Senin, 08 April 2024

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 2)

"BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 2)
(Bamba, Pelloa, Loa adalah Bunyi)
Oleh: Sahabuddin Mahganna

"Pelloa juga bunyi" sering kali diucapkan dalam bahasa Mandar, menunjukkan bahwa bunyi adalah hal yang umum dan tidak tabu bagi semua umat manusia di muka bumi ini. Bahasa orang Mandar kadang-kadang digunakan sebagai medium untuk menyampaikan kebaikan melalui bunyi murni. Namun, tidak semua kalimat dalam bahasa Mandar dianggap suci atau murni. Terkadang, bunyi dalam bahasa Mandar merujuk pada bunyi yang murni, seperti ketika kita berteriak, bersin, batuk, atau menangis. Bunyi semacam ini dikategorikan sebagai bunyi murni. Abdul Chaer (2003) dalam karya Busrah dan Bustan. Kemungkinan dapat dinilai dari alam sebabnya, bukan sebagai hasil tindakan sengaja, melainkan muncul secara alami.

Dalam "Pelloa", merujuk pada benda atau sesuatu yang mengeluarkan bunyi, tanpa kata secara eksplisit dari manusia. Jadi, "pelloa" dan "loa" sepertinya memiliki makna yang berbeda, yang sebenarnya dipisahkan. "Loa" mungkin merujuk pada ucapan atau kalimat yang menyertai bunyi, sedangkan "pelloa" mengacu pada benda atau bunyi tanpa kata dari manusia. Ketika ditambahkan awalan "pe-" untuk menghubungkannya dalam fonem Mandar, "pelloa" secara konseptual memperjelas bahwa itu adalah bunyi yang dihasilkan. Dari sini, kita dapat memahami bahwa orang Mandar mungkin memahami bahwa sesuatu yang menghasilkan bunyi juga mungkin menyertakan ucapan atau kalimat yang tidak selalu dapat dipahami secara langsung oleh manusia, tetapi hanya bisa dipahami melalui perasaan. Untuk menandai bunyi, ada juga istilah "Bamba" dan "Matte'".

"Bamba" digunakan untuk menandai suara atau bunyi. Dalam beberapa kamus, "bamba" dikategorikan sebagai suara besar, sementara yang lain hanya menyebutnya sebagai suara tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini mungkin karena suara dipahami sebagai warna vokal atau jenisnya, di mana "bamba" berdiri sendiri sebagai predikat suara yang sangat dipengaruhi oleh bunyi. Sehingga untuk memperjelas penggunaan "bamba", kadang-kadang diperlukan penambahan kata-kata tertentu seperti "Napowambai" (terdengar seperti itu), "Dipowambai" (kita bersuara dan berbunyi), "Membamba" (berbicara atau bersuara), dan "pebamba" (bersuara). Namun, penafsiran ini mungkin menjadi subjektif dan abstrak tergantung pada konteksnya.

"Matte'" adalah kata yang sulit dijelaskan dan sering kali dipahami sebagai mengenai sasaran atau kosong. Biasanya, "Matte'" terjadi setelah adanya benturan antara benda, ketika bunyi yang dihasilkan hanya satu atau tidak ada lagi. Dalam kamus Mandar, "Matte'" digambarkan sebagai tiruan bunyi, seperti ketika terkena lemparan.

Dengan demikian, "loa" yang terkait dengan "pelloa" biasanya memiliki kata atau kalimat yang jelas, sedangkan "bamba" mungkin tidak memiliki teks yang terukur tetapi tetap memiliki bunyi yang jelas. "Pelloa" memperjelas bahwa dalam "loa" ada bunyi yang dapat didengar, begitu juga dengan "bamba" yang mudah dipahami jika ada bunyi.

(Bersambung)

PROF. QURAISH SHIHAB DI MATA PROF. WAJIDI SAYADI

GURU DAN PANUTAN UMAT DAN BANGSA
PENUH RENDAH HATI, MODERAT DAN IKNLUSIF

Oleh: Wajidi Sayadi

Hari Jumat tanggal 16 Pebruari 2024 adalah momen spesal bagi Guru Besar kita, Guru dan Panutan Umat dan Bangsa, Bapak Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, MA. Genap berusia 80 tahun. 

Beliau lahir di Rappang Sulawesi Selatan
16 Pebruari 1944. 

Kami mengucapkan Selamat dengan iringan doa semoga panjang umur selalu dalam keadaan sehat wal afiyat bersama sekeluarga. Tuntunan, pencerahan dan panutannya bagi umat dan bangsa ini sangat diperlukan. 

Suatu saat ketika mengikuti kuliah Tafsir Al-Qur'an, Beliau menjelaskan tafsir suatu ayat dalam al-Qur'an dengan beberapa penafsiran para ulama yang berbeda-beda dengan argumentasi setiap pandangan ulama di setiap generasi masing-masing. 
Ketika ditanya, mana penafsiran yang lebih bagus. 
Beliau menjawab, semua penafsiran bagus selama memenuhi kaedah tafsir. 
Boleh jadi, semuanya mempunyai kelebihan sekaligus mempunyai kekurangan masing-masing. 
Saya tidak punya kapasitas untuk menilai dan menghukumi mereka, apalagi sampai menyalahkan. 

Kata Beliau: “Hormati semua pendapat walaupun Anda tidak sependapat."

Pengalaman saya belajar kepada Beliau, sangat berkesan didikannya adalah ke-Tawadhu-an, rendah hati, tidak merasa sangat pintar, sangat mengerti segalanya. Tutur kata dan bahasanya sederhana mudah dicerna dan dipahami. Bahkan terkadang, Beliau tanya, apakah sudah paham atau belum? 
Apabila ada yang menjawab, belum, Beliau mengulanginya dengan mengambil contoh dan ibrah lainnya yang dianggap lebih mudah.

Hal ini juga tampak dalam sikap dan perilaku Beliau sangat ramah, murah senyum, mudah bergaul dengan siapa pun termasuk dengan murid dan mahasiswanya sendiri dilayani tanpa membedakan dengan yang lainnya. 
Pribadi mulia sangat senang, menyenangkan, dan mengesankan 

Sekitar tahun 2005 ketika sedang penelitian Disertasi, di Perpustakaan Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ) Yayasan Lentera Hati di Jakarta milik Prof. M. Quraish Shihab, saya menemukan Tafsir Al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma karya Syekh Muhammad `Abduh. Judul tafsir ini ditulis tangan, oleh pemiliknya yaitu as-Sayyid `Abd ar-Rahmân ibn `Ali ibn Syihâb ad-Dîn al-`Alawî al-Husainî. 
Pemilik kitab tafsir ini adalah ayah Prof. Dr. M. Quraish Shihab. 
Berdasar pada catatan ini diketahui bahwa sebenarnya Beliau adalah Sayyid Muhammad Quraish Shihab, hanya saja Beliau tidak mau menuliskan nama lengpaknya seperti ini. 

Boleh jadi ini salah bukti rasa ke-tawadhu-an Beliau. 

Salam Hormat, Penuh Ta’zhim untuk Beliau 
Semoga Panjang Umur, selalu dalam sehat wal afiyat sekeluarga terus produktif dengan segudang karyanya untuk umat dan bangsa.

Pontianak, Jumat, 16 Pebruari 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (29)


Sudah Benarkah Kembali Seperti Bayi?

Di suatu majelis Nasaraddin Hoja bergumam: "Kebenaran adalah sesuatu yang berharga bukan hanya secara spritual tetapi juga memiliki harga material." 

Mendengar pernyataan Nasaruddin Hoja, seseorang pun berdiri dan bertanya: "Wahai tuan, mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran,?"

Kata Nasaruddin Hoja: "Ya, kita harus membayar sebab kadang-kadang kebenaran itu harganya mahal."

Orang itu kembali bertanya: "Mengapa kita harus membayar dan kebenaran itu harganya mahal?"

Nasaruddin Hoja menjawab: "Kalau engaķau perhatikan, harga sesuatu itu dipengaruhi oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu makin mahal lah ia. Barang yang dibuat ribuan tahun lampau, kini mungkin sudah sedikit adanya dan barang itu akan menjadi antik dan mahal harganya."

Dari dialog diatas, jika dihubungkan dengan bulan ramadhan, maka puasa bisa dimaknai sebagai training untuk membiasakan melakukan kebenaran, melatih diri melepas kemelekatan perbuatan  buruk.

Dengan puasa kita membiasakan melakukan kebenaran karena mingkin selama ini kita sering kali membenarkan kebiasaan. Kebiasaan melayani hasrat nafsu, kebiasaan memuaskan kecenderungan semua panca indera kita yang lebih kepada hal-hal negatif.

Hari ini, kebenaran mungkin sulit karena yang sering muncul kepermukaan adalah sesuatu yang seakan-akan benar, merasa benar, kebiasaan menyalahkan orang lain, kebiasaan menuduh orang lain sesat dan kitalah yang paling benar.

Kelangkaan kebenaran disebabkan orang-orang enggang mencari kebenaran. Cukup percaya pada satu kebenaran maka kemungkinan kebenaran yang berseberangan dengan paham kita pun dianggap salah. 

Kelangkaan kebenaran dan mahal harganya karena malas mencari informasi kelanjutan serta klarifikasi dari suatu peristiwa. 

Kelangkaan kebebanaran karena tidak mau mengkaji apakah informasi itu mengandung kebenaran atau tidak tetapi sudah menyebarkannya begitu saja.

Puasa tidak hanya mengajarkan menahan makan dan haus tetapi juga mengajarkan untuk tidak cepat tanggap terhadap berita atau suatu informasi. Puasa mendidik kita selama satu bulan pada dasarnya melatih kita untuk membiasakan kebenaran karena selama ini kita sudah sering membenarkan kebiasaan.

Salah satu tokoh spritual muslim. Abu Hasan Asy-Syadzili berkata: "kita hidup di zaman, dimana kemaksiatan itu dipertontonkan, oleh karenanya terladang ketaatan itu perlu dipertontonkan di tengah zaman maksiat."

Kebenaran apa yang telah kita peroleh selama berpuasa satu bulan penuh, kebiasaan apa yang telah kita dapatkan selama melatih diri untuk tidak makan dan tidak minum. Jika selama satu bulan penuh hanya menahan makam dan minum tetapi tidak menahan perkara-perkara ssperti menyebarluaskan aib-aib, kesalahan-kesalahan orang lain. Tentunya kita masih berputar-putar pada pembenaran kebiasaan bukan membiasakan kebenaran.

Hingga sampai pada finish Idul Fitri yang diartikan sebagai kembali berbuka atau kembali kepada fitrah, diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Sudah benarkah kita seperti bayi? Seperti bayilah mereka yang telah tertatih dan terlatih membiasakan kebenaran selama satu bulan penuh sampai setelah idul fitri dan kembali bertemu bulan puasa berikutnya. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa Hari ke 29

اَللَّهُمَّ غَشِّنِيْ فِيْهِ بِالرَّحْمَةِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ التَّوْفِيْقَ وَ الْعِصْمَةَ وَ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنْ غَيَاهِبِ التُّهَمَةِ يَا رَحِيْمًا بِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, lingkupilah aku di bulan ini dengan rahmat-Mu, anugrahilah aku taufik dan penjagaan-Mu. Sucikanlah hatiku dari benih-benih fitnah/kebencian, Wahai yang Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.