Kamis, 04 April 2024

USMAN SUIL || RENUNGAN RAMADHAN (25)


Jamaah Medsosiyyah

Adanya internet menandakan kehidupan surga semakin terbayang. Bayankan! Belum bangkit dari tempat tidur pun di pagi hari kita sudah kebanjiran informasi. Notifikasi dari grub WhatsApp, pemberirahuan dari aplikasi Facebook, iklan-iklan di Tik-tok, berita-berita terbaru dari Instagram dan twitter, line, Youtube dan masih banyak aplikasi-aplikasi lainnya yang memuat banyak informasi.

Harus diakui kalau hari ini, di zaman sekarang. Kebanjiran informasi sangat membludak. Kita bisa dapatkan informasi lebih banyak dari yang kita butuhkan. Entah informasi itu berupa propaganda, hoax, iklan, fake news yang bisa saja membuat kita tergoda untuk mengghibah, menfitnah, dan juga menjadi pelaku penyebar hoax dan semacamnya.

Tidak semua informasi yang kita dapatkan dari media sosial itu berguna bahkan lebih banyak informasi sampahan. Layaknya sampah, kita harus pandai memilih sampah-sampah yang bisa didaur ulang. Tidak menyaring sebelum sharing membuat hanyut kebanjiran sampah informasi dan ikut menjadi sampah.

Diakui memang, dengan adanya internet dan informasi yang serba cepat bak kilat petir menyambar membuat kita jadi lebih mudah berinteraksi, bisa mengetahui lebih banyak hal. Misalnya tidak tau jalan tinggal tanyakan ke Google Maps, mau makan tapi malas masak tinggal buka aplikasi ojek online, mau belanja tinggal buka aplikasi shoppie dan masih banyak aplikasi lainnya. 

Semuanya serba dimudahkan, mungkin bisa dikatakan zaman modern adalah gambaran kecil dari hidup di surga. Semuanya sudah serba instan tanpa menguras tenaga. Terlepas dari itu, dibalik kemudahan ada juga sisi buruknya. Contoh paling rillnya, dengan ikut jamaah medsosiyyah akan membantu kita mendekatkan yang jauh pada saat yang sama menjauhkan yang dekat. Kita sibuk bermain di dunia maya tapi melupakan dunia nyata di sekitar kita. Kelihatannya fisik brrsama dengan orang lain tapi ruh entah kemana. Saya menyebutnya ada tapi tidak hadir.

Begitu banyak berita yang belum jelas kebenarannya, mengundang banyak prasangka. Dengan gadget seorang lebih mudah mendatangkan prasangka, dulu dari mulut kemulut orang baru bisa bergosip tapi sekarang cukup dengan jari kita sudah mampu bergosip dan memperluas seluas luasnya. Dulu, mulutmu adalah harimaumu, sekarang jarimu adalah harimaumu.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞ ۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتًا فَكَرِهۡتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 12)

Sadar atau tidak, menjadi jamaah medsosiyyah sangat besar kemungkinanya menjadi pelaku timbulnya banyak prasangka bahkan kita sudah menjadi mata-mata media sosial untuk menyebarkan berita-berita hoax, berita-berita yang mengandung keburukan orang lain. Hal ini rentang terjadi karena adanya gadget yang smart tapi pemilikmya tidak smart. Mungkin bagusnya sekali-kali kita ritual puasa medsos setidaknya sedikit mengurangi prasangka kita kepada berita-berita yang tidak terlalu berguna.

"Kelak akan ada banyak kekacauan dimana didalamnya orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik daripada yang berusaha (dalam fitnah). Siapa yang menghadapi kekacauan tersebut maka hendaknya dia menghindarimya dan siapa yang mendapati tempat kembali atau tempat berlindung darinya maka hendaknya dia berlindung." (HR Bukhari Muslim). Wallahu a'lam bisshowab.

Doa Hari ke 25

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مُحِبًّا لِأَوْلِيَائِكَ وَ مُعَادِيًا لأَعْدَائِكَ مُسْتَنّا بِسُنَّةِ خَاتَمِ أَنْبِيَائِكَ يَا عَاصِمَ قُلُوْبِ النَّبِيِّيْنَ

Artinya :

”Ya Allah, jadikanlah aku di bulan ini lebih mencintai para wali-Mu dan memusuhi musuh-musuh-Mu. Jadikanlah aku pengikut sunnah Nabi penutup-Mu. Wahai yang menjaga hati para nabi.

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 1)

BUNYI MANDAR ITU APA? (Bagian 1)
(Loa Dalam Makna Ganda)
Oleh: Sahabuddin Mahganna

Syuman Saeha menggelitik dengan pertanyaan, lalu saya menjadikan judul di atas, ini menarik. Mandar yang boleh jadi melakukan atas dasar aksi, melakukan tindakan, atau gerakan spekulatif, lalu menjadi nyata dan serius dalam menjalaninya, sebagai percobaan untuk menemukan sebuah kehidupan. Aksi dalam hal ini bukan dipahami atau dibatasi pada bentuk permainan dan pertunjukan saja, melainkan tindak atau laku secara langsung, terbuka dan terpercaya. Aksi-aksi itu kemudian nyata hingga menemukan kebenaran.

Ketika pendahulu Mandar melakukan ekspedisi, membuka lahan baru dan mencoba untuk menerapkan tata nilai dan aturan, kemudian disepakati sebagai jalan untuk menentukan sikap orang Mandar. Tentu saya akan mengarah atau melibatkan orang dalam memahami bunyi Mandar, meski ini sangat rumit menjelaskan dan sedikit dilema. Pelibatan dalam hal ini, orangnya yang berbunyi, begitupun jika menaruh kata-di-“jelas menadai wilayah”. Siapa orang Mandar? dan di mana wilayahnya? Jika ada orang Mandar menempati suatu wilayah maka tentu punya bahasa.

Busrah Basir ditemani dengan rekannya Bustan Basir, telah menafsir bahasa Mandar adalah suatu bunyi, dalam tulisnya secara teknis merujuk pada catatan Kridalaksana dalam Abdul Chaer (2003), bahwa bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Lanjut ia tambahkan bahwa bunyi tersebut dapat bersumber pada gesekan atau benturan benda-benda, alat suara pada binatang dan manusia, namun menurutnya terjadi pengklasifikasian terhadap bunyi, bahwa yang terjadi pada manusia atau lambing bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dan jika tidak dihasilkan dalam ucap pada manusia, bukan kategori bunyi bahasa. 

Kalimat-kalimat dalam bahasa Mandar yang diucapkan kadang kita temukan bermakna ganda, sebut saja ketika tinjauannya berada pada dua pernyataan pragmatik oleh George Yule (1996), bahwa pragmatik adalah suatu kajian bahasa yang berkenaan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi atau tidaknya yang dikomunikasikan, kemudian yang kedua bahwa pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterence), yang menggumuli makna yang terikat oleh konteks (konteks-Dependent). Dari pragmatik ini, seakan bunyi orang Mandar adalah bunyi berbau sikap dan sifat. 

Tindak tutur orang Mandar dalam Lokusi yakni tindak tutur yang dilakukan untuk melakukan sesuatu, merupakan makna dasar dari tindak tutur tersebut (The Act Of Saying Something). Sebagai contoh Mammisi Uwai ( Air ini Manis) tidak ada maksud apa-apa sekadar menyatakan sesuatu itu. Kemudian Ilokusi berkata sesuatu, atau mengatakan sesuatu, sekaligus menindakkan sesuatu (The Act Doing Something). Pada kaitan ini, boleh jadi kalimat “Nawwatomitia ri’e pelloana to Mandar” adalah bahasa yang bermakna (Ini Bunyi Orang Mandar) sementara kata (Loa/Pau) dan lakunya orang Mandar adalah Kebenaran.

Pandangan ini, ilokusi tidak semata melihat loa atau Pau sebagai ucapan dalam arti secara langsung, melainkan sebagai pemaknaan atau bunyi tak terlihat, atau hanya pendengaran yang mampu menangkapnya kemudian menelaah apa maksud perkataan itu. Sementara dalam audio, manusia harus puas pada kepentingan rasa, sama ketika meninjau kebenaran sikap dan sifat, sasarannya kembali kepada rasa. Dan dengan pendekatan rasa inilah, memahami loa secara ilokusi sebagai sesuatu yang abstrak. Loa dalam pandangan sikap dan sifat, itu sangat tergantung pada bunyi lontaran, tidak bisa diterjemahkan atau dimengerti secara langsung, namun rasalah yang menentukan, sehingga boleh jadi pemahaman loa secara ilokusi dalam kalimat “nawwatomi tia ri’e pelloanan to Mandar”, ketentuannya merujuk pada perlakukan sikap dan sifat yang lurus, sama seperti Loa atau bunyi yang tak pernah ditemukan kebohongannya. (bersambung)