Sabtu, 14 Januari 2017

ANDI KUBE DAUDA : Pencetus Slogan Tarrare di Allo Tammatindo di Bongi


            Andi Kube Dauda[1] lahir di Sengkang, Wajo. Ia masuk sekolah dasar di kampung kelahirannya sampai menjelang naik ke kelas 6. Ia pindah ke Makassar dan tinggal dirumah pamannya. Setamat SD ia melanjutkan sekolahnya di SMP Nasional Makassar, dilanjutkan ke SMA katolik di Surabaya, Jawa Timur.
           
Selesai SMA ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Airlangga, Surabaya, tapi tak sampai satu tahun sebab kesulitan biaya kuliah. Kiriman dari orang tuanya di kampong tak lagi bisa ia harapkan sebab di Sulawesi Selatan saat itu sedang terjadi pergolakan besar yang digerakkan oleh Kahar Muzakkar. Jangankan biaya kuliah, untuk biaya hidup di Surabaya saja sudah sangat silit.

            Untuk menyiasati kesulitan biaya hidup, ia akhirnya memilih bekerja di sebuah perusahaan Watras-Wajo Trading System Compeny milik orang Wajo di Surabaya. Ia bekerja selama empat tahun dan setelah merasa kondisi keuangannya mulai membaik, ia kemudian melanjutkan kuliahnya, namun lagi-lagi tak sampai selesai.

            Pada tahun 1958 orang tuanya di Sengkang memanggilnya untuk pulang kampung. Di Wajo ia diangkat jadi pegawai negeri sipil. Menjadi PNS membuatnya selalu berfikir untuk bisa melanjutkan kuliahnya. Dan kesempatan itu datang setelah bekerja di Pemda Wajo. Ia mendapatkan tawaran beasiswa untuk jurusan Sospol. Kendati sebenarnya ia menginginkan untuk bisa kuliah mengambil jurusan kedokteran atau teknik. Hanya satu pilihan, menerima beasiswa berarti harus mengambil jurusan Sospol.

Begitulah ketentuan dari peluang beasiswa tersebut, sehinga ia harus rela memilih kuliah di Fakultas Sospol UNHAS Makassar pada tahun 1963. Selama di kampus,  ia sempat menjadi Ketua Senat Fakultas Sospol UNHAS dan menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) komisariat Sospol. Ia selesaikan dulu diploma tiga di Sospol. Usai sarjana muda, ia tak langsung pulang ke Wajo sebab di kampus ia dipercaya menjadi asisten dosen sekaligus lanjut kuliah hingga sarjana lengkap. Selesai sarjana lengkapnya, pihak kampus menawarkan bea siswa S2 ke Amerika Serikat, namun ia tolak karena statusnya sekolah adalah tugas belajar dari Pemkab Wajo. Ia kembali ke Sengkang dan langsung menduduki jabatan Kepala Bagian Hukum Pemkab Wajo (1971).

Menjadi Kepala Bagian hanya satu setengah tahun dan dipindahkan menjabat Kepala Bagian Umum. Saat Pemilu pertama Orde Baru sudah mulai mendekat, ia kemudian dipercaya sebagai Sekretaris PEMILU 1971. Dengan berbagai pengalaman dibeberapa tempat itulah sehingga ia dipercaya untuk menjabat sebagai Sekda Kabupaten Barru pada tahun 1974-1979.

Dari Barru ia ditarik ke kantor Gubernur Sulsel sebagai Kepala Biro Pemerintahan Umum Pemprov. Sulawesi Selatan. Disana ia hanya bekerja 8 bulansebab pada tahun 1985, DPRD Kab. Bulukumba memilihnya sebagai Buapti Bulukumba untuk periode 1985-1990. Selesai di Bulukumba ia langsung menjabat sebagai Buapti Polmas setelah HS. Mengga memerintah selama 10 tahun (1980-1990).

Ia datang ke Polmas betul-betul menjadikannya sebagai orang asing. Betapa tidak, selain ia harus bekerja dilingkungan orang-orang yang tak mengenalnya, sehingga kondisi ini membuatnya harus bekerja keras untuk memperkenalkan dirinya dimana-mana tak terkecuali masyarakat di pantai dan pegunungan. Dan dalam setiap kesempatan ia selalu menyampaikan bahwa kedatangannya ke Polmas hanya semata-mata mengemban tugas pelaksanaan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.

Kinerja 6 bulan di tahun pertama Andi Kube di Polman adalah membenahi birokrasi. Ia memperkenalkan paradigm baru hakekat birokrasi sebagai pelayan masyarakat banyak. Tahun kedua mulailah ia menyentuh program-program pembangunan yang lebih berwawasan kepentingan public langsung. Termasuk pengembangan pendidikan  dengan cara banyak mengunjungi sekolah-sekolah untuk menyampaikan ide-ide pengembangan SDM.

Cetusannya yang paling terkenal di periodenya adalah “ Tarrare diallo tammatindo dibongi mappikkirri atuwoanna pa’banua”. Inilah yang kerapia sampaikan ketika memimpin apel pagi di kantor daerah Polewali Mamasa, termasuk juga ketika berada di masyarakat yang ia kunjungi.

Dalam lingkungan birokrasinya, ada empat doktrin yang ia sangat tekankan, Pertama, haruspercaya pada diri sendiri. Kedua, harus punya keberanian. Ketiga, harus menguasai bidangnya dan mengembangkan apa yang menjadi tugasnya. Keempat, kreatif dan tidak hanya menunggu perintah atasan. Inti dari keempat doktrin tersebut adalah kemandirian, kreativitas, keberanian dan professional.

“Lakukan saja, kalau ada yang salah nanti saya yang bertanggung jawab. Yang penting dalam melaksanakan tugas punya itikad baik”. Demikian ia menekankan pada pegawainya. Sebab yang terpenting baginya adalah bagaimana masyarakat bisa sejahtera dan mandiri.

Selama menjadi Bupati di Polmas, ia sadar betul bahwa orang Mandar jika mau berhsil memimpinnya bukan dengan kekerasan. Sebab jika yang digunakan adalah kekerasan maka orang Mandar bisa lebih keras lagi responnya terhadap sikap keras yang kita nampakkan padanya.

Kesadaran itulah yang mendorongnya untuk memenage birokrasinya, sehingga yang diutamakan adalah sikap kekeluargaan. Sikap kekeluargaan itu ia tampakkan dengan panggilan “Andik”[2] dan jika ada masyarakat yang mau menghadap ke rumah jabatan, maka ia akan lebih dahulu keluar untuk menjemput para tamunya.

Demikianlah Andi Kube Dauda menjalani hari-harinya sebagai Bupati di Polmas. Bagai pedati yang terus berputar. Hingga mendekati akhir masa jabatannya. Namun sebuah keberuntungan dalam menjalankan tugasnya, sebab jabatan sebagai bupati berakhir Maret 1995, namun jabatan itu baru diserahterimakan pada bulan Agustus. Jadi ia menjalani tugas sebagai Bupati lebih dari 5 tahun.

Selepas menjadi Bupati Polmas, ia pensiun betul di rumahnya Jl. Bau Mangga 13 Makassar. Namun yang mengusiknya adalah dorongan untuk terus belajar dan menambah ilmu pengetahuannya. Hal ini yang membuatnya memilih melanjutkan pendidikan S2-nya dan setelah selesai ia  dipercaya menjadi dosen di STIA-LAN kerjasama UNHAS, Makassar. Di lingkungan kampus kembali ia menemukan kebahagiaan sebab bisa bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang dan jenjang pendidikan.

Kebahagiaan lain yang juga sangat ia syukuri adalah karena delapan orang buah cintanya dengan Hj. Faridah (istrinya yang telah mendahuluinya menghadap sang khalik pada 1994) kini sudah sibuk dengan dunianya masing-masing, ada yang jadi birokrat, ada militer, dan ada yang masih kuliah tingkat doctoral.

Sepeninggal istrinya Hj. Faridah, ia memilih melabuhkan hati dan berkeluh kesah kepada seorang perempuan karir, Hj. Andi Syamsiah yang bekerja sebagai Hakim di Pengadilan Agama Kota Makassar. Wanita inilah yang menjadi pendamping hidupnya sejak 1994.[3]




[1] Bupati Polewali Mandar ke-4 periode 1990-1995
[2] Sapaan akrab yang sepada dengan kata dinda atau adik.
[3] Sarman Sahuding, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar