Jumat, 12 April 2024

TITTYTAINMENT

Tittytainment
Oleh: Hamdan eSA

Tidak jauh dari tepi jalan yang saya lalui di suatu hari saat di kampung, beberapa ekor anak anjing sedang menetek ―atau mungkin tepatnya seekor induk anjing sedang menyusui beberapa anaknya. Dengan bunyi khas anak-anak anjing serta ketenangan sang induk dalam mengawasi keadaan, dapat tertangkap betapa anak-anak itu memiliki rasa gembira atas apa yang mereka dapatkan. 

Sangat sepele, tetapi sentak mengantarkan saya pada sebuah istilah “_tittytainment_” yang pernah diungkapkan oleh Haudegen Zbigniew Brzezinski, seorang Polandia yang selama empat tahun sebagai Penasehat Keamanan Dalam Negeri presiden AS Jimmy Carter.

_Tittytainment_, menurut Brzezinski merupakan kombinasi dari dua kata yakni; _tits_ dan _entertainment_. Tits merupakan istilah dalam bahasa slang (ucapan popular) di Amerika yang berarti payudara.  Namun bagi Brzezinski, tits tidak diasosiasikan dengan seks, melainkan lebih dikaitkan dengan susu yang teralir dari payudara wanita saat menyusui. Istilah ini diungkapkan dalam sebuah pertemuan para dedengkot manejer pengendali ekonomi dunia pada September 1995 di sebuah hotel mewah “The Fairmont” San Francisco, yang diinisiasi oleh Michael Gorbachev dan dihadiri oleh George Bush, Margareth Tatcher, Ted Turner (CNN), John Gage (Sun Microsystem). 

Saat itu sempat mendiskusikan sebuah tema; “masa depan pekerjaan”. Dalam abad berikut nanti, hanya 20% penduduk dunia saja sudah mencukupi untuk memepertahankan perekonomian dunia. Hanya seperlima dari seluruh pencari kerja sudah cukup untuk memproduksi seluruh barang perdagangan dan cukup memberi pelayanan jasa bernilai tinggi yang dibutuhkan oleh seluruh masyarakat dunia. Selebihnya tidak dibutuhkan lagi. Setiap orang akan memikirkan karirnya sendiri. _To have lunch or be lunch_; memakan atau menjadi santapan.

Tittytainment merupakan adonan sempurna antara riuh-rendah dan dahsyatnya daya pesona _entertainment_ serta sandang pangan yang oleh para pengendali dunia dapat diatur sedemikian rupa agar selalu tercukupi, sehingga 80% sisa seluruh penduduk dunia yang frustasi dapat terkontrol perasaannya untuk tidak “meletup-ledak” di mana-mana. Disinilah peran dari seperlima pencaker itu. 

Tekanan persaingan global tidak mungkin dan tidak masuk akal untuk mengharapkan komitmen sosial dari bisnis-bisnis perseorangan. Harus ada seorang atau pihak lain yang mengurusi masalah-masalah sosial terutama soal pengangguran, demikian kata Hans-Peter Martin dan Harald Schumann. Jika masyarakat membutuhkan suatu kehidupan yang lebih utuh dan lebih berarti, setidaknya dapat diatasi oleh yayasan-yayasan atau lembaga sosial dengan berbagai program berikut pasukan “sukarela”.  Lalu dibiayai oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mendorong sukarelawan itu memberi pelayanan masyarakat di berbagai bidang. 

Misalnya dengan membuat organisasi-organisasi yang dapat menstimulasi munculnya solidaritas antar tetangga, olahraga, gaya hidup, politik dan banyak yang lain. Kegiatan-kegiatan ini memakan biaya relatif sangat murah tetapi dapat mendorong berjuta orang merasa diri dan hidupnya punya “arti”, baik dalam masyarakat sekitar dan juga masyarakat global. Seperti itulah kira-kira gambaran tittytainment yang ingin di kemukakan Brzezinski. Semacam mekanisme nina-bobo.

Perut dan hiburan menjadi tekanan penting dalam tittytainment. Secara sederhana seolah-olah Brzezinski ingin mengatakan tidak begitu sulit untuk mengendalikan sekelompok orang, masyarakat atau bangsa. Cukup mengisi perutnya tidak perlu terlalu kenyang serta kubur duka-deritanya dengan hiburan-hiburan hebat. 

Mereka akan menikmati hidupnya cukup dengan apa yang mereka dapatkan dan mendapatkan dirinya sebagai bagian yang sangat berarti bagi dunia. Tittytainment dengan demikian adalah sebuah strategi merebut dan mempertahankan kekuasaan, yang pada saat itu Brzezinski menunjuk pada suatu kekuasaan global yang berdasar pada kekuasaan ekonomi.

Tittytainment sebagai sebuah strategi, ternyata sebenarnya sudah dan sedang berkembang di kelas lokal dan nasional beberapa bidang kehidupan kita, terutama misalnya dalam dunia perpolitikan. Perut dan hiburan menjadi hal paling penting dan jitu untuk memenangkan sebuah pertarungan politik. Di berbagai tempat, uang atau sembako masih menjadi favorit untuk meraih kalkulasi terbesar penghitungan suara. 

Dengan duit lima puluh ribu, atau gula sekilo, atau selembar sarung, dan lain-lain kreasi, seisi rumah sudah merasa sangat berarti karena merasa telah menjadi bagian penting dari perjuangan besar seorang kandidat, bahkan ada yang rela mati. Toh perut memiliki ruang amat terbatas untuk menampung seluruh kebutuhan materil makanan, tidak bisa banyak, hanya butuh dijaga agar tidak kosong. Jika belum sempat, cukup dengan memberi janji-janji. Namanya janji pasti manis semanis titty, apalagi disertakan selembar isi dompet sebagai pelengkap penghibur hati.

Kampanye politik hampir tidak pernah lepas dari kehadiran bintang-bintang hiburan (entertain) dari kelas lokal hingga nasional, bahkan hingga ke goyang erotis yang sama sekali tidak punya hubungan dengan visi kebangsaan dan kenegaraan. Dapat dibayangkan jika raja-raja pemegang kendali kanal entertainment juga ikut ambil bagian dalam kancah perpolitikan baik langsung atau tidak. Rasanya tiada kesulitan menginjeksi ruang bawah sadar dengan tittytainment. 

Paling sederhana di kampung yang paling pelosok pula, kampanye keliling dilakukan dengan mengikutkan mobil besar yang di desain menjadi panggung hiburan electon nonstop. Masyarkat tak pernah tahu bahkan dari kandidat dukungannya sekali pun soal apa gagasan, konsep, komitmen, implementasi, pengawasan, dan lain sebagainya,.

Pertanyaannya, dengan kondisi negara kita yang sedang menikmati tittytainment global, dan di saat yang sama para elitnya juga melakukan tittytainment terhadap masyarakatnya sendiri, lalu bagaimana kita bisa berbicara tentang keberdayaan masyarakat kita di tengah masyarakat global? 

Kita mungkin akan terus menjadi masyarakat penetek, sambil dielus-elus bobokkan dengan hiburan-hiburan dunia. Paling tidak, dengan menggunakan baju kaos Chelsea, Metallica, nonton bareng live di media, nonton dan ikut perkembangan info miss univers, dan lain sebagainya, seorang telah merasa menjadi bagian berarti dari dunia.

Pemilihan legislatif pusat hingga daerah serta pemilihan eksekutif sebentar lagi akan berlangsung. Apakah kita ingin menjadi masyarakat penetek? Semua tergantung partai politik. Semoga parpol tidak mengusung politikus tittytainment. Menetek punya waktu tertentu, dan sang induk sangat paham kapan saatnya.

Wallahu a’lam.

Bunyi Mandar Itu Apa? (Bagian 3)


Bunyi Mandar Itu Apa? (Bagian 3)
(Capaian struktur musik di Mandar)
Sahabuddin Mahganna

Mendengar dan memperdengarkan bunyi, bermaksud menyampaikan sekaligus menerima kalimat, tentu saja bermanfaat untuk dipahami menjadi medium pemberi tanda. Meski hanya bunyi, Pelloana atau Bambana, jelas menyatakan peristiwa secara tegas, sehingga kita dapat memahami kondisi atau menerima kabar lewat transfer media tersebut. Dan instrumen terkhusus untuk musik, tidak di luarnya, sebab kadang diadopsi dalam penyusunan bunyi dan melodi. 

Penciptaan dan penyampaiannya berupaya memenuhi unsur pelloa, bamba, ololioliolio, loa, massa'du dan matte' dengan harapan bukan hanya pelaku yang menginginkan keindahan, melainkan untuk pendengar (mengenai sasaran). 

Bunyi-bunyian di Mandar sesekali melahirkan ololio atau liolio yakni sebuah anggapan kalimat dari bunyi, dengan kata lain membentuk melodi berulang-ulang. Untuk pernyataan ini, mereka masyarakat Mandar menyebutkan predikat itu karena hanya mengenal audio tanpa teknik. Dalam media instrumen, nada untuk melodi sekalipun untuk ritmis pada prinsipnya adalah rangkaian huruf yang tersusun, dan terbentuknya  Ololioliolio, seperti seketika itu dapat saja dinyatakan kalimat. 

Bunyi dalam melodi di Mandar terkoneksi, baik itu hanya sekadar bunyi, nyanyian atau menggunakan instrumen. Kalimat yang tersusun menjadi indah akibat pemilihan nada-nada, tidak asal menyampaikan, yang barang kali mengindikasi bahwa kalimat dapat diterima baik karena sangat bergantung pada tata letak nada hingga melahirkan Intonasi-intonasi yang memudahkan kita untuk mengerti apa maksud dari bunyi tersebut, begitu pula terjadi pada bunyi dipahami menjadi kalimat perintah. 

Biasanya, nada di Mandar kadang didapatkan dari kabar dengan istilah “membamba memangi“ dengan kata lain bersuara sebelum tercipta, atau terpatri dalam jiwa sebagai informasi awal, sehingga bunyi dan melodi bagi mereka tidak hanya menjadi pendamping, melainkan bunyi yang berharga bagi para pelaku dan pecintanya.

Khusus untuk instrumen, ketika dimainkan, tidak jarang para pelaku menandai estetika bunyi dengan meraba atau sekadar memberi pernyataan "pecoai pattappunna" (perjelas kalimatnya). Jika permainan tidak pas atau tidak diterima baik bagi yang mendengarkan, maka tentu berhubungan dengan ketidakjelasan kalimat tersebut, itu berarti terdapat penempatan huruf-huruf yang keliru, dengan kata lain kesempurnaan kalimat dalam musik tergantung pada posisi nada (Malliolio). Sementara sangat penting memperhatikan kalimat dalam bunyi dan melodi yakni pertanyaan dan jawaban.

Kendati sangat sederhana, dalam permainan instrumen musik Mandar, seperti Kacaping, Paluppung, Keke, Calong, Tulali dll. Tidak pernah ditemukan nada yang datar, namun selalu melekat nada lain sebagai bumbu (bali') sebagai analisis jangkauan nada bertanya dan menjawab. Bukan hanya bunyi prioritas, namun perlu menelaah poin-poin yang bisa saja mejadi inti. Dengan pertimbangan "macoa pattapu" maka itu berarti instrumen sesungguhnya sedang menyampaikan kalimat. 

Beberapa hal yang harus kita perdalam. Sebuah benda (instrumen musik) yang berbunyi tidak lebih dari sekadar bunyi, bunyi yang sampai ke telinga berarti sedang menyampaikan sesuatu, sebab dapat dipahami bahwa bunyi sukses menyampaikan diri dan statusnya. Orang Mandar menyebutnya pelloa. Tetapi disini akan ada pertanyaan bilamana bunyi itu masih belum jelas dari mana sumbernya. Dan oleh karenanya, suara (bamba) diperlukan untuk memastikan keberadaan dari jenisnya. 

Musisi Mandar awal lebih sering menekankan, sama halnya pada permainan instrumen yang tercantum dalam pernyataan sebelum ini, bahwa keistimewaan alat berada pada kemampuan pelakunya dalam menyusun nada atau huruf-huruf, hingga tekanan dan tekniknya mengupayakan instrumen harus bernyanyi "papa'elongi iting kacapingo atau papalliolioi" (ololioliolio). Ini menandai bahwa tersusunnya ololioliolio, kalimat lagu akan menjadi titik perhatian pendengar, seolah sedang menyimak kata dan kalimat yang disampaikan (loa). Itulah sebabnya pelloa diambil dalam kata bunyi atau berbunyi, sebab dia sesungguhnya dalam keadaaan menyampaikan sesuatu meski hanya satu huruf. 

Ketika kalimat dalam kalimat lagu mengalun, maka pemain bahkan pendengar akan menunggu momentum kesyahduan atau rasa nyaman, berujung pada proses dalam menemukan puncak dari kenyamanan itu. (Massa'du). Namun, sesungguhnya tidak jarang tiba-tiba ada ruang dimana kita bisa berada dalam keadaaan kosong, yang memutuskan untuk melupakan semua yang didengar, sehingga dari sini terkadang hubungan antara pelaku nada dan pendengar pada produksi yang ditawarkan seolah tidak lagi menyatu, atau pendengar hingga pelaku akan memahami dengan rasa masing-masing yakni mengenai sasaran (matte'). Dalam mencapai Massa'du belum tentu dapat berada dalam situasi tersebut di atas,  Jika kemungkinannya kita hanya fokus menikmati kreatifnya. 

Jadi, benda atau sesuatu "instrumen Musik" yang berbunyi (pelloa), bersuara berdasarkan jenisnya (membamba), terwujudnya nada membentuk melodi sebagai bagian dari huruf-huruf yang tersusun (ololioliolio), melahirkan keindahan karena kejelasan kalimat (loa), hingga sampai serta nyaman pada pendengaran (massa'du), dan mengenai sasaran (matte').