Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 April 2024

Raudal Tanjung Banua || Mandar


MANDAR (1)

Saya pernah berkunjung dua kali ke Sulawesi Barat. Pertama tahun 2010 dan kedua 2012. Kunjungan pertama untuk sharing persiapan Kongres Cerpen Indonesia, setelah Sulbar direkomendasikan jadi tuan rumah dalam KCI V/2007 di Banjarmasin. Sayang karena satu dan lain hal, KCI VI batal diselenggarakan. Kunjungan kedua sebagai rangkaian perjalanan saya keliling Celebes.

Kunjungan tersebut saya tulis dalam cttn sederhana yang dipublikasikan di Koran Tempo dan Suara Merdeka. Bencana gempa yg melanda Mandar tempo hari, mmbuat saya mmbuka lagi file lama itu, dan saya bagikan di sini (cttn 2012 menyusul), diiringi doa & harapan semoga korban tertangani dg baik, dan kondisi Mandar berangsur pulih. Aamiinn. 😪🙏
________________

PERLAWATAN 
KE TANAH MANDAR

Oleh: 
Raudal Tanjung Banua

Cahaya merah senja mulai membias dari laut, menyepuh hamparan sawah, bukit batu dan tambak-tambak. Menembus juga kaca mobil travel yang saya naiki dari Makassar sejak pukul 14.00 WIT, Agustus tahun lalu. Tujuan saya Polewali, ibukota Kabupaten Polewali Mandar (Polman)—sebelumnya bernama Polewali Mamasa (Polmas). 

Tapi sejak Mamasa dimekarkan jadi kabupaten baru, namanya berubah jadi Polman. Ini merujuk etnis terbesar di wilayah itu, Mandar, suku bangsa yang suka berlayar—meski Bugis-Makassar yang konon lebih sebagai “juragan” justru dapat nama. Kini Polman dan empat kabupaten lain (Mamasa, Majene, Mamuju, Mamuju Utara) masuk Sulawesi Barat, propinsi termuda di Indonesia. 

Polewali berjarak sekitar 300 km dari Makassar, 7 jam naik bis, atau 6 jam naik mobil travel. Jika kendaraan dibawa “sopir Mandar” yang “gesit ngebut”, waktu tempuh bisa lebih cepat. Namun hari itu, sampai azan magrib bergema, saya baru sampai di Polanro, setelah melewati kota-kota kecil di kaki Pulau Sulawesi seperti Maros, Pangkajene, Barru, dan Segeti. Masih dua kota lagi untuk sampai ke Polewali: Pare-pare dan Pinrang. 

Perjalanan jadi lambat karena ada perbaikan besar-besaran jalan trans barat Sulawesi; diperlebar dan aspal diganti semen cor. Akibatnya, badan jalan hanya bisa dipakai separoh, tumpukan material dan truk proyek menghalangi laju kendaraan. Mobil terasa mau oleng di jalan berlobang dan berbatu. 

Debu berterbangan, menempel di dinding rumah penduduk yang kebanyakan rumah kayu bertiang tinggi. Untunglah pemandangan cukup memanjakan mata: kampung yang asri, sawah menghijau dan laut—apalagi saya duduk di muka. Namun, setelah semua disungkup gelap, saya didera bosan dan tertidur.

Cukup lama saya tertidur, dan terbangun kembali ketika Syariat Tajuddin, teman yang akan menjemput saya di Polewali, menelepon. “Sudah sampai mana?” 

Saya pun tanya kepada sopir. “Baru mau masuk Pare-pare,” saya ulang info pak sopir. 

“Wah, bisa pukul 10 malam nanti sampai!” kata Tajuddin. 

“Apakah perbaikan jalan ini menyambut Kongres Cerpen yang sedang disiapkan?” canda saya.

Tajuddin terkekeh. Saya lantas menghela nafas panjang. Perjalanan ke Tanah Mandar ternyata tidak mudah. Pesawat perintis dari Makassar ke Mamuju (ibukota propinsi Sulawesi Barat) hanya sekitar tiga kali dalam seminggu. Karenanya, orang ke Mamuju atau wilayah sekitar memilih terbang langsung ke Palu, Sulawesi Tengah. Alternatif bagus lewat laut, bisa menuju pelabuhan Pare-pare maupun pelabuhan Mamuju. Tapi jika jalan trans barat Sulawesi selesai diperbaiki perjalanan darat dijamin menyenangkan.

Saya sedikit merasa segar ketika mobil memasuki kota Pare-pare. Kesan saya, kota asal BJ Habibie ini cukup ramai. Pantai dan bukit saling berhadapan membuatnya tampak indah. Di kota pelabuhan ini pula terdapat persimpangan ke Tana Toraja. Jalannya mulus, tapi lagi-lagi tidak lancar karena ada pawai Agustusan. Mobil terpaksa lewat jalan alternatif, naik ke bukit dan turun ke pantai, sampai berhasil keluar Pare-pare. 

Pukul 10.23 WIT akhirnya saya sampai di Polewali. Saya turun di depan Universitas Al-Asyariah tempat Tajuddin mengajar. Kebetulan ia masih di kampus menyiapkan kegiatan refleksi kemerdekaan dan mengenang wafatnya WS Rendra besok siang.

Malam itu juga Tajuddin membawa saya ke pantai mencari warung ikan bakar. Deretan sandeq di pantai jadi simbol yang seketika menggetarkan saya dalam perjumpaan pertama dengan tanah Mandar!
***

Esoknya, saya bangun agak siang. Sebelum mandi saya sempatkan ke luar hotel sederhana tempat saya diinapkan. Bukit biru tampak membentang sampai jauh menjadi latar kota kecil Polewali. 

Jalan di depan hotel lengang. Nun, seutas jalan mengular naik ke celah bukit, entah ke mana. Saya baru tahu saat Tajuddin datang,“Itu jalan ke Mamasa, kabupaten baru penghasil langsat dan durian. Ada pula wartawan senior dari sana, Tomy Lebang namanya.” 

Selesai mandi, saya dibonceng Tajuddin naik sepeda motor ke rumah makan “Bahagia” yang khusus menyajikan hidangan hasil laut. Mungkin Tajuddin bermaksud menunjukkan kekayaan laut Mandar. Kalau itu maksudnya, ia berhasil sebab hidangan laut yang tersaji memang luar biasa. Udang goreng tepung dan sop cumi hangat betul-betul menyengat lidah. 

Sementara di meja sebelah kami, rombongan besar berpakaian PNS tampak berpesta kepiting, lokan dan kakap bakar. Saya sempat berburuk sangka: pagi begini dengan pakaian seragam di rumah makan, tidakkah ini ironi otonomi? Tapi, ah, barangkali mereka sedang syukuran kemerdekaan RI, pikir saya. Lagi pula kunjungan begini berkontribusi menghidupkan rumah makan yang digarap cukup serius di kota kabupaten yang sedang tumbuh. 

“Pemilik restoran ini sahabat penyair D. Zawawi Imron,” bisik Tajuddin, sambil melirik lukisan laut dan perahu di dinding. Saya segera mengenali goresan khas kyai Madura itu.

Zawawi, sebagaimana Emha Ainun Nadjib dan Gus Dur, memang kerap bertandang ke Sulbar. Mungkin karena daerah ini menyimpan aura mistik-spritual dengan sejumlah ulama kharismatik, salah satunya alm. Dr. K.H. Sahabuddin, pemimpin tariqat Qodiriyah dan pendiri Universitas Al-Asyariah (Unisya). Perannya kini digantikan sang putra, K.H. Sibli. Ada masjid Imam Lapeo, makam Syech Bil Maruf di Pulau Karamasang, dan seterusnya.

Di meja kasir, saya diperkenalkan Tajuddin kepada Ridwan Hilal, pemilik rumah makan “Bahagia”. Saya bercerita tentang Pak Zawawi yang menganggap istri saya sebagai anaknya sendiri. Ridwan Hilal senang dan saya ikut senang. 

“Saya usul ke Pemkab Polewali tahun ini supaya Kyai Zawawi jadi khotib Idul Fitri di sini, tapi mereka terlambat kirim undangan. Beliau lebih dulu diundang Pemkab Taliwang, Sumbawa,” kata Bang Ridwan kecewa. Perkenalan singkat itu cukup berkesan sebagai simbol keramahan orang Mandar.

Kami lalu meluncur ke kampus Unisya. Saya mengisi diskusi tentang “Kemerdekaan dan Sastra”, sekaligus mengenang W.S. Rendra. Acara lesehan di auditorium kampus itu sangat sederhana namun hikmat. Kesahajaan tanah Mandar merasuk dari suasana di dalam ruangan dan dari angin yang berhembus menerobos jendela-jendela kayu yang tua. Pun sajian dalam piring berupa goreng pisang dan singkong. 

Kesahajaan Mandar kian terasa ketika seorang lelaki muda, sekitar 38 tahun, agak gemuk, berpakaian sport dan bertopi pet, maju membuka acara. Sambutannya hangat, tidak formal. Ia baca sajak-sajak Rendra dari buku yang saya bawa. Ternyata dialah Rektor Unisya, K.H. Sibli Sahabuddin, putra Dr. K.H. Sahabuddin. Sore itu, acara berjalan penuh kesan.

Malamnya, saya diundang Bang Sibli ke rumahnya dan kami bercerita banyak hal hingga menjelang pagi.

Besoknya, saya bertemu panitia Kongres Cerpen Indonesia (KCI) VI untuk persiapan event yang akan diadakan di Mamuju bulan Juni 2010. Sebenarnya panitia ingin diadakan di Polewali. Di samping dekat  Makassar, kebanyakan panitia juga tinggal di Polewali. Maklum, daerah ini dikenal sebagai kampung seniman. 

“Tapi gubernur ingin di Mamuju, dan kita tak keberatan,” kata Andi Ibrahim, ketua KCI VI. Sikap serupa juga diambil waktu penunjukkan ibukota propinsi Sulbar lima tahun lalu. Secara historis dan tata letak, Polewali lebih siap, atau Majene bahkan pernah jadi ibukota afdelling zaman Belanda. 

Namun demi persatuan dan pengembangan kawasan, Mamuju yang jauh di utara ditetapkan jadi ibukota. Dari situ tampak watak orang Mandar yang mau mengalah demi kebaikan. “Kini kami hanya ingin taman budaya Sulbar supaya dibangun di Polewali atau Tinambung,” kata Tajuddin. 
***

Selesai semua urusan, hari itu juga saya tinggalkan kota Polewali ke arah barat. Berbonceng sepeda motor, saya dan Tajuddin menuju Tinambung. 

Wilayah Tinambung dan sekitarnya kaya peninggalan kultural dan spritual karena dulu merupakan pusat kerajaan Balanipa, kerajaan utama Tanah Mandar. Banyak temuan situs bersejarah di sekitar wilayah tersebut, seperti situs makam Todilaling dan Tomepayung, raja pertama dan kedua Balanipa. Ada juga makam Tomakaka Pondi, prajurit Mandar dan makam Puang Towarani, panglima perang kerajaan Balanipa abad XVII masehi. 

Sementara itu, di Kecamatan Luyo terdapat situs Allamangun Batu, berupa dua batu disatukan. Menurut para ahli, itu simbol penyatuan tujuh kerajaan di pesisir dan tujuh kerajaan di pegunungan (termasuk Tana Toraja) dalam sebuah kesepakatan yang diprakarsai Tomepayung pada abad XVIII masehi.

Sebelum menikmati situs bersejarah tersebut, Tajuddin membawa saya mampir di rumah mertuanya di Jl. Kediri Lor, Wonomulyo. Jangan kaget kalau namanya berbahasa Jawa, sebab kota kecil Wonomulyo memang “didirikan” transmigran dari Jawa. Di sini banyak toko bertingkat, terminal dan pasarnya berdenyut hidup, bahkan kesan saya mengalahkan denyut kota Polewali. Sebuah mesjid dengan menara tinggi menjadi simbol religiusitas penduduk Wonomulyo.

Rumah mertua Tajuddin sendiri merupakan rumah asli orang Mandar, yakni rumah panggung dari kayu. Sejenak saya teringat rumah-rumah panggung di kampung istri saya, di Loloan, Jembrana, Bali Barat, persis sekali! Nenek moyang orang Loloan memang keturunan Mandar yang berlayar ke Bali sejak abad XVI.

Dari Wonomulyo, kami menuju Pambusuang, kampung Baharudin Lopa, mantan Jaksa Agung RI era Gus Dur. Ungkapan Lopa yang terkenal di ranah hukum adalah, “Biar langit akan runtuh, hukum harus tetap ditegakkan!” 

Ungkapan itu ternyata diambil Lopa dari kearifan orang Mandar, berbunyi “Mau raopoqna langiq, atonganang tattairikeqdeang!” Sayang, sosok yang dianggap berani dan bersih itu meninggal mendadak waktu kunjungan ke Arab Saudi sehingga sempat memunculkan bermacam spekulasi. 

Saya memupus bayangan itu dengan menikmati pemandangan kampung yang tenteram, sawah yang sedang panen, dan pantai penuh nyiur. Tak kalah banyaknya adalah kios yang berjejer di pinggir jalan menjual makanan khas Mandar. 

Di desa Lagi-Lagi kami mampir di sebuah kios. Penganan paling banyak dipajang ialah golla kambu, terbuat dari beras ketan dicampur gula merah, dikemas daun pisang kering. Makanan manis itu berasa durian, kelapa, nangka dan pisang. Tinggal pilih. Setelah mencicipi, saya pilih golla kambu rasa durian dan kelapa ukuran sedang seharga Rp. 12.000/kotak. Durian dan kelapa memang hasil alam utama Polewali. 

Di desa Lapeo, saya bersua Mesjid Nuruttaubah. Mesjid bersejarah dengan arsitektur khas Mandar ini agak mepet ke tepi jalan. Imam besarnya, H.M. Tahir, adalah tokoh sufistik tanah Mandar. Konon, di sini kerap terjadi peristiwa di luar nalar. Untuk meyakinkan murid-muridnya, semasa hidup sang imam pernah melompat dari pucuk menara mesjid. Tubuhnya jatuh di aspal, namun lecet pun tidak. 

Baru-baru ini, saat mesjid direnovasi, satu truk semen datang dari Makassar. Panitia pembangunan mesjid bingung sebab tidak pernah memesannya, namun sopir truk mengatakan ada orang yang telah membayarnya. Ketika sang sopir melihat foto H.M. Tahir yang tercetak di kalender mesjid, spontan ia menunjuk,”Bapak ini yang membelinya!” 

Cerita berbau mistik-spritual yang saya dengar dari Tajuddin dan cerita lain semacam itu kuat melekat di tengah masyarakat Mandar. 

Motor kini meraung menaiki sebuah tanjakan. Dari ketinggian, panorama ke arah pantai indah sekali. Nyiur melambai berjejer merimbuni pasir putih. Itulah Pantai Palippis, objek wisata yang terkenal dengan pasir, nyiur dan gua-gua karangnya. 

Sayang kami tidak sempat turun ke bawah. Selepas tanjakan Palippis, kami berjumpa tugu kecil-sederhana di pinggir jalan bertulisan “Pambusuang”. Kami berbelok ke kiri, ke arah pantai, menuju Pambusuang. 

Nelayan Pambusuang tak hanya berani di laut, tapi juga ahli membuat sandeq, perahu bercadik dua berlayar lebar. Selain sandeq, perahu tradisional Mandar lainnya adalah soppe-soppe, ukurannya lebih kecil dan lepa-lepa, perahu dayung tanpa layar.

Di Pambusuang, saya disambut rumah-rumah panggung yang berderet rapi. Sayang sekali, rumah panggung tempat kelahiran Baharuddin Lopa tinggal pondasinya saja sebab terbakar setahun lalu. Saya ngungun memandangi tapak bekas rumah besar itu. 

Tak lama kemudian, kami melaju pelan ke pantai, tak jauh dari perkampungan. Dada saya berdesir memandangi deretan sandeq sandar dan sebagian dalam perjalanan menepi. Layar dan cadik terlihat menakjubkan di balik ombak. Sementara sandeq yang sandar telah menggulung layar dan jala, tapi tiang-tiang dan temalinya menyuguhkan sensasi pada pandangan mata. Di antara deretan sandeq, bocah-bocah Mandar tampak riang berkejaran. Hanya saja pantainya agak kotor, sampah berserakan seolah baru dikirim ombak.

Di pos ronda, para lelaki asyik berbincang. Kata Tajuddin, masyarakat Pambusuang suka berdiskusi, mulai soal keseharian sampai politik aktual. Pantaslah melahirkan sosok seperti Lopa, pikir saya. Kami mendekat dan mereka menyambut ramah. Saya katakan bahwa saya ingin melihat pembuatan sandeq. Seorang di antara mereka, Pak Usman, bangkit dan mengantar kami ke rumah pembuat sandeq. 

Pak Usman cerita, tahun 2000 dia ikut ekspedisi sandeq ke Thailand. Dipimpin pria Italia, sandeq sepanjang 11 m, luas 70 m dan tinggi 80 m itu mengangkut empat awak Mandar dan empat lagi dari Eropa. Namun, ia kecewa karena sesampai di Thailand sandeq itu dijual oleh sang kapten ke sebuah resort! 

“Ternyata mereka jualan,” keluh Pak Usman, dan menolak ditawari lagi ekspedisi serupa. 

“Tapi tidak semua orang asing begitu,” katanya menambahkan. Boleh jadi ia merujuk acara tahunan Sandeq Race setiap Juli-Agustus yang sukses melibatkan peserta antar negara. Sambil mendengar cerita Pak Usman, saya terus mengamati Pak Ratib yang tekun membuat sandeq ukuran kecil. Harganya dipatok Rp. 5 juta, sedangkan sandeq yang besar seharga Rp. 15 juta.

Tak terasa hari sudah rembang petang. Kami segera melanjutkan perjalanan ke Tinambung menyusuri ujung kampung Pambusuang. Di sebuah rumah panggung besar yang baru dipugar, motor mendadak berhenti. “Ini rumah penyair Mandar, Husni Djamaluddin. Rendra pernah baca puisi di serambinya disaksikan orang sekampung,” kata Tajuddin. Saya manggut-manggut mengenang penyair yang juga ikut aktif merintis dan memperjuangkan terbentuknya Provinsi Sulbar itu. Terkenang juga sosok Rendra baru meninhgal dan siang kemarin kami peringati. Alfatihah. 

Motor kembali melaju beberapa saat, lalu berhenti lagi di depan sebuah mesjid. Mesjid itu kecil saja, tapi tampak sangat tua. Terkesan terbengkalai, kecuali menaranya yang tinggi perkasa.

“Inilah mesjid tertua peninggalan kerajaan Balanipa,” kata Tajuddin. Kembali kesahajaan dan kesederhanaan Mandar merasuk ke dada saya. 

Sebelum sampai di Tinambung, kami terlebih dahulu melewati Sungai Tinambung yang bermuara di Laut Sulawesi. Konon, nama Mandar berasal dari sini, disebut Ulu Manda atau sungai yang berhulu di Malunda. Secara filosofis, ketenangan dan kejernihan sungai ini dianggap simbol jiwa orang Mandar. 

Selesai makan malam di rumah orang tua Tajuddin yang sekaligus markas Teater Flamboyant pimpinan Tajuddin, saya sempatkan membeli tiga lembar sarung tenun sutra khas Mandar. Tinambung memang penghasil sarung tenun utama di Sulbar. Harga yang saya beli berkisar antara Rp. 300-400 ribu/lembar, tapi ada juga harga di atas atau di bawah itu. Tajudin juga menitupkan selembar kain tenun untuk istri saya sambil berkata,"Semoga mbak Ida terhubung lagi dengan tanah asal leluhurnya." Dia juga berpesan bahwa kain tenun Mandar tak usah dicuci, cukup diangin-anginkan saja jika dianggap mulai kotor atau lembab. 

Saya mengingat pesannya baik-baik, seiring ingatan saya pada tenun Mandar yang terkenal sejak dulu. Sampai-sampai beberapa daerah di Indonesia menyebut sarung dengan sebutan mandar. 

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Majene, saya istirahat sejenak merenungkan makna perlawatan ini. Orang Mandar bilang,”Mua dirundumi uwai marandanna tomandar, mandarmituu tau” artinya, “Siapa yang sudah meminum air Mandar, maka ia adalah saudara kandung orang Mandar.” Sungguh hangat, tulus dan mengharukan! 

(Raudal Tanjung Banua, penikmat perjalanan, tinggal di Yogyakarta)

SEJARAH PASAL- PASAL HUKUM PELAYARAN DAN PERDAGANGAN (AMMANA GAPPA)


SEJARAH PASAL- PASAL HUKUM PELAYARAN DAN PERDAGANGAN  ( AMMANA GAPPA )

Ternyata ada satu orang Indonesia yang berasal dari Sulawesi Selatan yang mewariskan kepada dunia internasional mengenai hukum laut..

Beliau adalah Amanna Gappa 

Sejarah seorang tokoh internasional yang berasal dari Bugis WAJO

Amanna Gappa, seorang peletak dasar Tentang hukum Maritim Internasional. 

Lontara Amanna Gappa Dikenal dalam bahasa bugis sebagai ade alloping-loping Bicarana Pabbalue. 

Kata ini berasal dari bahasa Bugis yang jika diartikan secara harfiah berarti Aturan pelayaran dan perdagangan.

Amanna Gappa adalah seorang Ketua Komunitas Wajo atau lebih dikenal dengan istilah matoa komunitas Wajo di Makassar.
 
Amanna Gappa kemudian diangkat menjadi Kepala perniagaan di Makassar pada abad ke-17 di Kota Maritim Makassar. 

Disinilah Amanna gappa kemudian membuat semacam undang-undang pelayaran dan perdagangan. 

Kelak Dasar dari UU Amanna gappa ini kemudian diadopsi di Eropa dan sampai saat ini dipakai sebagai Hukum Maritim Internasional.

Lalu apakah sebenarnya isi dari Lontara Ade aloping-loping bicaranna pabbalue dalam bahasa Bugis.


Berikut ini adalah, lontara atau UU Pelayaran dan kemaritiman Amanna Gappa terdiri dari 21 pasal yang kalau di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

Lontara Amanna Gappa

Pasal 1

Menjelaskan tentang sewa bagi orang-orang yang berlayar dan berdagang, antara lain seseorang yang berlayar atau berdagang dari Makassar Bugis, Paser, Sumbawa, Kaili Melayu Aceh, Kedah, Kamboja, maka sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratusnya. 

Maka uang yang digunakan saat itu adalah rial merupakan mata uang yang juga dibawa oleh para pedagang. 

Barang-barang saat itu dari tiap jenisnya itu selalu dianggap 100 %, hal ini berarti bahwa orang-orang dahulu telah menerapkan sistem persenan dalam tiap kegiatan dagang.

Selanjutnya, jika para pedagang naik perahu dari Aceh, Kedah, Kamboja menuju Malaka, ke Johor Tarapuo, Jakarta, Palembang, Aru, maka sewa dikenakan enam rial dari tiap seratus persen barang. Sementara itu jika orang naik perahu ke Semarang, Sambas, Pontianak, Ambon, Banda, Kie, Ternate, maka sewa dikenakan lima rial dari tiap seratus persen barang. 

Jika orang naik perahu ke Banjarmasin sampai ke Berau menuju utara di Sumenep sampai ke Timor maka sewanya dikenakan empat rial dari seratus persen.
 
Apabila seseorang naik perahu di Sambas sampai Banjarmasin lalu ke tanah Jawa maka dikenakan sewa empat rial dari seratus persen. 

Sementara itu jika seseorang naik perahu di Makassar ke Selayar maka sewanya 2,5 rial dari tiap barang.

Dari jalur-jalur yang disinggahi dapat disimpulkan bahwa para pelayar dan pedagang Bugis dalam perdagangan telah sampai hingga Kamboja, Terenggang dan Johor. 

Adapun tentang barang yang memerlukan ruangan luas maka dikenakan sewa sepersebelas dari seratus persen tiap jenis barang (sima biring) misalnya beras, garam, rotan dan lain-lain.

Adapun perahu yang sekali memungut sewa pulang pergi, meskipun ada negeri yang disinggahi menjual, lalu membeli dagangan kemudian menuju ke negeri yang dituju maka ia hanya membayar sewa kapal yang dituju.
 
Kecuali dalam pelayaran ia kembali ke negeri yang disinggahi untuk menjual dan membeli barang sehingga ia bermalam, maka barulah perahu memungut sewa untuk kedua kalinya.

Pasal 2

Perahu yang disewakan kepada yang bukan teman pemilik perahu maka sewa perahu dibagi dua, sebagian untuk yang punya perahu dan sebagian untuk nakhoda bersama juru mudi dan juru batu. 

Adapun jika yang membawa perahu adalah teman dari pemilik perahu maka sewa dibagi tiga. 

Satu bagian untuk juru mudi dan juru batu dan dua bagian untuk yang punya perahu.

Mengenai bagian yang bukan teman lebih banyak dari pada yang teman pemilik perahu, karena ini erat kaitannya dengan hubungan kekearabatan yang terjadi dimana terkadang seseorang lebih mudah saling mengatur jika erat kaitannya, dibanding tidak memiliki hubungan sama sekali.

Juru mudi bertugas mengemudikan perahu, sementara juru batu bertugas mengawasi kapal dari karang maupun menaikkan dan menurunkan batu (jangkar) ketika ingin berlabuh.

Jika dalam perdangan nakhoda salah mengenakan sewa maka kesalahan tidak dikenakan kepada kelasi (penumpang). 

Dalam setiap perselisihan antara kelasi, maka nakhoda berkewajiban menengahi dan mencari jalan keluar masalah tanpa membawanya ke pengadilan.

Pasal 3

Dagangan yang kembali di negeri yang dituju dikenakan sewa separuh kecuali dia terus dan ada negeri yang dituju, maka dia membayar sewa penuh; sesuai dengan sewa negeri yang disinggahi. 

Apabila dia pindah perahu padahal perahu yang telah ditumpanginya memiliki arah tujuan yang sama, maka nakhoda yang ditinggalinya berhak meminta sewa dari kelasi sebanyak sewa ke negeri yang ditujunya. 

Terkecuali jika dia tidak bermaksud ke negeri yang pernah ditujunya semula, meski searah haluan maka tidaklah diminta sewa.

Pasal 4

Macam-macam kelasi ada 4 yakni kelasi tetap, bertugas menjaga kapal dan tidak boleh meninggalkan perahu selama dalam pelayaran, yang kedua kelasi bebas, ketiga kelasi penumpang dan terakhir orang yang menumpang.

Nakhoda tidak diperkenangkan menerima kelasi, kalau belum ada persetujuan tentang barang, baik yang membutuhkan ruangan luas maupun barang tapi yang telah dijanjikan.

Pasal 5

Kerusakan yang ada pada perahu menjadi tanggung jawab juru mudi dan juru batu, keduanya berhak memberikan perintah perbaikan perahu kepada kelasi.

Pasal 6

Syarat-syarat nakhoda perahu ada 15 yakni :

1. Memiliki mental, dan senjata baik senjata berat dan ringan yang berfungsi untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman. 

2. Memiliki perahu yang kuat untuk berlayar, demi mengantisipasi ancaman badai dan berbagai masalah di laut. 

3. Teliti dan rajin, sehingga mampu mengawasi dan menjadi teladan bagi anak buahnya. 

4. Memiliki modal, untuk menyewa kapal maupun membayar denda jika terjadi kesalahan.

5 Mampu mengawasi kelasinya.

6. Mampu menegakkan kebenaran tanpa pandang bulu.

7. Mampu menerima saran dan kritik.

8. Memiliki integritas dan kejujuran.

9. Menerima kelasi dengan memperlakukannya sebagai anak, sehingga ia bisa menjadi pengayom diantara kelasi yang lain.

10.Senantiasa memberi pelajaran kepada kelasi tentang alat-alat pelayaran tanpa ada rasa jenuh. 

11. Sabar 

12. Disegani

13. Mampu mengurusi dagangan kelasinya

14. Bisa mengkongsi perahunya

15. Mengetahui jalur pelayaran yang dituju.

Pasal 7

Cara bejualan baik dengan menggunakan perahu, berwarung atau bersaudagar ada lima macam yaitu :

· Berkongsi sama banyak, yakni memikul bersama keuntungan atau kerugian yang jika terjadi kerusakan dalam berjualan;

· Samatula , yakni yang punya barang yang memikul segala kerusakannya apabila barang cacat, tetapi jika bukan cara berjualan yang salah maka si pembeli yang menanggungnya;

· Utang tanpa bunga. Si pemberi utang hanya menagih utang jika telah sampai waktunya;

· Utang kembali, harga barang ditetapkan terlebih dahulu, dan akan dibayar jika barang telah laku terjual. Jika tidak laku maka barang dikembalikan.

·  Kalula, orang yang dipercaya menitipkan barang. Kerusakan yang dipikul bersama ada 3 macam : 
1. Rusak di lautan 
2. Dimakan api 
3. Kecurian. 

Kerusakan yang tidak dipikul bersama ada 7 macam :
1. Dijudikan; 
2. Dipelacurkan; 
3. Dipergunakan beristri; 
4. Diboroskan; 
5. Dipinjamkan; 
6. Dimodalkan; 
7. Diberikan untuk makan

Pasal 8

Orang yang meminjam barang di pasar atau dalam pelayaran, di luar pengetahuan keluarganya lalu ia ,meninggal, maaka keluarga tidak boleh ditagih dan mereka tidak patut membayar.

Kecuali jika ia pernah bertemu keluarganya dan pernah diberitahu tentang utang tersebut. 

Maka wajiblah si isteri dan keluarganya membayar.

Pasal 9

Barang dahulu diwarisi kepada anak dahulu, barang dibelakang diwariskan kepada anak dibelakang begitu seterusnya. Baik atau maupun keuntungan. Mengenai pewarisan barang tidak boleh dikembalikan kalau harga diputuskan dan belum diperdagangkan. Jika telah diperdagangkan dan ada yang kurang atau ada yang robek, maka yang kurang ditambah dan yang robek diganti. Pembelian tidak boleh dibatalkan.

Pasal 10

Adapun orang yang bertengkar dengan sesama pedagang dan ma¬sing-masing telah sampai kepada orang tua , yang caranya ber¬tindak sama juga dengan caranya pengadilan, yakni mendengar pembicaraan kedua belah pihak dan saksi kedua belah pihak dan juga keadaan serta kelakuan kedua belah pihak. Jikalau kedua belah pihak (telah menjalani pemeriksaan) dan ternyata keadaannya sama, maka hukum Tuhanlah yang dijalankan terhadap mereka.

Jikalau orang yang bertindak selaku hakim bertanya, maka sipenuntutlah lebih dahulu ditanyai, baru orang yang dituntut. saksinya demikian juga. Maka dimintai mereka akan wakil masing-masing, lalu disuruh mundur sebegitu jauh, sehingga tak dapat mendengar orang yang bercakap-cakap itu. Orang yang bertindak selaku hakim, memikirkan segala seluk-beluk persoalan itu. Masing-masing menghadapkan hatinya kepada Tuhan untuk menciptakan putusan yang jujur. Masing-masing mengikuti akar persoalan. Empat akar besarnya, empat pula akar kecilnya. Jikalau salah satu (diantara orang yang bertengkar itu) ternyata ber¬salah atau ada dalam kebenaran, salahkanlah yang salah, benarkanlah yang benar. Kedua belah pihak tidak boleh lagi memakai ke-kerasan.

Pasal 11 

Adapun pelayar, bila ada pertengkarannya dalam pelayaran, selesaikanlah terlebih dahulu. baru perkenankan mereka naik ke darat. Dimana saja api jadi, di situ juga padam. Jikalau mereka didalam pelayaran berselisih nakhodalah yang menyelesaikan persoalannya. Janganlah dibawakan kesusahan dari luar kepada pemimpin negeri tentang soal pelayaran. (Kecuali perselisihan terjadi di daratan, maka di sana jugalah diselesaikan oleh pemimpin negeri) , sebab tiap-tiap negeri yang engkau singgahi, mempunyai hakim.

Pasal 12

Adapun peraturan yang ditentukan mengenai bagi laba, tujuh macam, yang tidak dipikul bersama dengan yang empunya jualan. Pertama: jangan dipergunakan berlacur; keempat: jangan dipergunakan untuk kawin; kelima: jangan dipergunakan berjudi; keenam : jangan dipergunakan mengisap madat; ketujuh: jangan diboroskan.

Kalau kerugian karena ada diantara yang (tujuh ini) dilakukan, maka yang membawa jualan memikul semua. Kalau modal (si punya jualan) ada, (kembali dengan tidak berkurang) tidaklah ditanyakan kelakuannya. Kalau si pembawa jualan belum kembali dan yang empunya jualan memandang (si pembawa) telah mati, maka yang empunya jualan menerima setengah (modalnya) dari keluarga sipembawa jualan. Dia tidak menunggu lagi kerugian atau keuntungan, kalau telah menerima setengah , walaupun akhirnya si pembawa kembali berlaba atau rugi. Sekiranya jelas kematian si pembawa dalam pelayarannya dan terang juga bukan cara berdagang yang dilakukan sehingga jualannya habis, seharusnyalah keluarganya membayar penuh. Akan tetapi kalau cara berjualan juga dilakukannya sehingga habis barangnya, maka membayar setengahlah si pembawa.

Pasal 13

Adapun hal orang yang berutang, empat macamnya. Pertama: orang yang berutang; kedua: orang yang menyanggupi (membayar utang orang yang disanggupinya); ketiga: orang yang dijadikan penang¬gung keempat: orang yang mengantar, itu jugalah orang yang mempertemukan. Orang yang meminjam, dia sendirilah yang membayar. Pada hal orang yang menyanggupi, bukan dia yang meminjam, akan tetapi dia yang membayar, bila sampai waktunya (dan si peminjam) belum membayar. Adapun (seorang) to'do', tidak boleh ditagih kecuali jikalau orang yang menjadikan dia to'do' meninggal atau menghilang, maka wajiblah to'do' membayar. Dari itu maka ada pribahasa yang mengatakan :„Orang yang menyanggupi, lehernya diikat, orang yang dijadikan to'do', kakinya diikat".

Adapun orang yang mempertemukan, sama halnya dengan orang yang mengantar. Sebab hanya oleh karena (orang yang dapat mem¬beri pinjaman itu) tidak dilihat (oleh orang yang hendak meminjam itu maka ditunjukkannya; dan oleh karena (orang yang dapat meminjamkan itu) tidak dikenal (oleh orang yang hendak meminjam itu), maka diantaranya. Tidak boleh dia ditagih. Hanya orang yang meminjam jualah yang ditagih.

Pasal 14

Adapun orang yang berutang, jikalau telah habis hartanya dijadi¬kan pembayar (utang) dan masih belum cukup untuk menjadi pem¬bayar, maka dia memperhambakan dirinya untuk menutup keku¬rangan itu. Hal inilah yang dinamai riukke' ponna). Tidak boleh lagi ditagih, walaupun dia mendapat kebaikan sesudah dicabut po¬honnya beserta akarnya. Dia membayar dengan memperhamba diri; yang empunya barang tidak boleh lagi menuntutnya. Adapun orang yang mengambil utang berbunga, ialah yang dinamai riraung cempa (dipetik sebagai daun asam) yakni, telah dipetik daunnya dan bila tumbuh daunnya (kembali) dipetik lagi. Begitulah buruknya di dunia. Adapun akibatnya diakhirat, tidaklah terkatakan: bunganya berbunga. Janganlah tetapkan harga diri (sipeminjam). Jikalau telah kau perbudak dia, telah kau cabut pohonnya beserta akarnya, jangan dipetik, (lagi) (dimintai bunga). Tidak boleh lagi ditagih bila dia kelak mendapat kebaikan. Hanya utangnya saja yang dibayarnya, tidak lagi membayar bunganya . Adapun yang dinamai rirappasorong, hanya seorang yang berutang, tetapi banyak yang memberikan piutang. Jikalau dia membayar (dan) tidak cukup pembayarannya, maka yang memberikan pinjaman hanya berhak menerima jumlah sesuai dengan perbandingan piutangnya masing-masing. Banyak piutangnya, banyak pula diterimanya. Kurang piutangnya, kurang pula diterimanya. Dicabut pohonnya beserta akarnya atau tidak dicabut pohonnva beserta akarnya, lunaslah utangnya itu. Bila dia mendapat kebaikan kemudian dari pada itu, untungnya sendirilah itu, tidak boleh lagi ditagih .

Pasal 15

Adapun budak jikalau disuruh membawa barang jualan dan dia melakukan kesalahan dalam pelayaran, jikalau engkau (nakhoda) merebut barang jualannya, pada hal tidak ada perwakilan padamu dari orang yang menyuruhnya dan rusak dalam tanggunganmu, kamu harus menutupinya ( membayar harga kerusakan itu). Engkau baru luput, bila barang itu telah tiba pada yang empunya jualan. Kalau memang ada perwakilan (padamu) lalu engkau mensitanya, maka dialah ( siempunya barang) menanggung baik-buruknya. Sama halnya dengan orang yang membawa jualan, dalam keadaan rusak, menurut peraturan bagi laba sama.

Pasal 16

Adapun pedagang yang meninggal dalam pelayaran, carilah ahli wa¬risnya, yang tidak akan merusak ( menghilangkan barang orang yang meninggal itu). Dudukkanlah beberapa orang untuk hal itu, lalu serahkan (harta bendanya), supaya engkau saling menyaksikannya. Adapun kesukarannya, taksirlah (harga) barang itu, (lalu) dijadikanlah wang dan sesudahnya terimakanlah kepadanya, lalu engkau masing-masing mencatatnya dalam bukumu. Jikalau tidak ada ahli-warisnya, nakhodanyalah yang menerimanya. Kalau ada yang engkau ( nakhoda) pakai maka rusak, gantilah. Kalau berlaba, milikmu semua laba itu. Yang empunya barang ti¬dak mengenal baik atau buruknya. Setelah engkau tiba di negerinya, serahkanlah kepada anaknya (atau) isterinya. Persaksikan jualah, supaya engkau bersih.

Pasal 17

Adapun bayar-membayar (bagi) orang yang saling berutang, baik bagi laba maupun lain-lain (macam) utang-piutang, (kalau) wang yang dipinjam, maka uang yang dibayarkan, (kalau) barang jualan yang dipinjam, jualan yang dibayarkan. Jikalau wang yang dipinjam (dan) jualan yang dibayarkan, maka itu atas putusan orang penengah yang menaksir harga barang itu. Jikalau jualan yang dipinjam (dan) wang yang dibayarkan, maka itu tergantung pada persetujuan mereka. Jikalau berlainan jenis jualan yang dipinjamnya dengan yang dibayarkannya, terserahlah pada persepakatannya. Itulah yang dinamai taro anappalallo bekka' temmakkasape' penyelesaian secara istimewa. Oleh karena menurut adat tidak boleh hal itu dipandang sebagai anak, akan tetapi orang tidak terlarang bersepakat dengan sesamanya pedagang.

Pasal 18

Adapun yang dinamai kalula, ialah, dia dan keluarganya tidak menanggung kerusakan jualan, akan tetapi hanya menunggu belas-kasihan semata-mata. Jikalau rusak karena bukan cara jualan yang dilakukannya, maka kalula yang membayarnya, tidak sampai kepada keluarganya; (jadi) hanya dirinya sendiri yang menanggung utang. Dari itu maka hanya orang yang merdekalah yang dijadikan kalula. Oleh karena tidak boleh luput dari peraturan. Hanya mencarikan jalan sekadar mendapat pembayar untuk membayar utangnya.

Pasal 19

Adapun ana'guru yang mengambil utang dari orang lain di luar pengetahuan gurunya, maka habis yang dipinjamnya itu, gurunya tidak wajib membayar. Jika budaknya saja disuruh menjaga jualan, maka (budak itu) pergi juga berutang pada orang lain dan sebelum habis laku (barang yang dipinjam itu) telah bertukar rupa , apalagi kalau hilang, atasannyalah yang membayar. Oleh karena kepercayaannya (kepada budak itu) lebih dahulu dari pada disuruhnya (dia) menjaga. Akan tetapi (pada umumnya) budak tidak boleh diberi meminjam tanpa pengetahuan tuannya.

Pasal 20

Adapun orang yang dipungut di lautan, sekalipun (telah) terdampar pada sebuah pulau, akan tetapi ternyata sama sekali tidak ada sesuatu apa yang dapat menghidupkannya (di pulau itu), sama juga halnya dengan orang yang dipungut di tengah lautan. (Pada orang yang demikian itu) dibebankan bayaran menurut harga pasar tiap-tiap orang (yang dipungut di tengah lautan). Jikalau mereka terdampar pada sebuah gosong, dimana ternyata ada yang dapat menghidupkannya, hanya empat rial diminta dari tiap-tiap orang. Jika memang tidak ada perjanjianmu nakhoda, lalu dia yang dipungut itu pergi keadat, maka putusan adatlah yang diikutinya.

Pasal 21

Amanat Amanna Gappa, kepala seluruh orang Wajo di Ujung Pandang, telah disetujui oleh kepala seluruh orang Wajo di Sumbawa, di Paser, pada waktu mereka duduk mengadakan pertemuan (di Ujung Pandang). (Amanat tersebut) dicantumkan di dalam buku, supaya diikuti turunan mereka, diwarisi oleh anak cucunya dan oleh seluruh pedagang yang lain. Ada dua golongan yang hendaknya diperhatikan baik-baik : orang yang meminjam dan orang tempat meminjam.

Adapun cara memperhatikannya: jangan mengambil utang bagi laba pada orang yang lebih berpengaruh dari pada engkau dan juga jangan beri dia berutang bagi laba. Adapun keburukannya, sering dia tidak mau mengikuti peraturan bea perdagangan. Jikalau kau berikan utang bagi laba, sesuaikanlah dengan harta miliknya beserta (harta) keluarganya dan (harta) golongan keluarganya yang dekat.Sebabnya, jikalau beroleh kerusakan dan tidak cukup pembayarannya, adalah yang dilihat ( menjadi tanggungan bagi) barangmu.

Adapun caranya orang berutang-piutang, baik bagi laba, maupun samatula, baik utang biasa tanpa bunga dan segala utang-putang yang lain-lain, jikalau yang empunya piutang yang me¬minjamkan barang berkeras mau menerima (bayaran), maka (hendaklah) ditaati peraturan yang sudah ditetapkan. Jikalau yang berutang membayar dan masih belum mencukupi pembayarannya, maka ditaksirlah harga segala barang miliknya sendiri.

Jikalau telah habis harta miliknya dibayarkan dan masih belum mencukupi pembayarannya, maka lunaslah utangnya. Tidak boleh lagi ditagih, meskipun ada rezeki dikaruniakan oleh Allah Ta'ala sesudah dibayarkan harta miliknya. Tidak boleh (pula) ditagih lagi, oleh karena dia sebagai orang yang merdeka seperti kita, tidak bo¬leh keluar dari lingkungannya ( tidak boleh sesama kita merdeka dipaksakan mencari wang di luar lingkungannya dengan mem-perhambakan dirinya). Apa lagi jangan dipikir akan kemungkinan untuk dibuang ke Jawa , artinya: jangan ditaksir harga diri orang itu. Jikalau engkau tidak menghendaki kurang piutangmu, janganlah engkau cabut pohonnya beserta akarnya. 

Tunggulah tumbuhnya tunggulah rezekinya dikemudian hari, harapkanlah itu atau berikanlah dia dagangan untuk dijadikan mata pencahariannya. 

Mudah-mudahan kamu sama bertuah dan terkabul doamu sama-sama dikasihani dan dikaruniai rezeki oleh Allah Ta'ala, sehingga ada yang dibayarkannya kepadamu untuk melunaskan segala utangnya."

Di sharing dari berbagai sumber

Jumat, 12 April 2024

TITTYTAINMENT

Tittytainment
Oleh: Hamdan eSA

Tidak jauh dari tepi jalan yang saya lalui di suatu hari saat di kampung, beberapa ekor anak anjing sedang menetek ―atau mungkin tepatnya seekor induk anjing sedang menyusui beberapa anaknya. Dengan bunyi khas anak-anak anjing serta ketenangan sang induk dalam mengawasi keadaan, dapat tertangkap betapa anak-anak itu memiliki rasa gembira atas apa yang mereka dapatkan. 

Sangat sepele, tetapi sentak mengantarkan saya pada sebuah istilah “_tittytainment_” yang pernah diungkapkan oleh Haudegen Zbigniew Brzezinski, seorang Polandia yang selama empat tahun sebagai Penasehat Keamanan Dalam Negeri presiden AS Jimmy Carter.

_Tittytainment_, menurut Brzezinski merupakan kombinasi dari dua kata yakni; _tits_ dan _entertainment_. Tits merupakan istilah dalam bahasa slang (ucapan popular) di Amerika yang berarti payudara.  Namun bagi Brzezinski, tits tidak diasosiasikan dengan seks, melainkan lebih dikaitkan dengan susu yang teralir dari payudara wanita saat menyusui. Istilah ini diungkapkan dalam sebuah pertemuan para dedengkot manejer pengendali ekonomi dunia pada September 1995 di sebuah hotel mewah “The Fairmont” San Francisco, yang diinisiasi oleh Michael Gorbachev dan dihadiri oleh George Bush, Margareth Tatcher, Ted Turner (CNN), John Gage (Sun Microsystem). 

Saat itu sempat mendiskusikan sebuah tema; “masa depan pekerjaan”. Dalam abad berikut nanti, hanya 20% penduduk dunia saja sudah mencukupi untuk memepertahankan perekonomian dunia. Hanya seperlima dari seluruh pencari kerja sudah cukup untuk memproduksi seluruh barang perdagangan dan cukup memberi pelayanan jasa bernilai tinggi yang dibutuhkan oleh seluruh masyarakat dunia. Selebihnya tidak dibutuhkan lagi. Setiap orang akan memikirkan karirnya sendiri. _To have lunch or be lunch_; memakan atau menjadi santapan.

Tittytainment merupakan adonan sempurna antara riuh-rendah dan dahsyatnya daya pesona _entertainment_ serta sandang pangan yang oleh para pengendali dunia dapat diatur sedemikian rupa agar selalu tercukupi, sehingga 80% sisa seluruh penduduk dunia yang frustasi dapat terkontrol perasaannya untuk tidak “meletup-ledak” di mana-mana. Disinilah peran dari seperlima pencaker itu. 

Tekanan persaingan global tidak mungkin dan tidak masuk akal untuk mengharapkan komitmen sosial dari bisnis-bisnis perseorangan. Harus ada seorang atau pihak lain yang mengurusi masalah-masalah sosial terutama soal pengangguran, demikian kata Hans-Peter Martin dan Harald Schumann. Jika masyarakat membutuhkan suatu kehidupan yang lebih utuh dan lebih berarti, setidaknya dapat diatasi oleh yayasan-yayasan atau lembaga sosial dengan berbagai program berikut pasukan “sukarela”.  Lalu dibiayai oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mendorong sukarelawan itu memberi pelayanan masyarakat di berbagai bidang. 

Misalnya dengan membuat organisasi-organisasi yang dapat menstimulasi munculnya solidaritas antar tetangga, olahraga, gaya hidup, politik dan banyak yang lain. Kegiatan-kegiatan ini memakan biaya relatif sangat murah tetapi dapat mendorong berjuta orang merasa diri dan hidupnya punya “arti”, baik dalam masyarakat sekitar dan juga masyarakat global. Seperti itulah kira-kira gambaran tittytainment yang ingin di kemukakan Brzezinski. Semacam mekanisme nina-bobo.

Perut dan hiburan menjadi tekanan penting dalam tittytainment. Secara sederhana seolah-olah Brzezinski ingin mengatakan tidak begitu sulit untuk mengendalikan sekelompok orang, masyarakat atau bangsa. Cukup mengisi perutnya tidak perlu terlalu kenyang serta kubur duka-deritanya dengan hiburan-hiburan hebat. 

Mereka akan menikmati hidupnya cukup dengan apa yang mereka dapatkan dan mendapatkan dirinya sebagai bagian yang sangat berarti bagi dunia. Tittytainment dengan demikian adalah sebuah strategi merebut dan mempertahankan kekuasaan, yang pada saat itu Brzezinski menunjuk pada suatu kekuasaan global yang berdasar pada kekuasaan ekonomi.

Tittytainment sebagai sebuah strategi, ternyata sebenarnya sudah dan sedang berkembang di kelas lokal dan nasional beberapa bidang kehidupan kita, terutama misalnya dalam dunia perpolitikan. Perut dan hiburan menjadi hal paling penting dan jitu untuk memenangkan sebuah pertarungan politik. Di berbagai tempat, uang atau sembako masih menjadi favorit untuk meraih kalkulasi terbesar penghitungan suara. 

Dengan duit lima puluh ribu, atau gula sekilo, atau selembar sarung, dan lain-lain kreasi, seisi rumah sudah merasa sangat berarti karena merasa telah menjadi bagian penting dari perjuangan besar seorang kandidat, bahkan ada yang rela mati. Toh perut memiliki ruang amat terbatas untuk menampung seluruh kebutuhan materil makanan, tidak bisa banyak, hanya butuh dijaga agar tidak kosong. Jika belum sempat, cukup dengan memberi janji-janji. Namanya janji pasti manis semanis titty, apalagi disertakan selembar isi dompet sebagai pelengkap penghibur hati.

Kampanye politik hampir tidak pernah lepas dari kehadiran bintang-bintang hiburan (entertain) dari kelas lokal hingga nasional, bahkan hingga ke goyang erotis yang sama sekali tidak punya hubungan dengan visi kebangsaan dan kenegaraan. Dapat dibayangkan jika raja-raja pemegang kendali kanal entertainment juga ikut ambil bagian dalam kancah perpolitikan baik langsung atau tidak. Rasanya tiada kesulitan menginjeksi ruang bawah sadar dengan tittytainment. 

Paling sederhana di kampung yang paling pelosok pula, kampanye keliling dilakukan dengan mengikutkan mobil besar yang di desain menjadi panggung hiburan electon nonstop. Masyarkat tak pernah tahu bahkan dari kandidat dukungannya sekali pun soal apa gagasan, konsep, komitmen, implementasi, pengawasan, dan lain sebagainya,.

Pertanyaannya, dengan kondisi negara kita yang sedang menikmati tittytainment global, dan di saat yang sama para elitnya juga melakukan tittytainment terhadap masyarakatnya sendiri, lalu bagaimana kita bisa berbicara tentang keberdayaan masyarakat kita di tengah masyarakat global? 

Kita mungkin akan terus menjadi masyarakat penetek, sambil dielus-elus bobokkan dengan hiburan-hiburan dunia. Paling tidak, dengan menggunakan baju kaos Chelsea, Metallica, nonton bareng live di media, nonton dan ikut perkembangan info miss univers, dan lain sebagainya, seorang telah merasa menjadi bagian berarti dari dunia.

Pemilihan legislatif pusat hingga daerah serta pemilihan eksekutif sebentar lagi akan berlangsung. Apakah kita ingin menjadi masyarakat penetek? Semua tergantung partai politik. Semoga parpol tidak mengusung politikus tittytainment. Menetek punya waktu tertentu, dan sang induk sangat paham kapan saatnya.

Wallahu a’lam.

Bunyi Mandar Itu Apa? (Bagian 3)


Bunyi Mandar Itu Apa? (Bagian 3)
(Capaian struktur musik di Mandar)
Sahabuddin Mahganna

Mendengar dan memperdengarkan bunyi, bermaksud menyampaikan sekaligus menerima kalimat, tentu saja bermanfaat untuk dipahami menjadi medium pemberi tanda. Meski hanya bunyi, Pelloana atau Bambana, jelas menyatakan peristiwa secara tegas, sehingga kita dapat memahami kondisi atau menerima kabar lewat transfer media tersebut. Dan instrumen terkhusus untuk musik, tidak di luarnya, sebab kadang diadopsi dalam penyusunan bunyi dan melodi. 

Penciptaan dan penyampaiannya berupaya memenuhi unsur pelloa, bamba, ololioliolio, loa, massa'du dan matte' dengan harapan bukan hanya pelaku yang menginginkan keindahan, melainkan untuk pendengar (mengenai sasaran). 

Bunyi-bunyian di Mandar sesekali melahirkan ololio atau liolio yakni sebuah anggapan kalimat dari bunyi, dengan kata lain membentuk melodi berulang-ulang. Untuk pernyataan ini, mereka masyarakat Mandar menyebutkan predikat itu karena hanya mengenal audio tanpa teknik. Dalam media instrumen, nada untuk melodi sekalipun untuk ritmis pada prinsipnya adalah rangkaian huruf yang tersusun, dan terbentuknya  Ololioliolio, seperti seketika itu dapat saja dinyatakan kalimat. 

Bunyi dalam melodi di Mandar terkoneksi, baik itu hanya sekadar bunyi, nyanyian atau menggunakan instrumen. Kalimat yang tersusun menjadi indah akibat pemilihan nada-nada, tidak asal menyampaikan, yang barang kali mengindikasi bahwa kalimat dapat diterima baik karena sangat bergantung pada tata letak nada hingga melahirkan Intonasi-intonasi yang memudahkan kita untuk mengerti apa maksud dari bunyi tersebut, begitu pula terjadi pada bunyi dipahami menjadi kalimat perintah. 

Biasanya, nada di Mandar kadang didapatkan dari kabar dengan istilah “membamba memangi“ dengan kata lain bersuara sebelum tercipta, atau terpatri dalam jiwa sebagai informasi awal, sehingga bunyi dan melodi bagi mereka tidak hanya menjadi pendamping, melainkan bunyi yang berharga bagi para pelaku dan pecintanya.

Khusus untuk instrumen, ketika dimainkan, tidak jarang para pelaku menandai estetika bunyi dengan meraba atau sekadar memberi pernyataan "pecoai pattappunna" (perjelas kalimatnya). Jika permainan tidak pas atau tidak diterima baik bagi yang mendengarkan, maka tentu berhubungan dengan ketidakjelasan kalimat tersebut, itu berarti terdapat penempatan huruf-huruf yang keliru, dengan kata lain kesempurnaan kalimat dalam musik tergantung pada posisi nada (Malliolio). Sementara sangat penting memperhatikan kalimat dalam bunyi dan melodi yakni pertanyaan dan jawaban.

Kendati sangat sederhana, dalam permainan instrumen musik Mandar, seperti Kacaping, Paluppung, Keke, Calong, Tulali dll. Tidak pernah ditemukan nada yang datar, namun selalu melekat nada lain sebagai bumbu (bali') sebagai analisis jangkauan nada bertanya dan menjawab. Bukan hanya bunyi prioritas, namun perlu menelaah poin-poin yang bisa saja mejadi inti. Dengan pertimbangan "macoa pattapu" maka itu berarti instrumen sesungguhnya sedang menyampaikan kalimat. 

Beberapa hal yang harus kita perdalam. Sebuah benda (instrumen musik) yang berbunyi tidak lebih dari sekadar bunyi, bunyi yang sampai ke telinga berarti sedang menyampaikan sesuatu, sebab dapat dipahami bahwa bunyi sukses menyampaikan diri dan statusnya. Orang Mandar menyebutnya pelloa. Tetapi disini akan ada pertanyaan bilamana bunyi itu masih belum jelas dari mana sumbernya. Dan oleh karenanya, suara (bamba) diperlukan untuk memastikan keberadaan dari jenisnya. 

Musisi Mandar awal lebih sering menekankan, sama halnya pada permainan instrumen yang tercantum dalam pernyataan sebelum ini, bahwa keistimewaan alat berada pada kemampuan pelakunya dalam menyusun nada atau huruf-huruf, hingga tekanan dan tekniknya mengupayakan instrumen harus bernyanyi "papa'elongi iting kacapingo atau papalliolioi" (ololioliolio). Ini menandai bahwa tersusunnya ololioliolio, kalimat lagu akan menjadi titik perhatian pendengar, seolah sedang menyimak kata dan kalimat yang disampaikan (loa). Itulah sebabnya pelloa diambil dalam kata bunyi atau berbunyi, sebab dia sesungguhnya dalam keadaaan menyampaikan sesuatu meski hanya satu huruf. 

Ketika kalimat dalam kalimat lagu mengalun, maka pemain bahkan pendengar akan menunggu momentum kesyahduan atau rasa nyaman, berujung pada proses dalam menemukan puncak dari kenyamanan itu. (Massa'du). Namun, sesungguhnya tidak jarang tiba-tiba ada ruang dimana kita bisa berada dalam keadaaan kosong, yang memutuskan untuk melupakan semua yang didengar, sehingga dari sini terkadang hubungan antara pelaku nada dan pendengar pada produksi yang ditawarkan seolah tidak lagi menyatu, atau pendengar hingga pelaku akan memahami dengan rasa masing-masing yakni mengenai sasaran (matte'). Dalam mencapai Massa'du belum tentu dapat berada dalam situasi tersebut di atas,  Jika kemungkinannya kita hanya fokus menikmati kreatifnya. 

Jadi, benda atau sesuatu "instrumen Musik" yang berbunyi (pelloa), bersuara berdasarkan jenisnya (membamba), terwujudnya nada membentuk melodi sebagai bagian dari huruf-huruf yang tersusun (ololioliolio), melahirkan keindahan karena kejelasan kalimat (loa), hingga sampai serta nyaman pada pendengaran (massa'du), dan mengenai sasaran (matte').

Senin, 08 April 2024

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 2)

"BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 2)
(Bamba, Pelloa, Loa adalah Bunyi)
Oleh: Sahabuddin Mahganna

"Pelloa juga bunyi" sering kali diucapkan dalam bahasa Mandar, menunjukkan bahwa bunyi adalah hal yang umum dan tidak tabu bagi semua umat manusia di muka bumi ini. Bahasa orang Mandar kadang-kadang digunakan sebagai medium untuk menyampaikan kebaikan melalui bunyi murni. Namun, tidak semua kalimat dalam bahasa Mandar dianggap suci atau murni. Terkadang, bunyi dalam bahasa Mandar merujuk pada bunyi yang murni, seperti ketika kita berteriak, bersin, batuk, atau menangis. Bunyi semacam ini dikategorikan sebagai bunyi murni. Abdul Chaer (2003) dalam karya Busrah dan Bustan. Kemungkinan dapat dinilai dari alam sebabnya, bukan sebagai hasil tindakan sengaja, melainkan muncul secara alami.

Dalam "Pelloa", merujuk pada benda atau sesuatu yang mengeluarkan bunyi, tanpa kata secara eksplisit dari manusia. Jadi, "pelloa" dan "loa" sepertinya memiliki makna yang berbeda, yang sebenarnya dipisahkan. "Loa" mungkin merujuk pada ucapan atau kalimat yang menyertai bunyi, sedangkan "pelloa" mengacu pada benda atau bunyi tanpa kata dari manusia. Ketika ditambahkan awalan "pe-" untuk menghubungkannya dalam fonem Mandar, "pelloa" secara konseptual memperjelas bahwa itu adalah bunyi yang dihasilkan. Dari sini, kita dapat memahami bahwa orang Mandar mungkin memahami bahwa sesuatu yang menghasilkan bunyi juga mungkin menyertakan ucapan atau kalimat yang tidak selalu dapat dipahami secara langsung oleh manusia, tetapi hanya bisa dipahami melalui perasaan. Untuk menandai bunyi, ada juga istilah "Bamba" dan "Matte'".

"Bamba" digunakan untuk menandai suara atau bunyi. Dalam beberapa kamus, "bamba" dikategorikan sebagai suara besar, sementara yang lain hanya menyebutnya sebagai suara tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini mungkin karena suara dipahami sebagai warna vokal atau jenisnya, di mana "bamba" berdiri sendiri sebagai predikat suara yang sangat dipengaruhi oleh bunyi. Sehingga untuk memperjelas penggunaan "bamba", kadang-kadang diperlukan penambahan kata-kata tertentu seperti "Napowambai" (terdengar seperti itu), "Dipowambai" (kita bersuara dan berbunyi), "Membamba" (berbicara atau bersuara), dan "pebamba" (bersuara). Namun, penafsiran ini mungkin menjadi subjektif dan abstrak tergantung pada konteksnya.

"Matte'" adalah kata yang sulit dijelaskan dan sering kali dipahami sebagai mengenai sasaran atau kosong. Biasanya, "Matte'" terjadi setelah adanya benturan antara benda, ketika bunyi yang dihasilkan hanya satu atau tidak ada lagi. Dalam kamus Mandar, "Matte'" digambarkan sebagai tiruan bunyi, seperti ketika terkena lemparan.

Dengan demikian, "loa" yang terkait dengan "pelloa" biasanya memiliki kata atau kalimat yang jelas, sedangkan "bamba" mungkin tidak memiliki teks yang terukur tetapi tetap memiliki bunyi yang jelas. "Pelloa" memperjelas bahwa dalam "loa" ada bunyi yang dapat didengar, begitu juga dengan "bamba" yang mudah dipahami jika ada bunyi.

(Bersambung)

Kamis, 04 April 2024

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 1)

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 1)
(Loa Dalam Makna Ganda)
Oleh: Sahabuddin Mahganna

Syuman Saeha menggelitik dengan pertanyaan, lalu saya menjadikan judul di atas, ini menarik. Mandar yang boleh jadi melakukan atas dasar aksi, melakukan tindakan, atau gerakan spekulatif, lalu menjadi nyata dan serius dalam menjalaninya, sebagai percobaan untuk menemukan sebuah kehidupan. Aksi dalam hal ini bukan dipahami atau dibatasi pada bentuk permainan dan pertunjukan saja, melainkan tindak atau laku secara langsung, terbuka dan terpercaya. Aksi-aksi itu kemudian nyata hingga menemukan kebenaran.

Ketika pendahulu Mandar melakukan ekspedisi, membuka lahan baru dan mencoba untuk menerapkan tata nilai dan aturan, kemudian disepakati sebagai jalan untuk menentukan sikap orang Mandar. Tentu saya akan mengarah atau melibatkan orang dalam memahami bunyi Mandar, meski ini sangat rumit menjelaskan dan sedikit dilema. Pelibatan dalam hal ini, orangnya yang berbunyi, begitupun jika menaruh kata-di-“jelas menadai wilayah”. Siapa orang Mandar? dan di mana wilayahnya? Jika ada orang Mandar menempati suatu wilayah maka tentu punya bahasa.

Busrah Basir ditemani dengan rekannya Bustan Basir, telah menafsir bahasa Mandar adalah suatu bunyi, dalam tulisnya secara teknis merujuk pada catatan Kridalaksana dalam Abdul Chaer (2003), bahwa bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Lanjut ia tambahkan bahwa bunyi tersebut dapat bersumber pada gesekan atau benturan benda-benda, alat suara pada binatang dan manusia, namun menurutnya terjadi pengklasifikasian terhadap bunyi, bahwa yang terjadi pada manusia atau lambing bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dan jika tidak dihasilkan dalam ucap pada manusia, bukan kategori bunyi bahasa. 

Kalimat-kalimat dalam bahasa Mandar yang diucapkan kadang kita temukan bermakna ganda, sebut saja ketika tinjauannya berada pada dua pernyataan pragmatik oleh George Yule (1996), bahwa pragmatik adalah suatu kajian bahasa yang berkenaan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi atau tidaknya yang dikomunikasikan, kemudian yang kedua bahwa pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterence), yang menggumuli makna yang terikat oleh konteks (konteks-Dependent). Dari pragmatik ini, seakan bunyi orang Mandar adalah bunyi berbau sikap dan sifat. 

Tindak tutur orang Mandar dalam Lokusi yakni tindak tutur yang dilakukan untuk melakukan sesuatu, merupakan makna dasar dari tindak tutur tersebut (The Act Of Saying Something). Sebagai contoh Mammisi Uwai ( Air ini Manis) tidak ada maksud apa-apa sekadar menyatakan sesuatu itu. Kemudian Ilokusi berkata sesuatu, atau mengatakan sesuatu, sekaligus menindakkan sesuatu (The Act Doing Something). Pada kaitan ini, boleh jadi kalimat “Nawwatomitia ri’e pelloana to Mandar” adalah bahasa yang bermakna (Ini Bunyi Orang Mandar) sementara kata (Loa/Pau) dan lakunya orang Mandar adalah Kebenaran.

Pandangan ini, ilokusi tidak semata melihat loa atau Pau sebagai ucapan dalam arti secara langsung, melainkan sebagai pemaknaan atau bunyi tak terlihat, atau hanya pendengaran yang mampu menangkapnya kemudian menelaah apa maksud perkataan itu. Sementara dalam audio, manusia harus puas pada kepentingan rasa, sama ketika meninjau kebenaran sikap dan sifat, sasarannya kembali kepada rasa. Dan dengan pendekatan rasa inilah, memahami loa secara ilokusi sebagai sesuatu yang abstrak. Loa dalam pandangan sikap dan sifat, itu sangat tergantung pada bunyi lontaran, tidak bisa diterjemahkan atau dimengerti secara langsung, namun rasalah yang menentukan, sehingga boleh jadi pemahaman loa secara ilokusi dalam kalimat “nawwatomi tia ri’e pelloanan to Mandar”, ketentuannya merujuk pada perlakukan sikap dan sifat yang lurus, sama seperti Loa atau bunyi yang tak pernah ditemukan kebohongannya. (bersambung)

Jumat, 08 Maret 2024

MENGENAL TANAH LUWU


Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Kerajaan Mori[1], Kabupaten Morowali Utara, (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Tanah Mori[2], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:

Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:

Kerajaan Mori[3] (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

Onder Afdeling Palopo, dengan ibu kotanya Palopo.
Onder Afdeling Makale, dengan ibu kotanya Makale.
Onder Afdeling Masamba, dengan ibu kotanya Masamba.
Onder Afdeling Malili, dengan ibu kotanya Malili.
Onder Afdeling Mekongga, dengan ibu kotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak mengubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang kemuadian bergelar "Andi Jemma".

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.

Atas jasa-jasa dia terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum dia wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.

Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain:

Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar.
Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:

Kewedanaan Palopo
Kewedanaan Masamba dan
Kewedanaan Malili
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Provinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:

Wara
Larompong
Suli
Bajo
Bupon
Bastem
Walenrang(Batusitanduk)
Limbong
Sabbang
Malangke
Masamba
Bone-Bone
Wotu
Mangkutana
Malili
Nuha

Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.

Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratif (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.

Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Provinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas provinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Luas Wilayah Provinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar provinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Provinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luas wilayah provinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor: SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.

Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:

Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan, yaitu:
Kecamatan Lamasi
Kecamatan Walenrang
Kecamatan Pembantu Telluwanua
Kecamatan Warautara
Kecamatan Wara
Kecamatan Pembantu Wara Selatan
Kecamatan Bua
Kecamatan Pembantu Ponrang
Kecamatan Bupon
Kecamatan Bastem
Kecamatan Pembantu Latimojong
Kecamatan Bajo
Kecamatan Belopa
Kecamatan Suli
Kecamatan Larompong
Kecamatan Pembantu Larompong Selatan

Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:

Kecamatan Sabbang
Kecamatan Pembantu Baebunta
Kecamatan Limbong
Kecamatan Pembantu Seko
Kecamatan Malangke
Kecamatan Malangke Barat
Kecamatan Masamba
Kecamatan Pembantu Mappedeceng
Kecamatan Pembantu Rampi
Kecamatan Sukamaju
Kecamatan Bone-Bone
Kecamatan Pembantu Burau
Kecamatan Wotu
Kecamatan Pembantu Tomoni
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Pembantu Angkona
Kecamatan Malili
Kecamatan Nuha
Kecamatan Pembantu Towuti

Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:

Kecamatan Wara
Kecamatan Wara Utara
Kecamatan Wara Selatan
Kecamatan Telluwanua
Kecamatan Wara Timur
Kecamatan Wara Barat
Kecamatan Mungkajang
Kecamatan Bara
Kecamatan Sendana

Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:

Kecamatan Angkona
Kecamatan Burau
Kecamatan Malili
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Nuha
Kecamatan Wasuponda
Kecamatan Tomoni
Kecamatan Tomoni Utara
Kecamatan Towuti
Kecamatan Wotu

Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:

Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2. 

Sumber: Grup FB Sejarah Nusantara

Kamis, 07 Maret 2024

DENGARKAN KOROANG BAHASA MANDAR DARI YOUTUBE


Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ikuti terus chanel kami PUSAKAKU dengan meng-klik link kami: https://www.youtube.com/.../UCNZ9WEfrYzMg9rMXVz.../videos...

Saat ini anda bisa memutar bacaan Al-Quran Terjemahan Bahasa Mandar dari Qori’ Agung Masyhuri Sastranegara - Terjemahan Muh. Idham Khalid Bodi.

Silahkan klik dan jangan lupa SUBSCRIBE, SHARE & KOMENTAR.
1. QS. AL-FATIHAH https://www.youtube.com/watch?v=rzwsmlP9hh8
2. QS. AL-MA'ARIJ https://www.youtube.com/watch?v=TKgybNyT3cc&t=139s
3. QS. AL-HAQQAH https://www.youtube.com/watch?v=yVbvm4VZXJo
4. QS. AL-QALAM https://www.youtube.com/watch?v=tpmxEKn5ZOk&t=1s
5. QS. AT-TAHRIM https://www.youtube.com/watch?v=JKV6prVhv54&t=29s
6. QS. AT-TALAQ https://www.youtube.com/watch?v=QcRRCoSLiv4&t=1s
7. QS. AL-MULK https://www.youtube.com/watch?v=WzeOkEleNzw&t=182s
8. QS. AL-MUNAFIQUN https://www.youtube.com/watch?v=ptOs_kIxXfs&t=203s
9. QS. AT-TAGHABUN https://www.youtube.com/watch?v=O2ljaQLs4q4&t=107s
10. QS.AL-JUMU'AH https://www.youtube.com/watch?v=yXALUG2CqJg&t=81s
11. QS. ASH SHAFF https://www.youtube.com/watch?v=DyYc56dCTPY&t=2s
12. QS. AL MUMTAHANAH https://www.youtube.com/watch?v=1h97JBcL5Bo&t=278s
13. QS. YASIN https://www.youtube.com/watch?v=i50m3q65uOY&t=15s
14. QS. AL-HASYR https://www.youtube.com/watch?v=R2TDWFPEY6M&t=169s
15. QS. AL MUJADALAH https://www.youtube.com/watch?v=1xMO4zbAQnQ&t=38s
SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA KE AKUN KAMI. BARAKALLAHU FIIKUM.