Selasa, 05 Maret 2024

Hj. Sitti Maemunah ||Guru Pejuang Dari Majene



Catatan Muhammad Munir

HJ. SITTI MAEMUNAH adalah seorang Pempimpin Kelaskaran GAPRI 5.3.1 (Gabungan Pemberontak Republik Indonesia Kode 5.3.1) yang berpusat di Baruga, Majene. Pada tahun 1916, ketika cengkraman Hindia Belanda benar benar menikam pribumi. Di bumi Baruga, sepasang siami istri bernama Muhamnad Saleh dan Habiba hidup memadu kasih dan melahirkan sosok bayi perempuan yang mereka beri nama Sitti Maemunah.
Keduanya mungkin tak akan pernah berfikir dan bermimpi bahwa kelak anak petempuannya itu akan tumbuh dan berkembang menjadi tokoh perempuan pendidik dan tokoh pejuang yang mampu mengorganisir organisasi besar sekelas GAPRI 5.3 1.

Maemunah kecil tumbuh dan berkembang di Kampung Baruga. Ia hidup di antara rindang pohon dan dinginnya malam. Ia hidup dalam bimbingan orangtua dan lingkungan yang taat beragama, sehingga kelak sosok Maemunah dikenal sebagai wanita salehah, sebagai guru dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah.

Sisi kehidupan Maemunah sesungguhnya tidak terhitung mujur, sebab ketika masih berumur 6 tahunan ia harus kehilangan sosok ibu yang penyayang. Praktis kematian sang Ibu membuat Maemunah harus lebih banyak belajar menjadi sosok ibu bagi kedua adiknya yang bernama Bahria dan Nurdin. Melihat kondisi anak-anaknya yang masih membutuhkan peran seorang ibu, Muhammad Saleh kemudian memutuskan untuk  menikah kembali dengan wanita bernama Sohora. Dari pernikahan ini, dikaruniai 2 orang putra bernama Mabrur dan Abrar, keduanya berdomisili di Makassar.
Dalam kehidupan keluarga Maemunah, pendidikan Islam menjadi hal utama yang harus ditanamkan. Termasuk pendidikan nonformal berupa adat istiadat yang berlaku di masyarakat Mandar. Inilah yang kemudian menjadikan Maemunah dikenal sebagai anak yang shalehah, taat beribadah dan pemberani. Karakter pemberani ini boleh jadi karena ia anak petama dari lima bersaudara. Selain itu Maemuna selalu bersikap hati-hati dalam bertindak karena dia adalah panutan terhadap keempat adiknya.
Pada tahun 1928, ketika usia Maemunah menginjak 12 tahun, ia mulai mengenal sekolah formal, yaitu Sekolah Dasar 6 tahun di Majene. Selanjutnya ia mengambil  pendidikan guru selama 2 tahun di tempat yang sama. Hingga pada tahun 1937, Maemunah kemudian melanjutkan ke CVO untuk mendidik tenaga-tenaga guru dan terangkat sebagai Kepala Sekolah Ba’babulo dari tahun 1937-1953.

Setiap selesai shalat subuh, Maemunah selalu bersiap untuk berangkat ke sekolah dengan perjalanan yang sangat panjang dan penuh resiko karena pada saat itu keamanan belum stabil apalagi seorang wanita yang rentan dengan kejahatan.
Tiga tahun menjadi Kepala Sekolah, pada tahun 1940 Mamunah menikah dengan pemuda bernama Muh. Jud Pance, seorang guru dari tanah Bugis. Pernikahan keduanya dilangsungkan di Deteng-Deteng, Majene. Sayang sekali, pernikahan mereka tak dikaruniai anak.

Pemikiran Maemunah pada saat itu bisa dikatakan telah melebihi pemikiran dari teman-teman sebayanya. Maemaunah memiliki pemikiran nasionalisme yang luas yang mengakibatkan dia ikut dalam beberapa diskusi organisasi kemerdekaan. Jiwa nasionalisme yang kuat memanggilnya untuk turut serta melawan para penjajah.
Keberadaan Maemunah dalam perkembangan sejarah perjuangan di Mandar sangat signifikan karena Maemunah berhasil membawa Kelaskaran GAPRI 5.3.1 menjadi salah satu kelaskaran yang sangat dibenci oleh Tentara Belanda pada saat itu. Maemunah dalam Kelaskaran GAPRI 5.3.1 bertugas untuk mengatur strategi perjuangan agar terorganisir dalam melaksanakan setiap aksinya. Rumahnya juga dijadikan sebagai markas besar yang menjadi pusat untuk mengatur stategi dan sebagai tempat bagi para pasukan beristirahat.

 Maemunah menjadi garda terdepan dalam melawan (praktik kolonialisme baru, khususnya di daerah Mandar). Melalui organisasi ini, GAPRI 5.3.1 melakukan berbagai persiapan, baik proses pengumpulan atau penyeleksian anggota, hingga proses penyediaan alat-alat persenjataan perang. Sebagai upaya untuk melengkapi berbagai kebutuhan yang diperlukan, maka GAPRI 5.3.1 melakukan hubungan dengan pihak-pihak tertentu di Balikpapan dan beberapa daerah lain di Indonesia untuk mendapatkan alat-alat persenjataan perang. Selain itu, pembinaan atau pelatihan kemiliteran juga menjadi agenda penting dalam proses penyelenggaraan persiapan perang itu sendiri. 

Dalam upaya untuk mempersiapkan segala kebutuhan perjuangan, GAPRI 5.3.1 lebih bertumpu pada pendanaan pribadi dari Maemunah dan Djud Pance. Kendati demikian, pendanaan juga terbuka bagi pihak luar yang ingin memberikan sumbangsi kepada organisasi perjuangan itu. Dengan demikian, perjuangan GAPRI 5.3.1 dapat dimaknai sebagai wujud kongkrit dari bentuk nasionalisme rakyat Mandar. Masyarakat Mandar tidak pernah berpikir tentang siapa yang membantu, siapa yang mampu membantu perjuagan itu.

Pada sekitar bulan April dan Mei 1945, Soekarno bersama rombongannya mendatangi Kota Makassar untuk memberikan dorongan kepada berbagai pihak serta mempersiapkan diri dalam rangka menyambut sebuah negara baru yang bebas dari bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme asing. Kedatangan Soekarno di Kota Makassar seolah memberi sinyalemen bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan berdaulat, sehingga mampu berdiri sama tinggi, duduk sarna rendah dengan negara-negara lain yang berdaulat. Bagi masyarakat yang ada di Sulawesi, Inilah isyarat awal bahwa akan muncul sebentar lagi sebuah negara baru yang bernama Indonesia. 

Tidak berselang lama dari kedatangan Soekarno di Kota Makassar, sebuah negara baru berdiri dan secara resmi diproklamirkan pada Tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia menandai bahwa Indonesia sebagai sebuah negara secara de facto telah merdeka. Informasi tentang proklamasi yang disebarkan melalui radio ditangkap oleh seluruh rakyat Indonesia, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pada saat pembacaan proklamasi di Jakarta, beberapa Wilayah di Indonesia juga tidak sedikit yang belum mengetahui, sehingga pekik kemerdekaan belum sepenuhnya bergema. 
Seperti halnya di Mandar, pada saat pembacaan proklamasi kemerdekaan, di wilayah ini masih mengalami penjajahan. Selang beberapa hari pasca pembacaan proklamasi di Jakarta, informasi tentang kemerdekaan Indonesia akhirnya sampai juga di Mandar. Para pemuda Mandar yang mendapatkan informasi itu melalui siaran radio amatir. Informasi yang didengarkan itu disebarkan ke beberapa pihak yang dianggap mampu memberikan dorongan dalam proses penyambutan terbentuknya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. 

Sepasang suami istri yang saat itu berstatus sebagai Kepala Sekolah Dasar Ba'babulo I dan II, Djud Pance dan Maemunah juga mendengar informasi tersebut melalui radio amatir yang dimiliki. Atas informasi itu, mereka mencoba menata hati secara baik-baik untuk kemudian merundingkan tentang perihal apa yang akan dilakukan dalam menyikapi proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. 

Setelah beberapa saat melakukan perundingan terkait langkah-langkah apa yang akan dilakukan, keduanya kemudian memutuskan untuk bersama-sama terjun ke lapangan, dari Ba'babulo ke kampung halamannya di Baruga yang berjarak + 12 Km. Di Baruga, kedua guru ini membagi informasi tentang kemerdekaan itu kepada beberapa keluarganya terlebih dahulu kemudian disebarkan kepada masyarakat sekitar. 
Di tempat lain, informasi mengenai kabar yang menggembirakan itu ternyata juga telah diterima oleh para pemuda di Majene. Beberapa pemuda yang telah mendengar informasi tentang proklamasi itu secara sigap menyebarluaskan  informasi itu secara cepat kepada masyarakat. Tidak berselang lama, beberapa pemuda seperti Abd. Wahab Anas, Abdul  Halim, AE, Mallewa, Sawawy, dll., secara cepat berkeliling di jalan raya sembari mendengungkan pekik kemerdekaan.

Masyarakat yang melihat dan mendengar pekikan mereka itu akhirnya ikut bergabung dalam iring-iringan yang telah dibuat sebelumnya. Suasana menjadi semakin ramai dan penuh kemenangan. Kendati masih terdapat beberapa pihak masyarakat yang masih belum sepenuhnya memahami tentang ada apakah gerangan, ada juga yang cenderung pasif dan tak sedikit pula yang bertindak sebagai penonton. 
Pekik kemerdekaan terus bergema khususnya di Baruga dan di Kota Majene. Beberapa pihak saling berunding untuk membahas apa yang harus dilakukan dalam menyambut hari baik itu. Djud Pance yang selalu didampingi oleh isteri setianya, Maemunah, membangun komunikasi dengan HM. Syarif yang saat itu masih menjadi ketua organisasi sosial kemasyarakatan Persatuan Rakyat Mandar (PRAMA) yang berada di Baruga. Dalam pertemuannya itu menghasilkan sebuah keputusan untuk menggunakan organisasi itu sebagai wadah perjuangan dalam rangka menyambut dan menyusun berbagai strategi untuk merealisasikan janji proklamasi. Beberapa langkah kongkrit yang akhirnya direalisasikan adalah merubah nama organisasi PRAMA menjadi Perjuangan Masyarakat Indonesia (PERMAI) pada Tanggal 24 Agustus 1945. 

Itulah langkah awal perjuangan rakyat Baruga dalam menyambut kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Perubahan nama PRAMA menjadi PERMAI yang dilakukan oleh Djud Pance, Maemunah, dan HM. Syarif dapat dipahami sebagai proses penting dalam rangka menciptakan sebuah identitas kebangsaan baru. Artinya, perubahan identitas PRAMA yang semula masih bersifat kedaerahan menjadi PERMAI yang mencirikan sebuah identitas baru yang bersifat keindonesiaan. Mereka terbayang tentang konsep keindonesiaan, sehingga mereka secara sadar menaikkan status terhadap identitas yang sebelumnya bersifat primordial menjadi plural dan multikultur, bukan bangsa Mandar, melainkan Bangsa Indonesia. 

Pasca perubahan terhadap identitas organisasi tersebut, proses selanjutnya adalah menyusun rencana strategi perjuangan. Rencana setrategi yang disusun dalam organisasi PERMAI dibagi menjadi dua bagian. Pertama, menjelaskan bahwa PERMAI merupakan sebuah organisasi sosial, ekonomi, dan budaya yang secara spesifik berada di Baruga. Fungsi organisasi yang demikian diperankan oleh H. Muh, Syarif. Kedua, menjelaskan bahwa PERMAI memiliki underbow bernama GAPRI 5.3.1, yang secara penuh menjadi penyokong terhadap kelembagaan PERMAI melalui sistem keagenan yang bersifat rahasia. 

Identitas rahasia dalam hal ini dimaksudkan apabila terjadi segala sesuatu terkait dengan perubahan situasi, maka organisasi tetap dapat berjalan. Organisasi pergerakan GAPRI 5.3.1, dikelola dan dijalankan oleh dua sejoli Djud Pance dan Sitti Maemunah.
Berpijak dalam suatu organisasi Kelasykaran, Maemunah memulai kehidupan politisnya yang tentu mengandung resiko sehubungan dengan makin meluasnya pengaruh NICA di daerah Majene. Dalam kegiatan GAPRI 5.3.1, Maemunah mengorganisasikan para pejuang, baik dalam latihan kemiliteran, persediaan makanan, persediaan senjata maupun turun langsung ke medan pertempuran melawan Belanda. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, ia bergabung dengan pemuda lainnya dalam melawan Belanda dan berusaha menghimpun kaum wanita diantaranya Sitti Habibah, Sitti Fatimah, Jaizah, Hadara, Sitti Maryam, dan lain-lain.

Beberapa petempuran hebat terjadi antara pihak Belanda dengan Pejuang GAPRI diantaranya:
(1) April 1946 pasukan GAPRI 5.3.1 dibawah pimpinan Basong melancarkan serangan terhadap patroli aparat NICA dan KNIL di Segeri-Baruga. Pada pertempuran tersebut kepala kampung Segeri yaitu Siada tewas. Pada bulan yang sama pasukan yang dipimpin oleh Basong dan Labora melancarkan serangan tehadap NICA dan KNIL di Pangale-Majene dan selanjutnya pasukan dibawah pimpinan Haruna dan Bundu menyerang patroli KNIL di Pambuang.

(2) Mei 1946 kelaskaran GAPRI menyerang mata-mata musuh di Pangale, mengadakan pertempuran di Abaga, Tarring (Baruga), Simullu melawan Polisi KNIL.
Juni 1946, GAPRI makin giat melakukan serangan dengan menyerang banyak mata-mata dan tentara KNIL di jembatan Simullu.

(3) Juli 1946, GAPRI menyerang pasukan KNIL yang sedang melakukan patroli di Pamboang dan asing-asing.
Selanjutnya pada bulan Agustus, September, Oktober, dan Desember pasukan GAPRI melakukan beberapa panghadangan terhadap pasukan Belanda. 
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh GAPRI di Majene terhadap pemerintah NICA dan tentara KNIL tersebut, bukannya membuat Belanda menciut tetapi malah semakin meningkatkan provokasi dan penindasan kepada rakyat dan pejuang dengan ditangkapnya beberapa pejuang penting yang membuat pergerakan GAPRI semakin tersudut.
Perlawanan demi perlawanan yang dilakukan oleh GAPRI 5.3.1. membuat Belanda makin geram dan jengkel. Kehadiran serdadu Westerling di Mandar tujuan utamanya adalah mengahncurkan seluruh pemberontak yang ada di Mandar tanpa terkecuali sampai ke akar-akarnya.

Letnan Gubernur Jenderal Dr. H. J. Van Mook di Batavia mengumumkan pernyataan “Keadaan perang dan darurat” atau SOB pada tanggal 11 Desember 1946 (Surat keputusan No. 1 Batavia 11 Desember 1946) yang dinyatakan berlaku di dareah Afdeling Makassar, Afdeling Bantaeng, Afdeling Parepare, dan Afdeling Mandar. Akan tetapi pada hakikatnya keadaan darurat perang dalam kenyataannya berlaku diseluruh daerah Sulawesi Selatan karena Kolonel H.J. Vries atas perintah Jenderal S. Poor mengeluarkan suatu perintah harian pada tanggal 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran tentara dibawah perintahnya untuk serentak menjalankan operasi pasifikasi atau pengamanan berdasarkan SOB yang harus tegas, cepat, dan keras tanpa kenal ampun dengan melaksanakan penembakan mati di tempat tanpa proses pengadilan. 

Hal ini membuat pejuang GAPRI semakin tersudut karena pihak Belanda semakin gencar melakukan operasi dengan menyebar polisi kampung yang selalu mengawasi daerah-daerah yang menjadi pusat pergerakan di Majene.Inilah yang menjadi penyebab pergerakan pemuda di Majene semakin sempit akbat adanya polisi kampung yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka.

Pasca Panyapuang di Galung Lombok, tepatnya tanggal 4 Februari 1947 HBA Sangkala Menangkap dan membawa Maemunah ke Majene untuk di tahan. Dalam tahanan, Maemunah dan pejuang lainnya mendapat siksaan yang sangat kejam dari pihak Belanda. Sebelum Maemunah ditangkap, ia menyuruh suaminya untuk menghindar demi kelanjutan perjuangan. Pasukan Belanda di Parepare yang sejak awal sering melihat Djud Pance berdagang di kampung Langnga Parepare, Posisi Djud Pance menjadi buronan Belanda cukup mudah mengintainya. Meski demikian, Belanda rupanya tak harus mengerahkan pasukan untuk menangkap Pance, sebab rupanya Pance tak tega pada istrinya yang tersiksa di penjara  sehingga pada tanggal  7 Februari, Ia  menemui Maemunah dan langsung ditahan. Keesokan harinya Maemunah dibebaskan namun ia tak ingin bebas dan memilih di hokum sama suaminya.

Setelah lima puluh sembilan hari di tahanan, karena tidak didapatkan bukti kejahatan yang kuat, pada tanggal 6 April 1947 Pance bersama dengan 30 tahanan lainnya bebas. Namun berselang 3 hari, Pance kembali di tangkap dan langsung ditahan. Tetapi penangkapan Pance ini tidak menyurutkan Pejuang Mandar baik itu KRIS MUDA dan GAPRI untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda. Hal tersebut terbukti dengan perlawanan yang terjadi di beberapa daerah seperti Pamboang, Totolisi, Onang, Camba Pambusuang, dan lainnya.

Pada masa inilah Maemunah semakin berani mengikuti urusan-urusan perjuangan bekerjasama dengan pejuang di Makassar. Selain itu urusan Kelaskaran GAPRI 5.3.1 tetap dilanjutkan. Pembelian senjata api untuk dikirim ke Mandar dan Bangkala sebagai daerah yang masih bergejolak karena pejuang kemerdekaannya belum sempat ditangkap Belanda. Tepat pada tanggal 27 Desember 1949, seluruh tawanan pejuang kemerdekaan bangsa dibebaskan dan mulailah para pejuang dapat menghirup udara bebas. 

Setelah pembebasan, Maemunah dan lain-lain pulang ke Majene.  Maemunah dan rombongan tiba di Majene terus ke Baruga. Setelah proses perjuangan dan kondisi keamanan sudah mulai reda, Maemunah kembali menjadi Kepala SGB di Majene (1954-1960) dan menjadi Guru SGA berbantuan Muhammadiyah di Makassar. Tanggal 1 Januari 1963 Maemunah mengalami gangguan kesehatan sehingga dipensiunkan. Ia sembuh dari sakitnya setelah 11 tahun konsentrasi berobat. 
Pada tanggal 1 Desember 1973 ia ke Jakarta dan bekerja di PT. Air Baja, perusahaan besi baja pertama di Indonesia, milik H. Hamma’dia.  Di Jakarta, Maemunah tinggal di Teluk Gong Terusan Bendungan Utara No. 1 Jakarta Kota. 
Atas jasa-jasanya dalam pejuangan di daerah Mandar, Maemunah diberikan pengakuan sebagai veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dengan golongan A Tanda Jasa dari Departemen Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata oleh Laksamana TNI Soedomo tanggal 31 Juli 1982. Selain itu, atas jasa-jasanya pemerintah setempat mendirikan tugu perjuangan di bekas rumahnya di Baruga. Maemunah meninggal dunia di Makassar 21 Juli 1995 dan di makamkan di Pekuburan Dadi Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar