Minggu, 17 Desember 2023

KOA-KOAYANG

 

KOA-KOAYANG berasal dari nama koa', sejenis burung yang sudah jarang ditemukan dan hampir punah. Burung koa’ ini mempunyai ciri berbadan besar, terbang tinggi sekuat tenaga. Menurut Nurdin Hamma (budayawan Balanipa), selain 'koa' burung ini dahulu dijuluki 'kali arung' (kali artinya kadhi atau hakim dan arung adalah yang dituakan atau pemimpin) . Burung kali arung ini diberi kesempatan oleh tuhan meluruhkan seluruh bulunya dan mentakdirkannya jatuh sebelum menggapai arasy.
Dahulu kala, koa-koayang dikenal dengan nama 'pammanu-manu', ini menjadi ritual pada acara pernikahan di Mandar. Pammanu-manu ini dilaksanakan pada malam setelah proses akad nikah disiang harinya. Mempelai wanita dipakaikan kostum dari sarung yang tak dikenal oleh mempelai laki-laki. Sehingga lelaki harus mencari dan mengejar wanitanya sampai ia dapatkan. Ini menjadi sebuah ritual pernikahan yang mengandung hiburan.
Perjalanan selanjutnya kemudian dieksflorasi menjadi seni pertunjukan seni tradisi parrawana tommuane yang kemudian dinamai pakkoa-koayang. Pada fase ini pakkoa-koayang menjadi sebuah seni pertunjukan yang berlangsung puluhan tahun dan tampil kadang dibuatkan panggung. Untuk saat ini, kelompok parrawana tommuane yang masih melestarikan tradisi ini adalah kelompok rebana yang ada di Lamase Kec. Tinambung.
Pakkoa-Koayang pertama kali diangkat dalam seni teater oleh kelompok Teater Flamboyant (TF) yang diberi judul Koa-Koayang. Sutradara Teater Koa-Koayang awalnya Amru Sa'dong sekaligus penulis naskahnya tahun 1997, lalu adaptasi naskah Koa-koayang yang ditulis Rahman Baas pada pentas teater di TMII Jakarta tahun 2010 yang di sutradarai oleh Ramli Rusli beberapa kali. Kemudian pentas trater koa-koayang 2014 kembali di Jakarta disutradarai oleh Candrawali, kemudian teater koa-koayang 2015 di Mamuju kembali sutradarai oleh Ramli Rusli.
Tahun 1997 itu menjadi momentum paling bersejarah karena lewat penampilan dipentas seni teater di IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta ini, melahirkan sebuah konsep cerdas mengenai pembacaan kondisi bangsa Indonesia dibawah pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Lewat bangsa koa-koayang dari Mandar ini sampai pada simpulan bahwa Indonesia selama ini berada di selangkangan elit yang tak serius dan kesalahan paling besar terletak pada ketidak seriusannya dalam pengertian tidak boleh berfikir normal dalam situasi tidak normal.

SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.
#ensiklopediasulbar #pusakaku_official #mandar #pusakaku

Minggu, 10 Desember 2023

JEPA

JEPA adalah makanan tradisional yang terbuat dari singkong atau ubi yang diparut terlebih dahulu kemudian diperas untuk menghilangkan kadar airnya dan kemudian diayak dan dicampurkan dengan parutan buah kelapa untuk memberinya rasa gurih dan nikmat. 

Jepa dapat dijadikan sebagai bahan makanan pokok, pengganti nasi karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi, seperti yang selalu dijadikan bahan logistik oleh para nelayan Mandar saat melaut, dimana di laut lepas mereka membutuhkan bahan makanan yang dapat disajikan dengan cepat sebagai pengganti nasi. Pada beberapa orang yang telah berumur dan mengidap penyakit sistemik seperti diabetes melitus maka jepa dapat dijadikan bahan makanan non nasi yang dikonsumsi saat makan siang dan makan malam. Kandungan karbohidratnya kurang lebih sama dengan yang dikandung oleh nasi. 

Untuk jenis-jenis jepa anda dapat menemukannya dalam berbagai macam modifikasi, pengggolongan jenis jepa adalah berdasarkan bahan pembuatnya, misalnya saja : 1. Jepa katong, yaitu jepa yang terbuat dari katong atau sagu 2. Jepa golla mamea, yaitu jepa yang memiliki campuran gula merah atau gula aren di dalamnya 3. Jepa-jepa, yaitu jepa dengan ukuran yang lebih kecil (bahan logistik utama nelayan Mandar saat melaut) yang dibuat dengan membuat permukaan jepa agak tipis lalu kemudian dijemur, setelah dijemur ia kemudian dihancurkan, lalu untuk proses penyajiannya bisa dicampurkan dengan gula aren atau dengan potongan daging kelapa muda.

Membuat bahan utama jepa sederhananya adalah dengan terlebih dahulu memarut ubi kayu atau singkong, lalu kemudian hasil parutan tersebut diperas untuk dikeluarkan kandungan airnya. Ampas yang tertinggal lah (berwarna putih) yang menjadi bahan utama pembuatan jepa. Ini yang lalu di campur dengan bahan-bahan lain untuk melengkapi bahan utamanya misalnya dengan menambahkan parutan kelapa, atau gula merah (gula aren). Untuk jepa yang seperti biasanya, tanpa campuran apa-apa bahan utama ini kemudian ditaburkan diatas piring berbentuk bundar dari tanah liat dan dipanaskan diatas tungku. Wanita Mandar biasa menggunakan tungku yang terbuat dari tanah liat untuk memanaskan jepa. 

Untuk membuat kuliner Mandar yang lezat ini kaum wanita atau ibu-ibu biasa membuatnya dengan alat yang disebut dengan nama panjepangang dengan bentuk seperti piring namun dengan permukaan yang halus terbuat dari tanah liat. Membuat jepa membutuhkan keterampilan dalam menuang bahan baku diatas panjepangang dengan gerakan yang agak cepat dan terukur, jika terlalu lama memanggangnya maka permukaan jepa akan terlihat hitam, cukup dengan membuatnya berwarna coklat keemasan maka jepa tersebut sudah bisa diangkat.

Menyinggung soal nilai gizi jepa, sepertinya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap hal ini. Proses pengolahannya yang sedemikian rupa mungkin saja akan mengurangi beberapa kandungan gizi didalamnya. Belum lagi metode pengolahan yang lama seperti misalnya dengan pengeringan. Namun sejak dulu kuliner ini telah menggantikan fungsi beras atau nasi sebagai karbohidrat yang notabene digunakan sebagai sumber energi untuk tubuh. Sejatinya jepa telah lama berfungsi sebagai sumber karbohidrat efisien yang mudah dibuat.

SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.
#ensiklopediasulbar #pusakaku_official #mandar #pusakaku 


 

Selasa, 14 November 2023

KONE-KONE'E

KONE-KONEE  adalah salah satu jenis bahasa yang banyak digunakan oleh komunitas masyarakat di Campalagian, Mapilli dan Nepo/buku. Wilayah ini dikenal  sebagai daerah Tallum boccoe pada masa sesudah kerajaan Passokkorang hancur. Kone-Konee  memiliki sejarah yang amat unik, Campalagian pun termasuk kampung yang unik karena ia hanya menyandang nama sebagai nama kecamatan tapi tak diketahui dan tak dikenal dusun Campalgian, desa Campalagian, yang ada kemudian adalah kampung  atau pasar Tomadio.

Sejatinya, masyarakat Campalagian menggunakan bahasa Mandar, tapi ternyata tidak. Mereka memiliki bahasa sendiri yang sangat jauh berbeda dengan bahasa Mandar. Bahasa kone-konee adalah bahasa Bugis dialek ke tujuh. Almarhum Prof. Darmawan pernah bercerita bahwa dulu ada kampung yang bernama Cempalagi di Bone, Sulawesi Selatan, yang didiami oleh masyarakat Bugis. Saat itu masih jaman kerajaan, suatu hari terjadi perebutan kekuasaan antara kakak beradik yang ingin menggantikan tahta ayahnya  sebagai raja yang telah baru saja meninggal dunia. Pemilihan pun dilakukan, namun karena sang kakak mempunyai watak keras, sombong dan serakah maka tidak ada rakyat yang mendukung.

Sebaliknya sang adik yang baik hati dan dermawan didukung penuh oleh rakyat di Cempalagi (sebuah nama gunung yang terletak di pesisir teluk Bone),  tepatnya di Desa Mallari Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone, kira-kira 14 km di sebelah utara kota Watampone).

Sang kakak pun marah karena tidak terima kekalahannya. Ia pun berniat membunuh sang adik. Berkat ketulusan sang adik, ia mundur menjadi raja dan menyerahkan tahtanya kepada kakaknya. Namun sang kakak sudah terlanjur marah, sehingga ia tetap tidak terima keputusan adiknya itu. Akhirnya sang adik dan semua rakyat yang mendukungnya memutuskan untuk kabur dari Campalagi menuju daerah yang aman. Sang kakak ternyata tetap mengejar adik dan semua rakyat yang ikut. Akhirnya sang adik tiba di perbatasan kerajaan Balanipa (yang saat itu dibatasi oleh sungai Mapilli). Mereka  berharap mendapat perlindungan dari Balanipa karena ia tau kakaknya tidak mungkin masuk ke kekuasaan kerajaan lain.

Selang beberapa lama kemudian,  raja Balanipa akhirnya memutuskan untuk memberikan satu wilayahnya kepada sang adik raja Campalagi ini untuk tinggal bersama pengikutnya asalkan mereka mau tetap tinggal di Balanipa. Sang adik dan pengikutnya setuju dan gembira dengan keputusan raja Balanipa tersebut.

Akhirnya mereka semua tinggal dan menetap di Balanipa dan wilayah itu diberi nama Campalagian. Jadi jangan heran jika orang di wilayah ini memakai bahasa kone-kone’e yang tak lain adalah bahasa Bugis dialek ke tujuh.

SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.


 

Senin, 13 November 2023

KULIWA

KULIWA merupakan ritual yang banyak dilaksanakan oleh masyarakat Mandar entah di pesisir maupung di pegunungan. Kuliwa dalam pandangan masyarakat terkesan menjadikannya sebagai sesuatu yang hukumnya ‘wajib’ dilaksanakan. Kuliwa sesungguhnya adalah simbol pernyataan syukur kepada sang pencipta atas sebuah pencapaian atau reski dari-Nya.

Pada masyarakat pesisir, kuliwa dilaksanakan ketika akan “meresmikan” sesuatu, baik benda maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap (jala dan gae) dan ketika memulai kegiatan penangkapan. Mereka meyakini, jika tidak melakukan kuliwa ketika akan memulai turun ke laut (pelayaran pertama), maka boleh jadi akan ada sesuatu hal yang merisaukan hati di dalam pelayaran.

Dalam prakteknya, kuliwa dilaksanakan ketika akan ‘meresmikan’ sesuatu, baik benda maupun kegiatan, misalnya: meresmikan perahu, alat tangkap dan ketika memulai kegiatan penangkapan (setelah lama tidak melaut). Nelayan biasa juga melakukan kuliwa dalam pertengahan musim motangnga ketika pada beberapa operasi pertama mereka tidak memperoleh hasil.

Kuliwa dilaksanakan di kediaman punggawa posasi’ yang dipimpin oleh seorang pemuka agama (panrita) dan dihadiri oleh awak kapal (sawi kappal). Jika meresmikan perahu, acara kuliwa (pembacaan barasanji) dilaksanakan di atas perahu. Demikian juga ketika meresmikan roppong yang telah selesai dibuat, tapi praktek kuliwa untuk roppong sudah lama tidak dilaksanakan. Acara inti dalam kegiatan kuliwa adalah pembacaan barasanji yang dipimpin oleh seorang pemuka agama. Selesai membaca barasanji, dilanjutkan dengan pembacaan do’a kepada Allah SWT untuk memohon keselamatan dan rezeki. Kemudian acara dilanjutkan dengan menyantap hidangan yang telah disediakan.[1]

Pada sebagian besar masyarakat pegunungan, kuliwa dilakukan pada saat mendapatkan anugerah berupa pembelian barang berharga seperti mesin atau kendaraan bermotor. Kuliwa dilakukan dengan menggelar ritual do’a selamatan untuk barang yang mereka baru saja beli. Bagi kedaraan atau mesin biasanya menggunakan makanan yang manis-manis. Ini merupakan ussul agar dalam menggunakan barang tersebut selalu diberkati oleh Allah hal-hal yang menyenangkan dan terjauhkan dari hal-hal yang merisaukan.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.


 

Minggu, 12 November 2023

KAWAO

KAWAO adalah ‘gurita raksasasa’ yang dipercayai sebagai isyarat baik atau sebaliknya pertanda buruk bagi nelayan yang sedang melaut. Agar terhindar bertemu dengan kawao, perlu disiapkan sesajian berupa makanan atau telur yang dibuang ke dalam laut sebagai persembahan.
Kepercayan kepada makhluk gaib seperti kawao ini juga ditemukan dalam kepercayaan nelayan di Wakatobi dan mereka menyebutnya dengan gurita berkaki sembilan. Kawao di tengah laut bisa ditafsirkan sebagai pertanda akan terjadi musibah atau malah sebaliknya yaitu, keberuntungan. Makhluk kawao ini sering dilihat atau muncul di tempat-tempat tertentu seperti di Baturoro di Kabupaten Majene atau di Tanjung Rangas (semacam segitiga bermuda) di laut Mandar (Dahri Dahlan, Rahman Hamid, 2018).
Kemunculan kawao ditengah laut menurut Suradi Yasil (2022:81), dari kejauhan matanya yang sebesar bola kaki menyala seperti lampu listrik yang menyala kemerah-merahan. Ketika mendekat seluruh jari-jarinya (tentakel) tampak menyala di dalam laut. Ia menyerang dengan melilitkan salah satu jari-jarinya melingkari badan perahu atau menarik tiangnya lalu membalikkannya. Giginya seperti paruh burung kakatua sebesar kapak yang dapat melukai atau membunuh mangsanya.
Untuk menghindari serangan kawao, maka awak kapal ketika berada diperairan yang disinyalir tempat tinggal kawao seperti di Pulau Sembilan (antara pulau Kalimantan Selawesi), termasuk Tanjung Ngalo, Tanjung Buku dan lainnya akan memadamkan lampu atau memindahkan semua benda yang menyala di perahu. Ritual membuang terasi atau tembkau di laut adalah salah satu cara yang dilakukan para awak kapal. Ada juga yang menirukan suara kokok ayam untuk memberikan rasa takut pada makhluk ini sebab suara kokok ayam identik dengan daratan dan kawao tidak menginginkan tinggal di dekat perkampungan.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.

 

Senin, 06 November 2023

CALONG

CALONG (1) atau paccalong adalah ragam kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Mandar. Calong ini adalah salah satu jenis musik yang sangat unik, karena hanya terbuat dari bahan dasar buah kelapa dan bambu.

Alat musik ini biasanya dimainkan secara solo. Pada masa sebelum tahun 90-an  banyak dijumpai jenis musik ini dimainkan oleh para petani yang sementara mitteppe (menunggu kebun yang sudah menjelang panen) termasuk maqdongi (menjaga burung yang mengganggu/memakan padi yang sudah berisi dan siap panen), biasa juga di pakai di rumah-rumah pohon tempat menunggu langsat (rang-orang).

Jenis alat musik ini kerap digunakan masyarakat sebagai penghibur dari rasa sunyi dan kesepian (karena waktu itu belum ada alat pemutar musik). Calong ini kemudian dalam perkembangannya mengalami kemajuan dan biasa di mainkan/di pentaskan secara massal, seperti yang terlihat pada pembukaan pekan olahraga Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2007 lalu di Polewali Mandar. Dan bahkan Sahabuddin (Kanne Bala) memoles jenis kesenian tradisional ini menjadi sebuah pertunjukkan yang menarik dan menghibur karena dikolaborasikan dengan beberapa alat musik lainnya seperti biola dan harmonika yang di selenggarakan pada peringatan HUT Sulbar ke-8 di Gor Mario Pappang Campalagian dalam pameran dokumentasi perjuangan dan diskusi sejarah bertajuk “Mengguat Senyum Westerling” (19 November 2012).

Hal yang sama dilakukan oleh rumah musik Beru-Beru Orchestra Kandemeng Pimpinan Ainun Nurdin. Di komunitas ini segala macam musik tradisional dikolaborasi, ditampilkan dalam even-even resmi dan diajarkan secara gratis (tidak ada pungutan resmi dari pihak rumah musik).