Oleh
Muhammad Munir
Launching
Rumah Budaya Husni Djamluddin yang digagas oleh putri sulungnya Yuyun Yundini
mendapat apresiasi yang sangat luar biasa dari tokoh-tokoh dan pejabat yang hadir.
Aksan Djalaluddin misalnya. Rekror Unsulbar ini bahkan siap mensinergikan
progran UKM di Unsulbar dengan Program Rumah Budaya Husni Djamaluddin. Tentu
saja ini akan menjadi sangat menunjang segala kegiatan yang nantinya terpusat
di Rumah Budaya ini. Hal sama juga dilakukan oleh Darmansyah. Ketua DPRD Majene
dan Ketua MSI Cabang Sulbar ini sangat mendukung rencana ini. Meski ia adalah
warga Sendana Majene tapi baginya, Husni Djamaluddin adalah sosok yang bukan
saja milik Tinambung Polman, tapi milik Mandar, Sulbar bahkan milik Indonesia.
Husni
Djamaluddin memang sosok yang begitu dicintai oleh keluarga dan sahabatnya,
baik waktu beliau masih hidup maupun saat beliau telah tiada. Inilah karomah
yang dimiliki oleh sosok Husni. Ia mungkin bukan sosok Tosalama’ sekelas Imam
Lapeo, tapi melihar rekam jejak dan warisannya buat Mandar, penulis bahkan
melihat maqam Husni Djamaluddin tak jauh beda dengan derajat yang dimiliki oleh
Imam Lapeo. Sejak beliau hidup sampai 12 tahun meninggalnya, Husni masih terus
dibincang dan ditulis. Dan hari ini, Rumah Budayanya justru akan membuatnya
akan lebih abadi, seabadi dengan nama Tosalama Imam Lapeo.
Forum yang
membincang Husni Djamaluddin yang berlangsung sampai adzan magrib ini sekana
tak terasa. Acara yang maksyuk semaksuk puisi Husni yang dibacakan oleh Bakri
Latief. Bakri Latief yang terkenal dengan puisi “Puaji” dan “Tokke”nya ini meminta kepada forum untuk
membaca dua buah puisi Husni Djamaluddin. Puisi pertama yang dibacakan oleh
Bakri Latief adalah Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku ? dilanjutkan dengan
puisi Kemerdekaan Yang Kurindukan. Puisi yang menghentak dan mengasah
keindonesiaan kita untuk lebih dalam lagi menyelami Indonesia dalam diri Husni
Djamaluddin.
Husni memang
tak salah jika kemudian Malaqbiq terus kita lisankan, sebab mendiang Husni
Djamaluddin memang tidak mengusung siri’
anna lokko’ menjadi ikon provinsi yang diperjuangkan disisa-sisa umurnya
yang mulai senja. Sulbar bahkan menjadi ajang wisuda pada tingkat paling tinggi
dalam jenjang pencariannya. Malaqbiq ia jadikan nisan sejarah bagi hidupnya,
hingga tak berlebihan jika malaqbiq itu diusung sesungguhnya adalah sebuah
rahasia Tuhan bahwa malaqbiq sesungguhnya adalah ketika mampu mengedifikasi nilai-nilai
yang diajarkan Husni pada generasi berikutnya.
Jika
kemudian Aksan Djalaluddin berkeluh kesah tentang terkikisnya nilai-nilai
malaqbiq itu dalam keseharian kita hari ini, tidak lantas harus menjadikan kita
pesimis. Bahwa kenyataan hari ini pemerintah, DPRD dan rakyat kita belum bisa
malaqbiq juga tidak harus menjadikan mereka sebagai pihak yang terhukumi sebagai
tau-tau, aluppas tau, tau asu, asu tau, sebagaimana yang dituturkan Abdul
Muttalib (Ketua Flamboyant), sebab nilai atauan tentu masih ada dan akan terus
ada dalam lembar sejarah peradaban kita. Mungkin iya, baqgo dan sandeq telah
terserabut dari akar sejarah dan budaya kita, mungkin juga kita kalah sebab butta panrita lopi justru bersemayam di
Bulukumba. Sangat boleh jadi kita tergerus dan tergilas zaman sebab pantai
menolak lautnya dengan keberadaan tanggul. Tapi ada hal yang lebih penting
untuk kita benahi, yaitu membangun kultur, bukan mengukuhkan struktur.
Dan hari
ini, Rumah Budaya Husni Djamaluddin itu telah terbuka, pintu dan segala
ruangnya terbuka untuk menjadi wadah menyusun jaring laba-laba peradaban yang
sasarnnya tentu harus melahirkan kembali generasi-generasi bertagline Husni The Next !. Keberadaan Yundini dan
Ketua DPRD Majene adalah aktualisasi diri bahwa kedepan, kesempatan untuk
berbenah masih terbuka. Tak ada yang harus kita urai panang kali lebar, sebab
nilai-nilai malaqbiq tak akan mampu
kita urai dalam meteran-meteran fisik. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana
mengeja kembali bahasa Husni Djamaluddin yang mengatakan Apa itu Mandar? Iyau Tomandar !. (Bersambung)