Jumat, 05 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (26)


Jamaah Medsosiyyah part 2

Refleksi Kecemasan

Bersinggungan dengan virtual berarti berbicara mengenai nyata dan tidak nyata, antara makna dan simbol, antara nilai dan kebenaran atau antara kebutuhan dan gaya hidup. Virtual dalam catatan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti a (secara) nyata. Dapat diartikan sebagai sesuatu yang sifatnya seolah-olah, seakan-akan, atau hyperrealitas dengan kata lain melampaui kenyataan tapi seakan-akan nyata. Dalam teori Jean Baudrillard, filsuf asal Prancis ini menyebutnya dengan istilah Simulacra yang berarti dunia simulasi (dunia kosong) sementara Sayyed Husein Nasr menyebutnya sebagai Scentia Sacra (kenestapaan manusia modern). Virtual merupakan bermain-mainya manusia dengan dunia maya.

Pertama yang ingin saya sampaikan bahwa, ada banyak pergeseran budaya atau tradisi secara signifikan ketika era virtual mulai mempersembahkan aromanya pada generasi millenial. Diantaranya adalah virus virtual dalam kehidupan saat ini sudah menjadikan kita tidak hanya menjadi warga Indonesia saja melainkan sudah menjadi warga Dunia. Segala aktivitas kita sudah mendunia dan menjadi keniscayaan hubungan kita dengan warga dunia lainnya. Cukup hanya dengan memotret aktivitas kemudian dimasukkan ke media sosial maka penduduk dari manapun dapat melihat aktivitas tersebut.

Kedua, era virtual telah mengalihkan titik fokus kita dari makna menjadi simbol. Manusia hanya sibuk mencari simbol tanpa memerhatikan makna dibalik simbol tersebut sehingga berkah akan hidup pun menjadi kurang bahkan tidak ada sama sekali.

Ketiga, munculnya jarak sosial (distingsi). Iwan Fals menyebutnya dengan ''Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh". Adanya jarak sosial mengakibatkan manipulasi konteks makin meningkat, artinya dalam menyampaikan sesuatu tidak sesuai dengan apa yang seharusnya disampaikan secara esensial. Sebagai contoh dalam seminar tentang "Kesetaraan Gender" misalnya tapi yang dibesar-besarkan pada penyampai di media sosial malah tentang cara penyampaian dari narasumber padahal yang harus difokuskan adalah esensi dari seminar tersebut bukan eksistensinya. 

Selanjutnya, jarak sosial justru seakan-akan memutarbalikkan makna. Misalnya tentang makna hadits أنظر ما قال ولا تنظر من قال (lihatlah apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang berkata) menjadi أنظر من قال ولا وتنظر ما قال (lihatlah siapa yang berkata dan jangan lihat apa yang dikatakan). Konteks hari ini telah mengcover demikian. Karena jarak sosial mengakibatkan tidak adanya kedekatan secara langsung (fisik) sehingga kepribadian seseorang pun tidak bisa dinilai secara parsial (keseluruhan). Akibatnya, makna menjadi abstrak karena karena kalah dari simbolnya. Lebih jelasnya, kita menilai seseorang karena retorikanya atau karena tampilannya bukan karena kepribadiannya atau akhlaknya. Parahnya otak tidak difungsikan lagi apapun yang dikatakan panutan atau orang yang dianggap Mursyid maka wajib diikuti tanpa menelusuri benar tidaknya terlebih dahulu.

Keempat, hadirnya masyarakat epilepsi. Masyarakat epilepsi adalah masyarakat yang kecenderungannya hanya pada sesuatu yang konotasinya menggugah atau kata kerja mulut "wawwwww" membuat mata terbelalak karena dianggap sesuatu yang luar biasa. Akibatnya masyarakat tidak lagi melihat benar salahnya karena telah terhipnotis dengan tingkatan bombastisnya.

Kelima, adanya efek kecabulan. Era virtual juga telah membuat penikmatnya tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan. Semua kegiatan pun diakses ke media sehingga orang lain dapat menyaksikan. Apakah itu kesuksesan, kegiatan keagamaan, kegalauan, ulang tahun seseorang, pernikahan dan lain sebagainya. Parahnya masyarakat virtual pun tanpa ragu sedikitpun memposting hal yang sifatnya sangat rahasia. 

Kelima diatas hanya sebagian kecil dampak dari pada penggunaan virtual secara negatif. Menggunakan hal kearah negatif mengakibatkan matinya makna, ketidakstabilan, chaos (kekacauan), tidak pastinya tujuan, fungsi dan makna. Kalahnya esensi karena eksistensi. Yang terakhir adalah komunikasi menjadi massif dengan kata lain cepat namun dangkal dalam makna. Wallahu a'lam bisshowab

Doa Hari ke 26

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ سَعْيِيْ فِيْهِ مَشْكُوْرًا وَ ذَنْبِيْ فِيْهِ مَغْفُوْرًا وَ عَمَلِيْ فِيْهِ مَقْبُوْلاً وَ عَيْبِيْ فِيْهِ مَسْتُوْرًا يَا أَسْمَعَ السَّامِعِيْنَ

Artinya :

”Ya Allah, jadikanlah setiap lampah usahaku di bulan ini sebagai ungkapan rasa syukur dan dosa-dosaku terampuni, amal-amalku diterima dan seluruh aib kejelekanku ditutupi. Wahai Yang Maha mendengar dari semua yang mendengar.

(Tulisan lama diadopsi dan diedit kembali)