Selasa, 12 Maret 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (02)


Puasa Bukan Akademi Fantasi

Puasa seringkali dijadikan semacam perlombaan, kita memang dituntut untuk berlomba kepada kebaikan bukan berlomba memamerkan kebaikan-kebaikan kita selama bulan ramadhan. Bersaing memperlihatkan ibadah akan menggeser tujuan puasa yang sebenarnya. Orang yang berpuasa adalah orang yang melakukan pengkhidmatan secara total kepada Tuhan namun memamerkan ibadah akan menggeser pelayanan kita kepada Tuhan menjadi pelayanan kepada diri sendiri (hawa nafsu).

Puasa itu adalah latihan untuk menekan ego tapi malah semakin memperkuatnya. Puasa itu dilakukan secara "imanan wahtisaban" keimanan dan ketulusan bukan lomba pameran amal seperti halnya akademi fantasi yang mengukur kelebihan kita dilihat dari banyaknya polling sms. Semacam ini termasuk dalam sabda Nabi, hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Puasa adalah berhijrah dari rumah ego menuju tamunya Allah, artinya ego harus dibuang karena yang ada hanya Allah semata.

Menjadikan puasa seperti halnya akademi fantasi berarti dalam diri ada sifat ujub (berbangga diri) yang kemudian diekspresikan dengan sifat riya serta keangkuhan. Berbangga diri berarti menganggap dirinya hebat sementara riya membutuhkan penilaian positif dari orang lain.

 Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ خَرَجُواْ مِن دِيَٰرِهِم بَطَرًا وَرِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيطٞ
"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (riya) serta menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Allah meliputi segala yang mereka kerjakan." (QS. Al-Anfal 8: Ayat 47)

Riya berarti orang yang mencari pendapatan dengan menjual agama, perkataan manis tapi hati srigala, menghendaki amalnya bukan untuk Allah tetapi untuk dirinya sendiri, amalnya tersesat, karena diperuntukan untuk orang lain agar mendapat balasan (minimal balasan pujian), orang yang riya berarti orang yang badannya sehat tetapi hatinya sakit, dan riya juga salah satu bentuk kesyirikan.
Ali bin Abi Thalib berkata:

إِعلَمُوْا أَن يَسِيرَالرِيَاء شِركٌ
"Ketahuilah, sesungguhnya ringan (kecil) nya riya itu adalah syirik."

Deteksi riya dilihat dari tiga tanda, yaitu senang melakukan kebaikan jika dilihat manusia lain, malas apabila sendirian, dan selalu ingin dipuji dengam semua pekerjaannya. Jelas dalam puasa mengajarkan untuk tidak beramal secara riya. Shalat memiliki gerakan, sedekah dan lainnya yang sangat berpotensi seseorang bisa riya tetapi puasa tidak memiliki gerakan sama sekali tidak bisa secara terang-terangan dilihat oleh seseorang. Riya dalam puasa bisa diketahui kalau yang sedang berpuasa menyampaikannya secara lisan. 

Begitu banyak orang yang sengaja melakukan perkumpulan di bulan puasa hanya untuk bergosip, memang anggota badan yang satu ini (lidah) tidak pernah lelah bergerak. Lisan ini selain tidak pernah lelah juga satu kalimatnya mampu menyakiti ribuan orang. Berpuasa berarti ikut memenjarakan lidah dari ketergelincirannya. Ia lebih sulit dilakukan dari pada puasa. Seseorang bisa saja seharian tidak makan, tidak minum, tidak jima' tetapi akan sangat berat dilakukan jika kita juga dituntut untuk tidak bicara seharian. Al-Fudhail berkata: "Tidaklah haji, puasa, doa, dan ijtihad lebih sulit dari pada menahan lisan.". Mereka yang akhlaknya telah diterpa oleh ramadhan akan senantiasa berbicara yang diridhoi. Renungan: sudah berapa kali kita berbicara dengan orang lain? Apakah kata-kata yang kita keluarkan tidak menyakiti lawan bicara kita? Cukup dua ini saja sebagai bahan renungan untuk kita semua.

Dalam kitab Matius 6: 16-18 Nabi Isa pernah memperingati para pengikutnya: "Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Dan apabila kamu berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan oleh hanya Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya."

Dalam hadits juga disebutkan: "Tidak boleh ada rasa riya saat berpuasa." Senada Al-Hafizh Ibnu Hajar juga pernah menjelaskan dalam Kitab al-'Umru; 31 dan 32: "Ibadah puasa memang tidak bisa disusupi oleh riya perbuatan, namun bisa disusupi riya perkataan, misalnya saat ia mengabarkan bahwa ia sedang berpuasa." Allah mengatakan dalam hadits Qudsinya: "Puasa itu milik-Ku" bisa diartikan bahwa yang berhak mengetahui puasa kita hanyalah Dia semata. Ibadah puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya, tidak boleh disusupi riya di dalamnya.

Begitu hati-hatinya terkait riya, Hasan Al-Bashri berkata: "Jika seseorang hadir dalam sebuah majelis lalu air matanya meleleh maka hendaklah ia menghapusnya dan jika dia khawatir air matanya tidak mampu ditahan, maka beranjaklah."  Terakhir, Fudhail bin Iyadh berkata: "Meninggalkan suatu amalan demi manusia adalah riya, dan beramal demi manusia adalah syirik. Hanya keikhlasan yang menbuatmu dimaafkan oleh Allah dari dua hal tersebut."

Jadi beramal untuk Allah dengan mengupayakan untuk ikhlas agar betul-betul ibadah puasa kita hanya untuk Allah bukan untuk yang lain ssbagaimana Allah pernah berkata: Puasa ini untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya." Adalah jelas bahwa puasa itu harus ikhlas karena Allah sendiri tidak menyebutkan seperti apa jenis balasannya nanti dan kedua puasa untuk-Nya bukan untuk orang lain bahkan bukan untuk diri sendiri bagi orang yang sedang berpuasa. Wallahu a'lam bissowab.

Doa hari kedua

اَللَّهُمَ قَرّ ِ بْنِيْ فِيْهِ اِلَى مَرْضَاتِكَ وَجَنَّبْنِي فِيْهِ مِنْ سَخَطِكَ وَنَقِمَاتِكَ وَوَفِّقْنِي فِيْهِ لِقِرآئَةِ اَيَاتِكَ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Artinya : Ya Allah! Mohon dekatkanlah aku kepada keridhaan-MU dan jauhkanlah aku dari kemurkaan serta alasan-MU. Mohon berilah aku kemampuan untuk membaca ayat-ayat-MU dengan rahmat-MU, Wahai Maha Pengasih dari semua yang Pengasih.'

Usman Suil