Selasa, 05 Maret 2024

FOTNOTE HISTORIS ||TEKS DAN KONTEKS

By Ahmad M. Sewang 

Ilmu sejarah mengajarkan bahwa hampir semua pendapat lahir dari respon seseorang terhadap peristiwa yang dihadapi. Juga termasuk hadis Nabi yang dalam ilmu hadis disebut asbab al-wurud. Karena itu membaca sebuah pendapat atau teks perlu melihat apa yang melatarbelakangi teks itu disampaikan, sehingga satu pendapat atau teks  memperoleh konteksnya yang tidak sekedar hanya dimaknai secara rigid. Terkadang sebuah hadis tidak diketahui asbab wurudnya, tetapi para sahabat dapat berijtihad mencari konteksnya. Sebagai contoh yang diambil dari teks hadis tentang peristiwa di Bani Qraizah, sebuah tempat pada komunitas Yahudi di Madinah. Teks hadis itu berbunyi,
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Nabi saw. bersabda sekitar Perang al-Ahzab: "Janganlah seseorang melaksanakan salat Asar kecuali setelah tiba di perkampungan Bani Quraizah." Setelah berangkat, sebagian dari pasukan (memahami hadis itu secara kontekstual) sehingga mereka melaksanakan salat Asar di perjalanan (mengingat waktu salat sudah hampir berakhir). Sementara sebagian yang lain (memahami secara tekstual, sehingga mereka meninggalkan salat Asar) mereka berkata; "Kami tidak akan salat kecuali setelah sampai di perkampungan itu (Bani Quraezah)." Namun, yang lain beralasan; "Justru kita harus salat Asar, karena maksud beliau bukan seperti itu (yaitu agar mempercepat perjalanan, sementara waktu sudah sangat mendesak)." Setelah kejadian itu diberitahukan kepada Nabi saw., beliau tidak menyalahkan satu pihak pun."

Yusuf Al-Qardawi, ulama kontemporer, berpendapat bahwa memahami sunnah tidak bisa lepas dari konteks sosial penuturan sebuah hadis. Al-Qardawi berpandangan bahwa memahami sunnah perlu mempertimbangkan tujuan (maqasid), konteks (mulabasat), dan faktor  (asbab). Sehingga sebuah hadis segera bisa diketahui, apakah kontenya bersifat umum atau temporal.

Natijah:
1. Dari hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa metode tekstual dan kontekstual, keduanya bisa digunakan dalam memahami sebuah hadis.
2. Sekalipun kedua metode bisa digunakan, tetapi umat harus cerdas memilih salah satunya yang lebih maslahat, dan lebih relevan dengan perkembangan zaman.
3. Teks dan konteks sebaiknya bersinergi dalam diri seorang alim. Mengandalkan teks tampa konteks akan rigid, sebaliknya konteks tanpa memperhatikan teks bisa berubah menjadi liberal.

Makassar, 5 Maret 2024

Hj. Sitti Maemunah ||Guru Pejuang Dari Majene



Catatan Muhammad Munir

HJ. SITTI MAEMUNAH adalah seorang Pempimpin Kelaskaran GAPRI 5.3.1 (Gabungan Pemberontak Republik Indonesia Kode 5.3.1) yang berpusat di Baruga, Majene. Pada tahun 1916, ketika cengkraman Hindia Belanda benar benar menikam pribumi. Di bumi Baruga, sepasang siami istri bernama Muhamnad Saleh dan Habiba hidup memadu kasih dan melahirkan sosok bayi perempuan yang mereka beri nama Sitti Maemunah.
Keduanya mungkin tak akan pernah berfikir dan bermimpi bahwa kelak anak petempuannya itu akan tumbuh dan berkembang menjadi tokoh perempuan pendidik dan tokoh pejuang yang mampu mengorganisir organisasi besar sekelas GAPRI 5.3 1.

Maemunah kecil tumbuh dan berkembang di Kampung Baruga. Ia hidup di antara rindang pohon dan dinginnya malam. Ia hidup dalam bimbingan orangtua dan lingkungan yang taat beragama, sehingga kelak sosok Maemunah dikenal sebagai wanita salehah, sebagai guru dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah.

Sisi kehidupan Maemunah sesungguhnya tidak terhitung mujur, sebab ketika masih berumur 6 tahunan ia harus kehilangan sosok ibu yang penyayang. Praktis kematian sang Ibu membuat Maemunah harus lebih banyak belajar menjadi sosok ibu bagi kedua adiknya yang bernama Bahria dan Nurdin. Melihat kondisi anak-anaknya yang masih membutuhkan peran seorang ibu, Muhammad Saleh kemudian memutuskan untuk  menikah kembali dengan wanita bernama Sohora. Dari pernikahan ini, dikaruniai 2 orang putra bernama Mabrur dan Abrar, keduanya berdomisili di Makassar.
Dalam kehidupan keluarga Maemunah, pendidikan Islam menjadi hal utama yang harus ditanamkan. Termasuk pendidikan nonformal berupa adat istiadat yang berlaku di masyarakat Mandar. Inilah yang kemudian menjadikan Maemunah dikenal sebagai anak yang shalehah, taat beribadah dan pemberani. Karakter pemberani ini boleh jadi karena ia anak petama dari lima bersaudara. Selain itu Maemuna selalu bersikap hati-hati dalam bertindak karena dia adalah panutan terhadap keempat adiknya.
Pada tahun 1928, ketika usia Maemunah menginjak 12 tahun, ia mulai mengenal sekolah formal, yaitu Sekolah Dasar 6 tahun di Majene. Selanjutnya ia mengambil  pendidikan guru selama 2 tahun di tempat yang sama. Hingga pada tahun 1937, Maemunah kemudian melanjutkan ke CVO untuk mendidik tenaga-tenaga guru dan terangkat sebagai Kepala Sekolah Ba’babulo dari tahun 1937-1953.

Setiap selesai shalat subuh, Maemunah selalu bersiap untuk berangkat ke sekolah dengan perjalanan yang sangat panjang dan penuh resiko karena pada saat itu keamanan belum stabil apalagi seorang wanita yang rentan dengan kejahatan.
Tiga tahun menjadi Kepala Sekolah, pada tahun 1940 Mamunah menikah dengan pemuda bernama Muh. Jud Pance, seorang guru dari tanah Bugis. Pernikahan keduanya dilangsungkan di Deteng-Deteng, Majene. Sayang sekali, pernikahan mereka tak dikaruniai anak.

Pemikiran Maemunah pada saat itu bisa dikatakan telah melebihi pemikiran dari teman-teman sebayanya. Maemaunah memiliki pemikiran nasionalisme yang luas yang mengakibatkan dia ikut dalam beberapa diskusi organisasi kemerdekaan. Jiwa nasionalisme yang kuat memanggilnya untuk turut serta melawan para penjajah.
Keberadaan Maemunah dalam perkembangan sejarah perjuangan di Mandar sangat signifikan karena Maemunah berhasil membawa Kelaskaran GAPRI 5.3.1 menjadi salah satu kelaskaran yang sangat dibenci oleh Tentara Belanda pada saat itu. Maemunah dalam Kelaskaran GAPRI 5.3.1 bertugas untuk mengatur strategi perjuangan agar terorganisir dalam melaksanakan setiap aksinya. Rumahnya juga dijadikan sebagai markas besar yang menjadi pusat untuk mengatur stategi dan sebagai tempat bagi para pasukan beristirahat.

 Maemunah menjadi garda terdepan dalam melawan (praktik kolonialisme baru, khususnya di daerah Mandar). Melalui organisasi ini, GAPRI 5.3.1 melakukan berbagai persiapan, baik proses pengumpulan atau penyeleksian anggota, hingga proses penyediaan alat-alat persenjataan perang. Sebagai upaya untuk melengkapi berbagai kebutuhan yang diperlukan, maka GAPRI 5.3.1 melakukan hubungan dengan pihak-pihak tertentu di Balikpapan dan beberapa daerah lain di Indonesia untuk mendapatkan alat-alat persenjataan perang. Selain itu, pembinaan atau pelatihan kemiliteran juga menjadi agenda penting dalam proses penyelenggaraan persiapan perang itu sendiri. 

Dalam upaya untuk mempersiapkan segala kebutuhan perjuangan, GAPRI 5.3.1 lebih bertumpu pada pendanaan pribadi dari Maemunah dan Djud Pance. Kendati demikian, pendanaan juga terbuka bagi pihak luar yang ingin memberikan sumbangsi kepada organisasi perjuangan itu. Dengan demikian, perjuangan GAPRI 5.3.1 dapat dimaknai sebagai wujud kongkrit dari bentuk nasionalisme rakyat Mandar. Masyarakat Mandar tidak pernah berpikir tentang siapa yang membantu, siapa yang mampu membantu perjuagan itu.

Pada sekitar bulan April dan Mei 1945, Soekarno bersama rombongannya mendatangi Kota Makassar untuk memberikan dorongan kepada berbagai pihak serta mempersiapkan diri dalam rangka menyambut sebuah negara baru yang bebas dari bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme asing. Kedatangan Soekarno di Kota Makassar seolah memberi sinyalemen bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan berdaulat, sehingga mampu berdiri sama tinggi, duduk sarna rendah dengan negara-negara lain yang berdaulat. Bagi masyarakat yang ada di Sulawesi, Inilah isyarat awal bahwa akan muncul sebentar lagi sebuah negara baru yang bernama Indonesia. 

Tidak berselang lama dari kedatangan Soekarno di Kota Makassar, sebuah negara baru berdiri dan secara resmi diproklamirkan pada Tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia menandai bahwa Indonesia sebagai sebuah negara secara de facto telah merdeka. Informasi tentang proklamasi yang disebarkan melalui radio ditangkap oleh seluruh rakyat Indonesia, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pada saat pembacaan proklamasi di Jakarta, beberapa Wilayah di Indonesia juga tidak sedikit yang belum mengetahui, sehingga pekik kemerdekaan belum sepenuhnya bergema. 
Seperti halnya di Mandar, pada saat pembacaan proklamasi kemerdekaan, di wilayah ini masih mengalami penjajahan. Selang beberapa hari pasca pembacaan proklamasi di Jakarta, informasi tentang kemerdekaan Indonesia akhirnya sampai juga di Mandar. Para pemuda Mandar yang mendapatkan informasi itu melalui siaran radio amatir. Informasi yang didengarkan itu disebarkan ke beberapa pihak yang dianggap mampu memberikan dorongan dalam proses penyambutan terbentuknya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. 

Sepasang suami istri yang saat itu berstatus sebagai Kepala Sekolah Dasar Ba'babulo I dan II, Djud Pance dan Maemunah juga mendengar informasi tersebut melalui radio amatir yang dimiliki. Atas informasi itu, mereka mencoba menata hati secara baik-baik untuk kemudian merundingkan tentang perihal apa yang akan dilakukan dalam menyikapi proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. 

Setelah beberapa saat melakukan perundingan terkait langkah-langkah apa yang akan dilakukan, keduanya kemudian memutuskan untuk bersama-sama terjun ke lapangan, dari Ba'babulo ke kampung halamannya di Baruga yang berjarak + 12 Km. Di Baruga, kedua guru ini membagi informasi tentang kemerdekaan itu kepada beberapa keluarganya terlebih dahulu kemudian disebarkan kepada masyarakat sekitar. 
Di tempat lain, informasi mengenai kabar yang menggembirakan itu ternyata juga telah diterima oleh para pemuda di Majene. Beberapa pemuda yang telah mendengar informasi tentang proklamasi itu secara sigap menyebarluaskan  informasi itu secara cepat kepada masyarakat. Tidak berselang lama, beberapa pemuda seperti Abd. Wahab Anas, Abdul  Halim, AE, Mallewa, Sawawy, dll., secara cepat berkeliling di jalan raya sembari mendengungkan pekik kemerdekaan.

Masyarakat yang melihat dan mendengar pekikan mereka itu akhirnya ikut bergabung dalam iring-iringan yang telah dibuat sebelumnya. Suasana menjadi semakin ramai dan penuh kemenangan. Kendati masih terdapat beberapa pihak masyarakat yang masih belum sepenuhnya memahami tentang ada apakah gerangan, ada juga yang cenderung pasif dan tak sedikit pula yang bertindak sebagai penonton. 
Pekik kemerdekaan terus bergema khususnya di Baruga dan di Kota Majene. Beberapa pihak saling berunding untuk membahas apa yang harus dilakukan dalam menyambut hari baik itu. Djud Pance yang selalu didampingi oleh isteri setianya, Maemunah, membangun komunikasi dengan HM. Syarif yang saat itu masih menjadi ketua organisasi sosial kemasyarakatan Persatuan Rakyat Mandar (PRAMA) yang berada di Baruga. Dalam pertemuannya itu menghasilkan sebuah keputusan untuk menggunakan organisasi itu sebagai wadah perjuangan dalam rangka menyambut dan menyusun berbagai strategi untuk merealisasikan janji proklamasi. Beberapa langkah kongkrit yang akhirnya direalisasikan adalah merubah nama organisasi PRAMA menjadi Perjuangan Masyarakat Indonesia (PERMAI) pada Tanggal 24 Agustus 1945. 

Itulah langkah awal perjuangan rakyat Baruga dalam menyambut kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Perubahan nama PRAMA menjadi PERMAI yang dilakukan oleh Djud Pance, Maemunah, dan HM. Syarif dapat dipahami sebagai proses penting dalam rangka menciptakan sebuah identitas kebangsaan baru. Artinya, perubahan identitas PRAMA yang semula masih bersifat kedaerahan menjadi PERMAI yang mencirikan sebuah identitas baru yang bersifat keindonesiaan. Mereka terbayang tentang konsep keindonesiaan, sehingga mereka secara sadar menaikkan status terhadap identitas yang sebelumnya bersifat primordial menjadi plural dan multikultur, bukan bangsa Mandar, melainkan Bangsa Indonesia. 

Pasca perubahan terhadap identitas organisasi tersebut, proses selanjutnya adalah menyusun rencana strategi perjuangan. Rencana setrategi yang disusun dalam organisasi PERMAI dibagi menjadi dua bagian. Pertama, menjelaskan bahwa PERMAI merupakan sebuah organisasi sosial, ekonomi, dan budaya yang secara spesifik berada di Baruga. Fungsi organisasi yang demikian diperankan oleh H. Muh, Syarif. Kedua, menjelaskan bahwa PERMAI memiliki underbow bernama GAPRI 5.3.1, yang secara penuh menjadi penyokong terhadap kelembagaan PERMAI melalui sistem keagenan yang bersifat rahasia. 

Identitas rahasia dalam hal ini dimaksudkan apabila terjadi segala sesuatu terkait dengan perubahan situasi, maka organisasi tetap dapat berjalan. Organisasi pergerakan GAPRI 5.3.1, dikelola dan dijalankan oleh dua sejoli Djud Pance dan Sitti Maemunah.
Berpijak dalam suatu organisasi Kelasykaran, Maemunah memulai kehidupan politisnya yang tentu mengandung resiko sehubungan dengan makin meluasnya pengaruh NICA di daerah Majene. Dalam kegiatan GAPRI 5.3.1, Maemunah mengorganisasikan para pejuang, baik dalam latihan kemiliteran, persediaan makanan, persediaan senjata maupun turun langsung ke medan pertempuran melawan Belanda. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, ia bergabung dengan pemuda lainnya dalam melawan Belanda dan berusaha menghimpun kaum wanita diantaranya Sitti Habibah, Sitti Fatimah, Jaizah, Hadara, Sitti Maryam, dan lain-lain.

Beberapa petempuran hebat terjadi antara pihak Belanda dengan Pejuang GAPRI diantaranya:
(1) April 1946 pasukan GAPRI 5.3.1 dibawah pimpinan Basong melancarkan serangan terhadap patroli aparat NICA dan KNIL di Segeri-Baruga. Pada pertempuran tersebut kepala kampung Segeri yaitu Siada tewas. Pada bulan yang sama pasukan yang dipimpin oleh Basong dan Labora melancarkan serangan tehadap NICA dan KNIL di Pangale-Majene dan selanjutnya pasukan dibawah pimpinan Haruna dan Bundu menyerang patroli KNIL di Pambuang.

(2) Mei 1946 kelaskaran GAPRI menyerang mata-mata musuh di Pangale, mengadakan pertempuran di Abaga, Tarring (Baruga), Simullu melawan Polisi KNIL.
Juni 1946, GAPRI makin giat melakukan serangan dengan menyerang banyak mata-mata dan tentara KNIL di jembatan Simullu.

(3) Juli 1946, GAPRI menyerang pasukan KNIL yang sedang melakukan patroli di Pamboang dan asing-asing.
Selanjutnya pada bulan Agustus, September, Oktober, dan Desember pasukan GAPRI melakukan beberapa panghadangan terhadap pasukan Belanda. 
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh GAPRI di Majene terhadap pemerintah NICA dan tentara KNIL tersebut, bukannya membuat Belanda menciut tetapi malah semakin meningkatkan provokasi dan penindasan kepada rakyat dan pejuang dengan ditangkapnya beberapa pejuang penting yang membuat pergerakan GAPRI semakin tersudut.
Perlawanan demi perlawanan yang dilakukan oleh GAPRI 5.3.1. membuat Belanda makin geram dan jengkel. Kehadiran serdadu Westerling di Mandar tujuan utamanya adalah mengahncurkan seluruh pemberontak yang ada di Mandar tanpa terkecuali sampai ke akar-akarnya.

Letnan Gubernur Jenderal Dr. H. J. Van Mook di Batavia mengumumkan pernyataan “Keadaan perang dan darurat” atau SOB pada tanggal 11 Desember 1946 (Surat keputusan No. 1 Batavia 11 Desember 1946) yang dinyatakan berlaku di dareah Afdeling Makassar, Afdeling Bantaeng, Afdeling Parepare, dan Afdeling Mandar. Akan tetapi pada hakikatnya keadaan darurat perang dalam kenyataannya berlaku diseluruh daerah Sulawesi Selatan karena Kolonel H.J. Vries atas perintah Jenderal S. Poor mengeluarkan suatu perintah harian pada tanggal 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran tentara dibawah perintahnya untuk serentak menjalankan operasi pasifikasi atau pengamanan berdasarkan SOB yang harus tegas, cepat, dan keras tanpa kenal ampun dengan melaksanakan penembakan mati di tempat tanpa proses pengadilan. 

Hal ini membuat pejuang GAPRI semakin tersudut karena pihak Belanda semakin gencar melakukan operasi dengan menyebar polisi kampung yang selalu mengawasi daerah-daerah yang menjadi pusat pergerakan di Majene.Inilah yang menjadi penyebab pergerakan pemuda di Majene semakin sempit akbat adanya polisi kampung yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka.

Pasca Panyapuang di Galung Lombok, tepatnya tanggal 4 Februari 1947 HBA Sangkala Menangkap dan membawa Maemunah ke Majene untuk di tahan. Dalam tahanan, Maemunah dan pejuang lainnya mendapat siksaan yang sangat kejam dari pihak Belanda. Sebelum Maemunah ditangkap, ia menyuruh suaminya untuk menghindar demi kelanjutan perjuangan. Pasukan Belanda di Parepare yang sejak awal sering melihat Djud Pance berdagang di kampung Langnga Parepare, Posisi Djud Pance menjadi buronan Belanda cukup mudah mengintainya. Meski demikian, Belanda rupanya tak harus mengerahkan pasukan untuk menangkap Pance, sebab rupanya Pance tak tega pada istrinya yang tersiksa di penjara  sehingga pada tanggal  7 Februari, Ia  menemui Maemunah dan langsung ditahan. Keesokan harinya Maemunah dibebaskan namun ia tak ingin bebas dan memilih di hokum sama suaminya.

Setelah lima puluh sembilan hari di tahanan, karena tidak didapatkan bukti kejahatan yang kuat, pada tanggal 6 April 1947 Pance bersama dengan 30 tahanan lainnya bebas. Namun berselang 3 hari, Pance kembali di tangkap dan langsung ditahan. Tetapi penangkapan Pance ini tidak menyurutkan Pejuang Mandar baik itu KRIS MUDA dan GAPRI untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda. Hal tersebut terbukti dengan perlawanan yang terjadi di beberapa daerah seperti Pamboang, Totolisi, Onang, Camba Pambusuang, dan lainnya.

Pada masa inilah Maemunah semakin berani mengikuti urusan-urusan perjuangan bekerjasama dengan pejuang di Makassar. Selain itu urusan Kelaskaran GAPRI 5.3.1 tetap dilanjutkan. Pembelian senjata api untuk dikirim ke Mandar dan Bangkala sebagai daerah yang masih bergejolak karena pejuang kemerdekaannya belum sempat ditangkap Belanda. Tepat pada tanggal 27 Desember 1949, seluruh tawanan pejuang kemerdekaan bangsa dibebaskan dan mulailah para pejuang dapat menghirup udara bebas. 

Setelah pembebasan, Maemunah dan lain-lain pulang ke Majene.  Maemunah dan rombongan tiba di Majene terus ke Baruga. Setelah proses perjuangan dan kondisi keamanan sudah mulai reda, Maemunah kembali menjadi Kepala SGB di Majene (1954-1960) dan menjadi Guru SGA berbantuan Muhammadiyah di Makassar. Tanggal 1 Januari 1963 Maemunah mengalami gangguan kesehatan sehingga dipensiunkan. Ia sembuh dari sakitnya setelah 11 tahun konsentrasi berobat. 
Pada tanggal 1 Desember 1973 ia ke Jakarta dan bekerja di PT. Air Baja, perusahaan besi baja pertama di Indonesia, milik H. Hamma’dia.  Di Jakarta, Maemunah tinggal di Teluk Gong Terusan Bendungan Utara No. 1 Jakarta Kota. 
Atas jasa-jasanya dalam pejuangan di daerah Mandar, Maemunah diberikan pengakuan sebagai veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dengan golongan A Tanda Jasa dari Departemen Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata oleh Laksamana TNI Soedomo tanggal 31 Juli 1982. Selain itu, atas jasa-jasanya pemerintah setempat mendirikan tugu perjuangan di bekas rumahnya di Baruga. Maemunah meninggal dunia di Makassar 21 Juli 1995 dan di makamkan di Pekuburan Dadi Makassar.

SEJARAH PENERJEMAHAN AL-QURAN DAN PENERBITAN KOROANG MALA'BI'

KORO’ANG MALA’BI’ adalah Al-Qur’an terjemahan Bahasa Mandar dilengkapi dengan bahasa Indonesia. Project Penyusunan Koro’ang Mala’bi’ ini digagas oleh Dr. Idham Khalid Bodi yang terbit pertama dalam bentuk 30 Juz dan dicetak kerjasama dengan Pemda Majene sebelum kemudian diterbitkan secara resmi di Makkah pada tahun 2005. 
 Koroang Mala’bi’ ini sudah proses cetakan ketiga yang dalam setiap cetakan disertai dengan revisi. Tahun 2019 merupakan tahun dimana tahapan revisinya digarap secara besar-besaran dengan melibatkan sebanyak 32 tim pentashih, termasuk penulis. Penulis terlibat sebagai tim pentashih ini diajak langsung oleh Dr. Idham Khalid Bodi saat proses finalisasi di Villa Bogor Majene yang dilaksanakan selama 3 hari yaitu dari tanggal 4 – 6 Agustus 2019.
Sejarah Penerjemahan al-Quran


SEJARAH PENERJEMAHAN AL-QURAN

Adalah menjadi  keinginan bagi setiap muslim untuk membaca  dan memahami Al Qur’an dalam bahasanya yang asli, bahasa Arab.  Namun tidak semua orang  mempunyai  kemampuan atau  kesempatan  yang sama, maka  keinginan tersebut tidak dapat dicapai  oleh setiap muslim. Untuk itu Al Qur’an diterjemahkan ke dalam berbagai  bahasa di dunia, seperti ke dalam bahasa-bahasa di Barat-Timur,  Nasional, dan Daerah; termasuk ke dalam bahasa Indonesia, dan yang  ada di hadapan anda adalah terjemahan Al Qur’an dalam bahasa daerah Mandar.
 Sebelum  berkembangnya  bahasa-bahasa Eropa, maka yang berkembang di Eropa  adalah bahasa Latin. Oleh karena itu, terjemahan Al Qur’an  dimulai ke dalam bahasa Latin. Terjemahan itu  dilakukan  untuk keperluan biaya Clugny  pada sekitar tahun 1135. Prof. W. Montgomeny Watt  dalam bukunya Bell’s 

Introduction to the Qur’an (Islamic Surveys: 8) menyebutkan bahwa  pertanda dimulainya  perhatian Barat  terhadap studi Islam  adalah dengan kunjungan  Peter the Venerable, Abbot of Clugny ke Toledo pada  abad ke 12. Di antara  usahanya  itu (terutama di Andalus) sebagai  bagian dari kegiatan tersebut adalah menerjemahan  Al Qur’an ke dalam bahasa Latin  yang dilakukan oleh Robert of Ketton (Robertus Retanensis) dan selesai  pada Juli 1143.

Pada abad Renaissance di Barat memberi dorongan lebih besar untuk menerbitkan  buku-buku Islam. Pada awal abad ke-16, buku-buku Islam banyak diterbitkan, termasuk penerbitan teks Al Qur’an pada tahun 1530 di Venice dan terjemah Al Qur’an ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton, tahun 1543 di Basle dengan penerbitannya Bibliander. Dari terjemahan bahasa Latin inilah kemudian Al Qur’an diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa.
 
Adapun terjemahan ke dalam bahasa Inggris yang pertama oleh A. Ross yang merupakan terjemahan dari bahasa Perancis yang dilakukan oleh Du Ryer pada tahun 1647 dan diterbitkan beberapa tahun kemudian. George  Sale  seorang yang berhasil menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1734. Terjemahannya  sebanding dengan terjemahan kepada terjemahan Ludovici Maracci. Bahkan catatan-catatan dan pendahuluannya sebagian besar  juga didasarkan  karangan Maraci. Mengingat  bahwa tujuan Maracci  menerjemahkan Al Qur’an untuk menjelek-jelekkan Islam  di kalangan masyarakat Eropa, maka terjemahannya dianggap yang terbaik dalam dunia yang berbahasa Inggris dan telah dicetak berulang kali dan dimasukkan dalam seri apa yang dikatakan “Chandos Classic” dan mendapat pujian  dan restu  dari Sir E. Denison Ros. Pada tahun 1812 terjemahan George Sale diterbitkan di London dalam edisi baru (dalam dua jilid). Terjemahan tersebut diberi judul The Koran atau The Alcoran of Muhammad: translated from the oroginal Arabic. Disebutkan  dalam terjemahannya berdasarkan sumber bahasa Arab, para mufassir muslim, terutama tafsir al Baidlowi.

 Pada abad ke-19 penerjemahan Al Qur’an semakin berkembang. Gustav Flugel (meninggal 1870) menerjemahkan Al Qur’an sejak tahun 1834 dan telah mengalami cetak ulang  dan direvisi oleh Gustav Redslob. Diikuti kemudian oleh Gustav Weil (meninggal 1889)  yang juga menulis sejarah Nabi Muhammad (tahun 1843). Usahanya diteruskan  oleh pelanjutnya  yaitu Aloys Sprenger dan William Muir. Keduanya  mempunyai perhatian yang besar dalam mempelajari Al Qur’an dan sejak nabi Muhammad. William Muir dikenal pula dengan bukunya Das Leben und  die Lehra des Mohammad (terbit tahun 1861). Dalam edisi Inggris , The Life of Mahomet (London, 1858-61), dalam 4 jilid. Bukunya telah mengalami cetak ulang beberapa kali.

 Di kalangan umat Islam timbul pula usaha penerjemahan Al Qur’an ke dalam bahasa Inggris. Diantara faktor  pendorong  penerjemahan Al Qur’an  adalah meluasnya pengertian yang salah akibat penulisan atau tejemahan para orientalis secara tidak benar. Ketidakbenaran  tersebut  terjadi karena kesengajaan untuk menyimpangkan ajaran dan kandungan Al Qur’an  yang benar atau karena  kesalahpahaman  dan keterbatasan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab  dan ajaran Islam. Sarjana muslim yang pertama menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Inggris adalah  Dr. Muhammad Abdul Hakim Chan  dari Patiala pada tahun 1905, Mizza Hazrat dari Delhi juga menerjemahkan Al Qur’an  dan diterbitkan pada tahun 1919. Nawab  Imadul Mulk Sayid Husain Bilgrami dari Hyderabat Deccan juga menerjemahkan sebagian Al Qur’an dan beliau meninggal dunia sebelum menyelesaikan terjemahan seluruh Al Qur’an. 

 Terjemahan Al Qur’an yang  terkenal di dunia barat ataupun timur adalah terjemahan Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an; Text. Translation and Commentary, telah diterbitkan berulang kali. Terjemahannya dilengkapi dengan uraian pengantar dan footnotes. Pada awal surat dilengkapi  dengan keterangan singkat  tentang surah  dan kesimpulan ayatnya. Dicetak pertama  pada tahun 1934/1353 H dan dicetak ulang beberapa kali. Terjemahan Al Qur’an lainnya  yang dilakukan oleh orang Islam  adalah terjemahan NJ. Dawood dari Irak, The Koran, diterbitkan  oleh Penguin Calassic tahun 1956. Terjemahannya mendapat pujian beberapa orientalis karena terjemahnya baik.

 Tentang terjemahan Al Qur’an di Afrika dapat dicatat beberapa hal  penting dari tulisan  Mufakhkhar Husain  Khan (Dhaka University). Di Afrika pada  mulanya  menerjemahkan Al Qur’an  selalu mendapat tantangan  dari para ulama. Sementara di Asia Selatan, ulama  Benggali berpendapat  bahwa penerjemahan Al Qur’an, merupakan suatu gerak maju menuju penghinduan orang Islam. Di Afrika tengah, ulama  Tatar  berpendapat bahwa penerjemahan Al Qur’an mendekati  penghinaan kepada  Tuhan. Ketika Kamal  Ataturk  ingin mendapatkan terjemahan Al Qur’an, ulama Al Azhar  di Mesir  menyatakan menentang penerjemahan Al Qur’an. Umumnya negeri-negeri Afrika mengikuti pendapat ulama Al Azhar tersebut. Ulama Hausa sangat keras menentang  penerjemahan Al Qur’an,   J.Spencer Trimingham (penulis A History of Islam in West Afrika) mencatat bahwa ketika penerjemahan Al Qur’an ke dalam bahasa Hausa disetujui, sangat mengejutkan mereka. Menurut mereka bahwa hal tersebut akan melenyapkan  barkah Allah  (blessing power).

 Jauh sebelum terjemahan Al Qur’an diterima  oleh sebahagian kaum muslimin di Afrika, para missionaris  Nasrani telah mengambil inisiatif  untuk menerjemahkan Al Qur’an  ke dalam beberapa  bahasa Afrika. Ketika para missionaris  mengadakan kegiatan di Afrika, mereka membawa terjemahan Al Qur’an disamping tugas utamanya  menbagi-bagikan  lembaran-lembaran risalah  dan terjemahan Bible  dalam bahasa daerah sederhana. Untuk menunjukkan kelebihan Nasrani mereka juga menerbitkan  judul-judul yang bermaterikan Islam, yang dalam hubungan ini dimaksudkan  untuk menunjukkan bahwa  terjemahan Al Qur’an mengandung pengertian yang banyak, sehingga penduduk dapat membandingkan antara Al Qur’an dan pesan-pesan  yang terdapat dalam Bible. Para missionaris di  Nigeria umpamanya mulai menerjemahkan Kitab Suci Al Qur’an ke dalam bahasa  Yoruba diawal abad ini. Yoruba adalah salah satu  bahasa  yang luas pengaruhnya  yang digunakan lebih  dari 16 juta penduduk di Nigeria bagian selatan. Hampir  separuh dari  suku Yoruba adalah muslim.

 Pergaulan di antara Muslim  dan Nasrani menjadi salah satu kemudahan bagi para missionaris untuk mencapai tujuan mereka. Untuk menunjukkan  bahwa kegiatan-kegiatan mereka  bukan hanya  bagi kepentingan Nasrani, maka mereka juga mengadakan  kegiatan penerjemahan Al Qur’an. Terjemahan yang penting  artinya  adalah terjemahan Kitab Suci Al Qur’an ke dalam bahasa Yoruba  oleh M.S. Cole. Sebagai usaha kedua dalam menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Yoruba ialah menggabungkan diri dengan  Ahmadiyah  yang salah satu kegiatannya  menerjemahkan Al Qur’an. Ahmadiyah mengerjakan kegiatannya di Negeria sejak tahun 1916 dan sangat cepat mendapat pengikut.

 Setelah sekitar 7 tahun  (pada tahun 1976) panitia menerbitkan  cetakan pertama  dengan penerbit University Press Ibadah. Pada  penerbitan kedua  (tahun 1978) telah dicetak sebanyak 5000 eks. Di Hongkong dengan beberapa koreksi, modifikasi dan pengembangan. Ulama Yoruba  memulai menerjemahkan Al Qur’an. Saran dan usul  untuk menerjemahkan Al Qur’an itu juga datang  dari Tuan Ahmadu Bello, mantan Perdana Menteri  Nigeria Utara. Persatuan Muslim Nigeria di Lagos ikut bergabung  dalam tugas tersebut. Tugas penerjemahan ini dilaksanakan oleh suatu panitia  yang terbentuk pada bulan Desember 1962. Tugas ini berhasil  diselesaikan dan  mendapat rekomendasi pada bulan Januari  1973. Terjemahan tersebut dicetak  oleh Dar al Arabiyah Beirut yang disebarkan  di Maiduguri (25.000 eks.), diantaranya dicetak  dengan biaya  dari Raja Arab Saudi. Cetakan kedua diterbitkan  dalam tahun 1977.

 Terkhusus di Indonesia, Al Qur’an  telah diterjemahkan  pada pertengahan abad ke-17 oleh Abdul Ra’uf Fansuri, seorang ulama dari Singkel, Aceh, ke dalam bahasa Melayu. Walaupun mungkin bahwa  terjemahan itu  ditinjau dari segi sudut ilmu bahasa Indonesia modern belum sempurna, tetepi pekerjaan itu adalah besar jasanya  sebagai pekerjaan perintis jalan. Diantara terjemahan-terjemahan  Al Qur’an ialah terjemahan yang telah dilakukan  oleh kemajuan Islam Yogyakarta; Qur’an Kejawen dan Qur’an Sundawiyah; penerbitan  percetakan A.B. Sitti Syamsiah Solo, diantaranya Tafsir Hidayaturrahman oleh K.H. Munawar Chalil; Tafsir Qu’an Indonesia oleh Mahmud Yunus (1935), Al Furqan dan Tafsir Qur’an oleh A. Hasan dari Bandung (1928); Tafsir Al Qur’an oleh H. Zainuddin  Hamidies (1959); Hibarna disusun K.H. Iskandar Idris; Al Ibris disusun oleh K.H. Bisyri Musthafa dari Rembang (1960); Tafsir Al Qur’an Hakim oleh H.M. Kasim Bakry cs (1960); Tafsir Al Azhar oleh Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) (1973); Tafsir An Nur oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy (1952) dan banyak lagi yang lain, ada yang lengkap dan ada yang belum seperti penerbitan terjemah  dan tafsir dari Perkumpulan Muhammadiyah, Persatuan Islam Bandung dan Al Ittihadul Islamiyah (AII di bawah pimpinan K.H. A. Sanusi Sukabumi) beberapa penerbitan terjemahan  dari Medan, Minangkabau, dan lain-lain. Sementara terjemahan-terjemahan  ke dalam bahasa Jawa  diantara-nya: Al Qur’an Suci Basa Jawi oleh Prof. K.H. R. Muhammad Adnan (1969), Al Huda oleh Drs, H. Bakri Syahid (1972).

SEJARAH PENERBITAN KOROANG MALA'BI'

 Penyusunan Koroang Mala’bi’ dimulai pada tahun 1995 oleh Idham Khalid Bodi. Berawal dari sebuah kerinduan terhadap kampung halaman yang kemudian disalurkan lewat penyusunan terjemahan Juz Amma ke dalam bahasa Mandar. Idham yang saat itu masih aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Bahaa Arab IAIN Alauddin (sekarang UIN) Makassar, menyampaikan hasil tersebut kepada para ulama dan budayawan Mandar. Apa yang dilakukan oleh Idham tersebut diapresiasi oleh para alim ulama untuk ditindak lanjuti menerjemahkan al-Quran Bahasa Mandar 30 Juz. 
Tahun 1998, oleh MUI Sulawesi Selatan menerbitkan SK No. 114/MUISS/SK/1998 Tentang Panitia Penerjemahan dan Penerbitan Al-Quran Mandar Indonesia dengan komposisi Penerjemah, Muhammad Idham Khalid Bodi. Ketua Panitia; Dr. H. Ahmad M. Sewang, MA. Sekretaris; Muhammad Idham Khalid Bodi, dan Bendahara Drs. Mahmud Hadjar. Adapun Pentashih Bahasa Mandar adalah Drs. KH. Abdul Rahman Halim, MA (koordinator) dan anggota Dr. KH. Sahabuddin, Husni Djamaluddin, Drs. Ahmad Sahur, M. Si. Dan Drs. Suradi Yasil. Surat Keputusan tersebut ditanda tangani oleh KH. Sanusi Baco, Lc. (Ketua MUI Sulawesi Selatan) dan Dr. Hamka Haq, MA (Sekretaris MUI Sulawesi Selatan).
Pada awalnya, terjemahan Al-Quran ini hanya menggunakan bahasa Mandar. Akan tetapi atas saran dari Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH, agar memasukkan terjemahan bahasa Indonesia dengan alas an, bahwa masih banyak orang Mandar yang belum bisa berbahasa Indonesia, demikian juga sebaliknya. Diharapkan dengan membaca terjemahan tersebut, orang lebih mengenal bahasa Mandar, jadi semacam kamus. 

Pada taHun 2000, Ketua Panitia (Ahmad M. Sewang) atas usul dari Baharuddin Lopa untuk menjejaki kemungkinan akan diterbitkannya terjemahan ini di Arab Saudi. Pada tahun tersebut, Ahmad Sewang ke Rabithah Alam Islami sebagai organisasi terbesar di Arab Saudi dan dari sana disarankan untuk memohon ke Mujamma’ Malik Fahd di Madinah. Karena terbatasnya waktu, maka proposal tersebut di kirim ke lembaga tersebut. Pihak Mujamma menyambut dengan baik sehingga Direktur Mujtama yang juga pengajar di Universitas Madinah mencari mahasiswa asal Indonesia, khususnya yang berasal dari Mandar. Ternyata di Universitas Madinah ditemukan mahasiswa dari Mandar, yakni Irwan Fitri Atjo. Saat liburan, Irwan ditugaskan pulang ke Indonesia untuk mencari penerjemah dan membawa Al-Quran Terjemahan bahasa Mandar utuh 30 Juz. 

Sesampainya ke Indonesia (Makassar), Irwan menemui Idham Khalid Bodi dan menceritakan kemungkinan akan diterbitkannya terjemahan ini di Arab Saudi. Karena terjemahan belum di tashih semuanya, maka Idham berjanji akan mengantar langsung naskah tersebut ke Arab Saudi tahun 2001 (saat musim haji). Sebelum ke Arab Saudi (menunaikan ibadah haji), Idahm mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk file yang tersimpan dalam disket (saat itu belum dikenal flash disk maupun hardisk eksternal). Termasuk menghubungi Baharuddin Lopa mengatur jadwal bertemu dan menysun langkah selanjutnya. Sesampainya di Mekah, Idham menguubungi lagi Baharuddin Lopa di Jeddah karena saat itu masih menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Arab Saudi. Idham dan Baharuddin Lopa sepakat akan bertemu dua hari kemudian di Azisiyah, Mekah. 

Setelah menunaikan ibadah haji, Idham ke Madinahuntuk arba’in dan menemui Irwan untuk menghadap ke Direktur Majamma’ Malik Fahd. Ia disambut dengan sangat luar biasa dan disepakati bahwa Mujamma’ akan menerbitkan naskah tersebut untuk ummat, tanpa royalty. Semua Lillahi Ta’ala. Tahun 2005, al-Quran Bahasa Mandar benar-benar diterbitkan. Dicetak sebanayk 20.000 eksemplar dan menjadi satu-satunya bahasa daerah yang diterbitkan di penerbit bergengsi tersebut, bersanding dengan terjemah bahasa-bahasa negara di dunia. Masalahnya kemudian karena penerbitan di Arab Saudi ini tidak melalui prosedur kenegaraan di Indonesia, tidak melalui Kementerian Agama RI (Dalam hal ini Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran). Sementara semua mushaf yang beredar harus ada tanda tashih dari lembaga tersebut. Drs. H. Fadhal AR, M.Sc, sebagai Kepala Pusat Lektur yang membawahi Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran menyarankan agar Al-Quran-Mandar tersebut tetap ditashih sebelum beredar. Tim pun dibentuk untuk maksud tersebut, dan tetap melibatkan penerjemah. Pentashihan dilakukan di Ciawi, Bogor selama sepekan.   

TIM PENTASHIH KOROANG MALA'BI' 2019

1. KH. Nur Husain
2. Drs. H. Alimuddin Lidda
3. Dr. Suradi Yasil
4. Dr. H. Mahmud Hadjar
5. KH. Sauqaddin Gani
6. Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, MA.
7. Prof. Dr. H. Arifuddin Ismail, M.Pd.
8. M. Nadir Soekarno
9. Dr. KH. Nafis Djuaeni, MA.
10. Dr. KH. Ilham Saleh
11. Dr. H. Mukhlis Latief, M.Si
12. Dr. H. Burhanuddin Djafar
13. KH. Bisri M. Pd.I
14. Dr. Srimusdikawati, M.Si.
15. Tammalele
16. Suparman Sopu, S.Pd., M.Pd.
17. KH. Karib S.P.I
18. KH. Abd. Syahid Rasyid
19. Dr. KH. Syamsuri Halim, M.Pd
20. Dr. Muhammad Rais, M.Si.
21. Dr. Ulfiani Rahman, M.Si.
22. KH. Irwan Fitri Atjo
23. KH. Munu S.Pd.I (Muhasib, S.Pd)
24. Muhsinin, S.Pd.I
25. Amran H. Borahima, M.Pd
26. Dr. M. Dalif, M. Ag.
27. Dr. Dalilul Falihin, M.Si
28. Abd. Wahid Noer, M.Pd
29. Amril Hamka
30. Muhammad Munir
31. Syarifuddin, M.Hum
32. Makmur, M. Th.I

Sumber:
Muhammad Munir, dkk 2021 Ensiklopedia Sulawesi Barat Jilid 6