Oleh: Muhammad Munir-Tinambung
Emha Ainun Nadjib
dan Alisjahbana
berhasil melakonkan kesejatiannya mementaskan Mandar tidak saja lewat gumamnya,
tapi sekaligus diteriakkan di rimba belantara kota Jakarta. Tahun 2001 Muhammad
Syariat Tajuddin memegang kendali kepengurusan di generasi keempat. TF terus
mengepakkan sayap dengan membangun jejaring diberbagai penjuru nusantara,
seperti: Bantaya Palu, Yayasan Kelola Solo, Komunitas Musik Puisi Se-Nusantara
via FMPI 2003 dan Artis Network Asia (ANA) yang berkantor di Singapura, juga
tercatat dalam direktori TIM Jakarta sebagai salah satu teater rakyat di
Indonesia. Sampai disini, TF berhasil memperkenalkan manajemen kerja kebudayaan
dan kesenian yang ilmiah dan modern, tanpa mentercerabutkan akar cultural dan
sejarahnya sebagai Terater Rakyat.
Dari Bung Ali,
Emha, Amru, Hamzah Ismail, Evo dan Syariat, TF berhasil melahirkan beragam arus
pemikiran, yang terkadang memilih menjadi oposan dan radikal humanis dalam
kacamata kebudayaan. Utamanya dengan persinggungannya dengan beragam kepentingan politik.
Untuk wilayah satu ini, TF sebagai teater rakyat, justru lebih memilih berdiri
pada garis tak berpijak alias netral (independen). TF lebih memilih hidup
inklusif ditengah-tengah perjumudan dengan masyarakatnya, seraya menggenggam
tekad perjuangan kebudayaan dan kemanusiaan. Dan tetap berupaya melakukan
penambalan-penambalan kegelisahan ditingkat pemula dengan menyulut proses
kerja-kerja kreatif dan metode arus lalu lintas pemikiran kebudayaan ditingkat
yang lebih dewasa (Muhammad Syariat Tajuddin).
Pendek kata, Teater
Flamboyant yang memiliki anggota terdaftar sekitar 50-an ini tetap lahir dan
berada dalam leburan masyarakatnya, bersama bergenggaman dalam membangun
kebudayaan yang lebih manusiawi dan memanusiakan. Kendati tanpa harus lepas dan
tersobek dari realitas kesejatian tradisi masa lalu. Hal ini mudah difahami,
sebab sebagian personilnya, adalah juga bekerja sebagai pedagang, pelajar,
mahasiswa, PNS (guru) bahkan ada juga yang pengangguran yang mentafsir denyut
kehidupan dibopong keatas panggung pementasan. Karena buat teater yang satu
ini, kesenian tidak lantas harus difahami seni untuk seni, tetapi kesenian
adalah upaya melembagakan manusia dalam tatanan estetika kemanusiaan yang
berbudaya dan memahami konteks dan konsep kebudayaannya yang lalu dapat
diejawantahkan dalam ruang kehidupan kehidupan kesenian masyarakatnya.
Sampai pada
generasi keempat ini, TF berhasil dan sukses memanusiakan manusia, terutama
penyelamatan generasi dalam pemahamannya atas kerja kreatif yang lebih santun.
Maka tidak heran, jika dalam beragam lontaran statemen dan kerja kreatifnya TF
selalu memilih untuk hadir sebagai komunitas yang lebih mengedepankan
kebersamaan dan konsep keilahiaan, kemanusiaan dan kebudayaan yang berbudaya. Capaian tersebut tentulah tidak diraih dengan
instant melainkan lahir dari sebuah proses panjang. Bung Alisjahbana adalah
sosok yang tak akan lapuk termakan rayap waktu dari setiap jengkal langkah TF
yang terlakonkan. Ia punya ide dan terobosan yang mungkin hari ini susah dicari
tandingannya tentang obsesinya membangun kepribadian masa depan kampung
kelahirannya. Ia tak pernah kehabisan cara untuk menjadikan Mandarnya dikenal
diluar Sulawesi.
Salah satu cara Alisjahbana membangun mimpi anak-anak asuhannya, sebagaimana
tulisan Hamzah Ismail (Majalah Sastra Sabana, Yogyakarta 2005) adalah dengan mengenalkan
beberapa orang pintarnya Indonesia ke meraka. Salah satunya adalah Emha Ainun
Nadjib. Setiap tulisan Emha Ainun Nadjib yang terbit di Majalah Panjimas dan
Tempo, difotokopi sebanyak mungkin kemudian dibagikan kepada anak-anaknya, lalu
malamnya tulisan itu didiskusikan sampai suntuk. Diam-diam tumbuh rasa cinta
anak-anak muda itu ke Emha Ainun Nadjib. Tidak satupun tulisannya yang
dilewatkan, yang ada di sejumlah media. Diam-diam pula ada desakan dari hati
setiap individu anak-anak muda itu hendak bertemu langsung dengan Emha Ainun
Nadjib, sosok yang mulai dirindukan dalam waktu relatif lama, sekira empat
tahun.
Disadari atau tidak, sosok Emha Ainun Nadjib dalam fikiran yang sangat berperan
mendinamisasi proses berpikir kirtis dan proses kreatif masyarakat Mandar. Cak
Nun jua yang begitu banyak mendatangkan perubahan demi perubahan dalam semua
aspek kehidupan, entah itu politik, ekonomi, sosial budaya dan tentunya dalam
hal agama dan keberagamaan. Bahkan dalam
proses perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat-pun, peran seorang Cak
Nun tak bisa dinafikan. Jembatan yang terus dibangun, jalan-jalan yang makin
diperlebar, mobil ukuran raksasa yang melintas, mengantar pulaukan aneka produk
pertanian di Sulbar hari ini adalah fakta-fakta
sejarah yang pada tahun 1987 telah ia sampaikan dalam berbagai kesempatan
ketika berada di Mandar. (Bersambung).
|
Rabu, 04 Mei 2016
SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 3) “ Alisjahbana dan Kesejatian Mandarnya ”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar