Sabtu, 14 Januari 2017

ABDULLAH RASYID : Anak Kampung yang Tak Kampungan (Bagian 1)

Abdullah Rasyid


Sejauh 19 kilometer bukanlah penghalang bagi Abdullah Rasyid. Di masa silam ia harus rela berjalan kaki untuk sampai di kota Pinrang karena satu hasrat: melanjutkan sekolah. Hanya berbekal beberapa liter beras yang kerap dibawanya dari kampung tiap akhir pekan mudik, toh niatnya tak pernah urung untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Dari dasar “universitas kesulitan” dimasa kecil inilah yang mengantarnya gemilang di pendidikan, hingga bisa sarjana dengan predikat Cumlaud. Dulu, begitu terjal jalan hidupnya. Tapi tekad untuk maju selalu menafasi langkahnya. Dan sang anak desa itu telah mengitari tanah Eropa dan lalu menemukan takdirnya sebagai Bupati Mamuju Utara yang pertama bersama Ir. Agus Ambo Djiwa yang mendampinginya sebagai Wakil Bupati. Keduanya di nobatkan menjadi Bupati dan Wakil Bupati Mamuju Utara yang pertama pada tahun 2005-2010.
Di sebuah desa yang jauh dari kota Pinrang, Kabupaten Pinrang, lahirlah seorang bocah yang bernama Abdullah Rasyid. Disuatu sore menjelang malam, tepat pada hari jumat, 15 Juli 1959. Terlahir dari seorang petani yang bernama H. Abdul Rasyid yang dipercaya oleh masyarakat sekitarnya sebagai Imam Masjid di desanya. Ia menjadi imam lebih dari 20 tahun. Ayahnya berasal dari keluarga besar di Pinrang bagian barat. Sedangkan ibunya berasal dari rumpun keluarga Pinrang bagian utara, bahkan sampai Kabupatn Polewali Mandar dan Majene.
Dimasa kecil Abdullah, ia memang senang berkelompok. Ia kerap mempengaruhi teman-teman sebayanya untuk aktif bermain olahraga dan mengingatkan mereka agar membantu orang tua masing-masing di sawah atau pun di kebun. Semasa kecil ia sangat ingin tahu segala hal, dan kemndiriannya sudah mulai Nampak. Inilah yang menandakan bahwa dalam diri Abdullah Rasyid telah tertanam jiwa dan talenta kepemimpinan.
Abdullah adalah anak tertua dari 8 orang bersaudara. Ketika ia menginjak kelas 3 Sekolah Rakyat (SR), ayahnya harus berpindah rumah ke kota karena mempersunting lagi seorang dara Pinrang. Sementara ibunya, selain sedih karena tak siap dimadu, ia juga dipusing memikirkan siapa yang akan bekerja menghidupi keluarga besarnya. Kondisi inilah yang memaksa Abdullah selain menjadi kakak bagi adik-adiknya ia juga sekaligus menggantikan peran ayahnya mencari nafkah sehari-hari dalam keluarga. Inilah cara Abdullah untuk membuat ibunya kembali bersemangat mengarungi kehidupannya.
Masa-masa sulit dan kelabu itu bertepatan dengan pasukan 710 mengadakan piutang pengadaan militer. Dan Pasukan 721 ada disitu. Ketika 710 kalah, Abdullah sempat mendapat sepucuk senjata namun ia buang karena takut mendapat masalah. Terlebih saat itu, ia mendengar kabar bahwa anak laki-laki yang genap berusia 10 tahun akan ditembak mati oleh 710. Ayah Abdullah Rasyid dikenal sebagai tokoh yang jika ada orang yang mau ditembak oleh 710, selalu member saran kepada 710 agar orang tersebut lebih baik disuruh bekerja kebun untuk kepentingan 710.
Ayah Abdullah Rasyid juga sangat memperhatikan pendidikan anaknya, sehingga Abdullah Rasyid disuruh sekolah ke kota sebab pada saat itu, sekolah rakyat di desanya masih dakam bentuk kelas jauh. Untuk ke kota, Abdullah Rasyid harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki sejauh 10 km, itupun baru sampai di jalan raya. Abdullah kemudian melanjutkan lagi perjalanan sepanjang 3 km untuk sampai di tempat yang dituju. Dengan modal surat pindah sekolahnya di desa, ia diterima sekolah di SD Negeri Pinrang.
Abdullah Rasyid memulai kehidupan barunya di kota untuk bersekolah. Setiaphari sabtu ia harus pulang ke kampung untuk mengambil bekal, beras dll. Sebuah rutinitas yang sungguh sangat melelahkan, belum lagi di perjalanan harus memburu waktu agar tiba dibawah jam 19.00 malam, sebab kadang muncul pasukan gerombolan yang juga mengancam jiwanya. Kondisi itu harus membuatnya berlari untuk bisa kejar waktu tidak sampai kemalaman tiba di kampungnya. Rupanya kebiasaannya berlari saat pulang kampung setiap sabtu ini membuatnya menjadi seorang yang jago dalam lomba lari. 
Ia tamat SD pada tahun 1966 bertepatan dengan masa-masa gentingnya Negara akibat pemberontakan G.30 S/PKI. Kembali ia mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikannya di tingkat SMP. Meski tak direstui oleh orang tuanya dengan alasan ekonomi. Abdullah Rasyid tidak perduli, ia tetap ngotot untuk bisa lanjut sekolah. SMP Negeri 1 Pinrang kembali menjadi saksi atas sejarah seorang Abdullah Rasyid yang penuh semangat dan optimisme meraih masa depannya. Berjalan dan berlari masih menjadi rutinitasnya, belum lagi ia harus terbiasa dengan kekurangan bahan makanan, sebab tidak sama pada saat di SD, ia bisa setiap sabtu mengambil beras di kampungnya. Sekarang sudah tidak bisa lagi sebab gerombolan semakin merajalela dan bisa mengancam jiwanya jika kepergok dengan kawanan tersebut.
Kelas dua SMP, ayahnya berusaha membelikan sepeda untuknya. Ia memang anak yang piawai dan cerdas . Selain menjadi ketua kelas, ia bahkan menjadi ketua ikatan pelajar NU Kabupaten Pinrang. Memimpin rapat adalah kebiasaan bagi Abdullah Rasyid. Kelas 3 SMP, ia semakin menguatkan tekadnya untuk mulai menetapkan impian dan cita-citanya menjadi sarjana hukum. Pilihanya jadi sarjana hukum adalah agar  bisa membela orang kecil. Terlebih ia kerap menyaksikan ayahnya dan masyarakat sekampungnya dianiaya oleh gerombolan bersenjata. Abdullah bahkan sudh mengenal dunia demonstrasi melaui wadah OSIS dan Ikatan Pelajar NU yang dipimpinnya. Rumah yang ia tempati di kota sering dipenuhi oleh teman-temannya. Ia pun tak lagi bergantung seratus persen pada orang tuanya.
Usai SMP, ia lagi-lagi tak menyerah pada keadaan. SMA Negeri 1 Pinrang harus menjadi bagian dari hari-harinya dalam proses pengembangan diri Abdullah Rasyid. Meski sekolah ini masih berstatus 710, karena jam 7 pagi masuk belajar, jam 10 sudah pulang. Ini terjadi karena terbatasnya guru yang bisa mengajar. Abdullah Rasyid terpilih lagi menjadi ketua kelas dan sekretaris OSIS. Ia bahkan terpilih menjadi siswa teladan di tingkat kabupaten Pinrang dan mewakili Pinrang ke tingkat provinsi Sulawesi Selatan. Keunggulannya dilahat dari pelajaran dan aktifitasnya di sekolah.
Pada saat kelas 2 SMA, ia terpilih menjadi wakil Paskibraka Kabupaten Pinrang dan di Makassar ia bergabung dengan 23 orang perwakilan dari kabupaten lain. Dalam barisan itu, ia tergabung dalam pasukan delapan pada posisi penarik bendera Merah Putih saat upacara peringatan 17 Agustus 1945 yang diperingati setiap tahun. Yang memegang bendera saat itu adalah Baharuddin Baso (kelak menjadi Bupati Jeneponto). Sehabis mengikiuti kegiatan Paskibraka ini, Abdullah Rasyid terlecut jiwanya untuk bisa merambah kota besar dan berkeinginan untuk bisa lanjut SMA kelas 3 di Makassar.
Tekad dan juga nekad ia tempuh, sebab pindah ke Makassar tanpa member tahu orang tuanya di kampung. Tapi demi mengejar cita-citanya, Abdullah Rasyid menikmati semua itu. Di Makassar ia menumpang tinggal di rumah seorang tentara. Esoknya ia mengayuh sepedanya menuju SMA 1 Negeri Makassar, tapi disana tak lagi menerima siswa pindahan. Ia lanjut ke SMA 2, disana juga sudah tak menerima. Akhirnya ia diterima di SMA Negeri 3 Makassar dengan persyaratan ia harus rela memotong rambutnya yang gonrong saat itu.
Awal mengikuti pelajaran di sekolah, ia amat canggung dan minder. Hal ini disebabkan ia tak terlalu lancer berbahasa Indonesia, sebab ketika di SD sampai SMP di Pinrang jarang ada siswa yang menggunakan bahasa Indonesia. Ia kemudian menyesuaikan diri dan kembali dipercaya menjadi ketua kelas. Pada saat aktif belajar, orang tuanya di kampung baru tahu kalau ia tak lagi tinggal di Pinrang. Ayah ibunya hanya bisa kirim beras ke Makassar, sebab saat itu uang adalah benda yang sangat sulit bagi masyarakat kampung. Abdullah Rasyid menyiasati hidup dan biaya sekolahnya dengan memanfaatkan waktu malamnya di pasar terong Makassar. Di sana ia kerap menjadi kuli panggul untuk membongkar muatan mobil truk sampai selesai.
Saat tamat SMA, sebetulnya ia ingin lanjut sekolah di AKABRI sebab ia sangat akrab dengan Kamaruddin Patimbang (Mantan Kapolres Pinrang yang saat itu menjabat Kadapol (kini Kapolda) Sulawesi Selatan Tenggara. Kebetulan anak dari Kamaruddin ini pernah mewakili Kabupaten Pinrang saat menjadi siswa teladan mewakili siswi/perempuan.
Kadapol Sulselra ini megajak Abdullah Rasyid untuk mendaftar di AKABRI Kepolisisan dan dijamin lulus. Tapi ia lebih memilih AKABRI Angkatan Udara meski tak ada jaminan untuk lulus. Ia tetap mendaftar di AKABRI Angkatan Udara meski kemudian ia harus gagal karena ada salah satu giginya yang berlubang dan ia cabut, padahal gigi berlubang itu cukup ditempel saja. Tapi bukan Abdullah Rasyid namanya kalau tak punya plan lain dalam merancang masa depannya. Gagal di AKABRI, ia mendaftar di perguruan tinggi. Ia mendaftar di Universitas Hasanuddin dan lulus di Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian. 
Memasuki dunia kampus adalah tahapan aktif yang begitu berarti bagi Abdullah Rasyid. Ia tak hanya diperkenalkan pada pelajaran ilmiah yang kian meningkat, nalarnyapun sudah mulai tajam. Ia sudah mengenal logika komunikasi berfikir tingkat atas. Ia semakin menemukan kreatifitas retorika dan banyak menemukan kawan-kawan muda yang menonjol dengan pelbagai latar belakang hidup. Ia jjuga sudah mulai memperkenalkan diri dan mengenal seluk beluk organisasi pada level yanh sesungguhnya. Sudah memahami arah sebuah gerakan yang terorganisir. Disinilah dubut awal organisasi Abdullah Rasyid mulai dituliskan.
HMI adalah pilihannya sebab UNHAS pada waktu itu adalah salah satu kampiun HMI. HMI adalah wadah kemahasiswaan yang bernuansa Islam, yang pada tahun 1960-an dan 1970-an menjadi tempat pengkaderan awal tumbuhnya pemimpin-pemimpin bangsa, setelah satu atau dua-bahkan tiga dekade berikutnya. Abdullah Rasyid benar-benar mengikuti dan menikmati proses. Di tingkat II ia tercatat dalam jajaran pengurus inti senat mahasiswa, bahkan pernah menjabat Sekretaris Jendral Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian, UNHAS. Pada tingkat III sudah masuk dalam pengurus inti Dewan Mahasiswa (DEMA), ia juga pernah menjabat sebagai ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) fakultas, semacam lembaga legislative mahasiswa.
Untuk kian mematangkan pemikirannya, ia mengikuti LK-2 (intermedit) HMI yang diadakan di Bontolempangang, Sekretariat HMI Cabang Ujungpandang yang saat itu HM. Daeng Patompo menjabat sebagai Walikota Ujungpandang. Dalam pengembangan kelembagaan internal kampus, ia tercatat sebagai salah satu peserta LKM (Latihan Kepemimpinan Mahasiswa) se-universitas angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa UNHAS. Nama-nama lain seperti, Marwah Daud Ibrahim, Andi Mattalatta, Tadjuddin N. Said juga tercatat dalam pelatihan ini.
Ketika Pemilu pertama Orde baru, 1971 lahir Golkar bentukan penguasa Orde baru. Pentolan-pentolan kampus sangat diminati oleh Golkar untuk menjadi penyokong kemenangan  dalam pemilu. Tapi Abdullah Rasyid justru memilih dan tertarik pada wadah yang merupakan afiliasi dari partai-partai tertentu selain Golkar. Ia bergabung dalam pergerakan Pemuda Anshor dan masuk IPNU Makassar. Abdullah Rasyid kian dikenal publik. Sepedanya mulai berganti dengan motor. Kegiatannya semakin bertumpuk dan tentu sudah bisa ia jalani semuanya. Ia juga sudah bisa menyambangi semua teman-temannya yang tersebar di kota Makassar.
            Perubahan demi perubahan terus terlakonkan dan didalamnya ada Abdullah Rasyid, sosok muda yang tunduk pada hokum alam yang melingkupinya. Setelah beberapa tahun kuliah, tibalah masanya Kuliah Kerja Nyata (KKN), salah satu prasyarat penting sebelum seorang mahasiswa mengakhiri sebuah perkuliahan secara formal, lulus sebagai sarjana.
            Saat itu, 1979 Abdullah Rasyid ditempatkan di Kabupaten Bone dan disana ia dipercaya sebagai Korcam. Pengalaman dalam KKNnya itu sangat berkesan karena banyaknya problem yang dihadapi oleh pemerintah di Kabupaten Bone. Pembangunan yang semrawut, bahkan tuntutan harus jalan sementara pengendali pembangunan kurang begitu siap dengan realitas. Yang ada. Abdullah Rasyid dkk harus terlibat langsung merancang pembangunan. Mereka dengan begitu sigap membantu pemerintah daerah melakukan apa saja demi pembangunan masyarakat kabupaten itu. Intinya, banyak hal yang mereka kerjakan.
            Usai KKN di Bone rupanya bertepatan dengan penerimaan pegawai negeri sipil. Hal ini sejalan dengan keluarnya Keppres Nomor 4 Tahun 1980 yang salah satu itemnya adalah akan dibentuk Badan Perencanaan Pembangunan yang akan diadakan di daerah kabupaten/kota. Dengan begitu, tentu pemerintah membutuhkan pegawai yang tak sedikit termasuk di Sulawesi Selatan. Abdullah Rasyid termasuk salah satu yang lulus dan ditempatkan di kantor Gubernur Sulawesi Selatan. (Bersambung)
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar