Jumat, 02 Februari 2024

SERIGALA BERTOPENG NABI (5)

Suatu hari 
Aku merelokasi semua bacaan jadi mantra
lalu mantra itu kerapal di setiap bilik suara
Aku lupa bahwa aku bukan politisi
sebab politisi ternyata jidatnya jadi lautan arang 
dan doa-doanya makbul oleh material yang kadang lupa dicuci oleh warga.

Suatu hari 
Aku dengan sangat patuh dan menganggap semua politisi adalah makhluk yang layak dipatuhi
Tanpa sadar aku jadi pengikut sebab partai lupa mengkader
Aku akhirnya tersadar bahwa kepatutatan harusnya pada orang yang patut dipatuhi. 
Orang itu tentu bukan politisi, sebab aku bukan caleg

Hari ini
atribut dan kebanggaan politisi itu telah kutanggalkan
tapi belum kutinggalkan
sebab aku masih melihat harapan terbit dari sorot mata para petani yang ke pasar menjual hasil kebun tapi ternyata harus menggadaikan jam tangannya untuk bisa kembali ke rumah

Hari ini
Akulah politisi itu
Bukan mereka yang namanya berderet di surat suara
Bukan mereka yang fotonya jadi gambar mata uang 
Akulah politisi itu
Bukan mereka yang tanpa sadar mengeja Tuhan 
Bahkan memaksa Tuhan meladeni keinginannya
Lalu ketika Tuhan enggan melayani
Tuhanpun dipenjara pada dinding masjid 
"ini karpetmu Tuhan
ini tegel dan marmermu Tuhan
Jika Tuhan butuh aku, panggillah pake TOA
ini deposito buat membangun rumahmu bagi anak-anak
Tinggallah di rumahmu
sebab di rumah rakyat, kadang Tuhan rewel jika ikut ke ruang paripurna"
Kata mereka

Dan......saat ini
Label dan sematan politisi itu benar-benar kutinggalkan
sebab ternyata menjadi rakyat jauh lebih politis.....
Bahkan tak jarang jadi puitis ketika menemukan politisi di ujung jalan. 

Muhammad Munir
Katitting, Desa Tandung, Januari 2019

BUKU JARINGAN MARITIM MANDAR


SAMBUTAN
Susanto Zuhdi
Profesor Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 
Universitas Indonesia

Dengan suka cita, saya menyambut baik atas penerbitan buku karya Dr. Abd. Rahman Hamid. Buku ini berasal dari disertasi yang dipertahankannya dalam ujian promosi di Universitas Indonesia pada 18 Januari 2019. Hamid adalah salah satu mahasiswa terbaik, yang pernah saya promosikan sebagai doktor Ilmu Sejarah. Dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) nyaris 4 (empat),  sebetulnya ia memenuhi syarat untuk memperoleh pujian (cum laude) dalam yudisium promosi tersebut. Oleh karena masa studi yang berlebih, maka hal itu tidak berhasil diraihnya. Akan tetapi itu tidak terlalu penting, sebab jauh lebih bermakna ketika disertasi itu diterbitkan sehingga dapat dibaca khalayak lebih luas. Banyak disertasi doktor di Indonesia atau yang dibawa dari luar negeri, tidak diketahui apalagi dibaca publik, karena hanya tersimpan di rak buku pribadi atau perpustakaan saja. Hal itu patut disayangkan karena masyarakat Indonesia masih memerlukan banyak bacaan sejarah bermutu guna mendukung gerakan literasi nasional. 

Pilihan pada tema sejarah maritim dan fokus pada suatu kawasan serta suku bangsa Mandar, yang terabaikan dalam historiografi Indonesia, merupakan kontribusi penting penulis buku ini untuk dicatat. Seperti ingin memenuhi anjuran Nakhoda Sejarah Maritim Indonesia, Adrian B. Lapian (1929—2011), Hamid telah mengisi rumpang studi sejarah maritim di Selat Makassar, dengan fokus pada dua pelabuhan “kembar”, Pambauwang dan Majene. Dengan memilih periode panjang antara 1900—1980, Hamid pun hendak meneruskan model kajian Lapian mengenai kawasan Laut Sulawesi dalam Abad XIX. Jika Lapian berhasil membuat kategorisasi orang laut raja laut bajak laut, Hamid berjaya dalam membuat model pelabuhan “kembar” yang komplementatif  peranannya  dalam jaringan maritim yang bertolak dari Selat Makassar. Hamid juga berhasil membuat empat pola pelayaran yang disumbangkan Mandar dalam peta pemahaman pelayaran Nusantara yakni pelayaran pantai, pelayaran selat, pelayaran lintas selat, dan pelayaran lintas laut lepas. 

Jangkauan jaringan maritim yang digerakkan orang Mandar melalui pelayaran dan perdagangan, seperti digambarkan Hamid, tidak sebatas di Selat Makassar. Dalam masa kejayaan khususnya dalam periode 1900—1940, pelayaran Mandar ke timur hingga  Ambon maka dikenal lah era ini sebagai ’Masa Ambon’. Sedangkan jangkauan pelayaran Mandar ke barat sampai ke Singapura sehingga periode ini masih diingat sebagai ‘Masa Singapura’. Periode 1940—1951 dicatat sebagai masa surut, namun pelaut Mandar masih bertahan. Alhasil pelayaran orang Mandar seperti dipaparkan dalam buku ini, telah merajut pulau-pulau hampir ke seluruh bagian Nusantara: ke barat hingga pantai barat Sumatera di Samudera Hindia, dan Singapura hingga Selat Malaka, ke timur sampai pantai  barat Papua, dan Ternate. Sedangkan ke utara mencapai Tawao ke selatan hingga Flores dan Timor.  

Dalam periode terakhir (1952—1980) pelukisan Hamid mengenai jaringan pelayaran Mandar dari pelabuhan berlangsung hanya dari Pambauwang ke Majene. Dalam masa ini, pemerintah  mengeluarkan peraturan untuk memberantas penyelundupan dan perompakan, karena gangguan keamanan di Selat Makassar, yang dipicu pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pelabuhan Majene dan Pambauwang menjadi rebutan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan DI/TII. Faktor itulah sebagai penanda berakhirnya kejayaan pelayaran Mandar yang menyebabkan runtuhnya pelabuhan Pambauwang. Sejak itu banyak orang Mandar keluar berdiaspora ke pulau-pulau kecil di Kalimantan Selatan dan membangun jaringan di pantai barat Sulawesi.

Capaian tidak kalah penting dari karya Hamid adalah dalam pendekatan struktural yang ia gunakan. Kajian sejarah dengan pendekatan ini tidak selalu menghasilkan kisah yang datar membosankan atau sejarah tanpa manusia, tanpa agensi. Dalam dekade 1950—1960 ketika masa surut justru menampakkan jaringan Majene yang menghasilkan pengusaha sukses seperti Pua Abu dan Haji Sakir. Struktur tidak selalu menjadi kendala tetapi sebagai peluang bagi agensi yang mampu memanfaatkannya. Dualitas struktur seperti dikemukakan Anthony Giddens, coba diuji oleh Hamid sehingga akan terbuka kajian lebih luas dan mendalam dari aspek ini. 

Kini telah bertambah lagi deretan karya sejarah maritim dari tangan sejarawan Indonesia, yang masih dalam hitungan jari. Apalagi dengan telah berpulangnya dua sejarawan maritim dari Universitas Hasanuddin dalam satu-tiga tahun belakangan, tempat Hamid kini mengajar sebagai staf dosen tidak tetap. Dengan penyampaian kalimat yang lugas, buku ini mudah dicerna.   

Selamat membaca

Depok, April 2020.

MUAZ ABDULLAH ||Mengubah Tantangan Jadi Peluang


Muaz Abdullah adalah putra Mandar kelahiran R. Soeparman Wonomulyo yang dalam tubuhnya juga mengalir darah Pattae, Pattinjo dan Batak (marga Matondang). Ia lahir dari rahim Hj. Sania setelah dipersunting oleh seorang perwira polisi bernama Abdullah. Abdullah Matondang mentahbiskan hidupnya jadi pengayom masyarakat Mandar pada era 70an sampai 90an. Ia bahkan pernah menjabat sebagai Kapolsek Sumarorong dan beberapa daerah lain menjadi jejaknya dalam mengabdi pada negara lewat lembaga Polri. 

