Sabtu, 17 September 2016

Catatan Kebudayaan: GERAKAN INDONESIA MEMBACA DAN KAMPUNG LITERASI: Krisis Minat Baca di Indonesia dan Peran Penting Kaum Literat (Bagian


Oleh: Muhammad Munir-Tinambung

Gerakan Indonesia Membaca (GIM) ini dicanangkan dalam bentuk deklarasi dihadapan 1000 masyarakat pemerhati dan pelaku literasi di Sulawesi Barat pada tanggal 17 September 2016. Pencanangan dalam bentuk deklarasi ini bertujuan untuk memberi respon kepada bangsa ini bahwa minat baca masyarakat Sulbar itu sebenarnya tinggi, hanya saja kadang pemerintah dalam merumuskan kebijakannya masih kurang memberi ruang untuk berkreasi dalam mengelola perpustakaan. Di Sulbar ini, banyak bertumbuh komunitas penggiat literasi, tapi mereka berserakan dan tidak tertata keorganisasiannya. Disisi lain, pemerintah juga masih sangat mengandalkan TBM dan PKBM yang berserakan dan menjamur di daerah ini. Sejatinya memang, TBM dan atau PKBM itu juga keberadaannya sangatlah dibutuhkan, tapi melihat grafik perkembangan pendidikan luar sekolah (PLS) sesungguhnya masih jauh panggang dari pada api.

Kendati demikian, TBM dan PKBM yang disuplai dana dari pemerintah tersebut mesti terlecut semangatnya untuk bisa menjadi media partner pemerintah dalam pelaksanaan program pembangunan sumber daya manusia. Mereka (pelaku TBM) tidak harus terkalahkan dengan peran-peran dari komunitas penggiat literasi yang hanya mengandalkan donasi buku yang miskin anggaran operasional. Pencanangan GIM ini berorientasi kepada bagaimana memberi moral kepada semua lapisan masyarakat untuk tidak lagi hanya menghitung sembilan bahan pokok (sembako) tapi sudah saatnya menjadi sepuluh bahan pokok, yaitu buku untuk kebutuhan memnbaca. Buku mesti dihadirkan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan ruhani dan membaca mesti menjadi proses yang melingkupinya.

Dalam beberapa informasi yang dilansir oleh media nasional, Indonesia kita ini berada pada titik Krisis Minat baca. Jika berdasarkan data yang dirilis oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dan UNESCO (The United National Education Scuentific and Cultural) pada tahun 2012, indeks minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai angka 0,001. Itu artinya, dari 1000 orang Indonesia, yang mempunyai minat baca hanya satu orang saja. Selain data tersebut, laporan Bank Dunia No. 16369 menyebutkan, tingkat membaca pada usia kelas VI Sekolah Dasar (SD) di Indonesia hanya mampu meraih skor 51.7 dibawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Kemudian berdasarkan penelitian yang sama, Indeks Pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada pada posisi 121 dari 187 negara di dunia. IPM sendiri adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. Parahnya, BPS menyebutkan, anak usia 10 tahun di Indonesia 91,68 persen menggunakan waktunya untuk menonton televisi dibandingkan dengan membaca (Fajar. 31 Agustus 2016)
      
Berangkat dari data-data tersebutlah Gerakan Indonesia membaca digaungkan untuk memberi moral kepada siapapun agar bisa merefleksi diri tentang kemampuan membaca kita selama ini? Sulawesi Barat pada bulan ini telah memasuki usia ke-12 tahun. Seharusnya sudah mengalami peningkatan dari segi minat baca, tapi ternyata masih berbanding terbalik, jangankankan minat bacanya, angka buta aksara saja masih menjadi sebuah problem yang belum ditemukan solusi penanganannya.Lalu bagaimana mempola gerakan untuk sampai pada target yang ingin dicapai dari program GIM ini?

Mulailah dengan penguatan literasi dalam lingkup tujuh dimensi seperti yang ditulis oleh Muhammad Haedar Ali dalam haidarism.wordpress.com, yaitu: pertama, Dimensi geografis meliputi daerah lokal, nasional, regional, dan internasional. Literasi ini bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial. Kedua, Dimensi bidang meliputi pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya. Literasi ini mencirikan tingkat kualitas bangsa dibidang pendidikan, komunikasi, militer, dan lain sebagainya. Ketiga, Dimensi ketrampilan meliputi membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Literasi ini bersifat individu dilihat dari tampaknya kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Dalam teradisi orang barat, ada tiga ketrampilan 3R yang lazim diutamakan seperti reading, writing, dan arithmetic. Keempat, Dimensi fungsi, literasi untuk memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan potensi diri. Kelima, Dimensi media, (teks, cetak, visual, digital) sesuai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, begitu juga teknologi dalam media literasi. Keenam, Dimensi jumlah, kemampuan ini tumbuh karena proses pendidikanyang berkualitas tinggi. literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi bersifat relative. Dan terakhir yang ketujuh, Dimensi bahasa, (etnis, lokal, internasional) literasi singular dan plural, hal ini yang nenjadikan monolingual, bilingual, dan multilingual. Ketika seseorang menulias dan berlitersi dengan bahasa derah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka ia disebut seseorang yang multilingual (Bersambung).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar