Senin, 09 Januari 2017
DISKUSI BUKAN ALLA' GAU', TAPI GAUL (Sebuah Catatan Buat Muhammad Ridwan Alimuddin)
Catatan Muhammad Munir
Sejak Desember 2016-Januari 2016, penulis kerap muncul pada kolom komentar pemilik akun Muhammad Ridwan Alimuddin. Sebagian mungkin akan beranggapan bahwa ini adalah sebuah polemik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi dan politik praktis. Sungguh, ini bukanlah sebuah polemik kepentingan politik tapi lebih tepatnya sebagai sebuah proses untuk melanggengkan tradisi intelektual para pendahulu kita. Perbedaan pendapat yang nampak sebagai sebentuk seteru ini bagi penulis sangatlah bermanfaat sebab kemudian penulis dipaksa untuk banyak membaca dan belajar lebih banyak lagi.
Berawal dari sebuah status yang ditulis posting oleh Muhammad Ridwan Alimuddin, (penulis dan peneliti senior) “HBD (Happy Birth Day) Muhammad SAW” yang disusul oleh Subhan Saleh dengan “Selamat Natal Muhammad SAW dan Selamat Maulid Isa/Yesus”. Sampai kepada sebuah postingan tentang sampah dan tanggul di Pambusuang yang kemudian endingnya, Muhammad Ridwan Alimuddin menshare sebuah link http://mandarnews.com/2016/12/30/ketua-dprd-majene-sebut-bhineka-tunggal-ika-berasal-dari-bahasa-mandar-bukan-bahasa-sansekerta/ yang memicu berbagai hujatan dan cemooh.
Kondisi itu membuat penulis mengusulkan kepada Darmansyah untuk menggelar diskusi dan mengundang Muhammad Ridwan Alimuddin dan Irwan Fals untuk diskusi bersama di Kantor DPRD Majene. Muhammad Ridwan Alimuddin tak bersedia hadir. Ini adalah kali keduanya tidak hadir dalam diskusi yang sebelumnya dibuatkan juga diskusi soal pernyataan HBD Muhammad SAW di RUMPITA Tinambung, juga tidak mau hadir.
Penulis juga tidak faham kenapa Muhammad Ridwan Alimuddin hanya berani diskusi di dunia maya, padahal akan sangat menarik dan tuntas persoalan ini seandainya ia mau hadir dalam diskusi nyata. Tapi lagi-lagi itu adalah hak prerogatif yang mesti dihargai sebagai sikap yang asasi baginya. Kendati demikian, diskusi pada tanggal 4 Januari 2017 ini dirilis oleh beberapa media on line, termasuk Radar Sulbar dan Irwan Fals melalui medianya http://mandarnews.com/2017/01/04/klarifikasi-ketua-dprd-majene-terkait-asal-kata-bhineka-tunggal-ika/.
Harapan penulis, pasca diskusi ini seteru dan polemik tersebut berakhir. Tapi ternyata kian hangat sebab rilis media dianggap oleh Darmansyah sebagai sebuah rilis yang tak seimbang dan menjadikannya sebagai posisi yang terhukumi dalam persoalan ini. Apa yang dirilis media tersebut kembali menjadi bahan diskusi media yang ditanggapi oleh Darmansyah melalui tulisan juga. Darmansyah kemudian membuat sebuah tulisan untuk mengklarifikasi rilis media melalui laman blog pribadi penulis, https://galerikopicoqboq.blogspot.co.id/2017/01/bhinneka-tunggal-ika-dalam-perspektif.html.
Apa yang ditulis oleh Darmansyah ini kembali menuai tanggapan dalam bentuk tulisan dari Muhammad Ridwan Alimuddin dalam website ridwannews.com http://www.ridwannews.com/apakah-kata-tunggal-bhinneka-tun…/ .Diskusi semakin panjang sebab Muhammad Ridwan Alimuddin menulis berdasarkan rilis media yang notabene hanya mempertimbangkan rumus 5W+1H. Bagi penulis, apa yang dilakukan oleh Ridwan Alimuddin ini adalah sebuah tindakan yang subyektif sebab klarifikasi Darmansyah dalam tulisan mandarnews.com itu sudah penulis bantah dalam komentar-komentar di Facebook.
Penulis mempertegas bahwa klarifikasi Darmansyah pada saat diskusi itu jelas mengatakan, Bahwa kata Tunggal dalam Kalimat Bhinneka Tunggal Ika itu ada dalam bahasa Mandar, yang layak kita bangga dengannya, dan menengenai kalimat Bhinneka Tunggal Ika bukan dari bahasa Sansekerta tapi dari bahasa Mandar ini anggap saja sebuah kelakar. Demikian klarifikasi Darmansyah saat didesak oleh forum yang terdiri dari mahasiswa dan media cetak. Darmansyah menambahkan, bahwa tunjuan dari pernyataan itu sama sekali tak ada niat menghina dan merusak makna simbol negara tersebut. Andaikan Muhammad Ridwan Alimuddin hadir dalam diskusi tersebut, tentu ceritanya akan beda dan tidak akan mengambang dan bertambah panjang persoalan ini.
Menyikapi polemik tersebut, sebagai penulis tentu sangat berharap baik Muhammad Ridwan Alimuddin maupun Darmansyah seharusnya bisa bertemu langsung untuk menyelesaikan persoalan ini sehingga tidak menjadi polemik panjang dan memicu pembaca untuk menyerapahi Darmansyah dengan kata-kata yang tak seharusnya dilontarkan, sebab Darmansyah tentu tidak dalam proses mempermainkan makna lambang dan simbol negara. Akibat ketidak siapan Muhammad Ridwan Alimuddin untuk menyelesaikannya secara persuasif dengan Darmansyah sehingga persoalan tersebut jadi mengambang. Penulis tentu punya batasan untuk ikut secara langsung menghalangi, mengklarifikasi dan menyalahkan siapa-siapa, sebab persoalan ini oleh Darmansyah telah dianggap selesai dan tak perlu diperpanang lagi.
Sebagai Ketua AJI MANDAR, Muhammad Ridwan Alimuddin sejatinya menjadikan polemik ini sebagai ruang untuk membuat sebuah ruang diskusi. Tapi harapan itu jauh panggang dari api. Sebagai peneliti dan penulis senior juga seharusnya menjadi kekuatan untuk bisa berdiskusi secara ilmiah. Terlebih penulis menilai, bahwa Muhammad Ridwan terkesan hanya berani di dunia maya. Terkait persoalan foto-foto dan dokumentasi yang dipaparkan dalam makalah Darmansyah, Ridwan juga membantah melalui komentar di facebook, bahwa itu adalah dokumen pribadi yang menjadi bahan persentasenya. Sementara saat penulis mengklarifikasi persoalan ini, Darmansyah berkilah, bahwa itu adalah dokumentasi dari Horst H. Liebner yang katanya dokumen dari Belanda.
Apa yang diklaim oleh Ridwan dan Darmansyah seharusnya bisa diselesaikan melalui diskusi atau forum. Tapi faktanya, Ridwan hanya mau berkomentar di Fb dan tak pernah mau menyelesaikan. Entah, apakah ini sebuah upaya untuk menjatuhkan pamor dari figur Darmansyah sebagai Ketua MSI dan Ketua DPRD Majene atau ada tendensi lain. Yang pasti bahwa Darmansyah sudah memberikan peluang untuk berdiskusi. Lalu bagaimana solusi untuk menyelesaikan sebuah persoalan secara ilmiah ?
Mari kita berintrosfeksi !
Cara ini sesungguhnya adalah tehnik sipau-pau pondo', sebab Darmansyah tidak menggunakan medsos sementara menyerangnya selalu dengan satu cara yang dengan itu pihak yang diserang tak menggunakan fasilitas medsos. Apa yang salah jika kita coba membangun tradisi leluhur untuk duduk bersama, berdiskusi, sitangnga-tangngaran dan mencari solusi. Atau kita hanya ingin tampil sebagai orang yang hebat sendiri ?
ARAJANG BALANIPA
Arajang adalah
kepala pemerintahan di kerajaan Balanipa, yang tak boleh bertindak
sendiri-sendiri. Segala hal yang berhubungan dengan perencanaan dan pelaksanaan
pemerintahan harus melalui musyawarah dan mufakat dengan hadat. Dalam
pengangkatan seorang Mara’dia Balanipa yang baru, proses pencalonan
dilaksanakan oleh hadat dari Appeq Banua
Kaeyyang (Napo,
Samasundu, Mosso, Todang-todang) secara musyawarah dan mufakat, kemudian
hasil akan disampaikan kepada Papuangan Limboro dan Pappuangan Biring Lembang.
Kedua
anggota hadat ini membawa kedalam sidang hadat Balanipa, nanti setelah
persetujuan didapatkan kemudian di laksanakanlah pengangkatan. Hadat mempunyai
wewenang memecat seorang raja. Namun tidak sebaliknya, raja tidaklah dapat
memecat hadat, kecuali melalui persetujuan hadat dan pejabat-pejabat lain yang
berhak memilih. Tidak mutlak calon untuk mengisi kekosongan raja, keturunan
dari raja yang baru saja meletakkan jabatannya, tetapi dapat juga dari
keturunan dari raja-raja terdahulu, seperti keturunan (bija) I Manyambungi (Todilaling).
Adapun
susunan raja Balanipa adalah sebagai berikut:
1.
I Manyambungi, putera Puang di Gandang, cucu dari Taurra-Urra (bergelar Todilaling) berkuasa
pada tahun 1520-1552
2.
Billa-Billami, putra raja pertama (bergelar
Tomepayung). Berkuasa pada tahun 1552-1602
3.
I Daeng Mangapi, putra raja pertama (bergelar Todijalloq). Berkuasa pada tahun
1602-1608
4.
Tandibella Kanna I Pattang, putra Todijalloq (bergelar Daetta
Tommuane). Berkuasa pada tahun 1608-1618
5.
Todigayang Dibuku, putra Tandibella Kanna I Pattang. Berkuasa pada tahun 1618
6.
Todiboseang di Kaeli, putra Tandibella Kanna I Pattang
7.
I Daeng Mattikka, putra Tandibella Kanna
Ipattang (bergelar tomatindo di bura)
8.
Puatta I Moking, putra Tandibella Kanna I
Pattang (bergelar tomatindo di sattoko)
9.
I Daeng Marappi, putra I Daeng Mattikka (bergelar Tolambus). Berkuasa pada tahun
16.. -1660
10. I Daeng
Mallari’, putra Todiboseang di Kaeli (bergelar
Tomatindo di Buttu atau Todipessoq di Galesong). Berkuasa pada tahun 1660-1667
11. Puatta I
Lambo, putra Puatta I Moking (bergelar
Tomatindo Di Langgana). Berkuasa pada tahun 1667-
12. I Ma’ga Daeng Rioso’, putra Todigayang di Buku, cucu dari Tandibella
Kanna I Pattang (bergelar Tomappatumballe Litaq Mandar
atau Todipolong) berkuasa pada tahun 1669-1672
13. Puatta I
Lambo, putra Puatta I Moking (bergelar
Tomatindo di Langgana), raja ke-11 (periode ke-2). Berkuasa pada tahun 1672-
14. Tomate
Malolo, putra I Daeng Mallariq (raja ke-10)
15. Tomatindo di
Limboro, cucu Todiboseang Dikaeli (raja ke-6)
16. Tomakkasi-asi,
cucu Todiboseang Dikaeli (raja ke-6)
17. Puatta I
Lambo, putra Puatta I Moking (bergelar
Tomatindo di Langgana) raja ke-11, ke 13
(periode ke-3)
18. I Mannawari,
putra Puatta I Lambo (raja ke-11, 13 dan 17) (bergelar Tomatindo di Barugana)
19. Tomatindo di
Tammangalle, putra putra Tomatindo di
Limboro (raja ke-15)
20. Tomatindo di
Pattinna, cucu Puatta I Moking (raja ke-8 dan ke-9).
21. I Mannawari,
putra Puatta I Lambo (raja ke-11, 13 dan 17(bergelar Tomatindo
di Barugana), raja ke 18 (periode ke-2).
22. Tomatindo di Pattinna, cucu
Puatta I Moking (raja ke- 8 danke-9), raja ke-20 (periode ke-2).
23. I Mukki
Daeng Manguju, cucu I Ma’ga Daeng Rioso (raja ke-12).
(bergelar Tomatindo Disalassa’na).
24. Tomatindo di
Pattinna, cucu Puatta I Moking (raja ke- 8 dan ke-9), raja ke-20
dan ke-22 (periode ke-3)
25. I Muki Daeng Manguju, cucu I Ma’ga Daeng Rioso (raja ke-12) (bergelar Tomatindo di Salassa’na), raja
ke-18, ke-23 (periode ke-2)
26. I Daeng
Mattuli, putra I Mannawari (raja ke-18) (bergelar Tomappelei Balinna)
27. Puatta I
Senong, putra I Mannawari (raja ke-18) (bergelar tomessuq dikotana)
28. Daeng Massikki, putra I Mannawari (raja ke-18 yang bergelar Tomatindo di Lakka’ding)
29. Tomatindo di
Binanga Karaeng, putra I Mannawari (raja ke-18)
30. I Daeng Pa’ Awe, putra
tomatindo di tammangalle (raja ke-19) (bergelar Tomessu di Talolo dan dikenal juga
dengan Puanna I Padang)
31. Tomatindo di
Lanrisang, cucu Tomatindo di Limboro (raja ke-15).
32. I Daeng Pa’
Awe, putra Tomatindo di Tammangalle (raja ke-19) (bergelar Tomessu di Talolo
dan dikenal juga dengan Puanna I Padang) raja ke-30
(periode ke-2).
33. Puanna I
Calla, putra I Daeng Mattuli (raja ke-26 yang bergelar Tomattole’ Ganranna)
34. Tomappelei
Pattuyuanna, putra I Daeng Mattuli (raja ke-26
35. Pakkacoco,
putra Tomatindo di Lanrisang (raja ke-31)
36. Tomate Macci’da, putra Puanna I Calla (raja ke-33)
37. Pakkalobang
, putra Tomappelei Pattuyuanna (raja
ke-34) (bergelar Tomonge Alelanna)
38. Panggandang
Puanna I Ratti, I Daeng Mattuli (raja ke-26) (putra Pakkatitting raja Sendana
merangakap raja Pamboang)
39. Pammarica,
putra Pakkacoco (raja ke-35)
40. Kakanna I
Ye’da, cucu I Daeng Mattuli (raja ke-26)(bergelar Tomessuq di Mosso)
41. Pammarica,
putra Pakkacoco (raja ke-35) dilantik jadi raja ke-39 (periode ke-2)
42. Panggandang
Puanna I Ratti, raja ke 38 (periode ke-2)
43. I Kambo,
putra Tomate Macciqda (raja ke-36)(bergelar Tomatindo di Lekopaqdis).
44. Passaleppa (Ammana I Bali), putra I Daeng Pa’ Awe (raja
ke-32).
45. Mandawari,
putra Passaleppa (raja ke-44)(bergelar Tomelloli
atau Mara’dia Kecce) berkuasa tahun 1870-1872.
46. I Baso
Boroa, putra I Kambo (raja ke-43)(bergelar Tokape atau Todibuang Di Pacitan)
berkuasa pada tahun 1872-1873.
47. Mandawari,
putra Passaleppa (raja ke-44)(bergelar Tomelloli
atau Mara’dia Kecce) raja ke 45 (periode ke-2) berkuasa pada tahun 1874-1880.
48. Sanggaria,
cucu Pakkalobang (raja ke 37) (bergelar
Tonaung Anjoro) berkuasa pada tahun 1880-1885.
49. Mandawari,
raja ke-45 dan 47 (periode ke-3) berkuasa pada tahun 1885-1906.
50. La’ju Kanna
I Doro, bergelar Tomatindo di Judda, cucu Tomate Macci’da (raja ke-36), Berkuasa pada tahun
1906-1927.
51. H. Andi Baso Pawiseang, cucu I Baso Boroa
(raja ke-46) berkuasa pada tahun 1927-1947.
52. Sugiranna
Andi Mania/Hj. Andi Depu, putri La’ju Kanna I Doro (raja ke-50) (bergelar ibu Agung-Tomuanena Mandar atau Mara’dia
Towaine) berkuasa padatahun 1947-1959
53. Hj. Syahribulang Batara Tungka, cucu I Baso Boroa (raja ke-46), bergelar Puang Monda’) berkuasa
pada tahun 1959-1963.[1]
Langganan:
Postingan (Atom)