Sabtu, 14 Januari 2017

ORANG MANDAR PELAUT ULUNG : Dari Orang Mandar Orang Laut Ke Orang Mandar Pelaut Ulung(Bagian Pertama)



Tulisan ini adalah Makalah yang disampaikan oleh Drs. Darmansyah, Ketua MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Sulbar pada Kongres Nasional Sejarah X di Jakarta pada tanggal 7-10 November 2016:

A.   Pendahuluan

Makalah ini pada mulanya berjudul “Orang Mandar Orang Laut”, namun dengan beberapa pertimbangan maka dilakukan penyempurnaan. Berdasar pada  abstrak makalah yang diajukan ke panitia Kongres Nasional  Sejarah X  dan telah dinyatakan lolos seleksi berdasarkan berita acara nomor : 2912/E5/LL/2016, maka makalah ini lebih tepat diberi judul “Orang Mandar Pelaut Ulung – Suatu Tinjauan Historis“. Makalah ini akan disampaikan kepada panitia kongres paling lambat 15 Oktober 2016 dan akan dipresentasikan di Jakarta pada tanggal 5 – 7 Nopember 2016.

Membincang kehidupan bahari, maka tidaklah tepat jika tidak melibatkan cerita tentang pelaut Mandar. Nenek moyang orang Mandar yang dimitoskan selama ini berasal dari langit dan digelar dengan sebutan “Tomanurung”, menurut hemat penulis merupakan kejumudan berpikir generasi Mandar. Penulis berpendapat bahwa Tomanurung, baik Tokombong di bura (orang yang muncul dari busa air) maupun Tobisse di tallang (Orang yang tenggelam lalu muncul dari pecahan bambu) dan Tonisesse’ di Tingalor (orang yang didapat dari perut ikan merah) proses kehadirannya/kedatangannya semuanya berasal dari laut. Begitu juga tokoh legendaris, bapak orang Mandar, Pongkapadang yang berasal dari daratan Ulu Salu  (hulu sungai) yang mempersunting Torije’ne’. Torije’ne’, secara harfiah terdiri dari dua kata; To berarti orang dan Ri-je’ne’ berarti dari air laut. Torije’ne’ adalah seorang perempuan yang menurut hikayat terbawa oleh air bah ke sebuah daratan (Landa Banua) dan ditemukan oleh Pongkapadang di atas perahu yang berukuran kecil yang disebut “Olang Mesa“. Perahu Olang Mesa, terbuat dari sebatang kayu golondongan yang dikeruk menjadi perahu yang bentuknya menyerupai lesung. Olang Mesa inilah  menjadi cikal bakal lahirnya perahu tradisonal Mandar, yaitu “Pakur dan Sande’“. Untuk mengabadikan perahu tradisional “Olang Mesa” ini di tanah Mandar (wilayah Provinsi Sulawesi Barat), Pemerintah Daerah Kabupaten Majene telah menetapkan Olang Mesa sebagai logo daerah melalui Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene No. 3  Tahun 1979 Tentang Lambang Daerah.

Latar belakang perjumpaan nenek moyang orang Mandar di atas, kelak di kemudian hari (1000 tahun kemudian) menginspirasi terbentuknya Negara konfederasi Mandar yang lebih populer dengan sebutan Pitu Ba’ba Binanga dan Pitu Ulu Salu (tujuh kerajaan di darat dan tujuh kerajaan Maritim di pesisir) yang terdiri dari:
a.  Kerajaan maritim, yang meliputi: 1) Kerajaan Balanipa, 2) Kerajaan sendana, 3) Kerajaan Banggae, 4) Kerajaan Pambuang, 5) Kerajaan Tappalang, 6) Kerajaan Mamuju, 7) Kerajaan Binuang.
b. Kerajaan di hulu sungai, yang meliputi : 1)Kerajaan Tabulahan, 2) Kerajaan Rattebulahang, 3) Kerajaan Aralle, 4) Kerajaan Bambang, 5) Kerajaan Tabang, 6) Kerajaan Mambi , 7) Kerajaan Matangnga.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika penulis berpendapat bahwa jauh sebelum naskah sumpah pemuda dicetuskan 28 oktober 1928, Negara konfederasi Mandar sudah menerapkan konsep “Tanah dan Air”. Air yang dimaksud tentulah tujuh Kerajaan Maritim di pesisir Mandar, yang panjang pantainya kurang lebih 600 km, memanjang dari utara ke selatan. Dan tanah yang dimaksud adalah tujuh Kerajaan di Hulu Sungai (Pegunungan Mandar).

Bukti dalam sejarah yang menunjukkan bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung ialah orang Mandar telah menjadikan lautan sebagai lahan kehidupan. Orang Mandar umumnya hidup dari hasil laut karena kondisi alamnya di daratan tidak menguntungkan (kurang subur), juga pemukiman penduduk berjejer - berderet berhadapan langsung dengan laut lepas. Itulah yang membuat orang-orang Mandar menjadi pelaut, baik sebagai saudagar antar pulau maupun sebagai nelayan (penangkap ikan di laut).

 Bukti sejarah lain yang menunjukkan kepada khalayak bahwa orang Mandar sangat akrab dengan kehidupan laut adalah terciptanya sebuah teknologi tradisional yang disebut “rumpon”. Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang ramah lingkungan, dipasang di laut dalam maupun di laut dangkal. Rumpon dibuat untuk mengundang gerombolan ikan agar datang bernaung/berlindung sehingga memudahkan nelayan dalam menangkap ikan. Teknologi rumpon diduga pertama kali diciptakan dan dikembangkan oleh nelayan Mandar, demikian pendapat Dr. Horts Leibner, seorang peneliti dari Jerman. Dalam  penelitiannya menyebutkan bahwa nelayan Mandarlah yang menciptakan dan menyebarkan teknologi rumpon ini ke berbagai daerah di Nusantara.

Di Mandar sudah berkembang pemakaian rumpon sebagai alat penangkap ikan sejak abad ke-17 Masehi. Rumpon berasal dari bahasa Mandar, dari kata roppong atau rappang yang berarti rumput. Dalam sejarahnya, pada zaman dahulu, di pesisir pantai atau alam laut teluk Mandar, berserakan rumput yang dibawa oleh air sungai, begitu juga rumput kiriman dari pulau Kalimantan. Rumput yang berserakan berupa daun kelapa, daun pisang, pohon bambu, batang pohon bakau, tongkol batang nipa, dan lain sebagainya. Rumput yang berserakan dijadikan ikan sebagai tempat bernaung dan itulah yang menginspirasi nelayan Mandar dalam menemukan/menciptakan rumpon fish aggregating device (FAD).

Menurut Baharuddin Lopa, roppo (rumpon) yang dipasang pada zaman pemerintahan tradisional, dijadikan sebagai batas daerah teritorial laut dari kerajaan. Roppo (rumpon) yang dipasang di tengah pada  wilayah laut yang mencapai kedalaman 200 – 1.800 meter misalnya merupakan batas wilayah yang masuk dalam hukum tentang landasan continental (tebing dasar laut). Sementara roppo yang dipasang jauh melewati tengah laut sudah berada pada zona ekonomi ekslusif (ZEE).

Orang yang pertama kali menciptakan roppo dan sande’ tidak diketahui secara pasti. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, akan ditemukan dalam catatan sejarah bahwa ada seorang raja di Mandar yang digelar Tomissawe di Mangiwang dan Tomatindo di Balitung (Raja Sendana), beliau telah banyak melanglang buana ke berbagai negeri di Nusantara dengan menggunakan perahu sande’. Raja ini telah menjadikan pelabuhan Pulau Taimanu’ di Palipi Sendana sebagai bandar niaga kala itu. Beliaulah yang mendatangkan bibit pohon jati yang diperoleh dari Bangka Belitung. Hamparan pohon kayu jati yang berpuluh-puluh hektar sebagai amal jariah  Tomatindo di Balitung, dapat kita temukan di wilayah bekas pusat Kerajaan Sendana, di bukit Podang.

Asbabunnuzul rumpon di Mandar, juga menginspirasi raja Tomatindo di Balitung melahirkan falsafah bagi para pemimpin di Mandar yang mengatakan bahwa seorang mara’dia (raja) hendaknya menjadi roppo (pelindung) bagi rakyat yang dipimpinnya. Seorang raja, ibarat pohon yang hanyut di lautan (rumpon), di bawahnya ada rakyat yang sedang berlindung dan bernaung. Falsafah itu lengkapnya sebagai berikut : ”I’o dziting bunga kodza’ dao melo’ nisullu’ moa’ tania to mamea gambana. To mameapa gambana tamma’ topa mangayi, marete’ topa pano pindang dadzanna. Pano pindang di dzadzanna paindo mesa-mesa naindo naung ku’bur meghara-ghara. Ku’bur mo meghara-ghara, lembong memonge-monge’, labuang pio’ - namaccappu’i nyawa
  
Makna harpiah dari falsafah di atas, kurang lebih seperti ini: I’o dziting bunga kodza’. Bunga kodza’ adalah lambang kaum adat di Mandar, kurang lebih sama dengan Bate Salapang di Kerajaan Gowa/Makassar dan Arung PituE bagi kerajaan Bone, Hulu Balang di Kerajaan Melayu. Dao melo’ nisullu’ artinya jangan mencalonkan jadi mara’dia (raja),  moa’ tania to mamea gambana artinya kalau bukan sosok manusia yang memiliki moral, teguh pendirian, konsisten, adil, jujur dan berani di atas kebenaran, (odziadza – odzibiasa), tegas, serta kuat jiwa dan raganya, bijaksana dalam mengambil keputusan untuk kepentingan orang banyak. Tomameapa gambana tamma’ topa mangayi artinya selain tegas, jujur, juga luas dan dalam ilmunya, utamanya ilmu yang menyebabkan takut kepada Allah, memiliki kecerdasan intelektual, memahami kondisi geografis dan demokrafis daerah, memiliki keahlian dalam memimpin serta paham benar tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan.

Memiliki kecerdasan emosional yang dimaksud di atas adalah dapat berbaur dengan rakyat yang dipimpinnya, mengetahui serta merasakan penderitaan rakyat sehingga dapat memberikan pelayanan yang terbaik, hidupnya diabdikan/diwakafkan untuk kepentingan rakyat. Itulah sebabnya sehingga di masyarakat Mandar lahir falsafah yang berbunyi moa’ nitami balimbunganna mara’dia siola se’ i adza, tuomi tau tammate yang arti harpiahnya sebagai berikut jika sudah nampak mata bubungan atap rumah raja dan para pemangku adat, maka harapan hidup sudah terbangun.

Memiliki kecerdasan spiritual maksudnya adalah bahwa seorang pemimpin harus sadar bahwa jabatan yang disandang merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui perwakilannya sappulo sokko’(sepuluh anggota lembaga adat) dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT.

Marete’ topa pano pindang dadzanna artinya memiliki pengalaman yang banyak dalam memimpin organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Seorang pemimpin yang handal bukan karbitan (tania anu nisou maksudnya ibarat pisang yang diperam hingga masak, masak belum waktunya). Pemimpin karbitan dan dipaksakan memimpin meskipun tidak mampu bakal akan menemui masalah hingga pada akhirnya ia akan dipaksa turun atau berhenti dari jabatannya lewat aksi unjuk rasa.

Pano pindang di dzadzanna paindo mesa-mesa maknanya kepemimpinan yang ia miliki terbukti mampu menciptakan keteladanan, ide dan gagasannya cemerlang serta karya-karyanya bersinar, dirasakan, dan bermanfaat bagi orang banyak.

Naindo naung ku’bur menghara-ghara artinya yang terbaik di antara orang pilihan, memiliki idealisme, pikirannya jernih, gagasan dan ide-idenya bersinar (menjadi falsafah) walau pemimpin tersebut sudah berada di liang lahat. Dan pemimpin yang baik adalah mereka yang  berkarya secara ikhlas, tulus, tidak mengharapkan pujian, yang mereka harapkan adalah  amal jariah yang dapat mengalir walau ia sudah tiada.

Ku’bur mo menghara-ghara lembong memonge-monge artinya mereka yang rela mengorbankan jiwa dan raganya, tidak peduli dengan dirinya sendiri, keluarga dan kerabat, serta kelompoknya demi kepentingan orang banyak. Tarrare di tindo, tannasai’ tanggal, tannayappangngi cipur, o nanasurung lewa pa’banua, o nanasurung tumballe’ lita’ maksudnya Tidurnya di malam hari tak nyenyak karena memikirkan rakyat yang tak makan di malam hari. Di siang hari tak kenal lelah, tepat waktu, disiplin, bekerja secara professional demi wilayah yang dipimpinnya.

Lawuang pio’ (Rumpon) namaccappu’ i nyawa artinya rela membela dan melindungi kepentingan kaum marginal, rakyat kecil, demi kesejahteraan masyarakat secara umum walau jiwa jadi taruhannya. Pio’  adalah sejenis ikan kecil yang hidupnya bergerombol, bernaung di bawah pohon besar (roppong) yang terapung di lautan. Itulah pemimpin, ibarat pohon yang hanyut di lautan dijadikan rakyat sebagai tempat  bernaung sehingga kelangsungan hidupnya tidak terancam. Mo siasollor bandangang, siasolli’ mata gayang, sisembe’ kondobulo, siapi’  bulang anna’ lita’, moa’ nitami balimbunganna mara’dia siola seiadza’,  tuomi tau tammate, mapiami takkadzake’ maknanya segala kemelut dan penderitaan rakyat dari berbagai aspek kehidupan, masyarakat tidak perlu khawatir karena kita sudah terlindung dan dinaungi oleh pohon besar yaitu mara’dia/ raja dan kaum hadat (rumpon).

Memaknai falsafah leluhur Mandar di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya Mandar mengharapkan sosok pemimpin yang memiliki idealisme kerakyatan, memiliki moral force yang tangguh serta rasa optimisme yang kuat dalam mencapai  cita-cita luhur seluruh rakyat. Menjelang pemilihan kepala daerah serentak di seluruh Indonesia, penulis menyarankan kepada partai politik dan masyarakat  pada umumnya untuk memilih pemimpin yang ingin menjadi pelindung “roppo” bagi rakyat yang dipimpinnya.

Sejalan dengan falsafah di atas, seorang raja yang terpilih (khususnya di kerajaan Sendana dan Pambuang) dilantik diatas punggung penyu karena penyu memiliki nilai filosofis bagi seorang raja di Mandar. Penyu sebagai simbol bahwa seorang pemimpin yang letak geografisnya berhadapan langsung dengan laut, dituntut memiliki karakter seperti penyu. Penyu, merupakan jenis hewan laut yang dalam bahasa Mandar disebut Pannu.  Filosofis serta makna yang terkandung dalam penyu adalah : 1) Penyu dapat bertahan hidup sampai 500 tahun. Diharapkan raja dapat bertahan lama pada jabatannya dengan mendapat dukungan dari rakyat. 2) Penyu mencari makanan di laut dan bertelur di darat. Ini berarti bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung  yang sumber kehidupannya berada di laut. 3) Penyu itu berpenampilan pendiam tapi ketika mencari makanan di lautan pantang menyerah pada ombak besar. Dan ketika kembali ke darat untuk bertelur, telurnyapun tidak sedikit. Itulah sebabnya orang-orang Mandar dengan gagah berani menyeberangi lautan dengan perahu “Sande’nya”. Begitu juga dengan gagah dan berani mempertaruhkan hidupnya siang dan malam, berminggu-minggu diatas rumpon untuk mencari nafkah pada laut yang dalam. 4) Penyu itu berkulit tebal untuk melindungi tubuhnya dari predator. Diharapkan raja dapat melindungi rakyat dan negerinya dari ancaman luar. Untuk mengenang penyu di Mandar maka diabadikan melalui kue Mandar yang disebut “Tallo’ Pannu”.

Begitu juga perahu sande’ merupakan bukti bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung. Perahu sande’ digunakan sebagai alat transportasi dalam melakukan pelayaran ke berbagai pulau di Nusantara. Perahu tradisional sande’ adalah hasil cipta orang Mandar yang telah diakui sebagai warisan budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dengan nomor registrasi : 154004/B/MPK.A/DO/2014. Perahu tradisional sande’ juga telah terlibat dalam dunia perdagangan maritim dan telah berlayar sampai ke Tumase’ (Singapura = Tumasik).

Dalam pengembaraan niaga orang-orang Mandar, telah banyak menemukan pulau-pulau tak berpenghuni dan mereka mendiaminya. Itulah sebabnya sejak tahun 1930 telah menetap 216 orang dari Afdeling Mandar di Kepulauan Paternoster. Menurut Edwar L. Palenggomang bahwa Kepulauan Paternoster salah satu pulaunya adalah pulau Lerek-lerekkan. Pulau Paternoster, oleh Pemerintah Hindia Belanda telah ditata wilayah pemerintahannya dan menjadi wilayah kekuasan kerajaan Mamuju (onder afdeling Mamuju) yang pusat pemerintahannya berada di Majene. (Bersambung)

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus