Oleh: Muhammad Munir-Tinambung
Gerakan Indonesia Membaca (GIM) ini dicanangkan dalam
bentuk deklarasi dihadapan 1000 masyarakat pemerhati dan pelaku literasi di
Sulawesi Barat pada tanggal 17 September 2016. Pencanangan dalam bentuk
deklarasi ini bertujuan untuk memberi respon kepada bangsa ini bahwa minat baca
masyarakat Sulbar itu sebenarnya tinggi, hanya saja kadang pemerintah dalam
merumuskan kebijakannya masih kurang memberi ruang untuk berkreasi dalam
mengelola perpustakaan. Di Sulbar ini, banyak bertumbuh komunitas penggiat
literasi, tapi mereka berserakan dan tidak tertata keorganisasiannya. Disisi lain,
pemerintah juga masih sangat mengandalkan TBM dan PKBM yang berserakan dan menjamur
di daerah ini. Sejatinya memang, TBM dan atau PKBM itu juga keberadaannya
sangatlah dibutuhkan, tapi melihat grafik perkembangan pendidikan luar sekolah
(PLS) sesungguhnya masih jauh panggang dari pada api.
Kendati demikian, TBM dan PKBM yang disuplai dana dari
pemerintah tersebut mesti terlecut semangatnya untuk bisa menjadi media partner
pemerintah dalam pelaksanaan program pembangunan sumber daya manusia. Mereka
(pelaku TBM) tidak harus terkalahkan dengan peran-peran dari komunitas penggiat
literasi yang hanya mengandalkan donasi buku yang miskin anggaran operasional.
Pencanangan GIM ini berorientasi kepada bagaimana memberi moral kepada semua
lapisan masyarakat untuk tidak lagi hanya menghitung sembilan bahan pokok
(sembako) tapi sudah saatnya menjadi sepuluh bahan pokok, yaitu buku untuk
kebutuhan memnbaca. Buku mesti dihadirkan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan
ruhani dan membaca mesti menjadi proses yang melingkupinya.
Dalam beberapa informasi yang dilansir oleh media
nasional, Indonesia kita ini berada pada titik Krisis Minat baca. Jika
berdasarkan data yang dirilis oleh BPS (Badan
Pusat Statistik) dan UNESCO (The
United National Education Scuentific and Cultural) pada tahun 2012, indeks
minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai angka 0,001. Itu artinya, dari
1000 orang Indonesia, yang mempunyai minat baca hanya satu orang saja. Selain
data tersebut, laporan Bank Dunia No. 16369 menyebutkan, tingkat membaca pada
usia kelas VI Sekolah Dasar (SD) di Indonesia hanya mampu meraih skor 51.7
dibawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Kemudian
berdasarkan penelitian yang sama, Indeks Pembangunan manusia (IPM) Indonesia
berada pada posisi 121 dari 187 negara di dunia. IPM sendiri adalah pengukuran
perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup
untuk semua negara di seluruh dunia. Parahnya, BPS menyebutkan, anak usia 10
tahun di Indonesia 91,68 persen menggunakan waktunya untuk menonton televisi
dibandingkan dengan membaca (Fajar. 31 Agustus 2016)
Berangkat dari data-data tersebutlah Gerakan Indonesia
membaca digaungkan untuk memberi moral kepada siapapun agar bisa merefleksi
diri tentang kemampuan membaca kita selama ini? Sulawesi Barat pada bulan ini
telah memasuki usia ke-12 tahun. Seharusnya sudah mengalami peningkatan dari
segi minat baca, tapi ternyata masih berbanding terbalik, jangankankan minat bacanya,
angka buta aksara saja masih menjadi sebuah problem yang belum ditemukan solusi
penanganannya.Lalu bagaimana mempola gerakan untuk sampai pada target yang
ingin dicapai dari program GIM ini?
Mulailah dengan penguatan literasi dalam lingkup tujuh dimensi
seperti yang ditulis oleh Muhammad Haedar Ali dalam haidarism.wordpress.com,
yaitu: pertama, Dimensi geografis
meliputi daerah lokal, nasional, regional, dan internasional. Literasi ini
bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial. Kedua, Dimensi bidang meliputi pendidikan, komunikasi,
administrasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya. Literasi ini mencirikan
tingkat kualitas bangsa dibidang pendidikan, komunikasi, militer, dan lain
sebagainya. Ketiga, Dimensi
ketrampilan meliputi membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Literasi ini
bersifat individu dilihat dari tampaknya kegiatan membaca, menulis, menghitung,
dan berbicara. Dalam teradisi orang barat, ada tiga ketrampilan 3R yang lazim
diutamakan seperti reading, writing, dan arithmetic. Keempat, Dimensi fungsi, literasi untuk memecahkan persoalan,
mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan
mengembangkan potensi diri. Kelima,
Dimensi media, (teks, cetak, visual, digital) sesuai dengan perkembangan
teknologi yang sangat pesat, begitu juga teknologi dalam media literasi. Keenam, Dimensi jumlah, kemampuan ini
tumbuh karena proses pendidikanyang berkualitas tinggi. literasi seperti halnya
kemampuan berkomunikasi bersifat relative. Dan terakhir yang ketujuh, Dimensi bahasa, (etnis, lokal,
internasional) literasi singular dan plural, hal ini yang nenjadikan
monolingual, bilingual, dan multilingual. Ketika seseorang menulias dan
berlitersi dengan bahasa derah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka ia
disebut seseorang yang multilingual (Bersambung).