Andi Kube Dauda[1]
lahir di Sengkang, Wajo. Ia masuk sekolah dasar di kampung
kelahirannya sampai menjelang naik ke kelas 6. Ia pindah ke Makassar dan
tinggal dirumah pamannya. Setamat SD ia melanjutkan sekolahnya di SMP Nasional
Makassar, dilanjutkan ke SMA katolik di Surabaya, Jawa Timur.
Selesai SMA ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Airlangga,
Surabaya, tapi tak sampai satu tahun sebab kesulitan biaya kuliah. Kiriman dari
orang tuanya di kampong tak lagi bisa ia harapkan sebab di Sulawesi Selatan
saat itu sedang terjadi pergolakan besar yang digerakkan oleh Kahar Muzakkar.
Jangankan biaya kuliah, untuk biaya hidup di Surabaya saja sudah sangat silit.
Untuk menyiasati
kesulitan biaya hidup, ia akhirnya memilih bekerja di sebuah perusahaan
Watras-Wajo Trading System Compeny milik orang Wajo di Surabaya. Ia bekerja
selama empat tahun dan setelah merasa kondisi keuangannya mulai membaik, ia
kemudian melanjutkan kuliahnya, namun lagi-lagi tak sampai selesai.
Pada tahun 1958 orang
tuanya di Sengkang memanggilnya untuk pulang kampung. Di Wajo ia diangkat jadi
pegawai negeri sipil. Menjadi PNS membuatnya selalu berfikir untuk bisa
melanjutkan kuliahnya. Dan kesempatan itu datang setelah bekerja di Pemda Wajo.
Ia mendapatkan tawaran beasiswa untuk jurusan Sospol. Kendati sebenarnya ia
menginginkan untuk bisa kuliah mengambil jurusan kedokteran atau teknik. Hanya
satu pilihan, menerima beasiswa berarti harus mengambil jurusan Sospol.
Begitulah ketentuan dari peluang beasiswa tersebut, sehinga ia harus
rela memilih kuliah di Fakultas Sospol UNHAS Makassar pada tahun 1963. Selama
di kampus, ia sempat menjadi Ketua Senat
Fakultas Sospol UNHAS dan menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI)
komisariat Sospol. Ia selesaikan dulu diploma tiga di Sospol. Usai sarjana
muda, ia tak langsung pulang ke Wajo sebab di kampus ia dipercaya menjadi
asisten dosen sekaligus lanjut kuliah hingga sarjana lengkap. Selesai sarjana
lengkapnya, pihak kampus menawarkan bea siswa S2 ke Amerika Serikat, namun ia
tolak karena statusnya sekolah adalah tugas belajar dari Pemkab Wajo. Ia
kembali ke Sengkang dan langsung menduduki jabatan Kepala Bagian Hukum Pemkab
Wajo (1971).
Menjadi Kepala Bagian hanya satu setengah tahun dan dipindahkan menjabat
Kepala Bagian Umum. Saat Pemilu pertama Orde Baru sudah mulai mendekat, ia
kemudian dipercaya sebagai Sekretaris PEMILU 1971. Dengan berbagai pengalaman
dibeberapa tempat itulah sehingga ia dipercaya untuk menjabat sebagai Sekda
Kabupaten Barru pada tahun 1974-1979.
Dari Barru ia ditarik ke kantor Gubernur Sulsel sebagai Kepala Biro
Pemerintahan Umum Pemprov. Sulawesi Selatan. Disana ia hanya bekerja 8
bulansebab pada tahun 1985, DPRD Kab. Bulukumba memilihnya sebagai Buapti
Bulukumba untuk periode 1985-1990. Selesai di Bulukumba ia langsung menjabat
sebagai Buapti Polmas setelah HS. Mengga memerintah selama 10 tahun (1980-1990).
Ia datang ke Polmas betul-betul menjadikannya sebagai orang asing.
Betapa tidak, selain ia harus bekerja dilingkungan orang-orang yang tak
mengenalnya, sehingga kondisi ini membuatnya harus bekerja keras untuk
memperkenalkan dirinya dimana-mana tak terkecuali masyarakat di pantai dan
pegunungan. Dan dalam setiap kesempatan ia selalu menyampaikan bahwa
kedatangannya ke Polmas hanya semata-mata mengemban tugas pelaksanaan
pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.
Kinerja 6 bulan di tahun pertama Andi Kube di Polman adalah membenahi
birokrasi. Ia memperkenalkan paradigm baru hakekat birokrasi sebagai pelayan
masyarakat banyak. Tahun kedua mulailah ia menyentuh program-program
pembangunan yang lebih berwawasan kepentingan public langsung. Termasuk
pengembangan pendidikan dengan cara
banyak mengunjungi sekolah-sekolah untuk menyampaikan ide-ide pengembangan SDM.
Cetusannya yang paling terkenal di periodenya adalah “ Tarrare diallo tammatindo dibongi
mappikkirri atuwoanna pa’banua”. Inilah yang kerapia sampaikan ketika
memimpin apel pagi di kantor daerah Polewali Mamasa, termasuk juga ketika
berada di masyarakat yang ia kunjungi.
Dalam lingkungan birokrasinya, ada empat doktrin yang ia sangat
tekankan, Pertama, haruspercaya pada diri sendiri. Kedua, harus punya
keberanian. Ketiga, harus menguasai bidangnya dan mengembangkan apa yang
menjadi tugasnya. Keempat, kreatif dan tidak hanya menunggu perintah atasan.
Inti dari keempat doktrin tersebut adalah kemandirian, kreativitas, keberanian
dan professional.
“Lakukan saja, kalau ada yang salah nanti saya yang bertanggung jawab.
Yang penting dalam melaksanakan tugas punya itikad baik”. Demikian ia
menekankan pada pegawainya. Sebab yang terpenting baginya adalah bagaimana
masyarakat bisa sejahtera dan mandiri.
Selama menjadi Bupati di Polmas, ia sadar betul bahwa orang Mandar jika
mau berhsil memimpinnya bukan dengan kekerasan. Sebab jika yang digunakan
adalah kekerasan maka orang Mandar bisa lebih keras lagi responnya terhadap
sikap keras yang kita nampakkan padanya.
Kesadaran itulah yang mendorongnya untuk memenage birokrasinya, sehingga
yang diutamakan adalah sikap kekeluargaan. Sikap kekeluargaan itu ia tampakkan
dengan panggilan “Andik”[2]
dan jika ada masyarakat yang mau menghadap ke rumah jabatan, maka ia akan lebih
dahulu keluar untuk menjemput para tamunya.
Demikianlah Andi Kube Dauda menjalani hari-harinya sebagai Bupati di
Polmas. Bagai pedati yang terus berputar. Hingga mendekati akhir masa
jabatannya. Namun sebuah keberuntungan dalam menjalankan tugasnya, sebab
jabatan sebagai bupati berakhir Maret 1995, namun jabatan itu baru
diserahterimakan pada bulan Agustus. Jadi ia menjalani tugas sebagai Bupati
lebih dari 5 tahun.
Selepas menjadi Bupati Polmas, ia pensiun betul di rumahnya Jl. Bau
Mangga 13 Makassar. Namun yang mengusiknya adalah dorongan untuk terus belajar
dan menambah ilmu pengetahuannya. Hal ini yang membuatnya memilih melanjutkan
pendidikan S2-nya dan setelah selesai ia
dipercaya menjadi dosen di STIA-LAN kerjasama UNHAS, Makassar. Di lingkungan
kampus kembali ia menemukan kebahagiaan sebab bisa bertemu dengan banyak orang
dengan berbagai latar belakang dan jenjang pendidikan.
Kebahagiaan lain yang juga sangat ia syukuri adalah karena delapan orang
buah cintanya dengan Hj. Faridah (istrinya yang telah mendahuluinya menghadap
sang khalik pada 1994) kini sudah sibuk dengan dunianya masing-masing, ada yang
jadi birokrat, ada militer, dan ada yang masih kuliah tingkat doctoral.
Sepeninggal istrinya Hj. Faridah, ia memilih melabuhkan hati dan
berkeluh kesah kepada seorang perempuan karir, Hj. Andi Syamsiah yang bekerja
sebagai Hakim di Pengadilan Agama Kota Makassar. Wanita inilah yang menjadi
pendamping hidupnya sejak 1994.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar