0leh: Muhammad Munir-Tinambung
Pertemuan
dua kakak beradik yang kemudian sepakat membangun perkampungan yang bernama Sa'
Adawang dan mulai menerapkan kepemimpinan Memmara-maraqdia ini kemudian
berkembang menjadi pusat peradaban. Tongkat yang dipakai oleh Tomesaraung
Bulawang saat menuju ke Sa'Adawang itu dipancangkan dan tumbuh dengan subur.
Atas dasar kayu atau pohon yang dinamakan Sendana itulah nama Sa'Adawang diganti
menjadi Sendana. Cerita tentang Sendana.
Di Sendana
Daeng Palulung bersama istirinya, Tomesaraung Bulawang melahirkan empat orang
anak, dua orang laki-laki dan dua orang perempuan, masing-masing bernama :
Ita’da’ (kelak menurunkan bangsawan hadat di Putta’da’); Puatta I Sa’adzawang (kelak
yang menurunkan Pa’bicara Kaiyyang); Indara (kelak
menurunkan bangsawan raja di Sendana)
dan Patta Pance’ (kelak menurunkan raja-raja di kerajaan Mamuju). Indara (Inda)
kawin dengan Tomanurung di Langi’ dan melahirkan tiga orang anak masing-masing
bernama Daeng Maritu’, Daeng Malona’ dan Tasaripi’ (perempuan). Daeng Maritu
inilah yang melahirkan keturunan Mara’dia
Sendana.
Membincang
sejarah tentang Sendana laksana memasuki hutan belantara, banyaknya versi dan
penulis yang semuanya menulis dengan versi yang berbeda. Pembaca kemudian
digiring kesemak tutur yang tak lagi peduli keilmiahan sebuah cerita sejarah.
Cerita tutur berkembang dan menjadi acuan dari masa kemasa. Dalam tulisan
Darmansyah berjudul “Sejarah dan Pemerintahan Kerajaan Sendana” mengutip
tuturan Muhammad Soenoesi, Pa’bicara
Tangnga Sendana yang juga pernah
ditulis oleh Drs. H. Kalang Sadaid dalam “Sejarah Sendana Selayang Pandang”
sebagai masukan pada seminar Kebudayaan Mandar yang dilaksanakan di Majene pada
tahun 1984. Disebutkan dalam tulisan itu bahwa kerajaan Sendana pertama kali
didirikan oleh I Mana Pahodo, berdasarkan sumber dari salah seorang pemuka adat
Ulu Salu, Tumpang Parengge. I Mana
Pahodo adalah Mara’dia pertama di
kerajaan Sendana dengan gelar “Tomesaraung
Bulawang” orang yang bertopi emas.
Dari
sumber tersebut pembaca dihadapkan pada dua situasi yang membingungkan. Sumber
pertama menyebutkan bahwa Tomesaraung Bulawang adalah seorang perempuan yang
diperistri oleh Daeng Palulung sementara sumber kedua mengatakan bahwa
Tomasaraung Bulawang adalah I Mana Pahodo yang tak lain adalah Mara’dia pertama
Sendana. Sementara dalam penelusuran ditemukan berdasarkan petunjuk dari tokoh
adat bahwa makam yang ada di Sa’Adawang adalah Daeng Palulung (Topapo) dengan
istrinya yang benama Tomesaraung Bulawang. Penulis kemudian mengambil
kesimpulan bahwa perbedaan tersebut bisa jadi karena penafsiran gona atau
gelaran yang kemudian terlanjur dilisan tuliskan secara turun temurun. Jika
memang I Mana Pahodo adalah Tomesaraung Bulawang itu juga bisa deiterima, pun
istri Daeng palulung bernama Tomesaraung Bulawang juga bisa dietrima dengan
pertimbangan sebagai gelaran. Hal sama juga terjadi di Balanipa. Todilaling di
Gowa punya gelaran I Billa-Billami, dan setelah punya anak gelaran itu
digunakan oleh anaknya yang bergelar Tomepayung.
Berdasarkan beberapa perbedaan
tersebut, penulis berharap semua tokoh adat, sejarawan di sendana mesti membuat
kesepakatan sehingga nantinya informasi yang akan ditulis adalah mengandung
keseragaman, nukan keberagaman pendapat. Sebab jika perbedaan-perbedaan itu
tidak segera disudahi, maka generasi berikutnya akan dilanda krisis kepercayaan
terhadap sejarah perruqdusanna (asal-usulnya). Mungkin bijak jika perbedaan
tersebut kita tarik benang merahnya dengan asumsi bahwa Sa’adzawang pertama
kali ditemukan oleh Dettumana/Demmangana atau I Mana Pahodo dari Tabulahan
yang memimpin di era “Bawa Tau”. Begitu juga Daeng Palulung
dan Topapo serta Daeng Sirua atau Todzibonde adalah orang yang sama dan diberi
amanah sebagai pemimpin atas dasar kemampuan pengetahuan dan pemikirannya yang
lebih maju.
Dengan
berakhirnya era bawa tau, maka
Sa’Adawang kemudian berubah nama menjadi Sendana yang sekaligus menjadi penanda
bahwa telah terjadi sebuah perubahan mendasar dari sistim bawa tau ke sistim memmara-mara’dia.
Istilah Memmara-mara’dia juga digunakan sebab pada era Daeng Palulung belum
memenuhi syarat untuk disebut sebagai kerajaan. Syarat menjadi sebuah kerajaan
atau Mara’dia bagi Sendana adalah ketika pusat pemerintahannya berada di
Podang, yaitu di era Puatta I Podang. Sistem
pemerintahan Memmara-mara’dia ini masih bisa dipadankan dengan Tomakaka atau
banua. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya persekutuan Bocco tallu yaitu Sendana, Alu,dan Taramanu. Persekutuan itu
berawal ketika Daeng Sirua menikah dengan anak dari Tomakaka di Alu.
Sampai
disini sudah bisa dirumuskan periodesasi sejarah Kerajaan Sendana yaitu dari
periode Bawa Tau di era Dettumana dan
I Mana Pahodo, periode Memara-mara’dia
di era Daeng palulung dan periode kerajaan atau mara’dia di era Puatta I Podang yang juga ditandai dengan
berpindahnya pusat pemerintahan Sendana dari Sa’Adawang ke Podang. Perpindahan
pusat pemerintahan juga didasari oleh pertimbangan peningkatan taraf hidup
masyarakat kerajaan Sendana, yaitu dengan mengelola perikanan dan kelautan,
karena perkebuanan dan pertanian sudah bisa diandalkan. Sa’dawang yang
mempunyai hamparan luas untuk persawahan dan luasan perbukitan dan pegunungan
yang hijau dianggap cukup untuk menghidupi warga dari hasil kebun dan pertanian.
Postur tanah dan kontur alam Podang juga tak jauh beda dengan Sa’Adawang, yaitu
mempunyai luasan lahan persawahan dan perkebunan.
Pengembangan
pada bidang pertanian, perkebunan, perikanan inilah yang membuat Sendana
berjaya dan mencapai puncak keemasannya di era Puatta Iku’bur. Sendana tak lagi
bisa diremehkan. Ia punya rakyat yang terjamin penghidupannya, sehingga
pemerintah (Negara) waktu itu bisa menjadi kerajaan yang penyuplai logistik
bagi kerajaan tetangga yang menjadi sekutunya. Saat persekutuan Ba’ba Binanga,
Sendanalah yang menyuplai logistik ke Balanipa saat menghadapi perang.
Pertimbangan kesejahteraan itu pulalah yang melatarinya sehingga Sendana
menjadi Indo atau Ibu bagi persekutuan di Ba’ba Binanga yaitu Balanipa,
Banggae, Pambauang, Sendana, Tappalang, Mamuju dan Binuang. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar