Jumat, 08 Maret 2024

MENGENAL TANAH LUWU


Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Kerajaan Mori[1], Kabupaten Morowali Utara, (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Tanah Mori[2], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:

Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:

Kerajaan Mori[3] (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

Onder Afdeling Palopo, dengan ibu kotanya Palopo.
Onder Afdeling Makale, dengan ibu kotanya Makale.
Onder Afdeling Masamba, dengan ibu kotanya Masamba.
Onder Afdeling Malili, dengan ibu kotanya Malili.
Onder Afdeling Mekongga, dengan ibu kotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak mengubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang kemuadian bergelar "Andi Jemma".

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pajung Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.

Atas jasa-jasa dia terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum dia wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di Kota Palopo.

Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain:

Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar.
Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:

Kewedanaan Palopo
Kewedanaan Masamba dan
Kewedanaan Malili
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Provinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:

Wara
Larompong
Suli
Bajo
Bupon
Bastem
Walenrang(Batusitanduk)
Limbong
Sabbang
Malangke
Masamba
Bone-Bone
Wotu
Mangkutana
Malili
Nuha

Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.

Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratif (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.

Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Provinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas provinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Luas Wilayah Provinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar provinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Provinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luas wilayah provinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor: SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun 1999.

Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:

Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan, yaitu:
Kecamatan Lamasi
Kecamatan Walenrang
Kecamatan Pembantu Telluwanua
Kecamatan Warautara
Kecamatan Wara
Kecamatan Pembantu Wara Selatan
Kecamatan Bua
Kecamatan Pembantu Ponrang
Kecamatan Bupon
Kecamatan Bastem
Kecamatan Pembantu Latimojong
Kecamatan Bajo
Kecamatan Belopa
Kecamatan Suli
Kecamatan Larompong
Kecamatan Pembantu Larompong Selatan

Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:

Kecamatan Sabbang
Kecamatan Pembantu Baebunta
Kecamatan Limbong
Kecamatan Pembantu Seko
Kecamatan Malangke
Kecamatan Malangke Barat
Kecamatan Masamba
Kecamatan Pembantu Mappedeceng
Kecamatan Pembantu Rampi
Kecamatan Sukamaju
Kecamatan Bone-Bone
Kecamatan Pembantu Burau
Kecamatan Wotu
Kecamatan Pembantu Tomoni
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Pembantu Angkona
Kecamatan Malili
Kecamatan Nuha
Kecamatan Pembantu Towuti

Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:

Kecamatan Wara
Kecamatan Wara Utara
Kecamatan Wara Selatan
Kecamatan Telluwanua
Kecamatan Wara Timur
Kecamatan Wara Barat
Kecamatan Mungkajang
Kecamatan Bara
Kecamatan Sendana

Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:

Kecamatan Angkona
Kecamatan Burau
Kecamatan Malili
Kecamatan Mangkutana
Kecamatan Nuha
Kecamatan Wasuponda
Kecamatan Tomoni
Kecamatan Tomoni Utara
Kecamatan Towuti
Kecamatan Wotu

Setelah pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:

Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2. 

Sumber: Grup FB Sejarah Nusantara

MENGENAL SUKU MAKKI DI SULAWESI BARAT


Suku Makki di jantung pulau Sulawesi, bukanlah penduduk terbelakng tetapi penduduk yang sangat tertinggal. Populasinya yang sedikit menyebabkan upaya mereka mengejar kemajuan sangat lambat. Wilayah geografis suku Makki yang benar-benar berada di pedalaman, jantung pulau Sulawesi sangat tergantung pada penduduk orang Toraja, orang Mamasa, orang Mamuju dan orang Seko yang memiliki akses ke dunia luar.

Wilayah provinsi Sulawesi Selatan terdiri banyak suku, populasi yang terbanyak adalah Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Pada tahun 2004 provinsi Sulawesi Selatan dimekarkan dengan membentuk provinsi Sulawesi Barat yang kini terdiri dari enam kabupaten (Mandar, Majene, Mamasa, Mamuju, Mamuju Tengah dan Pasangkayu). Suku-suku yang terdapat di provinsi Sulawesi Barat cukup banyak. Populasi terbanyak adalah Mandar (49,15%), Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan suku lainnya (19,15%). Suku-suku lainnya yang populasinya sedikit antara lain Mamasa dan Mamuju. Populasi yang lebih sedikit diantaranya Baras, Benggaulu dan Makki. Wilayah penduduk Makki ini berada di lereng gunung Gondangdewata yang juga berbatasan dengan suku Seko.

Lantas bagaimana sejarah suku Makki di jantung pulau Sulawesi? Seperti disebut di atas keberadaan penduduk Makki kurang terinformasikan. Hal itu karena populasinya yang sedikit dan berada diantara suku-suku yang populasinya lebih banyak. Posisi GPS yang berada di pedalaman menyebabkan penduduk Makki kurang mendapat akses. Lalu bagaimana sejarah suku Makki yang sebenarnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Makki: Suku Berbeda dengan Suku Toraja

Suku Makki tinggal di NW Toraja. Itu yang dikatakan seorang peneliti yang hasil laporannya disarikan dan dimuat pada surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 09-04-1908. Besar dugaan bahwa peneliti ini adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi wilayah Makki. Peneliti ini juga, seperti pengakuannya, adalah orang Eropa pertama yang mengunjungi wilayah Toraja di pedalaman.

Peneliti ini juga di dalam artikel-artiekelnya mengomentarasi tulisan-tulisan Kruijt dan Adriani. Sebagaimana diketahui Adriani seorang ahli bahasa dan Kruijt seorang misionaris sudah lama di (wilayah) Poso. Mereka berdua pernah menulis tenytang Toraja. Dari artikel peneliti di Toraja ini terkesan Adriani dan Kruijt belum pernah berkunjung ke pedalaman Toraja, mereka berdua hanya mendasarkarkan tulisan mereka dari keterangan dan informasi yang dikumpulkan di wilayah pantai (di luar wilayah asli penduduk Toraja). Sebagaimana diketahui dari tulisan Kruijt tentang wilayah Napu pada artikel sebelum ini bahwa orang Toraja juga ada yang berbahasa Bare’e dan tinggal di sekitar danau Poso. Orang-orang Toraja di pedalaman ada juga yang melakukan perdagangan ke wilayah utara hingga teluk Tomini di Mapale atau Poso. Dari orang-orang Toraja berbahasa Bare’e (Pamona) inilah diduga kuat Adriani dan Kruijt menulis tentang penduduk (suku) Toraja secara keseluruhan.   

Peneliti ini menyebutkan bahwa di pedalaman tidak semuanya orang Toaraja. Peneliti ini menyebut satu diantaranya yakni penduduk Makki, meski populasinya sedikit tetapi memiliki bahasa dan budaya sendiri (yang berbeda dengan bahasa Toraja). Peneliti ini ingin menyatakan bahwa di pedalaman cukup banyak penduduk dengan populasi kecil, tidak hanya To Makki, juga ada To Bela, To Bare dan to yang lainnya. Orang To Makki disebutnya berada di luar (wilayah perbatasa) Toraja (sebagaimana juga To Mamasa). Catatan: pada artikel sebelumnya tentang To Mamasa sudah dideskripsikan.

Secara adnminstratif, pemerintah Hindia Belanda memasukkan wilayah Tana Toraja dan Toraja Tengah (selatan) ke dalam wilayah administratif (Afdeeling) Loewoe. Sementara Mamasa dimasukkan ke wilayah (afdeeling) Mandar. Lalu bagaimana dengan To Makki? Suatu wilayah, yang berada tepat di antara wilayah Afdeeling Mandar di barat, afdeeling Loewoe di timur dan selatan dan afdeeling Midden Celebes di utara. Donggala (Paloe) dan Poso adalah dua onderafdeeeling di Afdeeling Midden Celebes. Jadi, wilayah Makki tidak benar-benar berada di tengah wilayah orang Toraja, orang Mamuju maupun orang (to) lainnya.

Untuk dapat mencapai (wilayah) Makki dapat (mungkin satu-satunya) harus melalui Baroefoe. Jarak antara Barupu dengan wilayah Makki sekitar tiga hari perjalanan melalui jalan basah, dingin dan sangat sepi (dari penduduk). Di sepanjang jalan setapak yang dilalui banyak ditemukan tempat penduduk Barupu yang pada waktu tempo doeloe melarikan diri ke Makki pada saat mana dikenal seorang tokoh bernama Poeang Tikoe. Wilayah Makki adalah sebuah lanskap pegunungan yang berumput dan berhutan rendah dengan jurang dan jurang, yang dipenuhi dengan jurang-jurang yang dalam yang berbahaya.

Perkampongan orang To Makki tersebar. Penduduk jauh dari pemalu dan jauh dari liar, Penduduk Makki menurut peneliti adalah orang yang sangat jinak, baik hati dan damai, yang sangat jinak dalam fisik, pakaian dan bahasa, Penduduk Makki memiliki banyak kesamaan dengan orang Toraja. Dalam perjalanan peneliti, yang belum jauh meninggalkan wilayah Tioraja dalam beberapa jam berjalan kaki, penduduk Makki sudah terlihat berbeda adat dan kebiasaan dengan suku Toraja. Hal itu peneliti berani mengatakan bahwa suku Makki sangat berbeda dari suku Toraja (Bagaimana suku Toraja akan dibuat artikel tersendiri).

Orang Makki berbeda dengan orang Toraja, Orang Makki lebih tenang yang dalam kehidupan mereka tidak ada tarian tetapi ada nyanyian. Jika ada yang meninggal ada penyanyi tertentu dan kemudian menampilkan seni mereka, jika perlu sepanjang hari. Tempo nyanyian To Makki sangat lambat dan bukan tempo cepat seperti di tempat lain. Dua penyanyi yang dilihat peneliti duduk bersebelahan dan bernyanyi tanpa lelah selama berjam-jam memainkan repertoar mereka yang menghantui, termasuk lagu dua bagian yang sangat melankolis yang jauh dari jelek.

Di Makki juga tidak terdapat festival panen. Penduduk Makki terbilang kurang banyak dalam hal festival. Penduduk Makki hidup hampir secara eksklusif dari budidaya djagoeng, meski juga terdapat ladangrrjst (padi ladang).Tidak ditemukanm perikanan ikan mas, babi hutan sangat jarang dan dapat diperoleh dengan jalan berburu. Penduduk Makki sangat piawai melempar senjata. Penduduk Makki tidak memiliki senjata perang, karena menurut penduduk sejauh ini belum ada orang Bugis yang sampai sejauh Makki. Para penduduk menyatakan tidak khawatir jika ada serangan musuh dari tetangga, karena mereka akan segera melarikan diri ke dalam hutan dan pada saat yang tepat akan melakukan pengepungan. Peneliti juga tidak menemukan hasil jarahan diantara penduduk (yang mengindikasikan mereka berperilaku baik dan ingin damai).



 =========
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Akhir Hayat Majusi yang Hormati Orang Puasa Ramadhan

اَلْحَمْدُ ِللهِ الْمَلِكِ الْحَق الْمُبِيْنِ، الذِي حَبَانَا بِالْإِيْمَانِ واليقينِ. اَللهُم صَل عَلَى سَيدِنَا مُحَمد،ٍ خَاتَمِ الأَنْبِيَاءِ وَالمُرْسَلِين، وَعَلَى آلِهِ الطيبِيِن، وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ أَجْمَعِين، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الديْنِ. أَما بَعْدُ

Segala puji bagi Allah, al-Malik Al-Haqq, Al-Mubin, yang memberikan kita iman dan keyakinan. Ya Allah, limpahkan shalawat pada pemimpin kami Muhammad, penutup para nabi dan rasul, dan begitu pula pada keluarganya yang baik, kepada para sahabat pilihan, dan yang mengikuti mereka dengan penuh ihsan hingga hari kiamat.

Alhamdulillah dengan limpahan rahmat dan kasih sayang allah. Sehingga kita masih sempat sudi kira nya menghirup udara segar yang mana udara segar tersebut, tidak pernah sekalipun kita membayar sedikit pun ke pada Allah subhanahu wataala. Shalawat shalam tidak pernah bosan kita selalu hadiah kan kepada janjungan alam nabi yang mulia. Nabi akhiruzzaman tidak lain tidak bukan.saiyiduna Muhammad shallallahu alaihi washallam.

Dan kepada shabat kerabat beliau sekalipun. Karna berkat dari shahabat yang rela seiring bahu, seiring langkah memperjuangkan. Kalimatul Haq. Lailahaillallah muhammadarrasululah.
Itu lah 2 kalimat yang akan membawa kita masuk kepada surga allah subha nahu wataala. Karna surga merupakan hak Allah.

Siapa saja yang di kehendaki nya. Akan masuk kedalam nya. Karna surga hak frivasi nya Allah siapa saja bisa masuk. Bahkan yahudi sekali pun. Seperti kisah berikut.

Kisah seorang Majusi yang masuk surga karena menghormati bulan Ramadhan
Diceritakan, ada seorang yang kafir majusi yaitu orang kafir yang menyembah api. Suatu waktu ramadhan, anak laki-lakinya yang juga pemeluk majusi, ikut membantu ayahnya berjualan sayur di pasar.

Sang ayah meskipun tidak berpuasa spt layaknya muslim, tapi dia tidak makan bila diketahui orang lain. Beda dengan si anak, dengan santainya dia makan di tengah pasar.

Melihat hal tsb, sang ayah segera memukuli anaknya, sambil berkata, “Hai anak bodoh, apa kamu tidak tahu kalau sekarang adalah ramadhan? Apa kamu tidak tahu kalau sekarang umat muslim sedang berpuasa? Kenapa kamu menyakiti umat muslim dengan makan di tengah pasar? Meskipun bapakmu ini majusi, tapi aku tak pernah menyakiti umat muslim.

Aku menyukai mereka. Andai aku bukan pemuka majusi, mungkin sudah sejak dulu bapakmu ini muslim. Aku menyukai ramadhan dan mengagungkannya, hingga bapakmu tidak pernah makan di waktu siang.”

Sambil memarahi lelaki majusi menghajar anaknya hingga babak belur, di tengah pasar, disaksikan puluhan orang.
Ketika orang majusi itu meninggal, orang majusi itu mendapatkan pengampunan dari Allah, dikarenakan menghormati bulan ramadhan.

Diceritakan seorang ulama, Kitab ini di karang Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakiri Al-Khubawi. 

Syekh Usman sendiri adalah seorang ulama abad 18 asal Konstantinopel (sekarang Istanbul), Turki. Beliau wafat tahun 1224.

Bertepatan dengan itu, diperlihatkan dalam mimpi itu, ulama melihat orang majusi masih bersenang-senang di dalam taman surga. Ulama itu tidak melihat dengan samar, namun dengan jelas melihat bahwa yang dilihatnya adalah orang majusi yang dia kenal dulu di dunia sewaktu dia masih hidup.

Ulama tersebut kaget dan heran, kenapa orang kafir majusi masuk surga?

Dengan segera, ulama itu menemui orang kafir majusi dan bertanya, kenapa kamu berada di sini (taman surga), anda kan seorang majusi? Aku tidak percaya! Jawab orang kafir majusi itu: memang benar, aku orang kafir majusi, ketika aku meninggalkan dunia saya juga heran.

Apa sebabnya aku diberikan kenikmatan yang seperti ini? Oleh sebab itu, aku (orang majusi itu) akan menceritakan keadaanku ketika meninggal dunia adalah seperti ini :

سَمِعْتُ وَقْتَ الْمَوْتِ نِدَاءً مِنْ فَوْقِى, يَامَلاَئِكَتِىْ لَاتَتْرَكُوْهُ مَجُوْسِيا فَأَكْرِمُهُ بِالْاِسْلاَمِ بِحُرْمَتِهِ لِرَمَضَانَ

Artinya : ketika aku mati, saya mendengar sesuatu dari atasku, hai malaikat-malaikat-Ku janganlah kalian meninggalkan orang majusi ini dan dikumpulkan dengan kaum majusi, kecuali kalian memuliakannya dan dikumpulkan bersama-sama dengan orang yang menetapi islam, karena orang majusi ini mau menghormati bulan ramadhan.

Itulah sebab-sebab yang tidak disangka-sangka orang majusi dalam cerita di atas masuk surga yang dikarenakan Allah memberikan iman ketika orang majusi itu menghormati bulan ramadhan.

Sebagaimana firman Allah :

انّ الله يغفر لمن يشاء

Artinya : Sesungguhnya Allah mengampuni siapa saja yang Ia kehendaki

Subhanallah. Maha suci Allah dengan segala firman nya. Allah sudah mengetahui apa saja yang di butuh kan hamba nya. Tapi Allah hanya mengabulkan permohonan yang terbaik bagi hamba nya. Kadang kala. Yang kita anggap baik belum tentu baik bagi kita.

Tetap lah kita mensyukuri atas semua nikmat yang sudah Allah berikan kepada kita. Dan jangan pernah mengeluh atas apa yang sudah kita peroleh. Yakin lah terhadapa letetapan allah di lhauhul mahfuz. Allah sudah menetap kan takdir baik maupun buruk sekalipun 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Jd kita sebagai hamba syukuri dan taati atas setiap pemberian allah.

Apa lagi kita hampir berjumpa dengan bulan yang dirindukan para nabi. Karna bulan ini tidak ada di nabi nabi yang lalu. Karna bulan ini terdapat keberkahan dan pahala yang berlipat lipat kalau kita beribadah. Makanya nabi bilang ini bulan adalah bulan ummat ku. Jadi tingkat kan lah ibadah nanti saat berjumpa dengan bulan yang suci. Yaitu bulan ramadhan.

Banyak pahala yang belum tentu kita dapat kan di bulan yang lain. Terimakasih atas kunjungan dan terimakasih atas segala perhatian. Saya penulis mohon maaf atas kesalahan Jazakallahu lhairan jazila. Wassalamualaikum warah matullahi wabarakatuh.

Disadur dari kitab Dzurratun Nashihin hal.41-42