Senin, 02 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian2) " Makam Daeng Palulung dan Daeng Sirua "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Turun dari puncak Buttu Suso dengan ketinggian diatas 700 meter dari permukaan laut, penelusuran dilanjutkan dengan mencari keberadaan Makam Daeng Palullung. Dengan diantar oleh I Tangka, salah satu petani sawah di areal perkapungan Sa'Adawang kami berjalan meniti pematang sawah. Setelah itu menembus semak belukar ke sebuah bukit yang berada pas di kaki gunung Buttu Bulidzo. Buttu Bulidzo ini memiliki situs berupa Gua Bulidzo. Gua yang memiliki panjang sekitar 10 meter dengan lebar 4,5 cm dan tinggi ruang kurang lebih 1,5 meter. Menurut pengakuan Jahar dan I Tangka, gua tersebut memiliki sejarah yang panjang sepanjang sejarah peradaban masyarakat Kerajaan Sendana. Gua ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang berharga. Dalam perjuangan melawan penjajah, gua inipun berperan sebagai pusat persembunyian para pemimpin pasukan untuk memantau lawan.
Dari balik semak belukar tepat di lereng gunung Bulidzo tersebut, terdapat 2 buah makam yang diyakini sebagai makam Topapo atau Daeng Palulung, suami dari Tomesaraung Bulawang. Entah pertimbangan apa, sehingga makamnya harus terpisah dari istri tercintanya, Tomesaraung Bulawang. Justru disekitar makamnya terdapat makam Daeng Sirua. Makam Daeng Sirua ini ditandai dengan batu yang bentuknya sangat sederhana. Daeng Sirua dan Daeng Palulung adalah bersaudara. Daeng Sirua inilah yang menikah dengan putri Mara'dia Alu (Puatta Di Saragiang) yang kemudian menjadi awal pertalian dalam membentuk persekutuan Bocco Tallu, yaitu Alu, Sendana dan Taramanu. Kedua makam tersebut juga tak luput dari penggalian dan penjarahan benda-benda purbakala pada tahun 1971-1973. Hanya saja, menurut informasi dari I Tangka, di situs ini, tak banyak harta kekayaan yang berhasil didapatkan oleh para penjarah. Bekas galiannya masih nampak dan membuat kondisi situs ini dangat memprihatinkan. Penggalian dan penjarahan kubuuran tua oleh masyarakat sekitar inilah yang menghilangkan jejak kepurbakalaannya.
Penggalian situs purbakala yang dilakukan oleh masyarakat Putta’da Sendana ini adalah bentuk kejahatan yang lebih kejam dari penjajah Belanda. Penjajah Belanda, meski mengambil untung dari aset bangsa ini, tapi tetap menjaga kelestarian cagar budaya dan menyimpan banyak arsif tentang sejarah lampau kerajaan ini. Yang ironi kemudian, karena jusru warga peribumi yang nota bene keturunan dari Topapo atau Daeng Palulung ini justru rela dan tak merasa berdosa menjarah kekayaan yang dimiliki oleh leluhur mereka. Peristiwa penjarahan benda-benda purbakala dari tahun 1971 sampai hari inipun terus dilakukan oleh masyarakat. Tak terkecuali pemerintah juga sudah seenaknya merubah, merusak, memindahkan situs-situs budaya yang merupakan jejak nenek moyang.
Sejatinya, situs sejarah dan artefak tersebut dijaga, dipelihara olen masyarakat dan pemerintah, bukan malah menjadi pelaku dari proses itu. Apapun alasannya, jika menyangkut benda-benda purbakala, itu tak bisa ditolerir. Meski dengan alasan pembangunan sekalipun semestinya tidak dilakukan, sebab benda atau situs tersebut adalah cagar budaya yang sekaligus menjadi sumber informasi untuk penelitian membuktikan eksistensi mereka pada masa lalu itu ke generasi selanjutnya. Situs tersebutlah yang akan menerangkan bahwa pernah di Sa'Adawang ini,  terbangun sebuah peradaban, sebuah kampung tua yang didalamnya pemerintahan dalam bentuk tomakaka sampai bentuk kerajaan (Mara'dia) pernah terlakonkan.
Merusak, memindahkan dan menghilangkan situs-situs tersebut adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak hanya terhadap masyarakat hari ini, tapi menjadi sebuah proyek pengkaburan yang berimbas pada pengibulan sejarah kedepan. Dan tindakan ini tentu saja harus difahami sebagai dosa turunan dari masyarakat pelaku penjarahan maupun pemerintah yang melakukannya atas dasar apapun. Pemerintah seharusnya menjadi pelestari dari semua situs yang terdapat dalam peta wilayah pemerintahannya. Masyarakat juga seharusnya merasa malu ketika didaulat dalam acara upacara adat sebagai Puang, Daeng tapi disatu sisi ia melupakan dan menjadi pelaku dari proses penjarahan atas aset kekayaan leluhurnya.
Saatnya keturunan adat tidak saja bangga karena dipanggil Puang, Daeng tapi mesti merasa bertanggung jawab terhadap situs sejarah perru'dusang. Tomesaraung Bulawang dan Daeng Palulunglah yang membuat mereka jadi terhormat, kaya dan dipanggil Puang, Daeng tapi ketika melihat kondisi makam leluhur mereka justru berbanding terbalik dengan kehormatan yang membuatnya merasa bangga. Malulah kita hari ini yang punya strata Puang dan Daeng tapi tak mengetahui atau membiarkan situs sejarah leluhur dijarah, dirusak, dipindahkan, dihilangkan. Lalu dimana letak Puang dan Daeng akan dialamatkan andai kata tak ada leluhur ? Masihkan gelar itu pantas disematkan pada mereka yang tak peduli dengan leluhur yang membuatnya punya kedudukan terhormat?

NAPAKTILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian 1) " Putta'da dan Perkampungan Tua Sa' Adawang "


0leh: Muhammad Munir

Nun jauh disebuah persawahan yang berada diatas puncak gunung Desa Putta'da Kec. Sendana, rahasia itu mendekam. Rahasia-rahasia yang selama ini dikunci dalam sebuah peti, bahkan sekedar berceritapun tak boleh seenaknya. Lontar-Lontar yang menyimpan rahasia itu tak boleh dilongok, kecuali lewat prosesi dan ritual khusus dengan memotong seekor kambing bahkan kerbau. Sabtu, 2 April 2016 lalu, sebuah perjalanan untuk menguak rahasia-rahasia dalam lontar-lontar Mandar tersebut dimulai. Terik mentari mulai menusuk, pukul 10.00 gunung dipinggiran desa Putta'da yang menghubungkan ke Puncak Buttu Suso mulai ditaklukkan meski dengan nafas tersengal sengal, persendian seakan remuk dan cucuran keringat mengalir deras dari pori-pori.

Drs. Darmansyah, adalah sosok Ketua DPRD Majene yang mungkin satu-satunya Ketua DPRD di Sulbar ini, punya ide dan semangat untuk mengungkap rahasia-rahasia yang kerap hanya dimitoskan dalam cerita tutur. Penulis mengikuti agenda penelusuran ini bersama teman-teman dari Balanipa, yaitu Salahuddin dan Faisal. Setelah 1,5 jam perjalanan akhirnya kami tiba dipuncak sebuah gunung dengan panorama yang memukau. Nampak sebuah areal persawahan yang menghijau diantara lereng gunung Buttu Suso. Menurut Jahar, sang penunjuk jalan yang dari awal mengikuti perjalanan kami mengatakan bahwa disinilah peradaban Sendana dimulai. Dahulu, areal persawahan dipuncak gunung inilah perkampungan Sa'Adawang, tempat dimana pertama kali, Topapo Daeng Palulung mendefenisikan cintanya pada Tomesaraung Bulawang. Tak banyak yang tahu, Daeng Palulung dan Tomesaraung Bulawang inilah yang melahirkan I Ta'da, Puatta Sa'Adawang, Indara dan Puatta I Pance.

Matahari nampak mematuk diubun-ubun ketika melewati bukit-bukit dipinggiran sawah Kampung Sa'Adawang. Ternyata Makam Tomesaraung Bulawang berada agak dipuncak perkampungan. Kondisinya begitu memprihatinkan, berada di antara semak belukar, tak terawat dan hanya terdiri dari 3 bongkahan batu yang menjadi penanda. Menurut informasi, bahwa makam ini adalah makam dimana harta kekayaan Tomesaraung Bulawang ikut dikuburkan saat ia mangkat. Hal tersebut terbukti setelah tahun 1973 makam ini digali oleh oknum masyarakat yang tak bertanggung jawab. Dan informasi dari masyarakat yang melihat proses penggalian dan penjarahan benda purba kala tersebur menyebutkan bahwa dari makam Tomesaraung Bulawang itu ada banyak keramik, emas dan harta kekayaan lainnya yang berhasil dikeluarkan dari makam itu. "Mungkin sekitar 1 truk, pak. Barang-barang itu diangkut malam hari sekitar jam satu dini hari". Demikian salah seorang warga yang enggan disebut namanya bercerita.

Nampak Darmansyah membersihkan semak belukar yang menutupi makam, ia bahkan tak peduli akan membuat tubuhnya gatal. Ia membetulkan posisi dan membersihkan wilayah situs makam dan sekitarnya. Setelah dianggap sudah cukup untuk menjadi penanda sebuah situs makam, perjalanan dilanjutkan ke puncak Buttu Suso. Entah apa arti dari kata Suso yang melekat dipuncak yang dari atas puncak itu terlihat semua wilayah pesisir dari Pamboang, Sendana sampai Tubo. Buttu Suso ini pada masa revolusi juga dijadikan benteng untuk melawan penjajah Belanda. Tiba dipuncak buttu Suso tepat pada jam 12.30 siang. Bukan hanya terik matahari yang panas mendera. Tapi wilayah perut sudah mulai menuntut haknya, sebab jam sudah menunjukkan waktu makan siang.

Tak ada makan siang, tak ada rumah makan, sementara jarak tempuh untuk pulang masih membutuhkan waktu tiga jam untuk bisa mendapatkan makanan. Dalam kondisi lapar dan haus tersebut, beruntung disekitaran gunung Buttu Suso ini banyak tumbuh Jambu Batu yang setiap saat berbuah. Jambu batu itulah yang kemudian menjadi pilihan untuk mengganjal perut. Untuk pertama kalinya, penulis harus menuliskan sejarah " Bersama Rombongan: Ketua DPRD Majene makan siang dengan jambu batu di puncak gunung".
            
Inilah awal dari sebuah proses untuk mendokumentasikan beberapa situs sejarah masa silam. Berat memang, tapi berkat dorongan rasa yang menyeruak untuk mengungkap tabir peradaban tua di Mandar, tebing jurang, kerikil tajam, duri-duri dari semak belukar yang terus menusuki tak membuat semangat menelusur itu pupus karenanya. Ada sebauah tanggung jawab besar yang lahir dari keresahan ketika membaca buku sejarah yang kadang mengajak kita hanya merenung, menghayal tanpa pernah tahu bagaimana model perkampungan yang mereka tempati saat mengendalikan sebuah kerajaan yang berdaulat. Ini penting, sebab bagaimana mungkin generasi kita bisa mengambil ibrah dari sebuah peristiwa jika fikirannya hanya dilingkupi kebingungan yang kerap menjadikan kita penasaran.
           
Melalui penelusuran  inilah sebuah fakta-fakrta sejarah kami dokumentasikan dari titik ordinat yang bisa diakses. Lewat ini pula penulis merasa kecewa dengan manusia-manusia yang kebetulan diuntungkan menjadi keturunan bangsawan, yang dipanggil Puang dan Daeng, yang dalam setiap upacara adat diposisikan dengan perlakuan yang berbeda. Mereka terlalu dihormati, mereka bahkan merasa terhormat. Namun dibalik itu semua, makam leluhur yang menjadi penyebab kasta mereka dinaikkan dari yang lain justru tak terawat. Penulis yakin, mereka masih banyak yang tak tahu dimana makam leluhur yang menjadikannya dipanggil Puang dan Daeng. Merasa terusikkah mereka ketika makam leluhurnya dalam kondisi yang tak sepantasnya?. Ah, semoga tulisan ini menjadi penggugat untuk sekedar menggugah hati mereka.
(Bersambung)
             Gambar: Lontaraq Gulung di Kecamatan Sendana. (Doc. Muhammad Rahmat Muchtar)