Minggu, 10 Maret 2024

FOOTNOTE HISTORIS ||KEJUJURAN (1)

By Ahmad M. Sewang

Di antara nilai utama yang diajarkan puasa adalah kejujuran. Puasa adalah kewajiban yang sangat rahasia dari Allah swt. Tidak ada seorang pun yang bisa mengetahui apakah seseorang sedang menunaikan ibadah puasa atau tidak, hanya yang bersangkutan dan Allah Yang Maha Mengetahui. Seorang yang sedang berpuasa, walau dalam kesendirian dalam kamar sendirian, di tengah kehausan di siang hari bolong, sementara di depannya terdapat segelas air dingin, tetapi ia tidak akan meminumnya. Padahal tidak ada seorang yang melihatnya. Karena ia sadar sedang berpuasa, di mana pun ia berada Allah Maha Melihatnya. Puasa ternyata menanamkan sifat kejujuran dan ketulusan. Puasa memiliki kekhususan dibanding ibadah lainnya, maka Allah swt. berfirman dalam hadis Qudsi:

Puasa itu untuk saya dan saya sendiri langsung memberi balasan pahala.

Suatu ketika seorang Badui mendatangi Nabi ingin masuk Islam. Ia menceritakan pada Nabi bahwa ajaran Islam sudah sampai padanya dibawa para sahabat. Untuk itu, ia ingin masuk Islam, hanya saja, "Apa masih bisa melakukan perbuatan yang dilarang dalam Islam." Mendengar itu, Nabi menjawab, "Silahkan." Hanya saja ada satu yang kamu wajib jalankan yaitu jujur. Si Badwi kemudian pergi sambil berpikir alangkah mudahnya masuk Islam. "Semua bisa saya lakukan kecuali saya harus jujur," gumam si Badui tadi. Suatu ketika, kumal lagi penyakit kebiasaannya. Ia ingin mencuri. Namun ia ingat komitmennya pada Nabi sambil bertanya dalam hatinya, "Bagaimana jika Nabi bertanya? Jika saya berbohong pasti saya sudah melanggar komitmen itu bahwa akan bersikap jujur. Namun, jika saya berkata jujur, pasti saya sangat malu di depan Nabi." Demikian sedang terjadi pertarungan dalam hati si Badui yang pada akhirnya yang selalu memenangkan pertarungan itu adalah kejujuran. Setiap ingin melakukan kejahatan, namun selalu yang memenangkan adalah suara hati nuraninya. Akhirnya, si Badui tadi menjadi seorang muslim yang baik dan jujur.

Disinilah peran puasa menanamkan kejujuran pada saat yang sama kita kehilangan sesuatu pada diri kita, yaitu kejujuran. Lihat saja pemilu yang baru saja kita laksanakan, ternyata menghasilkan kecurigaan satu sama lain.

Wasalam:
Kompleks GPM, 10 Febt. 2024

MANDAR DALAM BUKU BUMI SRIWIJAYA

Buku Bumi Sriwijaya adalah epos sejarah yang ditulis oleh Bagus Dilla, seorang penulis jebolan Pesantren Madrasatul Qur'an Tebuireng Jombang Jawa Timur. Buku setebal 483 ini terbit pada tahun 2010 lewat Pwnerbit Diva Press Jogyakarta. 

Sebagaimana kita ketahui, Sriwijaya adalah imperium besar meski tak tercatat dengan baik dalam torehan sejarah sebagaimana Imperium Persia, Romawi, Mesir, Arab, Cina dan India. Kebesaran Sriwijaya hanya sebentuk serpihan serpihan kecil yang perlu direka dan dibentuk. 

Terlepas dari itu, Kerajaan Sriwijaya tentu harus diakui sebagai sebuah kerajaan besar sebelum Majapahit. Kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kaimantan hingga Sulawesi (?). 

Hal menarik dari buku ini adalah pengakuan penulis yang bisa jadi tak tahu dimana itu Mandar, tapi dengan kekuatan literatur atau sumber valid menyebut Mandar pada bagian 40 segmen Perang di Binaga halaman 261 sebagai berikut:
"..... Kita tidak perlu gegabah. Kekuatan kita lebih unggul dari sisi pertahanan. Aku rasa, mereka akan kesulitan menembus pertahanan kita. Kita telah meminta bantuan dari keluarga Kanpi yang masih belum tunduk kepada Jagadhita. Para perompak di perairan Seilan, Mandar, Banjar, Langkasuka, Dharmanagari, Pan Pan, Gangga Negara, Dwarawati, Chaiya, Kambonyanyat dan Syangka....... "

Sebagai novel atau epos, tentu saja ini tidak mesti dipahami sebagai bentuk karangan bebas. Penulisnya tentu tak akan seberani itu mereka-reka peristiwa kendati hal tersebut halal dalam wilayah susastra. Karya sastra juga tak etis dimaknai sebagai sebentuk narasi yang mengakumulasi kebohongan belaka. 

Dunia kesusastraan hari ini adalah pola penulis untuk mengawali sebuah obyek cerita sebelum serpihan serpihan cerita itu direkonstruksi dalam buku karya sejarah. Karya sastra dianggap lebih maju karena mementingkan isi daripada bentuk. Sastra dianggap sebagai sugesti untuk memberi semangat mencari jalan baru bagi sebuah peradaban dalam membangkitkan semangat bangsa. 

Sebagaimana Bagus Dilla mengaukui bahwa karyanya itu merupakan orientasi susastra dengan sedikit balutan sejarah. Novel Bumi Sriwijaya adalah sebentuk upaya pengayaan cerita dan budaya yang tidak terlalu ambisius dan prestisius, kecuali hanya mengingat-ingat masa lampau yang nyaris tak terbentuk (hal.6).