Sabtu, 03 Februari 2024

Bukan Menggugat Tapi Menggugah !

Eja mengeja telah kau baca
Tulis menulis telah tuntas
Pun cerita lisan sukses kau taklukkan dalam tulisan
Dengan itukah kau lupa nisan?
Pernahkah kau tulis ritus kematian?
Jika tidak, jangan beri aku status apapun
Sebab dimataku kau tak ubahnya situs
Yah, situs 
Situs yang tak mampu kau tulis, selain mitos tentang perruqdusang lalu kau mengajakku adu jotos.
Ah, pantas kau hidup dalam siklus yang tak menemukan klimaks
Jangan bersenggama dengan kegamangan sebab itu hanya akan mencumbui fikirmu dengan birahi
Dan itu hanya membuat buas 

Hari ini aku ingin bertanya 
Apa kau telah puas ?
Jangan jawab iya, sebab keangkuhanmu hanya akan menuntunku untuk menonton parade kebodohan
Yah, kau memang bisa, bisa apa saja
Tapi kau bias
Sebab hari ini kau terlalu terobsesi mengajariku abjad dari A sampai Z.
Ah, tidak. Aku tak seberani itu memanggilmu guru
Maaf !

Jika hasratmu menjadikanku berguru
Jangan ajari aku B, C sampai Z
Sebab aku tak ingin diburu
Cukup ajari aku A
Maka akan kupanggil kau guru
Jelaskan padaku tentang A
Beri tahu aku tentang garis-garisnya
Tuntun aku menemukan tekanan pada bagian tengah yang memotong bagian yang memanjang kearah luar
Dan lalu antar aku pada puncak dimana garis itu dipertemukan
Tunjukkan padaku tiga garis saling bertemu di tengah titik
Kenapa garis itu panjangnya sama?

Setelah A, kutemukan sifatnya
Aku akan takluk dan memanggilmu guru
Dan menemukan B, C dan Z disetiap inci demi inci tubuhmu
Juga pada semua yang bertubuh
Maupun dari semua makhluk yang lahir dari proses bersetubuh
Jadilah guru buatku jangan bisu
Agar aku tak jadi insan ambigu
Jadilah guru buatku
Agar aku tak menulismu dungu
Sebab kata memaksaku begitu lugu
Dan kau harus tahu itu
Jika tidak
Apa artinya fir'aun diselamatkan Tuhan ?
Maafkan aku !

Kandemeng, 03 September 2015

SERIGALA BERTOPENG NABI (4)


Tiba-tiba saja kau hadir dengan lusuh diwajahmu
Guratan diwajahmu nampak penuh beban 
Kusambut setiap salam yang kau ucap dibibirmu
Dan ikut memunguti pilu yang digoreskan pemilu 
Lalu kusiapkan air untuk membasuh kusam di wajahmu 
Dan tak pernah aku menghitung berapa jumlah sujud
Serta doa-doa apa saja yang mengiringi zikirmu diatas sajadahku
Semua kuhalalkan sebab tak mungkin do’a-do’amu lahirkan dosa

Tiba-tiba saja hadirmu membuatku punya nyali
Dari diam dan sugiging ditempat menjadi auman lalu mencakar
Aku bahkan mengorbankan kenikmatanku untuk sirondo-rondoi
Dan tak secuilpun dihatiku mampu kulakukan untuk melukaimu
Aku bahkan masih tertawa ketika kau mengusik tidurku
Bahkan tak tidurpun kulakukan demi sebuah obsesi yang kau dapuk
Karna begitulah aku menerjemahkan kebersamaan yang sulit kau dapati
Semua kuhibahkan sebab kuyakin dosa-dosaku terkikis karnamu

iba-tiba saja hadirmu membuatku resah
Sebab segala tentangku kuurai karna uraian mengajakmu mengurai
Kau rela melerai seteru dihidupku yang tak mungkin bisa kuurai
Wajar saja aku resah, sebab kau hadir menjagaku meski aku terjaga
Terlebih ketika aku lelap dan lalai, kau masih saja enggan berlalu
Hingga kutemukan dirimu membeli resahku dengan menghinaku
Betapa tidak, kau dengan enjoy bersama laba-laba menyusun jaring
Aku tahu itu, tapi sekali lagi aku abai dengan lakumu

Kini hadirmu hampir semusim
Tiba-tiba saja kau beranjak dan aku kau injak
Wajahmu tak lagi lusuh, tapi berbinar ketika aku enggan menindak
Kau bahkan mampu menginjak-injak sajadah tempat sujudku
Karena akik dan batu mulia biasa kau jejer di jemarimu
Dengan semua itu, kau menyangka memiliki kehormatan
Lalu apakah dengan kehormatan itu kau jadi orang terhormat ?
Dan apakah menginjak kehormatan itu adalah kemuliaan ?
Mungkin saja semua kau aminkan karna fasihmu melafal dzikir
Tapi kau lupa, bahwa sujud dan dzikir itu bukan sekedar pelebur dosa
Bahwa batu mulia itu bukan sekedar mulia untuk gagah-gagahan
Semua itu adalah pertanda yang menandai kita sebagai manusia
Jika manusia abai dengan kemanusiaan
Maka sujud, dzikir, akik dan batu mulia adalah sia-sia
Kini, hadirmu dan hadirku adalah keadaan
Dan keberadaan kita tak harus berada jika tak bisa beradab
Sebab jika kau tak bisa menjaga adab, 
Jangan sesalkan jika aku menjadi biadab !

@BOTTO, Dua Sembilan Januari 2015

BUKU IMAM LAPEO


IMAM LAPEO: Wali dari Mandar Sulawesi Barat

Penulis: Zuhriah
Penerbit: Gading

Harga: 65.000

Buku ini membahas tentang kehidupan seorang yang dianggap wali di Mandar, Sulawesi Barat, KH. Muhammad Thahir, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Lapeo. Buku ini berisi biografi, yang mencakup silsilah, pendidikan (tempat belajar), dan dakwah Imam Lapeo. Kemudian, konstruksi kewalian Imam Lapeo yang terungkap dalam beberapa hal; sakralisasi kewalian tercermin dari silsilah, dianggap punya keunggulan pengetahuan luar biasa, dianggap dapat berperan sebagai perantara dengan Tuhan, mempunyai kemampuan luar biasa, yaitu karamah dalam mitologi, mempunyai "power" luar biasa untuk memobilisasi (membentuk tarekat), mempunyai kelebihan dan kebajikan dalam karakter, dan punya pengaruh melampaui masanya.
Hari ini, tempat ziarah; rumah Imam Lapeo (Boyang kayyang), masjid Imam Lapeo (Masigi), dan makam Imam Lapeo (Ko'bah) menjadi tempat yang penting untuk diziarahi, tempat spiritual journey. Terakhir tentang Islam tradisional di Lapeo. Kajian ini terkait dengan analisis peranan Imam Lapeo dalam masyarakat Mandar. Bagaimana wali dipandang dalam dunia sosio-kultural (peziarah), terutama oleh Islam tradisional juga termasuk pembahasan seputar fenomena ziarah itu sendiri dan bagaimana penerapan pribumisasi Islam di Lapeo (Mandar), Sulawesi Barat.

CURIGA DALAM BUDAYA (Berpijak Pada Budaya “Ekspresi” Bunyi dan Melodi)


Oleh: Sahabuddin Mahganna

Di Sulawesi, terkhusus untuk Mandar yang umumnya mengandung makna dan simbolik. Klaim ketika menemukan pernyataan Timothy Rice (1994) “simbol-simbol yang mewakili banyak dunia” hampir seluruhnya selalu beragam jenis, sering ambigu dan sangat mungkin bertentangan. 

Pemahaman tradisi pada bunyi dan melodi Mandar didekap dari sisi nilai, merupakan perwujudan mendasar yang harus ditaati walau sifatnya absur, kendati demikian penguatannya selalu bertaruh pada keyakinan akan pentingnya memposisikan suatu benda maupun bukan, dan tidak jarang menjadi kunci dalam memutuskan setiap permasalahan atau perlakuan. Bunyi dan melodi Mandar kemungkinan akan bertentangan dengan paham lain atau tak mungkin sama dalam pemaknaan. 

Setiap simbol di Mandar oleh pelaku dan masyarakatnya jelas memiliki makna, meski tidak terlihat atau tak punya bukti sekalipun. Rasakan jika bunyi-bunyi sesuai dengan letak geografisnya di Mandar, juga akan mempengaruhi bagaimana alunan itu akan muncul. (Mis. Bunyi ombak yang ada didataran rendah Mandar, menandai dan seakan alunannya melow serta sangat berpotensi menemukan melodi dibandingkan ritmis. Berbeda yang dipegunungan, maka unsur yang paling menonjol adalah hentakan, namun seperti yang diakui banyak peneliti lainnya bahwa ini hanya mempunyai nilai penting saja. Dan masalahnya, estetika bunyi dan melodi yang sama-sama tak terlihat, menjadi fokus dan bimbang dalam memandang atau menilainya.

Tidak jarang, laku skeptis di Mandar ditemukan, dan itu kemungkinan akan berdampak pada pengetahuan yang berakibat dalam perkembangan atau pun keberadaan budaya yang sifatnya menghambat pelestarian, karena disadari atau tidak budaya ekspresi akan berjalan dinamis, kemudian di lain sisi, juga tetap diinginkan untuk terhindar dari kepunahan. Sebagaimana R. Anderson Sutton mengkaji bahwa penafsiran seni dan makna simboliknya sebagai sesuatu yang dibentuk, dilipatgandakan, dan cair, maka penting memandang budaya, identitas etnis, berserta tradisinya bukan sebagai kebenaran yang tak berbantah atas eksistensi manusia, sebab aspek-aspek ini pun merupakan hasil bentukan dan negosiasi aktor-aktor manusia. 

Kemunculan makna-simbolik dari adat, tradisi dan budaya disetiap tempat, memang sebagai primordialisme bentukan, lalu murni dikaji atas nama representasi, atau berpotensi diluruskan serta pula dibantah. Para pengkaji pun sebelumnya banyak mengadopsi dari hasil representasi itu, ternyata menghadapi satu tantangan dalam upayanya membawa kerana keilmuan, kendati pun ini sudah disederhanakan dirks (1990) bahwa “kontenstasi dalam sebuah kajian antropologi yang terlibat dalam mengulang-ulang dan menaturalisasikan tradisi dan adat merupakan sebuah usaha yang kompleks”. 

Benarkah, jika tradisi dan budaya kita saat ini mampu bertahan? Atau bisakah kita curiga dalam tradisi dan budaya?. Sedang kita mungkin tahu, bahwa lahirnya kebudayaan boleh jadi bukan atas dasar primordialisme bentukan, namun atas hasil tiruan dari pelaku yang munculkan sesuatu secara alami.