MEMUTUS
MATARANTAI LINGKARAN KEMISKINAN
Oleh Muhammad
Munir
Dalam konteks Sulawesi Barat dan pada posisi Kabupaten Polewali Mandar yang
saat ini di nakhodai oleh pasangan Andi Ibrahim Masdar dan Natsir Rahmat,
kemiskinan masih tetap harus menjadi fokus konsentrasi pada sejumlah kebijakan
pemerintah kedepan. Alasannya karena kemiskinan itu sendiri adalah sebuah momok
bahkan borok yang menakutkan, mengerikan sekaligus memalukan bagi wibawa
seorang pemimpin dan hal itu terus mewarnai perjalanan roda pembangunan di
daerah ini selama 1 dasawarsa terakhir (2010-2014). Tapi anehnya,dalam kurung
waktu tersebut pemerintah terkesan menjadikan kemiskinan ini menjadi sebuah
pajangan . Lihat contoh kasus bocah cilik,Sinar yang berasal dari dusun
Todopata Riso Kecamatan Tapango yang harus berjuang menikmati kemiskinannya
bersama ibunya,Murni yang juga sakit keras.Pemerintah pada saat itu (2009-2010)
luput dari konsep kepeduliannya. Justru Charlie (personil ST-12) yang jauh-jauh
dari Jakarta ke Tapango yang tidak saja
menjenguk Sinar tapi justru mengangkat derajat Sinar betul-betul menjadi Sinar
yang bersinar.
Lalu
apa yang dilkukan pemerintah pada saat itu ?. Mereka justru ikut berbangga
karena ada warganya yang bisa dipajang di media (koran-tv) dan lucunya,mereka kemudian secara kolektif bertindak seakan-akan
sebagai sosok pemerintah yang peduli,padahal mau diliput media dan menjadi
penghias cover media atau headline berita sebagai pemerintah yang peduli,sayang
dan perhatian pada Sinar (baca: pencitraan). Coba seandainya Sinar tak
terpublikasi (dengan jasa jurnalis), dan Charlie tidak datang ke Polewali
Mandar saat itu ?. Mungkin buta tuli pemerintah masih akan terus berlanjut dan
makin akut.
Dan secara,saya pada waktu itu
sempat apatis dengan sejuta rasa berkecamuk dalam fikiranku, jangan-jangan
pemerintah memang sengaja meng –status quo kemiskinan ini, agar rakyat terus
mempunyai ketergantungan struktural kepada penguasa yang lupa pada jatidirinya
sebagai pemimpin dan pelayan masyarakat.
Mungkin Sinar hanya bongkahan
cerita dari segunung kisah anak negri ini yang tumbuh dan meradang dengan bara
nasibnya. Sinar-Sinar lain tentu masih ratusan bahkan ribuan yang terlahirkan
ke dunia ini, mereka ada dimana-mana, mungkin ada di antara Petoosang ke
Saragian, antara Puppuuring ke Poda-Poda, antara Sambaliwali ke Pendulangan, atau mungkin
tersekap dibalik bukit pegunungan antara Kalo Timolo ke Lenggo, antara
Besoangin ke Pelattoang Majene, antara Bulo dengan Matangnga, antara Matangnga
ke Passembu,Kondo ke Lakkese, antara Katimbang ke Sumarorong, Antara Tapua
dengan Rangoan atau antara Karombang dengan Lenggo karna kemudian kita kembali
dikejutkan dengan seorang ibu, Apung(37 tahun) yang lumpuh dan hanya bisa
berharap pada anaknya, Ayu(13 tahun) yang tinggal dipinggiran kota Bumimulyo.
Ayu dan Apung harus mendampingi dan merawat ibunya dan bersendagurau dengan
nasibnya yang entah berapa tetes air mata mengalir dari dalam gubuk pinjaman
warga sekitar (lihat Radar,30 April 2014). Ah, seandainya saja pemerintah ini
mau menerunkan sedikit saja gaya hidupnya, maka tentu Sinar- Murni,
Ayu-Apung tak akan lagi kita temukan.Dan
tentu saja akan berimbas pada positive side efect kepada pemerintah itu sendiri
ketika mereka butuh popularitas dan citra baik.
Sinar-Murni, Ayu-Apung
hanya contoh kasus tentang potret buram
daerah kita ini sebagai pengantar membincang kemiskinan. Kemiskinan akan selalu
ada, siap atau tidak, mau atau tidak, suka atau tidak,sebab fragmen kehidupan
yang tercipta dan seleksi alam yang mengantar sunnatullah kedalam dunia manusia
membuat ruang untuk itu. Kemiskinan adalah makhluk tuhan yang tak akan pernah
hilang dan tak akan lekang termakan rayap waktu,kemiskinan tidak akan bisa di
entaskan oleh siapapun tapi hanya bisa ditanggulangi dan di berdayakan sebagai
skala prioritas dalam setiap kebijakan agar tak menjadi beban negara lagi. Oleh
karenanya, kemiskinan ini harus kita kaji secara mendalam,secara spesifik dan mendiagnosanya agar formula penanganannya
bisa kita temu kenali.Kemiskinan sudah bukan masanya untuk terus kita lisan
tuliskan sebagai bentuk kampanye atau janji-janji politik.
Langkah awal untuk proses itu
adalah memahami hakikat, makna dan arti kemiskinan. ‘Kemiskinan ’ menurut
pengertiannya adalah sebuah kondisi ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Sementara penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan
dibawah garis kemiskinan disebut ‘penduduk miskin’.Adapun yang dimaksud dengan
‘garis kemiskinan’ adalah gabungan dari kedua pengertian tersebut yang kemudian
oleh negara atau pemerintah dalam perhitungannya dilakukan secara terpisah
untuk daerah perkotaan dan pedesaan.
Pada situasi ini,ada dua
komponen dasar yang menjadi standar garis kemiskinan,yaitu; Pertama; Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
atau nilai pengeluaran kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2.100K kalor
perkapita perhari. Patokannya mengacu pada hasil widyakarya pangan 1978. Paket
komoditi kebutuhan dasar makanan ini diwakili oleh 52 jenis komoditi
(padi-padian- umbi-umbian, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, ikan,
daging, susu, telur, minyak, lemak dll.). Ke 52 jenis komoditi itu merupakan
komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Jumlah pengeluran untuk
komoditi ini sekitar 70 persen jenis komoditi dipedesaan. Kedua; Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) atau kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan
dasar non makanan ini diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis
komoditi di pedesaan.
Lalu bagaimana caramengukur kemiskinan sebagai perameter
penentu bagi mereka yang berada di garis kemiskinan ?. Ada 3 parameter yang
juga dijadikan acuan bagi BPS (Biro Pusat Statistik) dalam kegiatan
pendataan,yaitu: Pertama; persentase
indeks penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Kedua; Indeks kedalaman kemiskinan, yaitu ukuran rata-rata
kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks semakin jauh rata-rata pengeluaran
penduduk dari garis kemiskinan. Ketiga;
Indeks keparahan kemiskinan, yaitu ukuran yang memberikan gambaran mengenai
penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi indeks, semakin
tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Langkah selanjutnya adalah
membuat sebuah diagnosa dalam format lingkaran kemiskinan dan lingkaran setan
kemiskinan sekaligus menjadi acuan untuk formulasi penanggulangannya. Kedua
lingkaran itu adalah: Pertama;
Lingkaran Kemiskinan yang dimulai pada kasus pendapatan rendah karena daya beli
dan kapasitas menabung yang rendah yang tentunya berimbas pada tingkat
pertumbuhan modal yang juga rendah. Hal ini membuat situasi kekurangan modal
yang dipicu oleh kreatifitas yang juga rendah. Kedua; Lingkran Setan Kemiskinan dengan kondisi awal pendapatan
rendah karena modal rendah; modal rendah karena pendidikan rendah; pendidkan
rendah karena kesehatan rendah; kesehatan yang rendah disebabkan kurangnya
uang; kurangnya uang juga tentunya karena kreatifitas rendah. Kedua model
lingkaran ini sekaligus juga menjadi pemicu rendahnya Indeks Pembangunan
Manusia atau yang lebih trend dengan istilah IPM atau HDI (Human Depelopment
Indeks) sebagai bentuk yang dihasilkan dari adanya pergeseran paradigma pembangunan
dalam sepuluh tahun terakhir.
Dari rangkaian proses pengkajian
tentang kemiskinan ini, diharapkan
program dan kebijakan pemerintah tidak melulu berputar pada tataran pertumbuhan
ekonomi yang meningkat,atau angka kemiskinan yang menurun, tapi lebih kepada
upaya menciptakan kawasan baru pertumbuhan ekonomi . Pemerintah jangan lagi
terfokus pada input dan out put saja, tapi lebih kepada out come nya. Ekonomi
harus bertumbuh dari pelosok desa
terpencil, infrastruktur harus menjadi
agenda utama disana, mereka harus menikmati hasil kemerdekaan berupa
pembangunan yang tidak Polewli sentris, Wonomulyo sentris, Mamuju sentris.
Alokasi anggaran harus mempertimbangkan pendekatan out come perkapita
masyarakat. Masyarakat harus berdaya dan diberdayakan dalam kondisi apapun dan
sudah saatnya pemimpin di daerah ini mengubah kebijakan anggaran dari
pengadaan barang dan jasa dikurangi dan
lebih fokus untuk meningkatkan alokasi belanja modal, agar tercipta sinergitas
pembangunan sehingga pada akhirnya masyarakat bisa lebih makmur dalam keadilan
dan adil dalam kemakmuran.
Akhirnya, saya ingin mengutip
sebuah pesan luhur dari leluhur Balanipa, Tandibella Kakanna I Pattang yang
bergelar Daetta Tommuane atau Arajang Balanipa ke-4: “ Naiya Maraqdia,tammatindo di bongi,
tarrarei di allo mandandang mata dimerrandanna daung aju, dimadinginna litaq,
dimalimbonna rura, di ajarianna banne tau, di atepuanna agama ”. (
sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan terlena dalam lelap tidur dikeheningan
malam, tidak akan berdiam diri berpangku tangan di siang hari, namun dia akan
terus berfikir dan berupaya serta berikhtiar untuk meningkatkan hasil
pertanian, berlimpahnya hasil perikanan, terciptanya ketentraman dan kedamaian
demi kelangsungan hidup manusia serta sempurnanya kerukunan beragama).
Pesan ini secara langsung
mengisyratkan kepada pemimpin untuk senantiasa memperhatikan rakyat yang
dipimpinnya. Semoga dengan ini, pemerintah dapat lebih memberdayakan masyarakat
sekaligus memutus mata rantai dan siklus lingkaran setan kemiskinan.
(Penulis adalah Pendiri Lembaga Pemberdayaan dan
Kewirausahaan LPK-MITRA CEMERLANG dan Inisiator Komunitas Rumah Buku Sulawesi
Barat)
Dimuat
di Radar Sulbar,Selasa 6 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar