Kamis, 05 Mei 2016

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 4) “ Emha Ainun Nadjib Orang Mandar Yang Lahir di Jombang ”


Oleh: Muhammad Munir
Untuk kesekian kalinya, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun menyambangi Jamaah Maiyah Mandar, setelah kedatangannya yang terakhir pada tahun 2011 dengan tajuk Safinatun Najah. Dengan mengusung tema Risalah Cinta di Jazirah Mandar yang dipusatkan di Lapangan Sepak Bola Pambusuang, 30 April 2016, Cak Nun bersama Group Shalawat Kyai Kanjeng dan Jaringan Maiyah Nusantara-nya memukau ribuan penonton yang berduyungan memadati lapangan di Desa Bala Kecamatan Balanipa tersebut. Hanya butuh beberapa menit setelah shalat isya, jamaah dari latar belakang yang berbeda-beda hadir dalam pertunjukkan luar biasa, tapi tetap dengan desain yang biasa. Biasa dalam artian, Cak Nun tidak butuh dipanggungkan, tidak butuh panggung, tidak mau ada sekat yang menghalanginya dengan jamaah.
Cak Nun memang punya cirri khas yang mungkin tak akan pernah bisa dimiliki oleh yang lain. Tampilan khas, siraman rohani diantara ribuan pengunjung yang lirih bershalawat itu mengalir laksana air sungai Mandar. Siraman rohani dan lantunan shalawat dari Cak Nun dan Kyai Kanjengnya kadang menghempas dan mendesir bagai ombal di teluk Mandar. Maka jadilah Cak Nun suntuk bercengkrama dengan ribuan manusia Mandar hingga jam 00.30 dini hari. Andai Cak Nun berbicara sampai shubuh, para Jamaah itupun akan tetap setia dan tak mau beranjak. Masyarakat maksyuk dalam untaian kata yang sungguh memikat, letupan-letupan, guyonan dan banyolannyapun penuh hikmah. Materi-materi ceramahnya yang menggugat seakan jamaah tak merasa tergugat, tapi justru menjadi tergugah. Pokoknya, Cak Nun dalam pandangan penulis memang merupakan salah satu rahmat Allah yang masih disasakan untuk memanusiakan manusia dan hidup dalam kasih sayang bersama cinta. Cinta yang universal? Tinggal sekarang, apakah kita sebagai Mandar hanya memaknai Cak Nun dan ceramahnya sebagai ajang membesarkan identitas atau menjadi ruang untuk membangun pribadi Mandar masa depan. 
Itulah Cak Nun, satu dari jutaan penduduk Indonesia yang menulis banyak buku tapi tak satupun buku yang pernah ia baca. Ia memiliki jutaan jamaah, tapi tak pernah ia gunakan jamaahnya untuk mendulang suara pada ajang kontestasi politik praktis.  Mari coba membaca sedikit riwayat Cak Nun sembari dengan tetap bermunajat kepada Allah. Bahwa berkomunikasi dengan Allah tak harus jadi Cak Nun, cukup menjadi pengagum Cak Nun untuk selanjutnya rasa kagum itu bermuara pada kekaguman kita pada Dzat yang Maha yaitu Allah yang telah melahirkan cintanya kepada kita melalui Cak Nun. Cak Nun mempunyai nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib adalah seorang tokoh intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami. Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 ini sekaligus sosok yang begitu berjasa bagi Masyarakat Mandar. Lewat dialah, Mandar kian dikenal secara nasional. Ia bahkan mengaku sebagai orang Mandar dibeberapa kali kesempatan entah saat tampil dalam aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan atau di Jamaah Maiyah Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat Yogyakarta, Padhangmbulan Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandang Ate Mandar, dan Maiyah Baradah Sidoarjo, serta Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali.
Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor setelah melakukan ‘demo’ melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang kurang baik, pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian ia pindah ke Yogyakarta dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup Band Letto.
Cak Nun bukanlah seorang yang tiba-tiba menjadi seorang tokoh. Ia mempnyai proses sejarah hidup menginspirasi. Lima tahun ia hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975, belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha. Masa-masa itu, proses kreatifnya dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis). Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Cak Nun juga pernah terlibat dalam produksi film RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi.
                Cak Nun tidak terkait secara formal yang dapat dijadikan alasan akademis maupun intelektual untuk secara metodologis menyimpulkan adanya hubungan antara gerakan Jamaah Maiyah yang memperoleh inspirasi, pembimbingan, pengayoman dan pengajaran dari seorang Cak Nun dengan gagasan-gagasan pemikiran dan ideology yang berkembang dalam sufisme. Cak Nun secara formal bukan anggota tarekat ataupun pernah berguru dan menerima ijazah dari seorang Syekh Tarekat tertentu, bahkan tidak mempelajari tasawuf melalui jalur pendidikan baik formal, informal maupun non-formal. Tetapi aneh bin ajaib, pemikiran apapun yang terkandung dalam literature tasawuf bisa dengan gampang dan gamblang Cak Nun menguraikannya. Buka kitab al-Futuhat al-Makkiyah, suatu karya monumental Ibn Arabi sebagai contoh dan lacak topic yang menguraikan martabat wujud, maka anda dapat lebih mengerti gagasan itu dalam satu kali pertemuan dengan Cak Nun disbanding beberapa kali pertemuan bahkan beberapa semester tapi tetap tak mengerti di hadapan professor pengajar materi tasawuf pada perguruan tinggi Islam dan non-Islam di Indonesia.
Itulah Cak Nun yang dimiliki oleh Indonesia, tentu saja milik Mandar sebab Cak Nun adalah Mandar itu sendiri. Mandar dan simpul-simpul lokal wisdom-nya bagi Cak Nun bukanlah materi yang bersifat lokal, tapi kearifan-kearifan itu ia manifestasikan secara universal dan menjadi salah satu material dan elemen paling penting dalam struktur bangunan rahmatan lil alamin. Dalam konsep rahmatan lil alamin itu keberadaan Cak Nun tak lagi terbantahkan bagi Mandar, Indonesia bahkan dunia. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar