Minggu, 05 Februari 2017

DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “Menenun Sureq Malaqbiq di Rumah Budaya Husni Djamluddin” (Bagian Ketiga)



Oleh Muhammad Munir
  
Launching Rumah Budaya Husni Djamluddin yang digagas oleh putri sulungnya Yuyun Yundini mendapat apresiasi yang sangat luar biasa dari tokoh-tokoh dan pejabat yang hadir. Aksan Djalaluddin misalnya. Rekror Unsulbar ini bahkan siap mensinergikan progran UKM di Unsulbar dengan Program Rumah Budaya Husni Djamaluddin. Tentu saja ini akan menjadi sangat menunjang segala kegiatan yang nantinya terpusat di Rumah Budaya ini. Hal sama juga dilakukan oleh Darmansyah. Ketua DPRD Majene dan Ketua MSI Cabang Sulbar ini sangat mendukung rencana ini. Meski ia adalah warga Sendana Majene tapi baginya, Husni Djamaluddin adalah sosok yang bukan saja milik Tinambung Polman, tapi milik Mandar, Sulbar bahkan milik Indonesia.

Husni Djamaluddin memang sosok yang begitu dicintai oleh keluarga dan sahabatnya, baik waktu beliau masih hidup maupun saat beliau telah tiada. Inilah karomah yang dimiliki oleh sosok Husni. Ia mungkin bukan sosok Tosalama’ sekelas Imam Lapeo, tapi melihar rekam jejak dan warisannya buat Mandar, penulis bahkan melihat maqam Husni Djamaluddin tak jauh beda dengan derajat yang dimiliki oleh Imam Lapeo. Sejak beliau hidup sampai 12 tahun meninggalnya, Husni masih terus dibincang dan ditulis. Dan hari ini, Rumah Budayanya justru akan membuatnya akan lebih abadi, seabadi dengan nama Tosalama Imam Lapeo.
    
Forum yang membincang Husni Djamaluddin yang berlangsung sampai adzan magrib ini sekana tak terasa. Acara yang maksyuk semaksuk puisi Husni yang dibacakan oleh Bakri Latief. Bakri Latief yang terkenal dengan puisi “Puaji” dan  “Tokke”nya ini meminta kepada forum untuk membaca dua buah puisi Husni Djamaluddin. Puisi pertama yang dibacakan oleh Bakri Latief adalah Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku ? dilanjutkan dengan puisi Kemerdekaan Yang Kurindukan. Puisi yang menghentak dan mengasah keindonesiaan kita untuk lebih dalam lagi menyelami Indonesia dalam diri Husni Djamaluddin.

Husni memang tak salah jika kemudian Malaqbiq terus kita lisankan, sebab mendiang Husni Djamaluddin memang tidak mengusung siri’ anna lokko’ menjadi ikon provinsi yang diperjuangkan disisa-sisa umurnya yang mulai senja. Sulbar bahkan menjadi ajang wisuda pada tingkat paling tinggi dalam jenjang pencariannya. Malaqbiq ia jadikan nisan sejarah bagi hidupnya, hingga tak berlebihan jika malaqbiq itu diusung sesungguhnya adalah sebuah rahasia Tuhan bahwa malaqbiq sesungguhnya adalah ketika mampu mengedifikasi nilai-nilai yang diajarkan Husni pada generasi berikutnya.

Jika kemudian Aksan Djalaluddin berkeluh kesah tentang terkikisnya nilai-nilai malaqbiq itu dalam keseharian kita hari ini, tidak lantas harus menjadikan kita pesimis. Bahwa kenyataan hari ini pemerintah, DPRD dan rakyat kita belum bisa malaqbiq juga tidak harus menjadikan mereka sebagai pihak yang terhukumi sebagai tau-tau, aluppas tau, tau asu, asu tau, sebagaimana yang dituturkan Abdul Muttalib (Ketua Flamboyant), sebab nilai atauan tentu masih ada dan akan terus ada dalam lembar sejarah peradaban kita. Mungkin iya, baqgo dan sandeq telah terserabut dari akar sejarah dan budaya kita, mungkin juga kita kalah sebab butta panrita lopi justru bersemayam di Bulukumba. Sangat boleh jadi kita tergerus dan tergilas zaman sebab pantai menolak lautnya dengan keberadaan tanggul. Tapi ada hal yang lebih penting untuk kita benahi, yaitu membangun kultur, bukan mengukuhkan struktur.


Dan hari ini, Rumah Budaya Husni Djamaluddin itu telah terbuka, pintu dan segala ruangnya terbuka untuk menjadi wadah menyusun jaring laba-laba peradaban yang sasarnnya tentu harus melahirkan kembali generasi-generasi bertagline Husni The Next !. Keberadaan Yundini dan Ketua DPRD Majene adalah aktualisasi diri bahwa kedepan, kesempatan untuk berbenah masih terbuka. Tak ada yang harus kita urai panang kali lebar, sebab nilai-nilai malaqbiq tak akan mampu kita urai dalam meteran-meteran fisik. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana mengeja kembali bahasa Husni Djamaluddin yang mengatakan Apa itu Mandar? Iyau Tomandar !. (Bersambung)

MUHAMMAD RAHMAT MUCHTAR : Seniman Literat Yang Inspiratif



Muhammad Rahmat Muchtar, demikian nama lengkap yang ia sandang. Kak Rahmat atau Mat Panggung adalah panggilan kekerabatan yang disematkan oleh teman-teman dan anak-anak didiknya di Uwake’ Cultuur Fondation.
Lelaki yang lahir di Tinambung, 10 Juli 1974 ini termasuk salah satu sosok yang multi talenta. Disamping ia jago melukis, juga piawai bermain musik tradisional, lihai menulis dan lincah di panggung baik berteater, berpuisi maupun menampilkan kacaping luar pagarnya. Pokoknya, Pria yang menjadi suami dari Sri Wahyuni, S.Sn ini adalah aset Mandar yang sulit dicari tandingannya.
Uwake’ Culture Foundation adalah sebuah lembaga nirlaba yang ia dirikan sejak tahun 2010, dan diakta notariskan pada tahun 2012. Melalui Lembaga Uwake’ inilah ia mencoba melakukan penguatan kehidupan serta program-program pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan, pelestarian melalui perspektif seni budaya baik yang berasal dari pemerintah, swasta dan masyarakat.
Hal tersebut tergambar jelas dalam visi lembaganya, yaitu“mendorong perkembangan pola pikir pembaharuan didalam masyarakat yang di elaborasi oleh muatan tradisi, modern, dan kontemporer lewat seni budaya”.
Visi yang dirumuskan tersebut kemudian ia faktualkan dalam beberapa poin misi lembaganya, yakni: mengadakan pendidikan alternatif dengan pendekatan seni budaya dan dari berbagai sudut pandang keilmuan; memberdayakan potensi seni dan budaya baik tradisi, modern, kontemporer sebagai kesatuan bentuk dialektika serta sebagai media; melakukan kajian seni budaya implementasi:
-       Menyelenggarakan program workshop, study tour, residensi, diskusi, seminar, ceramah dan berbagai bentuk pendidikan alternatif;
-   Membangun daya hidup seni dan budaya serta pariwisata melalui jaringan kerjasama intstansi pemerintah, non pemerintah, lembaga sekolah dan lembaga seni budaya;
-       menyediakan informasi berupa buku seni, artikel, koran, majalah, catalog visual, brosur dan fhoto; 
- Mengadakan pameran, pentas serta pagelaran di lingkungan sendiri, lintas kabupaten, provinsi dan mancanegara.
Uwake’ yang punya sekretariat di Jalan Sultan Hasanuddin No. 68 Tinggas-Tinggas, Tinambung, saat ini manjadi salah satu diantara banyaknya komunitas seni yang kerap tampil mewarnai berbagai pertunjukan dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Termasuk menjadi inisiator Bendi Pustaka ‘’paissangang’’. Bendi Pustaka adalah salah satu upaya menggiatkan literasi yang masih sangat memprihatinkan. Di Polewali Mandar ini, meski sudah mempunyai perpustakaan daerah dan telah mengelola mobil perpustakaan keliling, serta beberapa desa yang mempunyai perpustakaan. Namun kenyataannya tidak membuahkan hasil yang sesuai cita-cita dan target.
Terlebih sarana internet yang menjadi trend saat ini sangat menjamur dan memudahkan masyarakat mengakses guna mencari informasi dan ilmu pengetahuan, maka  buku-buku bacaan semakin ditinggalkan yang membuat perpustakaan sekolah, desa dan daerah sepi. Kondisi itulah yang membuatnya resah dan mencoba berupaya menularkan virus literasi kepada generasi. Maka muncullah gagasan pengembangan literasi dengan moda Bendi Pustaka. Bendi sebagai salah satu transportasi tadisional yang sudah mulai banyak ditinggalkan dijadikannya sebagai perpustakaan keliling yang dapat mendatangi kota dan desa-desa sekitarnya. 
Tanggal 1 Juni 2015 adalah hari peluncuran bendi bustaka yang bersamaan dengan perahu pustaka di kampung Baba Toa, Lapeo, Kec. Campalagian, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Kandang Bendi Pustaka memang ada di Tinambung tapi lounchingnya di Campalagian karena Perahu Pustaka di buat disana.

Bendi Pustaka adalah wadah untuk mendorong terciptanya dan terselenggaranya media penghubung literasi yang akif sebagai suatu perpustakaan dinamis disamping perpustakaan tetap; mewujudkan masyarakat yang berbudi pekerti dan berpengetahuan melalui sugesti gemar membaca untuk meraup dan mengamalkan ilmu pengetahuan. Sasaran bendi pustaka adalah tiap desa-desa yang terjangkau serta lembaga sekolah yang ada di Kecamatan Tinambung, Limboro dan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. Pembacanya mayoritas adalah anak-anak yakni TK – SD.

Testimoni : Apresiasi Untuk Gerakan Literasi RUMPITA


                                         Siswi SMA Negeri 1 Tapalang Kabupaten Mamuju.