Sabtu, 24 Mei 2014

MEMUTUS MATARANTAI LINGKARAN KEMISKINAN



MEMUTUS MATARANTAI LINGKARAN  KEMISKINAN
Oleh Muhammad Munir
Dalam konteks Sulawesi Barat dan pada posisi Kabupaten Polewali Mandar yang saat ini di nakhodai oleh pasangan Andi Ibrahim Masdar dan Natsir Rahmat, kemiskinan masih tetap harus menjadi fokus konsentrasi pada sejumlah kebijakan pemerintah kedepan. Alasannya karena kemiskinan itu sendiri adalah sebuah momok bahkan borok yang menakutkan, mengerikan sekaligus memalukan bagi wibawa seorang pemimpin dan hal itu terus mewarnai perjalanan roda pembangunan di daerah ini selama 1 dasawarsa terakhir (2010-2014). Tapi anehnya,dalam kurung waktu tersebut pemerintah terkesan menjadikan kemiskinan ini menjadi sebuah pajangan . Lihat contoh kasus bocah cilik,Sinar yang berasal dari dusun Todopata Riso Kecamatan Tapango yang harus berjuang menikmati kemiskinannya bersama ibunya,Murni yang juga sakit keras.Pemerintah pada saat itu (2009-2010) luput dari konsep kepeduliannya. Justru Charlie (personil ST-12) yang jauh-jauh dari  Jakarta ke Tapango yang tidak saja menjenguk Sinar tapi justru mengangkat derajat Sinar betul-betul menjadi Sinar yang bersinar.
                Lalu apa yang dilkukan pemerintah pada saat itu ?. Mereka justru ikut berbangga karena ada warganya yang bisa dipajang di media (koran-tv) dan lucunya,mereka  kemudian secara kolektif bertindak seakan-akan sebagai sosok pemerintah yang peduli,padahal mau diliput media dan menjadi penghias cover media atau headline berita sebagai pemerintah yang peduli,sayang dan perhatian pada Sinar (baca: pencitraan). Coba seandainya Sinar tak terpublikasi (dengan jasa jurnalis), dan Charlie tidak datang ke Polewali Mandar saat itu ?. Mungkin buta tuli pemerintah masih akan terus berlanjut dan makin akut.
                Dan secara,saya pada waktu itu sempat apatis dengan sejuta rasa berkecamuk dalam fikiranku, jangan-jangan pemerintah memang sengaja meng –status quo kemiskinan ini, agar rakyat terus mempunyai ketergantungan struktural kepada penguasa yang lupa pada jatidirinya sebagai pemimpin dan pelayan masyarakat.
                Mungkin Sinar hanya bongkahan cerita dari segunung kisah anak negri ini yang tumbuh dan meradang dengan bara nasibnya. Sinar-Sinar lain tentu masih ratusan bahkan ribuan yang terlahirkan ke dunia ini, mereka ada dimana-mana, mungkin ada di antara Petoosang ke Saragian, antara Puppuuring ke Poda-Poda, antara  Sambaliwali ke Pendulangan, atau mungkin tersekap dibalik bukit pegunungan antara Kalo Timolo ke Lenggo, antara Besoangin ke Pelattoang Majene, antara Bulo dengan Matangnga, antara Matangnga ke Passembu,Kondo ke Lakkese, antara Katimbang ke Sumarorong, Antara Tapua dengan Rangoan atau antara Karombang dengan Lenggo karna kemudian kita kembali dikejutkan dengan seorang ibu, Apung(37 tahun) yang lumpuh dan hanya bisa berharap pada anaknya, Ayu(13 tahun) yang tinggal dipinggiran kota Bumimulyo. Ayu dan Apung harus mendampingi dan merawat ibunya dan bersendagurau dengan nasibnya yang entah berapa tetes air mata mengalir dari dalam gubuk pinjaman warga sekitar (lihat Radar,30 April 2014). Ah, seandainya saja pemerintah ini mau menerunkan sedikit saja gaya hidupnya, maka tentu Sinar- Murni, Ayu-Apung  tak akan lagi kita temukan.Dan tentu saja akan berimbas pada positive side efect kepada pemerintah itu sendiri ketika mereka butuh popularitas dan citra baik.
                Sinar-Murni, Ayu-Apung hanya  contoh kasus tentang potret buram daerah kita ini sebagai pengantar membincang kemiskinan. Kemiskinan akan selalu ada, siap atau tidak, mau atau tidak, suka atau tidak,sebab fragmen kehidupan yang tercipta dan seleksi alam yang mengantar sunnatullah kedalam dunia manusia membuat ruang untuk itu. Kemiskinan adalah makhluk tuhan yang tak akan pernah hilang dan tak akan lekang termakan rayap waktu,kemiskinan tidak akan bisa di entaskan oleh siapapun tapi hanya bisa ditanggulangi dan di berdayakan sebagai skala prioritas dalam setiap kebijakan agar tak menjadi beban negara lagi. Oleh karenanya, kemiskinan ini harus kita kaji secara mendalam,secara spesifik  dan mendiagnosanya agar formula penanganannya bisa kita temu kenali.Kemiskinan sudah bukan masanya untuk terus kita lisan tuliskan sebagai bentuk kampanye atau janji-janji politik.
                Langkah awal untuk proses itu adalah memahami hakikat, makna dan arti kemiskinan. ‘Kemiskinan ’ menurut pengertiannya adalah sebuah kondisi ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Sementara penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan disebut ‘penduduk miskin’.Adapun yang dimaksud dengan ‘garis kemiskinan’ adalah gabungan dari kedua pengertian tersebut yang kemudian oleh negara atau pemerintah dalam perhitungannya dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan.
                Pada situasi ini,ada dua komponen dasar yang menjadi standar garis kemiskinan,yaitu; Pertama; Garis Kemiskinan Makanan (GKM) atau nilai pengeluaran kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2.100K kalor perkapita perhari. Patokannya mengacu pada hasil widyakarya pangan 1978. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan ini diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian- umbi-umbian, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, ikan, daging, susu, telur, minyak, lemak dll.). Ke 52 jenis komoditi itu merupakan komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Jumlah pengeluran untuk komoditi ini sekitar 70 persen jenis komoditi dipedesaan. Kedua; Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) atau kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan ini diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
                Lalu bagaimana caramengukur kemiskinan sebagai perameter penentu bagi mereka yang berada di garis kemiskinan ?. Ada 3 parameter yang juga dijadikan acuan bagi BPS (Biro Pusat Statistik) dalam kegiatan pendataan,yaitu: Pertama; persentase indeks penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Kedua; Indeks kedalaman kemiskinan, yaitu ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Ketiga; Indeks keparahan kemiskinan, yaitu ukuran yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
                Langkah selanjutnya adalah membuat sebuah diagnosa dalam format lingkaran kemiskinan dan lingkaran setan kemiskinan sekaligus menjadi acuan untuk formulasi penanggulangannya. Kedua lingkaran itu adalah: Pertama; Lingkaran Kemiskinan yang dimulai pada kasus pendapatan rendah karena daya beli dan kapasitas menabung yang rendah yang tentunya berimbas pada tingkat pertumbuhan modal yang juga rendah. Hal ini membuat situasi kekurangan modal yang dipicu oleh kreatifitas yang juga rendah. Kedua; Lingkran Setan Kemiskinan dengan kondisi awal pendapatan rendah karena modal rendah; modal rendah karena pendidikan rendah; pendidkan rendah karena kesehatan rendah; kesehatan yang rendah disebabkan kurangnya uang; kurangnya uang juga tentunya karena kreatifitas rendah. Kedua model lingkaran ini sekaligus juga menjadi pemicu rendahnya Indeks Pembangunan Manusia atau yang lebih trend dengan istilah IPM atau HDI (Human Depelopment Indeks) sebagai bentuk yang dihasilkan dari adanya pergeseran paradigma pembangunan dalam sepuluh tahun terakhir.
                Dari rangkaian proses pengkajian tentang kemiskinan ini,  diharapkan program dan kebijakan pemerintah tidak melulu berputar pada tataran pertumbuhan ekonomi yang meningkat,atau angka kemiskinan yang menurun, tapi lebih kepada upaya menciptakan kawasan baru pertumbuhan ekonomi . Pemerintah jangan lagi terfokus pada input dan out put saja, tapi lebih kepada out come nya. Ekonomi harus bertumbuh dari pelosok  desa terpencil, infrastruktur  harus menjadi agenda utama disana, mereka harus menikmati hasil kemerdekaan berupa pembangunan yang tidak Polewli sentris, Wonomulyo sentris, Mamuju sentris. Alokasi anggaran harus mempertimbangkan pendekatan out come perkapita masyarakat. Masyarakat harus berdaya dan diberdayakan dalam kondisi apapun dan sudah saatnya pemimpin di daerah ini mengubah kebijakan anggaran dari pengadaan  barang dan jasa dikurangi dan lebih fokus untuk meningkatkan alokasi belanja modal, agar tercipta sinergitas pembangunan sehingga pada akhirnya masyarakat bisa lebih makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran.
                Akhirnya, saya ingin mengutip sebuah pesan luhur dari leluhur Balanipa, Tandibella Kakanna I Pattang yang bergelar Daetta Tommuane atau Arajang Balanipa ke-4: “ Naiya Maraqdia,tammatindo di bongi, tarrarei di allo mandandang mata dimerrandanna daung aju, dimadinginna litaq, dimalimbonna rura, di ajarianna banne tau, di atepuanna agama ”. ( sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan terlena dalam lelap tidur dikeheningan malam, tidak akan berdiam diri berpangku tangan di siang hari, namun dia akan terus berfikir dan berupaya serta berikhtiar untuk meningkatkan hasil pertanian, berlimpahnya hasil perikanan, terciptanya ketentraman dan kedamaian demi kelangsungan hidup manusia serta sempurnanya kerukunan beragama).
                Pesan ini secara langsung mengisyratkan kepada pemimpin untuk senantiasa memperhatikan rakyat yang dipimpinnya. Semoga dengan ini, pemerintah dapat lebih memberdayakan masyarakat sekaligus memutus mata rantai dan siklus lingkaran setan kemiskinan.
(Penulis adalah Pendiri Lembaga Pemberdayaan dan Kewirausahaan LPK-MITRA CEMERLANG dan Inisiator Komunitas Rumah Buku Sulawesi Barat)    
Dimuat di Radar Sulbar,Selasa 6 Mei 2014                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar