Minggu, 01 Mei 2016

MEMBINCANG MANDAR DARI SISI HISTORIOGRAFI vs ARKEOLOGI, ATAU POLITIK VS REALITAS ? (Bagian 2) Dari Komunitas Literasi Menelusur Sejarah

Oleh: Muhammad Munir
(Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar
dan Penggiat Literasi Rumah Kopi dan Perpustakaan-Tinambung)
Membaca dan menelaah buku sejarah Mandar hari ini, hal yang pasti kita temukan didalamnya adalah adanya ketimpangan struktur penulisan. Termasuk aroma konstruksi penulis juga sangat terasa dalam alur penulisannya, sehingga nampak tak berbeda dengan naskah sinetron dan film yang di dalamnya terdapat unsur pemeran yang bersifat oposisi biner (binary oposition), yakni pemeran protagonis dan antagonis. Disinilah peran penting seorang peneliti seperti Horst H. Liebner menjadi penting, namun dibutuhkan sebuah totalitas untuk menyingkap dinding tirai yang menyelimuti sejarah kita di Mandar. Passokkorang dibutuhkan keberadaannya sebagai pelengkap narasi dan deskripsi awal untuk mulai merunut periodesasi sejarah Mandar.
Untuk megurai Passokkorang, menarik untuk kita coba kaitkan dengan paparan Paul Michael Munoz, bahwa peradaban Sulawesi sudah ada sejak 8000 tahun lalu, yakni dengan munculnya kerajinan mikrolith Toali di Maros Sulawesi Selatan. Kerajinan itu berupa mata pisau dan mata panah Maros yang terbuat dari batu belah dengan bentuk-bentuk geometrik. Terkait dengan jejak peradaban di Sulawesi, ada dua gelombang migrasi yang melatarinya. Gelombang pertama dari ras Mogoloid yang terjadi sejak 4000 tahun SM dengan rute awal dari daratan China, menyebrang ke pulau-pulau yang kini dikenal Taiwan. Dari sana mengarus ke selatan ke pulau Luzon, Filipina, lalu terbagi dua. Satu ke barat daya mendarat di Kalimantan bagian utara (2500 tahun SM) dan satunya lagi ke barat laut ke daratan Asia, yakni wilayah Indochina.
Gelombang migrasi kedua berlangsung 3000 tahun SM, meniti ke Mindanao dan seterusnya ke daratan Sulawesi Utara, menyebrangi Teluk Tomini ke daratan Sulawesi Tengah lalu ke Jazirah Sulawesi Selatan. Hal menarik dari migrasi ini adalah pada setiap tempat-tempat yang dilaluinya, selalu ada konsep tentang manusia yang turun dari langit atau Tomanurung. Dari pantai barat Sulsel migrasi berlanjut lewat laut menuju pulau Jawa pada 2500 tahun SM, terus mengarus ke Sumatera dan semenanjung Melayu dan Thailand sampai 1000 tahun SM.
Pada fase 1500 tahun SM ini sudah dikenal kebudayaan perunggu, bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menetap dan tidak lagi menjadi manusia pengembara. Ratusan tahun berlangsung kebudayaan ini, sehingga mereka berkembang dan membentuk sebuah kelompok-kelompok yang lebih besar, membentuk desa-desa dengan suku multi klan. Dari sinilah dikenal pemimpin yang tampilannya otoriter karena berdasar pada prinsip egalitee atau kebersamaan, dimana suara setiap anggota kelompok cenderung sama harganya. Para pemimpin menjalankan kehendak bersama para anggota dan dengan demikian memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Hal ini memiliki banyak kesamaan dengan sistem demokrasi di dunia Barat meski dalam bentuk yang masih sangat sederhana.
Sampai disini, ada sebuah segmen dari zaman prasejarah yang menyelimuti daratan pulau Sulawesi yang isa bisa dikatakan era pra Tomanurung. Masa dimana orang belum mengerti apa itu agama. Di sekitaran aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai sungai Mapilli)terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal. Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama PASSIKOKKOANG yang kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi PASSIKOKKORANG dan akhirnya menjadi PASSOKKORANG.
Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani, memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus. Setelah beberapa generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini. (Bersambung)

MEMBINCANG MANDAR DARI SISI HISTORIOGRAFI vs ARKEOLOGI, ATAU POLITIK VS REALITAS ? (Bagian 1) “ Dari Nusa Pustaka ke Lontaraq Pusaka


Oleh: Muhammad Munir
(Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar
dan Penggiat Literasi Rumah Kopi dan Perpustakaan -Tinambung)

Peluncuran Nusa Pustaka dan Pembukaan Pekan Rakyat Sepekan III di Pambusuang Kec. Balanipa (Minggu, 13 Maret 2016)adalah sebuah peristiwa sejarah yang membuat Perpustakaan dan Museum Bahari besutan Muhammad Ridwan Alimuddin ini bernilai sejarah. Disebut peristiwa sejarah, sebab dihadiri oleh Drs Darmansyah, Ketua Masyarakat Masyarakat Sejarawan (MSI)Cabang Sulbar, JJ. Rizal, Sejarawan Nasional dan Maman Suherman (Kang Maman), Notulen ILK dan penulis nasional. Baik JJ. Rizal maupun Kang Maman, keduanya adalah manusia dermawan yang akhir-akhir ini intens melakukan kunjungan ke Mandar. Kesemuanya itu menjadikan Nusa Pustaka semakin bernilai sejarah sebab ada juga Horst H. Horst Liebner, seorang peneliti sejarah maritim yang kehadirannya kali ini mencoba menelusur jejak-jejak sejarah Passokkorang melalui serpihan sejarah yang direkam dari berbagai manuskrip, deskripsi dan interview sejarah yang selama ini kerap dilisan tuliskan.

