Sabtu, 17 September 2016

Catatan Kebudayaan: GERAKAN INDONESIA MEMBACA DAN KAMPUNG LITERASI: Membangun Sinergitas Kaum Literat dengan Lingkungan (Bagian 2)

Oleh: Muhammad Munir

Membincang Literasi, adalah membincang Balanipa dan Tinambung. Pernyataan ini mungkin mengandung nilai subyektifitas yang tinggi. Tapi jika mau jujur, jauh sebelum kata literasi semakin populer dikalangan masyarakat kita dengan menjamurnya kegiatan literasi yang tidak saja ada di kampong-kampung tapi sekaligus menjadi menu tontonan di beberapa stasiun TV yang tentunya menjadi objek persaingan dalam dunia pertelevisian khususnya perebutan rating. Tak salah memang jika dunia literasi menjadi isu nasional bahkan mendunia, namun harus diimbangi dengan upaya menciptakan lingkungan literasi yang kondusif guna melahirkan generasi literat yang ideal dengan mensinergikan literasi anak, keluarga, sekolah dan masyarakat. Tidak semua harus berfikir untuk bisa diliput dan tampil di TV, pun tak bisa hanya berfikir mendulang dukungan dan donasi untuk mendapatkan keuntungan.

Salah satu item acara dalam Pencanangan GIM dan Kampung Literasi di Desa Bala Kec. Balanipa adalah SEMINAR LITERASI yang menghadirkan pembicara nasional Dr. Firman Venayaksa (Ketua Forum TBM RI), Adi Arwan Alimin, Cerpenis yang juga Komisioner KPU Sulawesi Barat serta Bustan Basir Maras, penulis produktif yang juga Chief Editor Annora Media Group Jogyakarta. Hasil Seminar menunjukkan bahwa GIM ini adalah cara untuk mendorong keluarga terlibat secara dominan dalam penguatan literasi terhadap anak. Seminar yang mendapuk Tammalele sebagai moderator ini memgungkap beberapa hasil riset yang menunjukkan bahwa umumnya anak mulai belajar membaca dan menulis dari orang tua di rumah. Mereka akan membaca jika orang tuanya member contoh. Jika orang tua membaca, besar kemungkinan seorang anak akan ikut membaca meski tanpa disuruh. Anak sebenarnya sudah bisa dirangsang untuk gemar membaca bahkan kata Bustan Basir Maras, ketika masih dalam kandungan ibunya. Riset juga menunjukan bahwa wanita hamil yang sering membacakan buku bagi janinnya yang dikandung cenderung melahirkan anak gemar membaca.

Hasil seminar nantinya akan menjadi acuan untuk rekomendasi ke pemerintah agar program PLS (Pendidikan Luar Sekolah) lebih fokus membidik penggiat literasi dalam menyelenggarakan proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Anak usia dini juga hendaknya digarap lebih serius untuk meningkatkan minat baca anak. Mungkin bisa diwali dengan kegiatan reading aloud atau membaca nyaring. Hal ini bisa mengganti kegiatan mendongeng sebelum tidur yang sudah menjadi tradisi orang tua di masyarakat kita sejak dulu. Seorang ibu juga bisa menumbuhkan kegemaran membaca anaknya dengan mengajak anak melakukan kegiatan yang melibatkan aktivitas membaca seperti membaca resep masakan, sering menulis pesan buat anak dan meminta balasan tertulis, serta meminta anak meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Kegiatan ini adalah langkah awal peralihan dari budaya orasi melalui dongeng ke budaya membaca (buka link: iproudbemuslim.blogspot.co.id/).

Jika dunia literasi dan kaum literat kita di Mandar semakin memahami makna kedalaman kata literasi, besar kemungkinan kita akan menjumpai daerah kita kembali menjadi pusat peradaban besar sebagaimana yang mampu diraih oleh peradaban Passokkorang (Tahun 1300-1400), Balanipa, Sendana, Banggae dan Pamboang (1750-1870). Kerajaan Passokkorang adalah salah satu kerajaan  yang berhasil menarik minat penduduk dunia khususnya Cina untuk menyuplai hasil industry keramik mereka. Termasuk Passokkorang juga menjadi salah satu kerajaan selain Palopo yang paling banyak menyuplai pasokan besi ke kerajaan Majapahit. Demikian juga di pesisir pantai wilayah konfederasi Pitu Baqbana Binanga pada sekitar tahun 1750-1870 berhasil menjadi pusat niaga, pusat perdagangan dunia dengan tersedianya beberapa pelabuhan yang ramai dikunjungi para saudagar, termasuk Belanda yang ikut menjajah dan menguasai daerah ini pada puncaknya dimulai pada tahun 1900-an.
Runtuhnya beberapa kerajaan besar yang berdaulat pada masa lalu itu lebih disebabkan oleh kurangnya perhatian masyarakat pada dunia literasi sehingga generasi setelahnya menjadi generasi yang bodoh dan gampang diadu domba oleh Belanda.. Keruntuhan peradaban besar di Mandar itu tentu saja bukan dipengaruhi oleh kondisi lemahnya masyarakat Mandar secara ekonomi. Justru daerah kita pada saat itu menjadi pusat perekonomian dunia, khususnya komoditas Kopi dan Kelapa (kopra) atau bokaq. Pada tahun 1819 perdagangan dunia mulai mapan. Singapura adalah pusat perdagangan dunia. Orang Mandar sebelumnya telah banyak melakukan transaksi penjualan disana. Itu bisa dilihat dari catatan lontaraq tentang Pattumasik (orang Mandar yang berlayar untuk berdagang ke Singapura). Dengan kata lain, Mandar pada tahun-tahun itu telah terlibat dalam perdagangan internasional. Dan sekitar tahun 1850, perdagangan antara orang Mandar dengan orang Eropa juga  mulai marak.

Menurut catatan Belanda, seperti yang dikutip oleh Muhammad Ridwan Alimuddinpada tahun 1860, jumlah pohon kelapa di Sulawesi Selatan sekitar 407.279 pohon (Mandar 16.502 pohon). Dan berkembang pesat pada 1875, di saat pohon kelapa mencapai 755.500 pohon.
Perdagangan dunia semakin marak semenjak dibukanya terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Kemudian booming perdagangan kopi pada tahun 1870. Pada tahun yang sama, para maraqdia di Mandar mengadakan perjanjian politik dengan Hindia-Belanda yang membuat Belanda juga bisa seenaknya membeli kopra dari pekebun Mandar dengan harga yang sangat rendah dan hanya orang Belanda-lah (VOC) yang boleh membeli kopra. Di pihak lain, para pedagang (umumnya dari kalangan bangsawan sendiri) mengetahui harga kopra sangat tinggi di Singapura.


Catatn sejarah dalam lontaraq tersebut mengambarkan betapa masyarakat kita yang saat itu menguasai perdagangan dunia harus jatuh dalam kungkungan penjajah Belanda itu lebih disebabkan oleh kurangnya samangat literasi dikalangan pemerintahan yang otomatis membuat masyarakat hanya berfikir bagaimana bisa menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa pernah mempertimbangkan kualitas kemampuan mereka untuk bersaing dengan para pendatang dari Negara luar yang saat itu banyak berdatangan di wilayah Mandar. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar