Oleh: Muhammad Munir
Untuk kesekian kalinya, Emha Ainun
Nadjib atau Cak Nun menyambangi Jamaah
Maiyah Mandar, setelah kedatangannya yang terakhir pada tahun 2011 dengan tajuk
Safinatun Najah. Dengan mengusung tema Risalah Cinta di Jazirah Mandar yang
dipusatkan di Lapangan Sepak Bola Pambusuang, 30 April 2016, Cak Nun bersama
Group Shalawat Kyai Kanjeng dan Jaringan Maiyah Nusantara-nya memukau ribuan
penonton yang berduyungan memadati lapangan di Desa Bala Kecamatan Balanipa
tersebut. Hanya butuh beberapa menit setelah shalat isya, jamaah dari latar
belakang yang berbeda-beda hadir dalam pertunjukkan luar biasa, tapi tetap
dengan desain yang biasa. Biasa dalam artian, Cak Nun tidak butuh
dipanggungkan, tidak butuh panggung, tidak mau ada sekat yang menghalanginya
dengan jamaah.
Cak Nun memang punya cirri khas yang mungkin tak akan pernah bisa
dimiliki oleh yang lain. Tampilan khas, siraman rohani diantara ribuan
pengunjung yang lirih bershalawat itu mengalir laksana air sungai Mandar.
Siraman rohani dan lantunan shalawat dari Cak Nun dan Kyai Kanjengnya kadang
menghempas dan mendesir bagai ombal di teluk Mandar. Maka jadilah Cak Nun
suntuk bercengkrama dengan ribuan manusia Mandar hingga jam 00.30 dini hari.
Andai Cak Nun berbicara sampai shubuh, para Jamaah itupun akan tetap setia dan
tak mau beranjak. Masyarakat maksyuk dalam untaian kata yang sungguh memikat,
letupan-letupan, guyonan dan banyolannyapun penuh hikmah. Materi-materi ceramahnya
yang menggugat seakan jamaah tak merasa tergugat, tapi justru menjadi tergugah.
Pokoknya, Cak Nun dalam pandangan penulis memang merupakan salah satu rahmat
Allah yang masih disasakan untuk memanusiakan manusia dan hidup dalam kasih
sayang bersama cinta. Cinta yang universal? Tinggal sekarang, apakah kita
sebagai Mandar hanya memaknai Cak Nun dan ceramahnya sebagai ajang membesarkan
identitas atau menjadi ruang untuk membangun pribadi Mandar masa depan.
Itulah Cak Nun, satu dari jutaan penduduk Indonesia yang menulis banyak
buku tapi tak satupun buku yang pernah ia baca. Ia memiliki jutaan jamaah, tapi
tak pernah ia gunakan jamaahnya untuk mendulang suara pada ajang kontestasi
politik praktis. Mari coba membaca
sedikit riwayat Cak Nun sembari dengan tetap bermunajat kepada Allah. Bahwa
berkomunikasi dengan Allah tak harus jadi Cak Nun, cukup menjadi pengagum Cak
Nun untuk selanjutnya rasa kagum itu bermuara pada kekaguman kita pada Dzat
yang Maha yaitu Allah yang telah melahirkan cintanya kepada kita melalui Cak
Nun. Cak Nun mempunyai nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib adalah
seorang tokoh intelektual
berkebangsaan Indonesia yang
mengusung napas Islami. Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 ini sekaligus sosok yang begitu berjasa bagi
Masyarakat Mandar. Lewat dialah, Mandar kian dikenal secara nasional. Ia bahkan
mengaku sebagai orang Mandar dibeberapa kali kesempatan entah saat tampil dalam aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan
atau di Jamaah Maiyah Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat Yogyakarta, Padhangmbulan
Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandang Ate
Mandar, dan Maiyah Baradah Sidoarjo, serta Obro Ilahi Malang, Hongkong dan
Bali.
Cak Nun
merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir
di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor setelah melakukan ‘demo’ melawan pimpinan
pondok karena sistem pondok yang kurang baik, pada pertengahan tahun ketiga
studinya. Kemudian ia pindah ke Yogyakarta dan tamat
SMA Muhammadiyah I. Istrinya
yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung,
serta penyanyi. Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini
tergabung dalam grup Band Letto.
Cak Nun
bukanlah seorang yang tiba-tiba menjadi seorang tokoh. Ia mempnyai proses
sejarah hidup menginspirasi. Lima tahun ia hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975, belajar sastra kepada guru
yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat
memengaruhi perjalanan Emha. Masa-masa itu, proses kreatifnya dijalani juga
bersama Ebiet G Ade (penyanyi),
Eko Tunas
(cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis). Selain itu ia juga pernah
mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Cak Nun juga pernah terlibat dalam
produksi film RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis
bersama Viva Westi.
Cak
Nun tidak terkait secara formal yang dapat dijadikan alasan akademis maupun
intelektual untuk secara metodologis menyimpulkan adanya hubungan antara
gerakan Jamaah Maiyah yang memperoleh inspirasi, pembimbingan, pengayoman dan
pengajaran dari seorang Cak Nun dengan gagasan-gagasan pemikiran dan ideology
yang berkembang dalam sufisme. Cak Nun secara formal bukan anggota tarekat ataupun
pernah berguru dan menerima ijazah dari seorang Syekh Tarekat tertentu, bahkan
tidak mempelajari tasawuf melalui jalur pendidikan baik formal, informal maupun
non-formal. Tetapi aneh bin ajaib, pemikiran apapun yang terkandung dalam
literature tasawuf bisa dengan gampang dan gamblang Cak Nun menguraikannya.
Buka kitab al-Futuhat al-Makkiyah, suatu karya monumental Ibn Arabi sebagai
contoh dan lacak topic yang menguraikan martabat wujud, maka anda dapat lebih
mengerti gagasan itu dalam satu kali pertemuan dengan Cak Nun disbanding
beberapa kali pertemuan bahkan beberapa semester tapi tetap tak mengerti di
hadapan professor pengajar materi tasawuf pada perguruan tinggi Islam dan
non-Islam di Indonesia.
Itulah Cak
Nun yang dimiliki oleh Indonesia, tentu saja milik Mandar sebab Cak Nun adalah
Mandar itu sendiri. Mandar dan simpul-simpul lokal wisdom-nya bagi Cak Nun
bukanlah materi yang bersifat lokal, tapi kearifan-kearifan itu ia
manifestasikan secara universal dan menjadi salah satu material dan elemen paling
penting dalam struktur bangunan rahmatan
lil alamin. Dalam konsep rahmatan lil
alamin itu keberadaan Cak Nun tak lagi terbantahkan bagi Mandar, Indonesia
bahkan dunia. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar