Tampilkan postingan dengan label Tradisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tradisi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 April 2024

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 1)

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 1)
(Loa Dalam Makna Ganda)
Oleh: Sahabuddin Mahganna

Syuman Saeha menggelitik dengan pertanyaan, lalu saya menjadikan judul di atas, ini menarik. Mandar yang boleh jadi melakukan atas dasar aksi, melakukan tindakan, atau gerakan spekulatif, lalu menjadi nyata dan serius dalam menjalaninya, sebagai percobaan untuk menemukan sebuah kehidupan. Aksi dalam hal ini bukan dipahami atau dibatasi pada bentuk permainan dan pertunjukan saja, melainkan tindak atau laku secara langsung, terbuka dan terpercaya. Aksi-aksi itu kemudian nyata hingga menemukan kebenaran.

Ketika pendahulu Mandar melakukan ekspedisi, membuka lahan baru dan mencoba untuk menerapkan tata nilai dan aturan, kemudian disepakati sebagai jalan untuk menentukan sikap orang Mandar. Tentu saya akan mengarah atau melibatkan orang dalam memahami bunyi Mandar, meski ini sangat rumit menjelaskan dan sedikit dilema. Pelibatan dalam hal ini, orangnya yang berbunyi, begitupun jika menaruh kata-di-“jelas menadai wilayah”. Siapa orang Mandar? dan di mana wilayahnya? Jika ada orang Mandar menempati suatu wilayah maka tentu punya bahasa.

Busrah Basir ditemani dengan rekannya Bustan Basir, telah menafsir bahasa Mandar adalah suatu bunyi, dalam tulisnya secara teknis merujuk pada catatan Kridalaksana dalam Abdul Chaer (2003), bahwa bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Lanjut ia tambahkan bahwa bunyi tersebut dapat bersumber pada gesekan atau benturan benda-benda, alat suara pada binatang dan manusia, namun menurutnya terjadi pengklasifikasian terhadap bunyi, bahwa yang terjadi pada manusia atau lambing bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dan jika tidak dihasilkan dalam ucap pada manusia, bukan kategori bunyi bahasa. 

Kalimat-kalimat dalam bahasa Mandar yang diucapkan kadang kita temukan bermakna ganda, sebut saja ketika tinjauannya berada pada dua pernyataan pragmatik oleh George Yule (1996), bahwa pragmatik adalah suatu kajian bahasa yang berkenaan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi atau tidaknya yang dikomunikasikan, kemudian yang kedua bahwa pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterence), yang menggumuli makna yang terikat oleh konteks (konteks-Dependent). Dari pragmatik ini, seakan bunyi orang Mandar adalah bunyi berbau sikap dan sifat. 

Tindak tutur orang Mandar dalam Lokusi yakni tindak tutur yang dilakukan untuk melakukan sesuatu, merupakan makna dasar dari tindak tutur tersebut (The Act Of Saying Something). Sebagai contoh Mammisi Uwai ( Air ini Manis) tidak ada maksud apa-apa sekadar menyatakan sesuatu itu. Kemudian Ilokusi berkata sesuatu, atau mengatakan sesuatu, sekaligus menindakkan sesuatu (The Act Doing Something). Pada kaitan ini, boleh jadi kalimat “Nawwatomitia ri’e pelloana to Mandar” adalah bahasa yang bermakna (Ini Bunyi Orang Mandar) sementara kata (Loa/Pau) dan lakunya orang Mandar adalah Kebenaran.

Pandangan ini, ilokusi tidak semata melihat loa atau Pau sebagai ucapan dalam arti secara langsung, melainkan sebagai pemaknaan atau bunyi tak terlihat, atau hanya pendengaran yang mampu menangkapnya kemudian menelaah apa maksud perkataan itu. Sementara dalam audio, manusia harus puas pada kepentingan rasa, sama ketika meninjau kebenaran sikap dan sifat, sasarannya kembali kepada rasa. Dan dengan pendekatan rasa inilah, memahami loa secara ilokusi sebagai sesuatu yang abstrak. Loa dalam pandangan sikap dan sifat, itu sangat tergantung pada bunyi lontaran, tidak bisa diterjemahkan atau dimengerti secara langsung, namun rasalah yang menentukan, sehingga boleh jadi pemahaman loa secara ilokusi dalam kalimat “nawwatomi tia ri’e pelloanan to Mandar”, ketentuannya merujuk pada perlakukan sikap dan sifat yang lurus, sama seperti Loa atau bunyi yang tak pernah ditemukan kebohongannya. (bersambung)

Kamis, 29 Februari 2024

RITUAL MACCERA' PARE (Tradisi Bercorak Sedekah)

MACCERA' PARE adalah ritual yang dilaksanakan oleh para petani padi pada setiap usai panen sampai sebelum kembali turun sawah. Ritual ini dianggap wajib dilaksanakan oleh para petani. 

Bentuk ritual ini sederhana, cukup menyediakan satu ekor ayam kampung yang disembelih. Saat menyembelih ayamnya, darah yang menetes ditampung dengan wadah tempurung kelapa. Darah itu dibiarkan mengering dan disimpan bersama Indo pare. 

Para petani mengajak para tetangga dan menyediakan jamuan nakan. Doa dipimpin oleh Sando Pare atau dipercayakan kepada Imam Masjid atau tokoh agama yang telah diundang. 

Pada prinsipnya, ritual ini merupakan acara syukuran yang dipoleh dalam bentuk sedekah dengan menjamu para tetangga yang diundang. 

PUTIKA DAN SPIRITUALITAS ORANG MANDAR


Manusia Mandar hidup pada dua bentuk geografis yakni pada pesisir pantai dan pedalaman. Dalam hal ini, Mandar merupakan salah satu suku yang hidup dan berkembang dalam dua dimensi kebudayaan yaitu Budaya Maritim dan Budaya Agraris. 

Mereka yang hidup di daerah-daerah pantai memilih mata pencaharian sebagai nelayan menangkap ikan untuk mereka konsumsi atau mereka jual dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian halnya masyarakat yang tinggal di pedalaman, mereka mengolah tanah jadi sawah atau perkebunan, hasilnya sebagian mereka simpan untuk dikonsumsi dan sisanya dijual. Kedua mata pencaharian ini sangat tergantung pada alam dan musim yang berganti; musim kemarau dan musim penghujan. 

Kondisi ini membuat masyarakat Mandar dalam melakukan aktifitasnya selalu berpatokan pada gejala-gejala alam. Sisi keberuntungan, kondisi alam dan posisi bumi pada matahari, bulan, dan bintang sangat mempengaruhi alam pikiran mereka.

Dengan mencermati gejala-gejala alam dan posisi bumi dengan tata surya lainnya mereka mencatatkan pengalaman-pengalamannya dengan aksara lontara’. Lontara’ lah yang memberikan petunjuk waktu baik dan yang kurang baik.  Pencatatan pengalaman itulah yang kemudian dikenal dengan Lontara’ Putika.

Selasa, 06 Februari 2024

PAMENANGAN

PAMENANGAN adalah salah satu parewa gallang yang banyak di produksi di Mandar karena memang benda ini sangat dibutuhkan dalam berbagai ritual adat terutama peristiwa pernikahan. Bentuknya seperti tropi yang umumnya berdiameter 26 cm dengan tinggi sekitar 22 cm. 

Dalam prosesi pernikahan adat di Mandar, Pamenangan ini dibawa pada saat pelamaran dan saat metindor. Itulah makanya terdapat istilah Pamenangan Tonganna dikalangan muda mudi di Mandar. 

Adapun benda yang berada diatas pamenangan disebut Salappa' yang berfungsi sebagai penyimpanan uang belanja kepada keluarga mempelai wanita. 

Minggu, 04 Februari 2024

Membaca Teater Tradisi Lewat Pertunjukan To Manurung dan I Pundakko.

Oleh: Sahabuddin Mahganna. 

Tomanurung dalam kisah Tokombong di wura dan To wisse ri tallang, diperkenalkan ke ruang publik lewat pertunjukan teater tradisi di Taman Budaya dan Museum (TBM) Sulawesi Barat Butut Ciping 1 Desember 2023. Garapan dua seniman Mandar Rifai Husdar dan Dalif berhasil memukau penontonnya, membangkitkan kembali gairah tontonan teater yang telah sekian lama redup di tanah ini, kendati demikian dan tidak juga begitu, sebab masih tetap ada segelintir orang yang punya kepedulian menghidupkan teater-teater meskipun di lorong-lorong, yang tidak menjadi tiba-tiba seniman ketika ada "anu".

Evoria yang disaksikan secara langsung itu, dan betapa sangat saya tertinggal karena lama berteduh di Uwake Cultur Foundation, hujan deras mengalahkan niat mem-bersama-i sejarah dan peristiwa yang baru saja berlangsung, memilih mengikuti arus diskusi, sekadar mengisi kejenuhan. Bersama Rahmat Muchtar asyik mengobrol tanpa arah yang jelas tema pembicaraan, tidak berselang lama, Syuman Saeha, Subaer Sunar, Muliady dan teman lainnya yang juga terjebak hujan itu, telah bergabung. 

Diskusi kemudian lebih mengerucut ke kajian Tomanurung dan tata kelola pertunjukan, nyatanya sangat penting untuk dipahami dengan baik dan diteruskan ke generasi dengan menyorot sudut pandang yang berbeda. 

Pemahaman tentang konsepsi Tomanurung sebagai manusia dewa, manusia pilihan, manusia yang memiliki sematan atau predikat khusus, dijunjung, didengar, serta menjadi contoh, sehingga dia bukan manusia biasa, setiap itemnya musti hati-hati dalam mewakilkan untuk beberapa hal, apalagi sebuah permainan dalam teater. 

Salah satu contoh kecil yang dilontarkan Subaer Sunar, kesaktian arung Palakka jika dibayangkan, meskipun keseharian kita hanya mengenalnya dalam catatan sejarah. 15 generasi ke atas baru dapat tau manurungnge Mallajang ri ase'na tasi' loppoe. punya nama dan makam, dan menghilang di atas lautan (1330 an). Tau Manurung kedua, La Umase Petta Panre Bassie 1423 dan seterusnya termasuk beberapa nama di Mandar. Dalam cerita berbagai suku kelahiran Tomanurung selalu dikaitkan dengan tallang (bambu), yang berarti ada proses lahir, hadir yang berbeda dengan manusia biasa. 

Pentas malam itu dalam penokohan lahirnya menjadi "manusia" biasa dengan proses biologis, tanpa sedikit menelaah bagaimana proses sesungguhnya. "Tomanurung, tidak satupun yang pernah menyaksikan secara langsung  kejadiannya", konon predikat itu tersematkan pada sesuatu (manusia). Tomanurung bukan pribadi biasa, lahir bukan atau tidak diketahui Bapak dan ibu seperti Isa  AS. Tomanurung sebagai pribadi yang ditempati Nur (biologis pasti bersentuhan dengan Nur, dengan kata lain bukan persentuhan jantan dan betina.  Karena alasan inilah sehingga jenis kelaminnya pun, ada yang menyatakan tak tunggal. Khusus perdebatan tentang jenis kelamin, dalam perspektif Bugis, ada contoh BISSU. Bissu bukan bencong, tapi tidak lelaki, tidak perempuan. 

Untuk lebih memudahkan barangkali kata "to manurung" harusnya terjadi pemenggalan antara to dan manurung itu sendiri. Manurung adalah predikat tidak terlihat oleh kasat mata, dan menjadi nampak jika dia tersematkan pada obyek (to), itupun orang-orang khusus yang sanggup memahaminya. Itulah sebabnya, kemungkinan pendahulu kita lebih memilih menamai sesuatu dengan bahasa yang berbeda, ini untuk menghindari beberapa kejadian yang akan menimpa dirinya. Wallahu Alam Bisssawab. 

Meski tidak mengapresiasi secara utuh, produksi pentas dan pemanggungan terlihat berjarak dengan publikasi dengan tulisan tradisi, kata tradisional dalam pentas mungkin masih agak kaku. Teater tradisi menurut pakemnya yakni teater tradisi rakyat dan istana, cirinya umum menggunakan bahasa daerah, dilakukan secara improvisasi, ada unsur nyanyian dan tarian, diiringi tetabuhan (musik daerah), diwarnai dengan dagelan/banyolan, ada keakraban antara pemain dan penonton, serta suasananya santai. Syuman Saeha mengatakan kalau kita merujuk ke Mandar, di sini sangat sedikit yang dapat dijadikan sebagai literatur, paling hanya Koayang, dan Kacaping dari unsur pertunjukannya saja, juga Lake (meski malu malu kucing) sedikit mendekati. Mengangkat cerita rakyat ke atas panggung teater, tidak serta merta dapat disebut sebagai teater tradisi, karena garapan tersebut hanya mengambil satu unsur dari sekian unsur yang mengusung teater tradisi. 

Ruang dan waktu yang dibangun lewat digital, mengindikasi jalur lain dari pakemnya atau boleh jadi sudah menjadi bagian dari pengembangan. Jika demikian, problemnya berarti standar penilaian tentang tradisi yang dimaksud TBM beda dengan pemahaman mayoritas publik. Sebagai fasilitator, ini bagian tanggung jawab bersama dengan para senimannya, paling tidak berdasar pada telaah dan riset . Taman budaya, selain menghibur, harus mencerdaskan dan menjadi ruang eksperimen serta menciptakan ruang pertumbuhan pemikiran kesenian.

Pementasan teater To Manurung dan I Pundakko, dalam catatan ini tidak sedang membahas kekeliruan, hanya saja keramaian atau banyaknya penonton bukan satu satunya ukuran keberhasilan sebuah pertunjukan, bukan pula dipahami adalah suatu kebenaran yang mutlak, sebab generasi yang akan datang khususnya para pemain yang polos itu, memungkinkan bisa salah kaprah dikemudian hari. 

Dengan ini, selamat untuk para yang terlibat, kepada para penonton, terkhusus buat pemerintah, dalam hal ini UPTD Taman Budaya dan Museum Sulawesi Barat yang sudah memberi ruang untuk para seniman.

Senin, 13 November 2023

KULIWA

KULIWA merupakan ritual yang banyak dilaksanakan oleh masyarakat Mandar entah di pesisir maupung di pegunungan. Kuliwa dalam pandangan masyarakat terkesan menjadikannya sebagai sesuatu yang hukumnya ‘wajib’ dilaksanakan. Kuliwa sesungguhnya adalah simbol pernyataan syukur kepada sang pencipta atas sebuah pencapaian atau reski dari-Nya.

Pada masyarakat pesisir, kuliwa dilaksanakan ketika akan “meresmikan” sesuatu, baik benda maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap (jala dan gae) dan ketika memulai kegiatan penangkapan. Mereka meyakini, jika tidak melakukan kuliwa ketika akan memulai turun ke laut (pelayaran pertama), maka boleh jadi akan ada sesuatu hal yang merisaukan hati di dalam pelayaran.

Dalam prakteknya, kuliwa dilaksanakan ketika akan ‘meresmikan’ sesuatu, baik benda maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap dan ketika memulai kegiatan penangkapan (setelah lama tidak melaut). Nelayan biasa juga melakukan kuliwa dalam pertengahan musim motangnga ketika pada beberapa operasi pertama mereka tidak memperoleh hasil.

Kuliwa dilaksanakan di kediaman punggawa posasi’ yang dipimpin oleh seorang pemuka agama (panrita) dan dihadiri oleh awak kapal (sawi kappal). Jika meresmikan perahu, acara kuliwa (pembacaan barasanji) dilaksanakan di atas perahu. Demikian juga ketika meresmikan roppong yang telah selesai dibuat, tapi praktek kuliwa untuk roppong sudah lama tidak dilaksanakan. Acara inti dalam kegiatan kuliwa adalah pembacaan barasanji yang dipimpin oleh seorang pemuka agama. Selesai membaca barasanji, dilanjutkan dengan pembacaan do’a kepada Allah SWT untuk memohon keselamatan dan rezeki. Kemudian acara dilanjutkan dengan menyantap hidangan yang telah disediakan.[1]

Pada sebagian besar masyarakat pegunungan, kuliwa dilakukan pada saat mendapatkan anugerah berupa pembelian barang berharga seperti mesin atau kendaraan bermotor. Kuliwa dilakukan dengan menggelar ritual do’a selamatan untuk barang yang mereka baru saja beli. Bagi kedaraan atau mesin biasanya menggunakan makanan yang manis-manis. Ini merupakan ussul agar dalam menggunakan barang tersebut selalu diberkati oleh Allah hal-hal yang menyenangkan dan terjauhkan dari hal-hal yang merisaukan.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.


 

Sabtu, 21 September 2019

Mandar Writers And Culture Forum 2019



“Ajarkan sastra kepada anak-anakmu karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani” Demikian Umar Bin Khattab RA berwasiat. Andai sebagian besar manusia ‘menyukai’ sastra, maka bisa dibayangkan betapa dunia ini akan dipenuhi oleh manusia-manusia pemberani namun berhati lembut, bak Umar bin Khattab. Sayang sekali, hanya segelintir orang yang tertarik pada dunia sastra.
Di tengah ruwetnya persoalan bangsa, di tengah hancurnya moral bangsa, dari kenakalan, hingga korupsi yang masih saja menggerogoti negara ini,  sastra hadir, diantaranya untuk mengembalikan ruh bangsa yang telah nyaris mati. Maka telah menjadi tugas kita, para pelaku sastra, untuk menyebarluaskan nilai-nilai moral yang tertuang dalam karya-karya sastra dalam beragam bentuk.
Di zaman pra dan awal kemerdekaan, banyak karya-karya fenomenal yang mampu mempengaruhi pola pikir dan pola sikap masyarakat. Sebutkan beberapa roman, diantaranya Siti Nurbaya. Bahkan sampai saat ini ungkapan ‘ini bukan zaman siti Nurbaya’ masih sering diucapkan sebagai kalimat penolakan atas suatu perjodohan. Pertanyaannya, mampukah kita, dewasa ini, di tengah rendahnya budaya literasi masyarakat, juga menghasilkan karya yang mengisnpirasi?
Sastra bukan sekedar roman picisan yang hanya membuat pembaca berurai air mata atau tersenyum bahagia. Sastra bukan sekedar kisah yang kalau tidak happy ending pasti sad ending. Lebih dari itu, sastra sejatinya berangkat dari keresahan hati akan realitas sosial yang terjadi. Sastra adalah cerminan masyarakat di mana sebuah karya sastra berasal.  
Maka, tidak bisa dipungkiri, sastra memegang peranan penting terhadap pemulihan-pemulihan kondisi sosial yang kita alami sekarang. Karena itulah, membudayakan sastra, mengajak para generasi untuk cinta membaca dan menulis, atau sekedar menikmati sajian-sajian budaya, adalah salah satu yang harus dilakukan demi terwujudnya masyarakat beradab dan berbudaya.
Untuk tujuan itulah sehingga MANDAR RITER ADN CULTURE FORUM I 2019 digagas dan dihelat untuk wilayah Sulawesi Barat. MWCF I 2019 dilkasanakan bekerjasama dengan beberapa komunitas literasi Kegiatan ini merupakan forum pertemun para penulis dan pekerja-pekerja kreatif di Sulawesi Barat sebagai sebuah perayaan atas karya-karya yang telah dihasilkan. Kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan setiap tahun. MWFF diharapkan menjadi ruang berkreasi menuangkan imajinasi menjadi sebuah karya yang menginspirasi.


NAMA KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF I) 2019

TEMA KEGIATAN
Putika: Spiritual, Sosiologis dan Masa Depan Mandar

TUJUAN KEGIATAN
Kegiatan MWCF I 2019 bertujuan :
1.      Memberikan ruang bagi Penulis-penulis di Sulawesi Barat untuk berkreasi.
2.      Memperkenalkan budaya literasi bagi masyarakat Sulawesi Barat.

WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF) I 2019 akan dilaksanakan pada tanggal 25- 28 Oktober 2019

Kontak Person 
Muhammad Munir : 
WA 082113008787
telp. 085228777027