0leh: Muhammad Munir-Tinambung
Belum ditemukan
data otentik tahun berapa pendatang dari Tabulahang mendiami Sa’Adawang, begitu juga dengan
kedatangan dua bersaudara Daeng Palulung dan Daeng Sirua yang kemudian mampu menjadi generasi pembaharu
diinternal banua Sa’Adawang dengan mengusung nama Sendana. Di Sa’-adzawang
puncak bukit Putta’da’ itulah kedua bersaudara ini mengambil peran masing-masing
dalam rangka ikut menjalankan roda pemerintahan, meski masih berbentuk semi
kerajaan, yaitu tomemmara-mara’dia.
Sendana mulai menampakkan tanda-tanda memenuhi syarat disebut sebuah
kerajaan/negara setelah penyelenggaraan pemerintahan berada di Podang (sekarang
desa Banua Sendana) yang pemerintahannya dijalangkan oleh Puatta I Podang, seorang koordinator lembaga adat (pa’bicara
kaiyyang) disekitar akhir abad ke-14 Masehi. Puatta I Podang sendiri diamanahi tugas setelah Daeng Maritu selaku pemimpin wilayah, tomemmara-mara’dia pergi merantau entah kemana dan tidak lagi
kembali ke Sendana. Puattta I Podang
selaku koordinator lembaga adat (Pa’bicara kaiyyang) mengambil peran dalam
melaksanakan roda pemerintahan dan memperluas wilayah.
Kembali ke masa Daeng Palulung dan Daeng Sirua. Pertalian keluarga Daeng
Sirua ke Alu menjadi awal yang cukup membuat Sendana dan Alu mempunyai
kekuatan. Alu saat itu sudah memenuhi syarat untuk sebuah kerajaan sebab kedua
anaknya juga menjadi pemimpin di daerah Taramanu dan Tu’bi. Hanya saja pada
saat yang sama Passokkorang telah dipimpin oleh generasi Tomata Bassi yang tak mengikuti pola pemerintahan sebelumnya. Itu
mungkin disebabkan karena jabatan diperoleh dari proses penggulingan atau
kudeta kekuasaan. Kondisi yang terjadi di Passokkorang cukup membuat Alu sangat
terancam sebab anaknya, Puatta di Galu-galung dan Puatta I Lepong sudah menjadi Raja. Puatta di Galu-galung
menjadi Raja Alu dan Puatta I Lepong menjadi Raja di Taramanuq.
Perampokan dan upaya adudomba antara kerajaan satu dengan kerajaan lainnya
dilakukan oleh orang-orang Passokkorang saat itu nyaris menghancurkan seluruh
Mandar. Keadaan yang sangat meresahkan ini membuat Puatta I Saragiang, Maraqdia Alu pada saat
itu menjadi sangat khawatir mengingat dua orang putranya masing-masing
Hubungan
pernikahan antara Daeng Sirua dengan
putri Puatta I Saragiang ini
mendorong hubungan kedua wilayah ini dijadikan wilayah persekutuan. Persekutuan
itu diwujudkan dalam sebuah ritual di Sibunoang yang dikenal dengan nama Puraloa di Sibunoang. Istilah
Bocco Tallu itu terdiri dari kata Bocco dan
Tallu memiliki pengertian Harfiah
yaitu; Bocco sama dengan kumpulan atau perkumpulan dan Tallu sama dengan tiga. Jadi Bocco Tallu adalah persekutuan atau persatuan dari tiga
kerajaan: Alu, Taramanu dan Sendana. Perjanjian
dan persekutuan ini juga yang menandai terbangunnya tradisi baru dan sebagai
ikrar perjanjian pertama yang terjadi di tanah Mandar. Itulah sebabnya, dalam
beberapa kasus yang terjadi setelanya, seberat dan serumit apapun selalu bisa
terselesaikan secara baik dan bijaksana.
Tentang Paraloa ini, Abdul Muis Mandra dalam bukunya Assitalliang
menyebutkan bahwa perjanjian ini terjadi sekitar abad ke-12. Namun peninggalan atau
artefak sejarah yang mendukung pernyataan itu belum ditemukan. Beberapa artefak
yang terakhir ditemukan di Sa’Adawang adalah sejenis keramik yang menurut
informasi dari Horst H. Liebner bahwa
keramik tersebut berasal dari Sukothai Thailand (pra Islam) yang dibuat pada
sekitar akhir abad ke-14 atau sekiatar tahun 1380 (sepanjang penelusuran satu
tahun terakhir ini, keramik inilah yang umurnya paling tua yang sempat
ditemukan dilapangan).
Terlepas
dari hal tersebut, persekutuan Bocco
Tallu ini mampu membuat ketiga kerajaan ini bertahan dari ganguan
Passokkorang. Moment pertalian kekeluargaan
ini semakin membuka jalan bagi Puatta I Saragiang untuk mewujudkan impiannya. Ide itu kemudian dibicarakan bersama
dengan Daeng Palulung yang di sambut dengan sangat
gembira. Keduanya lalu membicarakan ke hadat
masing masing dan membuahkan kesepakatan
untuk mengadakan pertemuan puncak di Sibunoang, salah satu wilayah Alu
pada saat itu. Dalam pertemuan itulah dibuat beberapa butir perjanjian dan
kesepakatan lalu ditutup dengan pengucapan sumpah atau ikrar kesetiaan yang
akan memegang amanah, mematuhi segala
kesepakatan yang didapatkan dalam pertemuan.
Prosesi pengucapan ikrar tersebut dilakukan dengan menggenggam Kalupping (daun sirih bersama telur dan
emas) yang kemudian dibuang kedalam sungai secara bersama sama. Yang
menggenggam dan membuang kalupping tersebut secara bersama sama adalah Puatta I Galu-Galung atau Maraqdia Alu, Puatta I Lepong Raja Taramanuq
dan Daeng Sirua mewakili Sendana,
tapi yang mengucapkan mengucapkan sumpah
atau ikrar adalah Puatta I Saragian
bersama Daeng Palulung disaksikan
oleh segenap Hadat dari ketiga kerajaan. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar