Selasa, 23 April 2024

Raudal Tanjung Banua || Mandar


MANDAR (1)

Saya pernah berkunjung dua kali ke Sulawesi Barat. Pertama tahun 2010 dan kedua 2012. Kunjungan pertama untuk sharing persiapan Kongres Cerpen Indonesia, setelah Sulbar direkomendasikan jadi tuan rumah dalam KCI V/2007 di Banjarmasin. Sayang karena satu dan lain hal, KCI VI batal diselenggarakan. Kunjungan kedua sebagai rangkaian perjalanan saya keliling Celebes.

Kunjungan tersebut saya tulis dalam cttn sederhana yang dipublikasikan di Koran Tempo dan Suara Merdeka. Bencana gempa yg melanda Mandar tempo hari, mmbuat saya mmbuka lagi file lama itu, dan saya bagikan di sini (cttn 2012 menyusul), diiringi doa & harapan semoga korban tertangani dg baik, dan kondisi Mandar berangsur pulih. Aamiinn. 😪🙏
________________

PERLAWATAN 
KE TANAH MANDAR

Oleh: 
Raudal Tanjung Banua

Cahaya merah senja mulai membias dari laut, menyepuh hamparan sawah, bukit batu dan tambak-tambak. Menembus juga kaca mobil travel yang saya naiki dari Makassar sejak pukul 14.00 WIT, Agustus tahun lalu. Tujuan saya Polewali, ibukota Kabupaten Polewali Mandar (Polman)—sebelumnya bernama Polewali Mamasa (Polmas). 

Tapi sejak Mamasa dimekarkan jadi kabupaten baru, namanya berubah jadi Polman. Ini merujuk etnis terbesar di wilayah itu, Mandar, suku bangsa yang suka berlayar—meski Bugis-Makassar yang konon lebih sebagai “juragan” justru dapat nama. Kini Polman dan empat kabupaten lain (Mamasa, Majene, Mamuju, Mamuju Utara) masuk Sulawesi Barat, propinsi termuda di Indonesia. 

Polewali berjarak sekitar 300 km dari Makassar, 7 jam naik bis, atau 6 jam naik mobil travel. Jika kendaraan dibawa “sopir Mandar” yang “gesit ngebut”, waktu tempuh bisa lebih cepat. Namun hari itu, sampai azan magrib bergema, saya baru sampai di Polanro, setelah melewati kota-kota kecil di kaki Pulau Sulawesi seperti Maros, Pangkajene, Barru, dan Segeti. Masih dua kota lagi untuk sampai ke Polewali: Pare-pare dan Pinrang. 

Perjalanan jadi lambat karena ada perbaikan besar-besaran jalan trans barat Sulawesi; diperlebar dan aspal diganti semen cor. Akibatnya, badan jalan hanya bisa dipakai separoh, tumpukan material dan truk proyek menghalangi laju kendaraan. Mobil terasa mau oleng di jalan berlobang dan berbatu. 

Debu berterbangan, menempel di dinding rumah penduduk yang kebanyakan rumah kayu bertiang tinggi. Untunglah pemandangan cukup memanjakan mata: kampung yang asri, sawah menghijau dan laut—apalagi saya duduk di muka. Namun, setelah semua disungkup gelap, saya didera bosan dan tertidur.

Cukup lama saya tertidur, dan terbangun kembali ketika Syariat Tajuddin, teman yang akan menjemput saya di Polewali, menelepon. “Sudah sampai mana?” 

Saya pun tanya kepada sopir. “Baru mau masuk Pare-pare,” saya ulang info pak sopir. 

“Wah, bisa pukul 10 malam nanti sampai!” kata Tajuddin. 

“Apakah perbaikan jalan ini menyambut Kongres Cerpen yang sedang disiapkan?” canda saya.

Tajuddin terkekeh. Saya lantas menghela nafas panjang. Perjalanan ke Tanah Mandar ternyata tidak mudah. Pesawat perintis dari Makassar ke Mamuju (ibukota propinsi Sulawesi Barat) hanya sekitar tiga kali dalam seminggu. Karenanya, orang ke Mamuju atau wilayah sekitar memilih terbang langsung ke Palu, Sulawesi Tengah. Alternatif bagus lewat laut, bisa menuju pelabuhan Pare-pare maupun pelabuhan Mamuju. Tapi jika jalan trans barat Sulawesi selesai diperbaiki perjalanan darat dijamin menyenangkan.

Saya sedikit merasa segar ketika mobil memasuki kota Pare-pare. Kesan saya, kota asal BJ Habibie ini cukup ramai. Pantai dan bukit saling berhadapan membuatnya tampak indah. Di kota pelabuhan ini pula terdapat persimpangan ke Tana Toraja. Jalannya mulus, tapi lagi-lagi tidak lancar karena ada pawai Agustusan. Mobil terpaksa lewat jalan alternatif, naik ke bukit dan turun ke pantai, sampai berhasil keluar Pare-pare. 

Pukul 10.23 WIT akhirnya saya sampai di Polewali. Saya turun di depan Universitas Al-Asyariah tempat Tajuddin mengajar. Kebetulan ia masih di kampus menyiapkan kegiatan refleksi kemerdekaan dan mengenang wafatnya WS Rendra besok siang.

Malam itu juga Tajuddin membawa saya ke pantai mencari warung ikan bakar. Deretan sandeq di pantai jadi simbol yang seketika menggetarkan saya dalam perjumpaan pertama dengan tanah Mandar!
***

Esoknya, saya bangun agak siang. Sebelum mandi saya sempatkan ke luar hotel sederhana tempat saya diinapkan. Bukit biru tampak membentang sampai jauh menjadi latar kota kecil Polewali. 

Jalan di depan hotel lengang. Nun, seutas jalan mengular naik ke celah bukit, entah ke mana. Saya baru tahu saat Tajuddin datang,“Itu jalan ke Mamasa, kabupaten baru penghasil langsat dan durian. Ada pula wartawan senior dari sana, Tomy Lebang namanya.” 

Selesai mandi, saya dibonceng Tajuddin naik sepeda motor ke rumah makan “Bahagia” yang khusus menyajikan hidangan hasil laut. Mungkin Tajuddin bermaksud menunjukkan kekayaan laut Mandar. Kalau itu maksudnya, ia berhasil sebab hidangan laut yang tersaji memang luar biasa. Udang goreng tepung dan sop cumi hangat betul-betul menyengat lidah. 

Sementara di meja sebelah kami, rombongan besar berpakaian PNS tampak berpesta kepiting, lokan dan kakap bakar. Saya sempat berburuk sangka: pagi begini dengan pakaian seragam di rumah makan, tidakkah ini ironi otonomi? Tapi, ah, barangkali mereka sedang syukuran kemerdekaan RI, pikir saya. Lagi pula kunjungan begini berkontribusi menghidupkan rumah makan yang digarap cukup serius di kota kabupaten yang sedang tumbuh. 

“Pemilik restoran ini sahabat penyair D. Zawawi Imron,” bisik Tajuddin, sambil melirik lukisan laut dan perahu di dinding. Saya segera mengenali goresan khas kyai Madura itu.

Zawawi, sebagaimana Emha Ainun Nadjib dan Gus Dur, memang kerap bertandang ke Sulbar. Mungkin karena daerah ini menyimpan aura mistik-spritual dengan sejumlah ulama kharismatik, salah satunya alm. Dr. K.H. Sahabuddin, pemimpin tariqat Qodiriyah dan pendiri Universitas Al-Asyariah (Unisya). Perannya kini digantikan sang putra, K.H. Sibli. Ada masjid Imam Lapeo, makam Syech Bil Maruf di Pulau Karamasang, dan seterusnya.

Di meja kasir, saya diperkenalkan Tajuddin kepada Ridwan Hilal, pemilik rumah makan “Bahagia”. Saya bercerita tentang Pak Zawawi yang menganggap istri saya sebagai anaknya sendiri. Ridwan Hilal senang dan saya ikut senang. 

“Saya usul ke Pemkab Polewali tahun ini supaya Kyai Zawawi jadi khotib Idul Fitri di sini, tapi mereka terlambat kirim undangan. Beliau lebih dulu diundang Pemkab Taliwang, Sumbawa,” kata Bang Ridwan kecewa. Perkenalan singkat itu cukup berkesan sebagai simbol keramahan orang Mandar.

Kami lalu meluncur ke kampus Unisya. Saya mengisi diskusi tentang “Kemerdekaan dan Sastra”, sekaligus mengenang W.S. Rendra. Acara lesehan di auditorium kampus itu sangat sederhana namun hikmat. Kesahajaan tanah Mandar merasuk dari suasana di dalam ruangan dan dari angin yang berhembus menerobos jendela-jendela kayu yang tua. Pun sajian dalam piring berupa goreng pisang dan singkong. 

Kesahajaan Mandar kian terasa ketika seorang lelaki muda, sekitar 38 tahun, agak gemuk, berpakaian sport dan bertopi pet, maju membuka acara. Sambutannya hangat, tidak formal. Ia baca sajak-sajak Rendra dari buku yang saya bawa. Ternyata dialah Rektor Unisya, K.H. Sibli Sahabuddin, putra Dr. K.H. Sahabuddin. Sore itu, acara berjalan penuh kesan.

Malamnya, saya diundang Bang Sibli ke rumahnya dan kami bercerita banyak hal hingga menjelang pagi.

Besoknya, saya bertemu panitia Kongres Cerpen Indonesia (KCI) VI untuk persiapan event yang akan diadakan di Mamuju bulan Juni 2010. Sebenarnya panitia ingin diadakan di Polewali. Di samping dekat  Makassar, kebanyakan panitia juga tinggal di Polewali. Maklum, daerah ini dikenal sebagai kampung seniman. 

“Tapi gubernur ingin di Mamuju, dan kita tak keberatan,” kata Andi Ibrahim, ketua KCI VI. Sikap serupa juga diambil waktu penunjukkan ibukota propinsi Sulbar lima tahun lalu. Secara historis dan tata letak, Polewali lebih siap, atau Majene bahkan pernah jadi ibukota afdelling zaman Belanda. 

Namun demi persatuan dan pengembangan kawasan, Mamuju yang jauh di utara ditetapkan jadi ibukota. Dari situ tampak watak orang Mandar yang mau mengalah demi kebaikan. “Kini kami hanya ingin taman budaya Sulbar supaya dibangun di Polewali atau Tinambung,” kata Tajuddin. 
***

Selesai semua urusan, hari itu juga saya tinggalkan kota Polewali ke arah barat. Berbonceng sepeda motor, saya dan Tajuddin menuju Tinambung. 

Wilayah Tinambung dan sekitarnya kaya peninggalan kultural dan spritual karena dulu merupakan pusat kerajaan Balanipa, kerajaan utama Tanah Mandar. Banyak temuan situs bersejarah di sekitar wilayah tersebut, seperti situs makam Todilaling dan Tomepayung, raja pertama dan kedua Balanipa. Ada juga makam Tomakaka Pondi, prajurit Mandar dan makam Puang Towarani, panglima perang kerajaan Balanipa abad XVII masehi. 

Sementara itu, di Kecamatan Luyo terdapat situs Allamangun Batu, berupa dua batu disatukan. Menurut para ahli, itu simbol penyatuan tujuh kerajaan di pesisir dan tujuh kerajaan di pegunungan (termasuk Tana Toraja) dalam sebuah kesepakatan yang diprakarsai Tomepayung pada abad XVIII masehi.

Sebelum menikmati situs bersejarah tersebut, Tajuddin membawa saya mampir di rumah mertuanya di Jl. Kediri Lor, Wonomulyo. Jangan kaget kalau namanya berbahasa Jawa, sebab kota kecil Wonomulyo memang “didirikan” transmigran dari Jawa. Di sini banyak toko bertingkat, terminal dan pasarnya berdenyut hidup, bahkan kesan saya mengalahkan denyut kota Polewali. Sebuah mesjid dengan menara tinggi menjadi simbol religiusitas penduduk Wonomulyo.

Rumah mertua Tajuddin sendiri merupakan rumah asli orang Mandar, yakni rumah panggung dari kayu. Sejenak saya teringat rumah-rumah panggung di kampung istri saya, di Loloan, Jembrana, Bali Barat, persis sekali! Nenek moyang orang Loloan memang keturunan Mandar yang berlayar ke Bali sejak abad XVI.

Dari Wonomulyo, kami menuju Pambusuang, kampung Baharudin Lopa, mantan Jaksa Agung RI era Gus Dur. Ungkapan Lopa yang terkenal di ranah hukum adalah, “Biar langit akan runtuh, hukum harus tetap ditegakkan!” 

Ungkapan itu ternyata diambil Lopa dari kearifan orang Mandar, berbunyi “Mau raopoqna langiq, atonganang tattairikeqdeang!” Sayang, sosok yang dianggap berani dan bersih itu meninggal mendadak waktu kunjungan ke Arab Saudi sehingga sempat memunculkan bermacam spekulasi. 

Saya memupus bayangan itu dengan menikmati pemandangan kampung yang tenteram, sawah yang sedang panen, dan pantai penuh nyiur. Tak kalah banyaknya adalah kios yang berjejer di pinggir jalan menjual makanan khas Mandar. 

Di desa Lagi-Lagi kami mampir di sebuah kios. Penganan paling banyak dipajang ialah golla kambu, terbuat dari beras ketan dicampur gula merah, dikemas daun pisang kering. Makanan manis itu berasa durian, kelapa, nangka dan pisang. Tinggal pilih. Setelah mencicipi, saya pilih golla kambu rasa durian dan kelapa ukuran sedang seharga Rp. 12.000/kotak. Durian dan kelapa memang hasil alam utama Polewali. 

Di desa Lapeo, saya bersua Mesjid Nuruttaubah. Mesjid bersejarah dengan arsitektur khas Mandar ini agak mepet ke tepi jalan. Imam besarnya, H.M. Tahir, adalah tokoh sufistik tanah Mandar. Konon, di sini kerap terjadi peristiwa di luar nalar. Untuk meyakinkan murid-muridnya, semasa hidup sang imam pernah melompat dari pucuk menara mesjid. Tubuhnya jatuh di aspal, namun lecet pun tidak. 

Baru-baru ini, saat mesjid direnovasi, satu truk semen datang dari Makassar. Panitia pembangunan mesjid bingung sebab tidak pernah memesannya, namun sopir truk mengatakan ada orang yang telah membayarnya. Ketika sang sopir melihat foto H.M. Tahir yang tercetak di kalender mesjid, spontan ia menunjuk,”Bapak ini yang membelinya!” 

Cerita berbau mistik-spritual yang saya dengar dari Tajuddin dan cerita lain semacam itu kuat melekat di tengah masyarakat Mandar. 

Motor kini meraung menaiki sebuah tanjakan. Dari ketinggian, panorama ke arah pantai indah sekali. Nyiur melambai berjejer merimbuni pasir putih. Itulah Pantai Palippis, objek wisata yang terkenal dengan pasir, nyiur dan gua-gua karangnya. 

Sayang kami tidak sempat turun ke bawah. Selepas tanjakan Palippis, kami berjumpa tugu kecil-sederhana di pinggir jalan bertulisan “Pambusuang”. Kami berbelok ke kiri, ke arah pantai, menuju Pambusuang. 

Nelayan Pambusuang tak hanya berani di laut, tapi juga ahli membuat sandeq, perahu bercadik dua berlayar lebar. Selain sandeq, perahu tradisional Mandar lainnya adalah soppe-soppe, ukurannya lebih kecil dan lepa-lepa, perahu dayung tanpa layar.

Di Pambusuang, saya disambut rumah-rumah panggung yang berderet rapi. Sayang sekali, rumah panggung tempat kelahiran Baharuddin Lopa tinggal pondasinya saja sebab terbakar setahun lalu. Saya ngungun memandangi tapak bekas rumah besar itu. 

Tak lama kemudian, kami melaju pelan ke pantai, tak jauh dari perkampungan. Dada saya berdesir memandangi deretan sandeq sandar dan sebagian dalam perjalanan menepi. Layar dan cadik terlihat menakjubkan di balik ombak. Sementara sandeq yang sandar telah menggulung layar dan jala, tapi tiang-tiang dan temalinya menyuguhkan sensasi pada pandangan mata. Di antara deretan sandeq, bocah-bocah Mandar tampak riang berkejaran. Hanya saja pantainya agak kotor, sampah berserakan seolah baru dikirim ombak.

Di pos ronda, para lelaki asyik berbincang. Kata Tajuddin, masyarakat Pambusuang suka berdiskusi, mulai soal keseharian sampai politik aktual. Pantaslah melahirkan sosok seperti Lopa, pikir saya. Kami mendekat dan mereka menyambut ramah. Saya katakan bahwa saya ingin melihat pembuatan sandeq. Seorang di antara mereka, Pak Usman, bangkit dan mengantar kami ke rumah pembuat sandeq. 

Pak Usman cerita, tahun 2000 dia ikut ekspedisi sandeq ke Thailand. Dipimpin pria Italia, sandeq sepanjang 11 m, luas 70 m dan tinggi 80 m itu mengangkut empat awak Mandar dan empat lagi dari Eropa. Namun, ia kecewa karena sesampai di Thailand sandeq itu dijual oleh sang kapten ke sebuah resort! 

“Ternyata mereka jualan,” keluh Pak Usman, dan menolak ditawari lagi ekspedisi serupa. 

“Tapi tidak semua orang asing begitu,” katanya menambahkan. Boleh jadi ia merujuk acara tahunan Sandeq Race setiap Juli-Agustus yang sukses melibatkan peserta antar negara. Sambil mendengar cerita Pak Usman, saya terus mengamati Pak Ratib yang tekun membuat sandeq ukuran kecil. Harganya dipatok Rp. 5 juta, sedangkan sandeq yang besar seharga Rp. 15 juta.

Tak terasa hari sudah rembang petang. Kami segera melanjutkan perjalanan ke Tinambung menyusuri ujung kampung Pambusuang. Di sebuah rumah panggung besar yang baru dipugar, motor mendadak berhenti. “Ini rumah penyair Mandar, Husni Djamaluddin. Rendra pernah baca puisi di serambinya disaksikan orang sekampung,” kata Tajuddin. Saya manggut-manggut mengenang penyair yang juga ikut aktif merintis dan memperjuangkan terbentuknya Provinsi Sulbar itu. Terkenang juga sosok Rendra baru meninhgal dan siang kemarin kami peringati. Alfatihah. 

Motor kembali melaju beberapa saat, lalu berhenti lagi di depan sebuah mesjid. Mesjid itu kecil saja, tapi tampak sangat tua. Terkesan terbengkalai, kecuali menaranya yang tinggi perkasa.

“Inilah mesjid tertua peninggalan kerajaan Balanipa,” kata Tajuddin. Kembali kesahajaan dan kesederhanaan Mandar merasuk ke dada saya. 

Sebelum sampai di Tinambung, kami terlebih dahulu melewati Sungai Tinambung yang bermuara di Laut Sulawesi. Konon, nama Mandar berasal dari sini, disebut Ulu Manda atau sungai yang berhulu di Malunda. Secara filosofis, ketenangan dan kejernihan sungai ini dianggap simbol jiwa orang Mandar. 

Selesai makan malam di rumah orang tua Tajuddin yang sekaligus markas Teater Flamboyant pimpinan Tajuddin, saya sempatkan membeli tiga lembar sarung tenun sutra khas Mandar. Tinambung memang penghasil sarung tenun utama di Sulbar. Harga yang saya beli berkisar antara Rp. 300-400 ribu/lembar, tapi ada juga harga di atas atau di bawah itu. Tajudin juga menitupkan selembar kain tenun untuk istri saya sambil berkata,"Semoga mbak Ida terhubung lagi dengan tanah asal leluhurnya." Dia juga berpesan bahwa kain tenun Mandar tak usah dicuci, cukup diangin-anginkan saja jika dianggap mulai kotor atau lembab. 

Saya mengingat pesannya baik-baik, seiring ingatan saya pada tenun Mandar yang terkenal sejak dulu. Sampai-sampai beberapa daerah di Indonesia menyebut sarung dengan sebutan mandar. 

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Majene, saya istirahat sejenak merenungkan makna perlawatan ini. Orang Mandar bilang,”Mua dirundumi uwai marandanna tomandar, mandarmituu tau” artinya, “Siapa yang sudah meminum air Mandar, maka ia adalah saudara kandung orang Mandar.” Sungguh hangat, tulus dan mengharukan! 

(Raudal Tanjung Banua, penikmat perjalanan, tinggal di Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar