Selasa, 09 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (29)


Sudah Benarkah Kembali Seperti Bayi?

Di suatu majelis Nasaraddin Hoja bergumam: "Kebenaran adalah sesuatu yang berharga bukan hanya secara spritual tetapi juga memiliki harga material." 

Mendengar pernyataan Nasaruddin Hoja, seseorang pun berdiri dan bertanya: "Wahai tuan, mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran,?"

Kata Nasaruddin Hoja: "Ya, kita harus membayar sebab kadang-kadang kebenaran itu harganya mahal."

Orang itu kembali bertanya: "Mengapa kita harus membayar dan kebenaran itu harganya mahal?"

Nasaruddin Hoja menjawab: "Kalau engaķau perhatikan, harga sesuatu itu dipengaruhi oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu makin mahal lah ia. Barang yang dibuat ribuan tahun lampau, kini mungkin sudah sedikit adanya dan barang itu akan menjadi antik dan mahal harganya."

Dari dialog diatas, jika dihubungkan dengan bulan ramadhan, maka puasa bisa dimaknai sebagai training untuk membiasakan melakukan kebenaran, melatih diri melepas kemelekatan perbuatan  buruk.

Dengan puasa kita membiasakan melakukan kebenaran karena mingkin selama ini kita sering kali membenarkan kebiasaan. Kebiasaan melayani hasrat nafsu, kebiasaan memuaskan kecenderungan semua panca indera kita yang lebih kepada hal-hal negatif.

Hari ini, kebenaran mungkin sulit karena yang sering muncul kepermukaan adalah sesuatu yang seakan-akan benar, merasa benar, kebiasaan menyalahkan orang lain, kebiasaan menuduh orang lain sesat dan kitalah yang paling benar.

Kelangkaan kebenaran disebabkan orang-orang enggang mencari kebenaran. Cukup percaya pada satu kebenaran maka kemungkinan kebenaran yang berseberangan dengan paham kita pun dianggap salah. 

Kelangkaan kebenaran dan mahal harganya karena malas mencari informasi kelanjutan serta klarifikasi dari suatu peristiwa. 

Kelangkaan kebebanaran karena tidak mau mengkaji apakah informasi itu mengandung kebenaran atau tidak tetapi sudah menyebarkannya begitu saja.

Puasa tidak hanya mengajarkan menahan makan dan haus tetapi juga mengajarkan untuk tidak cepat tanggap terhadap berita atau suatu informasi. Puasa mendidik kita selama satu bulan pada dasarnya melatih kita untuk membiasakan kebenaran karena selama ini kita sudah sering membenarkan kebiasaan.

Salah satu tokoh spritual muslim. Abu Hasan Asy-Syadzili berkata: "kita hidup di zaman, dimana kemaksiatan itu dipertontonkan, oleh karenanya terladang ketaatan itu perlu dipertontonkan di tengah zaman maksiat."

Kebenaran apa yang telah kita peroleh selama berpuasa satu bulan penuh, kebiasaan apa yang telah kita dapatkan selama melatih diri untuk tidak makan dan tidak minum. Jika selama satu bulan penuh hanya menahan makam dan minum tetapi tidak menahan perkara-perkara ssperti menyebarluaskan aib-aib, kesalahan-kesalahan orang lain. Tentunya kita masih berputar-putar pada pembenaran kebiasaan bukan membiasakan kebenaran.

Hingga sampai pada finish Idul Fitri yang diartikan sebagai kembali berbuka atau kembali kepada fitrah, diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Sudah benarkah kita seperti bayi? Seperti bayilah mereka yang telah tertatih dan terlatih membiasakan kebenaran selama satu bulan penuh sampai setelah idul fitri dan kembali bertemu bulan puasa berikutnya. Wallahu a'lam bisshowab.

Doa Hari ke 29

اَللَّهُمَّ غَشِّنِيْ فِيْهِ بِالرَّحْمَةِ وَ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ التَّوْفِيْقَ وَ الْعِصْمَةَ وَ طَهِّرْ قَلْبِيْ مِنْ غَيَاهِبِ التُّهَمَةِ يَا رَحِيْمًا بِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya :
”Ya Allah, lingkupilah aku di bulan ini dengan rahmat-Mu, anugrahilah aku taufik dan penjagaan-Mu. Sucikanlah hatiku dari benih-benih fitnah/kebencian, Wahai yang Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.