Rabu, 04 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian 4) " Dari Sa' Adawang menjadi Sendana: "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Pertemuan dua kakak beradik yang kemudian sepakat membangun perkampungan yang bernama Sa' Adawang dan mulai menerapkan kepemimpinan Memmara-maraqdia ini kemudian berkembang menjadi pusat peradaban. Tongkat yang dipakai oleh Tomesaraung Bulawang saat menuju ke Sa'Adawang itu dipancangkan dan tumbuh dengan subur. Atas dasar kayu atau pohon yang dinamakan Sendana itulah nama Sa'Adawang diganti menjadi Sendana. Cerita tentang Sendana.
Di Sendana Daeng Palulung bersama istirinya, Tomesaraung Bulawang melahirkan empat orang anak, dua orang laki-laki dan dua orang perempuan, masing-masing bernama : Ita’da’ (kelak menurunkan bangsawan hadat di Putta’da’); Puatta I Sa’adzawang (kelak yang menurunkan Pa’bicara Kaiyyang);  Indara (kelak menurunkan bangsawan raja di Sendana) dan Patta Pance’ (kelak menurunkan raja-raja di kerajaan Mamuju). Indara (Inda) kawin dengan Tomanurung di Langi’ dan melahirkan tiga orang anak masing-masing bernama Daeng Maritu’, Daeng Malona’ dan Tasaripi’ (perempuan). Daeng Maritu inilah yang melahirkan keturunan Mara’dia Sendana.
                Membincang sejarah tentang Sendana laksana memasuki hutan belantara, banyaknya versi dan penulis yang semuanya menulis dengan versi yang berbeda. Pembaca kemudian digiring kesemak tutur yang tak lagi peduli keilmiahan sebuah cerita sejarah. Cerita tutur berkembang dan menjadi acuan dari masa kemasa. Dalam tulisan Darmansyah berjudul “Sejarah dan Pemerintahan Kerajaan Sendana” mengutip tuturan Muhammad Soenoesi, Pa’bicara Tangnga Sendana yang juga pernah ditulis oleh Drs. H. Kalang Sadaid dalam “Sejarah Sendana Selayang Pandang” sebagai masukan pada seminar Kebudayaan Mandar yang dilaksanakan di Majene pada tahun 1984. Disebutkan dalam tulisan itu bahwa kerajaan Sendana pertama kali didirikan oleh I Mana Pahodo, berdasarkan sumber dari salah seorang pemuka adat Ulu Salu, Tumpang Parengge. I Mana Pahodo adalah Mara’dia pertama di kerajaan Sendana dengan gelar “Tomesaraung Bulawang” orang yang bertopi emas.
                Dari sumber tersebut pembaca dihadapkan pada dua situasi yang membingungkan. Sumber pertama menyebutkan bahwa Tomesaraung Bulawang adalah seorang perempuan yang diperistri oleh Daeng Palulung sementara sumber kedua mengatakan bahwa Tomasaraung Bulawang adalah I Mana Pahodo yang tak lain adalah Mara’dia pertama Sendana. Sementara dalam penelusuran ditemukan berdasarkan petunjuk dari tokoh adat bahwa makam yang ada di Sa’Adawang adalah Daeng Palulung (Topapo) dengan istrinya yang benama Tomesaraung Bulawang. Penulis kemudian mengambil kesimpulan bahwa perbedaan tersebut bisa jadi karena penafsiran gona atau gelaran yang kemudian terlanjur dilisan tuliskan secara turun temurun. Jika memang I Mana Pahodo adalah Tomesaraung Bulawang itu juga bisa deiterima, pun istri Daeng palulung bernama Tomesaraung Bulawang juga bisa dietrima dengan pertimbangan sebagai gelaran. Hal sama juga terjadi di Balanipa. Todilaling di Gowa punya gelaran I Billa-Billami, dan setelah punya anak gelaran itu digunakan oleh anaknya yang bergelar Tomepayung.
                Berdasarkan beberapa perbedaan tersebut, penulis berharap semua tokoh adat, sejarawan di sendana mesti membuat kesepakatan sehingga nantinya informasi yang akan ditulis adalah mengandung keseragaman, nukan keberagaman pendapat. Sebab jika perbedaan-perbedaan itu tidak segera disudahi, maka generasi berikutnya akan dilanda krisis kepercayaan terhadap sejarah perruqdusanna (asal-usulnya). Mungkin bijak jika perbedaan tersebut kita tarik benang merahnya dengan asumsi bahwa Sa’adzawang pertama kali ditemukan oleh Dettumana/Demmangana atau I Mana Pahodo dari Tabulahan yang  memimpin di era “Bawa Tau”. Begitu juga Daeng Palulung dan Topapo serta Daeng Sirua atau Todzibonde adalah orang yang sama dan diberi amanah sebagai pemimpin atas dasar kemampuan pengetahuan dan pemikirannya yang lebih maju.
                Dengan berakhirnya era bawa tau, maka Sa’Adawang kemudian berubah nama menjadi Sendana yang sekaligus menjadi penanda bahwa telah terjadi sebuah perubahan mendasar dari sistim bawa tau ke sistim memmara-mara’dia. Istilah Memmara-mara’dia juga digunakan sebab pada era Daeng Palulung belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai kerajaan. Syarat menjadi sebuah kerajaan atau Mara’dia bagi Sendana adalah ketika pusat pemerintahannya berada di Podang, yaitu di era Puatta I Podang. Sistem pemerintahan Memmara-mara’dia ini masih bisa dipadankan dengan Tomakaka atau banua. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya persekutuan Bocco tallu yaitu Sendana, Alu,dan Taramanu. Persekutuan itu berawal ketika Daeng Sirua menikah dengan anak dari Tomakaka di Alu.
                Sampai disini sudah bisa dirumuskan periodesasi sejarah Kerajaan Sendana yaitu dari periode Bawa Tau di era Dettumana dan I Mana Pahodo, periode Memara-mara’dia di era Daeng palulung dan periode kerajaan atau mara’dia di era Puatta I Podang yang juga ditandai dengan berpindahnya pusat pemerintahan Sendana dari Sa’Adawang ke Podang. Perpindahan pusat pemerintahan juga didasari oleh pertimbangan peningkatan taraf hidup masyarakat kerajaan Sendana, yaitu dengan mengelola perikanan dan kelautan, karena perkebuanan dan pertanian sudah bisa diandalkan. Sa’dawang yang mempunyai hamparan luas untuk persawahan dan luasan perbukitan dan pegunungan yang hijau dianggap cukup untuk menghidupi warga dari hasil kebun dan pertanian. Postur tanah dan kontur alam Podang juga tak jauh beda dengan Sa’Adawang, yaitu mempunyai luasan lahan persawahan dan perkebunan.
                Pengembangan pada bidang pertanian, perkebunan, perikanan inilah yang membuat Sendana berjaya dan mencapai puncak keemasannya di era Puatta Iku’bur. Sendana tak lagi bisa diremehkan. Ia punya rakyat yang terjamin penghidupannya, sehingga pemerintah (Negara) waktu itu bisa menjadi kerajaan yang penyuplai logistik bagi kerajaan tetangga yang menjadi sekutunya. Saat persekutuan Ba’ba Binanga, Sendanalah yang menyuplai logistik ke Balanipa saat menghadapi perang. Pertimbangan kesejahteraan itu pulalah yang melatarinya sehingga Sendana menjadi Indo atau Ibu bagi persekutuan di Ba’ba Binanga yaitu Balanipa, Banggae, Pambauang, Sendana, Tappalang, Mamuju dan Binuang. (Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar