Sabtu, 24 Mei 2014

TOKAPE



TOKAPE

Tokape adalah maraqdia (raja) Balanipa (salah satu kerajaan besar di wilayah Mandar atau Sulawesi Barat) pada akhir tahun 1800-san. Ada versi yang menuliskan dia raja ke 46, ada juga ke-48. Ada perbedaan sebab ada perbedaan kesepakatan bahwa apakah maraqdia kesekian diakui atau tidak.
***
Pada tahun 1819 salah satu pusat perdagangan dunia mulai mapan, yakni Singapura (sebelumnya disebut Tumasik, sehingga orang Mandar yang berlayar ke sana untuk berdagang disebut “Pattumasek”). Pada masa itu dan setelahnya, salah satu komoditas perdagangan dunia yang juga banyak terdapat di Mandar marak diperdagangkan, yakni kopra (boka’ dalam bahasa Mandar). Dengan kata lain, Mandar terlibat dalam perdagangan internasional. Sebab pada tahun 1850, perdagangan antara orang pribumi dengan orang Eropa mulai marak.
Menurut catatan Belanda, pada tahun 1860, jumlah pohon kelapa di Sulawesi Selatan sekitar 407.279 pohon (Mandar 16.502 pohon). Dan berkembang pesat pada 1875, di saat pohon kelapa mencapai 755.500 pohon.
Perdagangan dunia semakin marak semenjak dibukanya Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Kemudian booming perdagangan kopi pada tahun 1870. Pada tahun yang sama, para mara’dia di Mandar mengadakan perjanjian politik dengan Hindia-Belanda yang secara signifikan mempengaruhi kekuatan kepemimpinan di Mandar (menjadi melemahkan). Waktu itu, pihak Belanda membeli kopra dari pekebun Mandar dengan harga yang sangat rendah dan hanya orang Belanda-lah (VOC) yang boleh membeli kopra. Di pihak lain, para pedagang (umumnya dari kalangan bangsawan sendiri) mengetahui harga kopra sangat tinggi di Tumasik (Singapura).
Jadi, pedagang pribumi mengharapkan harga yang layak. Permintaan ini tak digubris Belanda. Maka terjadilah perlawanan. Paling terkenal oleh perlawanan Maraqdia Tokape.
***
Sebelum I Boroa (gelaran lain bagi Tokape, yang artinya Si Nakal, sebab dia tidak tunduk pada Belanda), sepupu sekalinya yang bernama Mandawari alias Tomilloli memangku maraqdia. Di masa itu, Belanda bebas keluar masuk Mandar dengan berkedok sebagai pedagang. I Mandawari gembira bila Belanda datang, sebab selalu mendapat paket candu.
Karena kegemarannya itu, urusan masyarakat terabaikan. Hadat Appe’ Banua Kayyang pun seapakat untuk meninjau kedudukannya sebagai maraqdia. Akhirnya disepakati untuk mengangkat Tokape menggantikannya.
Masa kepemimpinan Tokape, situasi politik terhadap Belanda di Balanipa berubah total. Tokape pun menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang merakyat dan sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah. Bila bertemu orang yang duduk-duduk saja, tak segan dia menegurnya dan meminta mereka untuk bekerja.
Tokape mengeluarkan kebijakan untuk tidak menjual kopra hasil rakyat Mandar ke Belanda, melainkan menjualnya langsung ke Makassar, Surabaya, dan Singapura. Tentu kebijakan demikian mengandung resiko sebab menentang Belanda. Maka dia bekerja sama dengan Ammana I Wewang, Maraqdia Alu yang sekaligus sebagai Maraqdia Malolo atau panglima di Kerajaan Balanipa memperkuat pertahanan.
Lama kelamaan, gudang kopra Belanda kekurangan stok kopra. Belanda melakukan operasi pasar langsung ke masayarakat untuk membeli kopra. Tapi hal itu ditentang Tokape. Rakyat harus dibebaskan untuk memilih pembeli kopranya, jangan dipaksa. Demikian kehendak Tokape.
Berbagai cara dilakukan Belanda agar Tokape berubah pendirian. Namun tak berhasil. Belanda kemudian melakukan trik adu domba. Dia membujuk Mandawari untuk bisa bekerjasama. Ada rumor, jika Mandawari berhasil, dia akan dijadikan kembali sebagai maraqdia. Mandawari tergoda. Dia pun mengiyakan untuk melemahkan dan menghancurkan kedudukan Tokape.
Salah satu bentuk dukungan Mandawari terhadap Belanda, yang juga menjadi strategi perlawanan terhadap Tokape adalah pendirian loji (benteng) di dekat rumah Mandawari. Di loji tersebutlah Belanda memperkuat pertahanan.
Setelah dirasa kuat pertahanannya, Belanda mengajukan perundingan dengan Tokape. Permintaan Belanda disetujui oleh Tokape dengan syarat: kedua belah pihak dilarang bersenjata memasuki daerah perundingan, pengawal kedua belah pihak harus berada di pos masing-masing, tempat pertemuan disetujui kedua belah pihak. Utusan perundingan Tokape yang hadir adalah Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali, Ajuara, Sumakuyu, dan Parrimuku.
Dalam pertemuan itu, Belanda seolah-olah mau memaksakan keinginannya. Tokape dipaksa untuk menandatangani naskah perjanjian yang telah disiapkan oleh Belanda. Akibatnya, Tokape merobek-robek naskah tersebut di hadapan Belanda.
Ammawa I Wewang menyadari situasi perundingan yang memanas. Tiba-tiba dia berdiri menyentakkan kakinya di tanah seraya berkata “Tuan-tuan Belanda ini seperti tidak tahu aturan. Rupanya tuan-tuan ini kurang ajar di negeri kami. Tuan-tuan orang kulit putih, tidak berhak mengatur kami. Negeri ini adalah negeri orang Mandar. Tuan-tuan adalah tamu kami untuk datang berdagang. Kalau mau berkuasa di mandar ini kami tidak terima. Lebih baik tuan-tuan cepat meninggalkan ruangan sebelum saya marah. Ayo pulang cepat dan kalau tidak saya bunuh tuan-tuan di tempat ini.”
Marah Ammana I Wewang menciutkan nyali Belanda. Mereka pun cepat-cepat meninggalkan tempat perundingan.
Ammana I Wewang atau I Caloq Ammana I Wewang adalah pejuang melawan Belanda di awal abad ke-20. Dalam perlawanannya tertangkap dan diasingkan ke pulau Belitung, lebih tiga puluh tahun lamanya. Lahir di Kampung Lutang (sekarang di dalam wilayah Kel. Tande, Kec. Banggae, Kab. Majene), 1854. Buah perkawinan I Gaqang- I Kena.
I Gaqang, Marqdia ‘Raja’ Alu, I Kena adalah putri Maraqdia Banggae. Neneknya dari pihak bapaknya bernama Maqdusila alias Lippo Ulang, Maraqdia Pamboang, dan neneknya dari pihak ibu ialah To Cabang Maraqdia Pamboang. Sebelum memperoleh keturunan dari permaisuri, dipopulerkan dengan panggilan Ammana I Wewang. (I Wewang, nama seorang kemanakan permaisurinya. Pengenakan gelar/panggilan seperti itu, sudah menjadi tradisi bagi keturunan bangsawan Mandar. Tidak sopan atau tidak hormat jika masih menyebut nama pribadi (nama kecil) kepada seseorang bangsawan setelah berkeluarga).
Dia mempunyai tiga saudara yaitu, Kacoq Puang Ammana I Pattolawali, Cacaqna Pattolawali, dan Cacaqna I Sumakuyu. Pada usia ke-30 dinobatkan menjadi Maraqdia Malolo Kerajaan Balanipa menggantikan I Tamanganro. (Yang memangku jabatan Maraqdia Balanipa waktu itu ialah Tokape). 1886 ia dilantik menjadi Maraqdia Alu, dan tetap sebagai Maraqdia Malolo Balanipa.
***
Pemberontakan Tokape terjadi pada 1872-1873, hanya 1 tahun. Sangat singkat bila dibandingkan Perang Diponegoro atau Perang Makassar.
Tokape diangkat menjadi maraqdia pada tahun 1872. Dia diangkat oleh “Appeq Banua Kayyang” (Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-todang) menjadi Arayang Balanipa menggantikan I Mandawari. Sebagai pemimpin baru, oleh Belanda ingin memperbaharui kontrak dengannya. Tapi isinya memberatkan rakyat Mandar.
Bersama maraqdia lain dari anggota Ba’bana Binanga, disepakati untuk menyepakati kontrak yang diajukan oleh Belanda. Tapi bentuk penolakan berbeda, menentang dengan senjata oleh Balanipa, Banggae, Pamboang dan Binuang; dengan diplomasi oleh Sendana, Tappalang, dan Mamuju.
Perlawanan oleh Kerajaan Balanipa dipimpin oleh Tokape dan Calo Ammana I Wewang. Perlawanan mereka tidak mampu dibendung oleh Belanda. Maka mereka meminta bala bantuan dari Makassar. Malangnya, bantuan dari Makassar diserang oleh sekutu Balanipa dari Kerajaan Labakkang yang dipimpin oleh Andi Marudani Karaeng Bonto-bonto.
Karaeng Bonto-bonto berjibaku dengan Tokape melawan Belanda. Bersama pasukannya mereka bergerilya di hutan Balanipa dan Tomadio. Lama kelamaan, pasukan gabungan ini melemah.
Belakangan, Tokape terkepung di istananya di Lekopa’dis (Tinambung) untuk kemudian ditangkap Belanda. Ada versi mengatakan menyerahkan diri untuk melindungi pasukan dan sekutunya. Kemudian dia dilayarkan ke Makassar pada 4 November 1893. Hampir dua bulan ditahan di Makassar untuk selanjutnya dibawa ke Batavia untuk diadili. Keputusannya, dia diasingkan ke Jawa Timur, di Pacitan.
Kedudukan Tokape digantikan (kembali) oleh Mandawari (menjadi maraqdia pada periode I: 1870-1872). Setelah menjabat selama 7 tahun (1874-1880), Mandawari digantikan oleh sepupu satu kalinya, I Sanggaria. Belakangan, karena bertentangan dengan hadat, I Sanggaria meletakkan jabatan sebagai maraqdia pada 1885. Untuk ketiga kalinya, I Mandawari kembali menjadi Maraqdia Balanipa (ke-49, 1885-1907).
Pelantikan I Mandawari diperdebatkan, sebab dia tidak dilantik oleh kaum hadat secara lengkap, tapi hanya beberapa. Itu pun terjadi di Makassar, oleh Belanda. Dia tidak dilantik di Mandar sebab banyak yang tidak setuju. Tapi karena I Mandawari pendukung Belanda, maka dia mempunyai posisi kuat.
Tertangkapnya Tokape membuat perlawanan Ammana Wewang menggunakan sistem gerilya. Sebab susah ditangkap, Belanda minta dukungan Mandawari dan I Laju Kanna Doro (juga kerabat dekat Tokape; belakangan akan menggantikan Mandawari menjadi maraqdia) untuk memberikan informasi keberadaan Ammawa Wewang.
I Laju Kanna Doro mencari tahu siapa orang dekat Ammana Wewang. Akhirnya dia mendapat informasi bahwa tokoh masyarakat Tandassura bernama Ka’tabbas mengetahui siapa tukang pijat Ammana Wewang. Namanya Ka’sawa dan Ka’mana.
Kepada Ka’tabbas dijanjikan kedudukan dan terhadapa tukang pijat akan diberia hadiah 1000 ringgit. Akhirnya si tukang pijit memberitahukan tempat persembunyian Ammana Wewang.
Saat Ammana Wewang istirahat (tidur), si tukang pijit menghubungi prajurit Belanda. Rombongan serdadu membawa serta beberapa bambu dan seutas tali ijuk. Sebab Ammana Wewang dikenal kebal, digunakan cara tersendiri untuk menangkapnya: tubuh dihimpit dengan bambu lalu diikat. Dengan tubuh yang terikat, Ammana Wewang dibawa ke Majene. Kejadian ini terjadi pada 23 Juli 1907.
Sebulan ditahan lalu diadili di Campalagian. Dia divonis 20 tahun penjara. Tanggal 24 Agustus 1907, Ammana I Wewang kembali disidangkan untuk selanjutnya ditahan di Benteng Rotterdam, Makassar. Setengah bulan ditahan lalu dikirim ke Batavia. Lalu pada akhir 1907, Ammana I Wewang bersama 9 pengikutnya diasingkan di Pulau Belitung, Sumatera Selatan.
Ammana I Wewang hampir 40 tahun berada di Pulau Belitung. Pada 1 April 1945, dengan menggunakan perahu lete dari Mandar, Ammana I Wewang meninggalkan Pulau Belitung. Dia tiba di Ba’babulo, Pamboang pada 22 Mei 1945. Ammana I Wewang wafat di Limboro, pada 11 April 1967.
***
Pada tahun 1907, sebab merasa sudah tua dan intrik di kalangan bangsawan, I Mandawari meletakkan jabatan untuk kemudian digantikan oleh I Laju Kanna Doro Tomatindo di Jeddah (sebab mangkat di Jeddah, Arab Saudi). Kedudukan I Laju Kanna Doro digantikan Andi Baso, cucu Tokape. Kemudian Andi Baso digantikan istrinya yang juga putri I Laju Kanna Doro, yaitu Andi Depu, penerima Bintang Mahaputera dari Presiden Soekarno dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Sumber: Muhammad Ridwan Alimuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar