Rabu, 04 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian 5) " Sendana dan Persekutuan Bocco Tallu "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Belum ditemukan data otentik tahun berapa pendatang dari Tabulahang mendiami Sa’Adawang, begitu juga dengan kedatangan dua bersaudara Daeng Palulung dan Daeng Sirua yang kemudian mampu menjadi generasi pembaharu diinternal banua Sa’Adawang dengan mengusung nama Sendana. Di Sa’-adzawang puncak bukit Putta’da’ itulah kedua bersaudara ini mengambil peran masing-masing dalam rangka ikut menjalankan roda pemerintahan, meski masih berbentuk semi kerajaan, yaitu tomemmara-mara’dia. Sendana mulai menampakkan tanda-tanda memenuhi syarat disebut sebuah kerajaan/negara setelah penyelenggaraan pemerintahan berada di Podang (sekarang desa Banua Sendana) yang pemerintahannya dijalangkan oleh Puatta I Podang, seorang koordinator lembaga adat  (pa’bicara kaiyyang) disekitar akhir abad ke-14 Masehi. Puatta I Podang sendiri diamanahi tugas setelah Daeng Maritu selaku pemimpin wilayah, tomemmara-mara’dia  pergi merantau entah kemana dan tidak lagi kembali ke Sendana. Puattta I Podang selaku koordinator lembaga adat  (Pa’bicara kaiyyang) mengambil peran dalam melaksanakan roda pemerintahan dan memperluas wilayah.
Kembali ke masa Daeng Palulung dan Daeng Sirua. Pertalian keluarga Daeng Sirua ke Alu menjadi awal yang cukup membuat Sendana dan Alu mempunyai kekuatan. Alu saat itu sudah memenuhi syarat untuk sebuah kerajaan sebab kedua anaknya juga menjadi pemimpin di daerah Taramanu dan Tu’bi. Hanya saja pada saat yang sama Passokkorang telah dipimpin oleh generasi Tomata Bassi yang tak mengikuti pola pemerintahan sebelumnya. Itu mungkin disebabkan karena jabatan diperoleh dari proses penggulingan atau kudeta kekuasaan. Kondisi yang terjadi di Passokkorang cukup membuat Alu sangat terancam sebab anaknya, Puatta  di Galu-galung dan Puatta I Lepong sudah menjadi Raja. Puatta  di Galu-galung menjadi Raja Alu  dan Puatta I Lepong menjadi Raja di Taramanuq. Perampokan dan upaya adudomba antara kerajaan satu dengan kerajaan lainnya dilakukan oleh orang-orang Passokkorang saat itu nyaris menghancurkan seluruh Mandar. Keadaan yang sangat meresahkan ini membuat  Puatta I Saragiang, Maraqdia Alu pada saat itu menjadi sangat khawatir mengingat dua orang putranya masing-masing
Hubungan pernikahan antara Daeng Sirua dengan putri Puatta I Saragiang ini mendorong hubungan kedua wilayah ini dijadikan wilayah persekutuan. Persekutuan itu diwujudkan dalam sebuah ritual di Sibunoang yang dikenal dengan nama Puraloa di Sibunoang. Istilah Bocco Tallu itu terdiri dari kata Bocco dan Tallu memiliki pengertian Harfiah yaitu;  Bocco sama dengan kumpulan atau perkumpulan dan Tallu sama dengan tiga. Jadi Bocco Tallu adalah  persekutuan atau persatuan dari tiga kerajaan: Alu, Taramanu dan Sendana. Perjanjian dan persekutuan ini juga yang menandai terbangunnya tradisi baru dan sebagai ikrar perjanjian pertama yang terjadi di tanah Mandar. Itulah sebabnya, dalam beberapa kasus yang terjadi setelanya, seberat dan serumit apapun selalu bisa terselesaikan secara baik dan bijaksana.  
Tentang Paraloa ini, Abdul Muis Mandra dalam bukunya Assitalliang menyebutkan bahwa perjanjian ini terjadi sekitar abad ke-12. Namun peninggalan atau artefak sejarah yang mendukung pernyataan itu belum ditemukan. Beberapa artefak yang terakhir ditemukan di Sa’Adawang adalah sejenis keramik yang menurut informasi dari Horst H. Liebner bahwa keramik tersebut berasal dari Sukothai Thailand (pra Islam) yang dibuat pada sekitar akhir abad ke-14 atau sekiatar tahun 1380 (sepanjang penelusuran satu tahun terakhir ini, keramik inilah yang umurnya paling tua yang sempat ditemukan dilapangan).  
                Terlepas dari hal tersebut, persekutuan Bocco Tallu ini mampu membuat ketiga kerajaan ini bertahan dari ganguan Passokkorang. Moment pertalian kekeluargaan  ini semakin membuka jalan  bagi Puatta I Saragiang untuk mewujudkan impiannya. Ide itu kemudian dibicarakan bersama dengan Daeng  Palulung yang di sambut dengan sangat gembira. Keduanya lalu membicarakan ke hadat  masing masing dan membuahkan kesepakatan  untuk mengadakan pertemuan puncak di Sibunoang, salah satu wilayah Alu pada saat itu. Dalam pertemuan itulah dibuat beberapa butir perjanjian dan kesepakatan lalu ditutup dengan pengucapan sumpah atau ikrar kesetiaan yang akan memegang amanah, mematuhi  segala kesepakatan yang didapatkan dalam pertemuan.
Prosesi  pengucapan ikrar  tersebut dilakukan dengan menggenggam Kalupping (daun sirih bersama telur dan emas) yang kemudian dibuang kedalam sungai secara bersama sama. Yang menggenggam  dan membuang kalupping tersebut  secara bersama  sama adalah Puatta I Galu-Galung atau Maraqdia Alu, Puatta I Lepong Raja Taramanuq  dan Daeng Sirua mewakili Sendana, tapi yang mengucapkan  mengucapkan sumpah atau ikrar adalah Puatta I Saragian bersama Daeng Palulung disaksikan oleh segenap Hadat  dari ketiga kerajaan. (Bersambung)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar