Sabtu, 14 Januari 2017

CATATAN WAKTU LUANG : KATA, KOTA & KAMPUNG


Catatan : Muhammad Rahmat Muchtar

Kota dan kampung atau desa masing-masing memiliki pengaruh kuat bagi para pencipta karya sebagai sumber inspirasi yang kaya, unik serta istimewa dalam melahirkan karyanya lewat sastra, seni rupa, teater, tari, musik dll.
Bagi yang pernah mengalami pengembaraan berkarya didua wilayah (suasana kota & desa), magma pengalaman kreatifitas yang terkandung dan sudah bercampur tentu mempunyai ragam pijak melahirkan karya yang tergantung pada dimensi pengalaman apa karya itu terlahir. Pengalaman spiritual, memori serta gesekan sosial yang dalam disuatu tempat akan sangat berpengaruh untuk melahirkan suatu kata misal : pematang, savana dari latar desa, atau urban, gedung dari latar kota. Betulkah?
Dalam arena sastra, saya teringat Mas Imam Budi Santoso saat diskusi sastra lingkaran kecil di Omah Panggung Nitiprayan , Jogja 2005 lalu. beliau mengkurasi puisi-puisi saya dengan tajam bahwa, mestinya Rahmat lebih kuat menggali ikon-ikon laut dan Sulawesi terutama Mandar sebagai kekuatan kearifan lokal dan latar belakang yang membayangi proses pra Jogja. Itu berarti bahwa saya belum menemukan kondisi puisi yang matang terhadap penyerapan ruang sewajarnya dari pandangan latar tolakan berkarya dimaksud mas Imam..?
Pendalaman proses selanjutnya, saya merasa tidak bisa terpaksa untuk terlibat total merayakan cuaca kampung halaman, desa, etnisitas kedalam nafas karya, meskipun selama ini tidak sepenuhnya meninggalkan aikonik tersebut. Baik dalam lukisan maupun puisi. Bisa jadi karena nurani dan ladang kejujuran terhadap suatu kesan dan problem didalam diri berkarya sulit dibohongi & terasa ada yang malu dikedalaman jiwa kita bila hanya sekedar seolah-olah. tempaan waktu akan memboboti & menggiringnya.
Dulu saya masih keras batu akan upaya pengerucutan warna identitas pada sebuah karya (terlebih pada pemilihan symbol, majas & kata pada kondisi wilayah). Meski beberapa kenyataan telah naik daun diarena nasional seperti penyair D. Zawawi Imron sebagai salah satu penyair yang menetap didesa batang-batang, Madura. Majas dan ikonnya sangat kental bernuansa desa dan suasana dikampungnya. Seperti kata dan kalimat dalam puisinya : Nyiur, Madura Akulah Darahmu, Bantalku Ombak Selimutku Angin, Nyanyian Kampung Halaman dlsb.
Demikian karya “Abad yang Berlari” dengan suasana urban kota oleh “Afrizal Malna” yang meski berdarah Minang tapi lahir diJakarta.
Kata teman-teman lainnya, gimana nuansanya kita membuat puisi dengan memilih kata “SALJU” padahal kita sendiri tak pernah menikmatinya. Yaaah… itulah karya puisi dengan rasa, pandangan & pembelaannya masing-masing.
By. Mat, Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar