Oleh: Muhammad Munir
Rumah Kopi dan Perpustakaan
(Rumpita) Kandemeng kerap secara kebetulan menjadi ruang yang tiba-tiba saja
mengubah takdirnya sebagai aula untuk diskusi budaya. Adalah Tammalele atau
Abdul Mujib alias Prof. Dr. Lamboruso dan atau siapalah. Yang pasti saya
seketika tersedak ketika mendengar sebuah cerita yang kira-kira judulnya adalah
"Bare Lesang" (Pembagian barang ala monyet).
Suatu ketika terjadi kesepakatan
antara kucing dan anjing disebuah halaman rumah Lamboruso. Kesepakatan itu
lahir dari sebuah kondisi yang menyebabkan keduanya harus bekerja sama untuk
mendapatkan makanan. Si Kucing yang lihai memanjat didaulat untuk mendapatkan
seekor ikan asing diatas bate-bate (tempat penyimpanan ikan dan kayu bakar
diatas tungku dapur). Kesepakatan kedua intinya, jika ikan tersebut jatuh
sampai ke tanah, maka ikan tersebut adalah jatah anjing, demikian juga
sebaliknya. Maka dengan penuh optimisme yang tinggi, kucing segera beraksi dan
memanjat sampai keatas bate-bate. Entah karena lompatannya kurang cermat, ikan
yang menjadi targetnya lepas dan jatuh hingga menyentuh tanah.
Jika keduanya konsisten, maka
anjinglah yang mempunyai hak penuh untuk barang yang jatuh ke tanah tersebut.
Tapi Si Kucing mencoba persuasif dan menggoda Si Anjing. Awalnya anjing
bersikukuh untuk mempertahankan dan menganggap Si Kucing tidak konsisten. Namun
lagi-lagi si Kucing berdiplomasi bahwa "Matindoi adaq muaq diang assamaturuang"
(Hukum menjadi gugur ketika terjadi kesepakatan). Karna Kucing tidak menggugat,
maka Si Anjing tergugah untuk berbagi demi menjaga persahabatan keduanya. Maka
kesepakatan keduanya terjadi. Ikan di bagi dua dan pembagiannya mesti imbang.
Masalah kemudian muncul ketika
tiba pada proses menyeimbangkan bagian masing-masing. Dalam kondisi seperti
itu, Monyet (Lesang) datang memberi solusi dengan menawarkan jasa timbangan
(dacing). Keduanya sepakat untuk menerima tawaran Si Monyet. Monyet pasang
wibawa dan menjaga sikap agar Si Anjing dan Si Kucing bisa menerima hasil
pembagian ala monyet. Monyet menimbang ikan untuk pembagian yang adil.. Tentu
saja tidak bisa imbang, karena jasa yang ditawarkan Si Monyet hanya modus
belaka. Si Anjing protes karena takarannya tidak seimbang, demikian juga Si
Kucing.
Solusi yang ditawarkan si Monyet
adalah dengan silih berganti mengambil sedikit demi sedikit ikan yang ada di
timbangan tersebut. Hasilnya selalu tidak seimbang, dan tentu saja monyet
mendapat kesempatan untuk terus mengurangi takaran secara bergantian. Hingga
tanpa sadar, Monyet menghabiskan ikan tersebut.
Cerita ini mungkin tidak menarik,
tapi ada hal yang bisa ditarik sebagai pelajaran dan hikmah tentang methode
"Bare Lesang" yang di negara kita sistem ini bukan hal baru. Saya
tentu tidak harus menjelaskan lagi siapa sebagai apa, tapi siapa melakukan apa
dan sampai pada apa dan siapa yang melakukan. Monyet memang punya takdir yang
lebih beruntung hadir mewarnai berbagai peradaban dunia, karena monyet lahir
sebagai binatang dan manusia menjadikannya sebagai jenis hewan
homosimbolitikum. Tak perlu meneliti fosil monyet sebagai homosimbolitikum,
sebagaimana homosoloensis, homowajakkensis dan homo-homo lainnya.
Cukup hari ini kita baca teori
Charles Darwin yang mengatakan bahwa manusia berasal dari monyet. Sampai
disini, mungkin tak penting buat kita menyerapahi Darwin dengan menarasikan
berbagai sanggahan dalam bentuk hasil penelitian dan karya ilmiah, sebab saya
yakin Darwin-lah monyet itu, dan monyet itu bisa saja dari Darwin. Monyet
sungguh beruntung, punya garis tangan dan guratan dahi yang dipenuhi bulu yang
memang nyaris sebentuk dengan postur manusia. Sepanjang sejarah peradaban
manusia, monyet memang menjadi satwa yang unik, dilindungi habitatnya, dijaga
dan kadang dieksploitasi karena hanya modal topeng, maka model monyet berubah
jadi topeng monyet. Lagi-lagi monyet bisa jadi modal.
Lalu apa rahasia tuhan dengan
melestarikan hewan yang berjenis monyet ini? Entah kebetulan atau apa, yang
pasti pamor monyet menjadi begitu meroket ketika manusia ikut menanggapi
pernyataan Bapak Monyet sedunia (Charles Darwin). Dan hari ini, saya melihat
teori Darwin masih kurang lengkap, sebab ternyata di Indonesia ada monyet dan
manusia yang hampir tak bisa dibedakan antara keduanya. Ada monyet yang
dipelihara oleh manusia, ada manusia yang dijaga monyet, ada manusia yang jadi
monyet, dan ada monyet yang punya kemampuan sama dengan manusia. Lalu apakah
monyet adalah manusia atau manusia adalah monyet? Anggap ini sekedar upaya untuk
memanusiakan monyet tanpa harus memonyetkan manusia, sebab tanpa itu, monyet di
Indonesia tak akan mampu kita hilangkan jejaknya, sebab ia dijaga-dilindungi
oleh manusia. Bahkan tabiat, karakter dan sifat monyet dibudayakan selain
sebagai pembudidaya monyet.
Terkait karakter dan sifat
monyet, secara bentuk dan sifatnya yang serakah, monyet memang sosok yang tepat
dengan tabiat itu. Ketika monyet melihat makanan, ia pasti menjadi yang paling
rakus, mulutnya ia suapi sampai tersumpal, tangan dan kakinya pun penuh dengan
makanan, bahkan melihat temannya dapat makanan, ia sudah pasti menyergap untuk
coba merebut. Itulah monyet, bahkan ketika terpaksa harus membagi makanan,
pembagiannya pasati dengan teori monyet.
Sampai disini, saya minta manusia
jangan marah ketika membaca narasi yang menyandingkan nama monyet dengan
manusia, sebab monyetpun belum tentu terima, bahkan boleh jadi, monyet juga
marah dan menggugat karena malu namanya dicatut dan diserupakan manusia oleh
manusia.
Mengoreksi Koruptor ala Monyet
Monyet mungkin hanya akan menjadi
sejarah sebab Darwin mengapresiasinya. Tapi ketika monyet menjadi jati diri
manusia, maka namanya bukan lagi monyet, tapi ia menjadi koruptor. Koruptor
itulah monyet yang dimaksudkan oleh Charles Darwin. Lihatlah pejabat kita yang
korupsi. Bukankah monyet bisa lebih berharga dari pada para koruptor. Korupsi
yang mendarah daging di Indonesia adalah wujud dari teori evolusi sekaligus
eksploitasi yang melupakan jati diri sebagai manusia. Apakah ketika manusia
menjadi monyet, maka monyet akan bersuka ria? Tidak. Ia mungkin sedih, sebab
hutan-hutan akan dibalak, habitat mereka dihutan tentu punah. Ketika Koruptor
menjadi-jadi, maka musnahlah monyet secara hakiki. Sebab habitatnya punah, jati
dirinyapun diambil alih oleh manusia.
Monyet berdasi itu semakin
menyulitkan, menyulitkan kawanan monyet lain, menggagalkan upaya kita untuk
menempuh jalur bisnis yang lurus, bersih dan jujur. Meski urusan bisa berjalan lancer,
namun budaya saling pengertian bahkan semua bisa diatur sesuai dengan keinginan
dan hawa nafsu. Inilah yang menggurita dan sangat berdampak buruk bagi
individu, masyarakat dan negara. Pelaksanaan tender proyek di instansi pemerintahan misalnya,
seperti proyek pengadaan barang dan jasa, pembangunan, bahkan sampai dengan kasus
PAPA minta SAHAM Freeport dan lain-lain.
Semua akhirnya berjalan tidak
sesuai yang diharapkan dan jauh dari apa yang namanya profesional. Nilai
kontrak dalam pengadaan barang sering kali di mark up atau digelembungkan
terlebih dahulu sesuai dengan kesukaan mereka sebelum dilaksanakan dan
dikerjakan oleh rekanan atau kontraktor. Dan sudah bukan rahasia umum lagi,
bahwa setiap pegawai yang melaksanakan pekerjaan seperti itu akan mendapat
bagian atas tanda tangannya tentunya. Padahal mereka semua sudah mendapatkan
gaji dari pemerintah atau negara. Bagaimana uang seperti itu bisa mengalir
kepada mereka, padahal tidak ada dalam perincian anggaran.
Oh monyet, ini bukan lagi sebatas
teori, yang pasti saat mark up dilakukan, upeti dijalankan, hasil kerja tidak
akan sesuai dengan yang diharapkan dan jauh dari apa yang namanya profesional.
Karena sering kali saling pengertian tersebut ditempuh, secara otomatis akan
menurunkan komponen dan spesifikasi pekerjaan. Meskipun pekerjaan seperti itu,
semua bisa lolos dari unsur pengawasan dan pemeriksaan, semua karena “SALING
PENGERTIAN”
Kini saatnya monyet berdasi itu
dikarantina, direhabilitasi untuk kembali menjadi manusia, sebab jika tidak
bahkan monyetpun akan berdemo, karna hak-hak mereka yang azasi telah dicaplok
oleh manusia. Hentikan teori Bare Lesang !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar