawang adalah salah satu putri dari Arung Pone
(Bone). Seperti yang dikisahkan dalam lontaraq yang dikutip oleh Darmansyah
menyebutkan, Daeng Palulung sampai ke Sa'Adawang adalah proses akhir dalam
perjalannya mencari adiknya Daeng Sirua yang meninggalkan Luwu menuju
Timpuru-Donggala. Daeng Sirua sendiri dikisahkan berangkat dari Donngala menuju
Labuan Rano (Tappalang sekarang).
Di Labuang Rano tersebut ia
memerintahkan pengawalnya kedarat untuk mencari kayu bakar. Didarat,
pengawalnya tadi dikejar oleh bara api yang membuatnya harus lari ke pantai dan
melapor ke tuannya. Berdasarkan laporan itulah, I Daeng Sirua memerintahkan
pengawalnya naik kedarat menangkap bara api itu. Ternyata setelah bara itu
ditangkap oleh pengawal dan diserahkan ke Tuannya adalah penjelmaan dari sebuah
keris yang diberi nama I Jarra atau Ijarre dan lebih dikenal dengan nama I
Po’ga. Daeng Sirua kemudian menuju ke arah selatan dan tiba di Parrassangan. Di
Parrassangan mereka menebas hutan sampai ke sungai Mosso.
Saat yang sama Daeng Palulung juga
tiba ditempat itu. Sebuah pertemuan dari hampir sepuluh tahun pencariannya
terhadap adiknya, Daeng Sirua. Pertemuan yang membahagiakan itu kemudian
membuatnya mencari tempat dan tiba disebuah wilayah yang bernama
Lakkading.Sebulan lebih ia tinggal di Lakkading. Dari Lakkading, Daeng Palulung
dan Daeng Sirua kemudian menuju sebuah gunung yang disana telah dihuni oleh
keturunan dari Tabulahang yaitu Sa'Adawang. Proses kepemimpinan Bawa Tau
dilanjutkan oleh Daeng Palulung. Daeng Palulung inilah yang mengubah konsep
kepemimpinan Bawa tau menjadi Memmara-Mara'dia sebab ia lebih memilki
pengalaman dalam menata pemerintahan lantaran berasal dari Luwu dan
Bone.(Bersambung)