Rabu, 20 Oktober 2021

KORO'ANG MALA'BI' MAHAKARYA YANG ASING DI NEGERI MALAQBIQ.

 



KORO’ANG MALA’BI’ adalah Al-Qur’an terjemahan Bahasa Mandar yang dilengkapi dengan bahasa Indonesia. Project Penyusunan Koro’ang Mala’bi’ ini digagas oleh Prof. Dr. Idham Khalid Bodi yang terbit pertama dalam bentuk 30 Juz dan dicetak kerjasama dengan Pemda Majene sebelum kemudian diterbitkan secara resmi di Makkah pada tahun 2005.

Koroang Mala’bi’ ini sudah proses cetakan ketiga yang dalam setiap cetakan disertai dengan revisi. Tahun 2019 merupakan tahun dimana tahapan revisinya digarap secara besar-besaran dengan melibatkan sebanyak 32 tim pentashih, termasuk penulis. Penulis terlibat sebagai tim pentashih ini diajak langsung oleh Dr. Idham Khalid Bodi saat proses finalisasi di Villa Bogor Majene yang dilaksanakan selama 3 hari yaitu dari tanggal 4 – 6 Agustus 2019.

SEJARAH PENERBITAN KOROANG MALA'BI'

Penyusunan Koroang Mala’bi’ dimulai pada tahun 1995. Berawal dari sebuah kerinduan terhadap kampung halaman yang kemudian disalurkan lewat penyusunan terjemahan Juz Amma ke dalam bahasa Mandar. Idham yang saat itu masih aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Bahaa Arab IAIN Alauddin (sekarang UIN) Makassar, menyampaikan hasil tersebut kepada para ulama dan budayawan Mandar. Apa yang dilakukan oleh Idham tersebut diapresiasi oleh para alim ulama untuk ditindak lanjuti menerjemahkan al-Quran Bahasa Mandar 30 Juz.

Tahun 1998, oleh MUI Sulawesi Selatan menerbitkan SK No. 114/MUISS/SK/1998 Tentang Panitia Penerjemahan dan Penerbitan Al-Quran Mandar Indonesia dengan komposisi Penerjemah, Muhammad Idham Khalid Bodi. Ketua Panitia; Dr. H. Ahmad M. Sewang, MA. Sekretaris; Muhammad Idham Khalid Bodi, dan Bendahara Drs. Mahmud Hadjar. Adapun Pentashih Bahasa Mandar adalah Drs. KH. Abdul Rahman Halim, MA (koordinator) dan anggota Dr. KH. Sahabuddin, Husni Djamaluddin, Drs. Ahmad Sahur, M. Si. Dan Drs. Suradi Yasil. Surat Keputusan tersebut ditanda tangani oleh KH. Sanusi Baco, Lc. (Ketua MUI Sulawesi Selatan) dan Dr. Hamka Haq, MA (Sekretaris MUI Sulawesi Selatan).

Pada awalnya, terjemahan Al-Quran ini hanya menggunakan bahasa Mandar. Akan tetapi atas saran dari Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH, agar memasukkan terjemahan bahasa Indonesia dengan alas an, bahwa masih banyak orang Mandar yang belum bisa berbahasa Indonesia, demikian juga sebaliknya. Diharapkan dengan membaca terjemahan tersebut, orang lebih mengenal bahasa Mandar, jadi semacam kamus.

Pada tahun 2000, Ketua Panitia (Ahmad M. Sewang) atas usul dari Baharuddin Lopa untuk menjejaki kemungkinan akan diterbitkannya terjemahan ini di Arab Saudi. Pada tahun tersebut, Ahmad Sewang ke Rabithah Alam Islami sebagai organisasi terbesar di Arab Saudi dan dari sana disarankan untuk memohon ke Mujamma’ Malik Fahd di Madinah. Karena terbatasnya waktu, maka proposal tersebut di kirim ke lembaga tersebut. Pihak Mujamma menyambut dengan baik sehingga Direktur Mujtama yang juga pengajar di Universitas Madinah mencari mahasiswa asal Indonesia, khususnya yang berasal dari Mandar. Ternyata di Universitas Madinah ditemukan mahasiswa dari Mandar, yakni Irwan Fitri Atjo. Saat liburan, Irwan ditugaskan pulang ke Indonesia untuk mencari penerjemah dan membawa Al-Quran Terjemahan bahasa Mandar utuh 30 Juz.

Sesampainya ke Indonesia (Makassar), Irwan menemui Idham Khalid Bodi dan menceritakan kemungkinan akan diterbitkannya terjemahan ini di Arab Saudi. Karena terjemahan belum di tashih semuanya, maka Idham berjanji akan mengantar langsung naskah tersebut ke Arab Saudi tahun 2001 (saat musim haji). Sebelum ke Arab Saudi (menunaikan ibadah haji), Idham mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk file yang tersimpan dalam disket (saat itu belum dikenal flash disk maupun hardisk eksternal). Termasuk menghubungi Baharuddin Lopa mengatur jadwal bertemu dan menysun langkah selanjutnya. Sesampainya di Mekah, Idham kembali menguubungi Baharuddin Lopa di Jeddah karena saat itu masih menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Arab Saudi. Idham dan Baharuddin Lopa sepakat akan bertemu dua hari kemudian di Azisiyah, Mekah.

Setelah menunaikan ibadah haji, Idham ke Madinah untuk arba’in dan menemui Irwan untuk menghadap ke Direktur Majamma’ Malik Fahd. Ia disambut dengan sangat luar biasa dan disepakati bahwa Mujamma’ akan menerbitkan naskah tersebut untuk ummat, tanpa royalty. Semua Lillahi Ta’ala.

Tahun 2005, al-Quran Bahasa Mandar benar-benar diterbitkan. Dicetak sebanyak 20.000 eksemplar dan menjadi satu-satunya bahasa daerah yang diterbitkan di penerbit bergengsi tersebut, bersanding dengan terjemah bahasa-bahasa negara di dunia. Masalahnya kemudian karena penerbitan di Arab Saudi ini tidak melalui prosedur kenegaraan di Indonesia, tidak melalui Kementerian Agama RI (Dalam hal ini Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran). Sementara semua mushaf yang beredar harus ada tanda tashih dari lembaga tersebut. Drs. H. Fadhal AR, M.Sc, sebagai Kepala Pusat Lektur yang membawahi Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran menyarankan agar Al-Quran-Mandar tersebut tetap ditashih sebelum beredar. Tim pun dibentuk untuk maksud tersebut, dan tetap melibatkan penerjemah. Pentashihan dilakukan di Ciawi, Bogor selama sepekan.  

KOROANG MALA'BI' YANG ASING DI NEGERI MALAQBIQ.

Tahun ini, 2021 Sulawesi Barat berumur 17 tahun. Setahun lebih tua dari diterbitkannya Koroang Mala'bi' oleh Negara Saudi Arabiyah. Penerbitannya tak tanggung tanggung, 20.000 eksemplar kendati tanpa royalti khusus kepada penyusunnya. Lalu apa hubungannya antara Sulbar Malawbiq dengan Koroang Mala'bi'?. Pertanyaan ini harusnya dijawab oleh pemangku kebijakan di wilayah ini. Tapi bgaimana mungkin bisa menjawabnya, barangnya saja masih menjadi benda asing.

Berkaca pada negeri Arab,  bisa dibayangkan berapa budget yang harus digelontorkan untuk biaya produksi 20.000 eksemplar Koroang Mala'bi'. Jika dikonversi dalam nilai rupiah, bea cetak stiap eks Koroang Mala'bi' berkisar Rp. 250.000. Itu artinya Negara Arab merogoh kantongnya senilai 5 Miliyar. 2 Tahun lalu, sebuah proposal disodorkan lewat Gubernur, Sekprop, Ketua dan Unsur Pimpinan DPRD Sulbar. Penawaran untuk penggandaan sebanyak 10.000 eks dengan anggaran 2,5 M (10.000 kali 250.000).

Usulan itu sempat dibincang dalam agenda rapat Banggar pada tahun 2020, namun setelah rapat selesai, informasi terkait proposal itu tak pernah ada. Kepada OPD kembali diusulkan namun terkendala regulasi dimana harga kitab suci pada OPD terkait berada diangka Rp. 200.000,- yang secara otomatis tak bisa diakomodir. Disatu sisi pengadaan buku dan karya cetak di wilayah ini nominalnya cukup pantastis. Pantaskah ini dilakukan di negeri berjuluk Malaqbiq ini? Jawabannya bisa pantas, bisa juga tidak, sebab inilah ending dari sebuah pengusulan.

Terlepas dari itu semua, saya hanya ingin mengutip salah satu firman Allah: Inna Nahnu Nazzalnadz Dzikra  Fainna Lahu Laa Hafidzun. Kepada Allah jua kami serahkan, semoga Pemerintah Sulbar dipantaskan oleh Allah untuk menjadi bagian dari pemelihara Al-Quran sebagaimana Allah juga ikut melakukan pemeliharaan. Semoga tulisan ini sekaligus menjadi proposal agar maha karya anak Mandar ini tidak asing bagi anak negerinya. Setidaknya, bisa dijumpai pada setiap masjid yang ada di wilayah Sulawesi Barat. Amin. Barakallahu Fiikum.