Muaz tercatat sebagai Caleg DPRD Sulbar di Partai Golkar punya kisah yang tergolong rumit hingga akhirnya bertengger diantara deretan  No. 7 dapil Polman A atau Sulbar 3. Keputusan Muaz beranjak dari dunia bisnis dan terjun ke dunia politik tentu bukan keputusan biasa, melainkan sebuah pilihan yang harus siap ditampar oleh resiko. Sebab hari ini, dunia perpolitikan kita telah tercerabut dari akar sejarahnya. Politisi yang bertarung di beberapa Pemilu pada dua dekade terakhir ini sungguh harus membuat kita ikut resah dan prihatin. Mereka tanpa malu menjadikan uang sebagai tameng untuk mempedaya rakyat demi sebuah ambisi kekuasaan yang ambigu. Ketidak mampuan mereka bertarung secara demokratis memaksa mereka berlogika uang. Anehnya, rakyat yang menjadi konstituen mereka ikut gembira meski hanya ketemu uang recehan setiap 5 tahun. 

Inilah fakta hari ini, politisi tak berintegritas dan rakyat tanpa karakter telah menguasai negeri ini. Kenyataan ini tentu tak harus dibiarkan, sebab jika demokrasi dan rakyat telah terbeli oleh para pemilik uang, maka negara ini berada diambang kehancuran. Ini salah satu aksi bunuh diri negara jika kita tak memiliki kesadaran kolektif untuk menghentikan nyanyian dan goyangan asyik politisi kotor. 

Maka tidak salah jika kemudian Muaz, Entrepreneur yang sempat sukses di Bumi Vovasanggayu ini membuat keputusan yang terkesan berani. Meninggalkan area Pasangkayu berarti menanggalkan ratusan bahkan miliaran pundi rupiah untuk masa depannya. Tapi bukan Muaz jika tak berani mengambil resiko. Muaz adalah sosok yang menjadikan uang sebatas telapak tangannya saja. Uang dan kekayaan tak pernah merajai hatinya. Itulah Muaz. Maka kemudian ketika lahir keputusan menjadi politisi ia dengan gampang mengucap Bismilllah.... Kita berjuang untuk rakyat, menang bersama rakyat dan harus senang bersama rakyat pada setiap kontestasi Pemilu lima tahunan.

Keputusan itu lahir 3 tahun lalu dan mulai berdialektika dengan warga yang terkesan abai padanya, karena dianggap tak pantas jadi wakil rakyat. Penilaian itu tentu saja tidak salah, sebab mereka kebanyakan memahami politisi adalah mereka yang berjubel, berdasi, bergaya dan harus tampak gagah karena bermodal. Muaz tak memiliki itu. Muaz tak punya sejumlah rekening gendut selain harapan untuk mengabdi. Apakah politik bisa diraih hanya dengan harapan? Tentu saja tidak. Apakah menjadi anggota DPR mutlak harus dengan uang? Tentu saja tidak. Sebab selain uang, jabatan politik bisa diperoleh dari soliditas keluarga. Keluarga yang komitmen membangun solidaritas dengan keluarga yang lain. Keluarga yang berani tampil beda sebagai mitra utama mengubah peluang jadi tantangan. Menjadi kelompok keluarga yang pada akhirnya meretas kemustahilan menjadi kemungkinan yang MUNGKIN. 

Mungkin ini berat, mungkin ini tak mudah, mungkin juga tidak mungkin. Tapi jika kita yakin dan berfikir kolektif untuk menang. Maka mulai hari ini mari tularkan keyakinan kita bersama Muaz dengan cara rebut semua suara keluarga. Minta sebanyak-banyaknya doa rakyat agar pada Pemilu 14 Februari 2014, suara Muaz di setiap TPS jadi Pantastis. Amin. Mari Menjadi Keluarga MUAZ ABDULLAH, SE. 
Selamat Berjuang.