Hal menarik dari peristiwa ini adalah kehadiran Kadisbudpar Polewali Mandar, Andi Nursami Masdar, Camat Balanipa dan puluhan aktivis literasi, seni, tokoh pendidik, tokoh agama dan budayawan sebagai penyaksi dari peristiwa diresmikannya nusa pustaka ini. Nusa Pustaka adalah akumulasi dari berbagai upaya-upaya kecil yang tidak hanya lahir dari diskusi-diskusi tapi diikuti dengan aksentasi yang membuat semuanya menjadi punya ruang mengusung niat untuk bisa bermanfaat banyak kepada kemanusiaan yang lebih memanusiakan manusia. Muhammad Ridwan Alimuddin dan generasi muda Balanipa telah berhasil meretas jalan untuk membuktikan bahwa kelahiran manusia setiap saat menandakan bahwa Tuhan belum kapok dengan kemanusiaan.

Berangkat dari peristiwa sejarah, kegiatan yang bernilai sejarah di Nusa Pustaka, dan keberadaan manusia-manusia yang mencintai sejarah adalah sisi kemanusiaan yang tak akan luput dari catatan sejarah itu sendiri. Terlebih dari sebuah upaya Horst H. Liebner yang mencoba menelusur dan meneliti jejak-jejak peradaban tua di Mandar, yaitu Passokkorang. Passokkorang memang sebuah obyek yang mesti ditulis untuk melengkapi data periodesasi sejarah di Mandar. Jauh sebelum berdirinya Kerajaan Balanipa, terjadi sebuah perjanjian yang disebut Bocco Tallu yang digagas oleh Kerajaan Alu, Taramanu dan Sendana. Perjanjian Bocco Tallu bahkan diadakan dua kali dengan tujuan yang sama, yaitu menghadapi sepak terjang Passokkorang. Bahkan pasca berdirinya Kerajaan Balanipa pun, I Manyambungi Todilaling (1530-1565) masih terus disibukkan dengan upaya menghadapi Passokkorang yang ternyata baru tuntas terselesaikan setelah I Billa-Billami Tomepayung (1565-1580) menumpasnya dengan kekuatan militer penuh dari Joaq appeq Jannangang dan bala bantuan dari Alu, Tabulahang, Sendana dan kerajaan sekitar yang masuk dalan konfederasi PBB dan PUS

I Billa-Billami Tomepayunglah yang akhirnya berhasil menumpas kerajaan besar dan berdaulat selama beberapa generasi Takiya Bassi dan Labassi Kalling, yang juga ditumpas mulai dari Puatta Di Saragiang ke Puatta I Lepong, dan Puatta Di Galu-Galung,dari Tomakaka Lemo, Puang Di Gandang, ke I Manyambungi Todilaling dan I Billa-Billami Tomepayung. Sebuah proses perjalanan sejarah yang panjang dari Passokkorang kemudian diberangus dan mengganti wilayah kerajaannya menjadi Mapilli. Rentetan peristiwa sejarah tersebut tak hanya ditumpas secara militer, namun dalam penulisan sejarahpun jejak kerajaan Passokkorang tak diberi ruang, selain dengan stigmatisasi negatif dari rajanya yang biadab, serakah, semena-mena.

Dari Nusa Pustaka, kita kembali mengurai satu demi satu lontaraq pusaka tentang Passokkorang, dari Hort H. Liebner peneliti Sandeq ke langkah-langkah awal survey sejarah Mandar. Tak dapat disangkal, bahwa kedepan dengan penelitian sejarah Passokkorang ini, kembali sejarwan Mandar akan dipertemukan dengan perbedaan muatan sejarah dalam berbagai literatur. Namun apapun hasilnya, kita tentu berharap dalampenulisan sejarah kedepan, muatan perbedaan (distinction) itu tak menggiring kita dalam upaya pembedaan (discrimination), sebab jika ini terjadi, semua upaya penulisan dan penelitian seilmiah apapun sifatnya, tak lebih hanya berupa anomali sejarah yang pada akhirnya akan menjadi banalisasi sejarah. (Bersambung)
Radar, Jumat 18 Maret 2016

JENJANG PENGAJIAN DI MANDAR



JENJANG PENGAJIAN DI MANDAR
Pengajian Tingkat Dasar
-          Maq-alepuq, yaitu pengajian yang diikuti oleh anak-anak usia 5-7 tahun. Materinya adalah pengenalan huruf hijaiyah, penghafalan model huruf dengan methode mangeq-ja.
-          Manjuz-Amma, yaitu pengajian yang diikuti oleh anak-anak usia 7-9 tahun. Materinya sudah mulai membaca Juz amma (mazhab Kufah) dimulai dari Alfatihah sampai ke Al-Alaq atau Iqra' dengan cara mandarras.
-          Makkoro'ang Kaiyyang, yaitu pengajian yang dikuti oleh anak-anak berusia 9-12 tahun. Materinya sudah mulai membaca ayat-ayat mazhab Utsmani, dimulai dari Al Baqarah sampai selesai. Pada tahapan ini, guru tinggal menegur jika ada bacaan yang salah.
Pengajian Tingkat Menengah
Pengajian ini diikuti oleh anak yang berusia 12-20 tahun dan dinyatakan telah melalui tahapan tingkat dasar. Materi yang dipelajari adalah:
-          Massaraq Baca yaitu pembacaan ulang ayat-ayat Al Qur'an fokus pada ilmu tajwid
-          Mambaca Kittaq Barazanji, yaitu pelajaran khusus membaca kitab barzanji dengan lagunya.
-          Massapina atau membaca Kitab Safinatun Najah dengan methode tanya jawab.
-          Massarapaq yaitu pelajaran khusus tentang nahwu dan tashrif, mengenal bentuk kata seperti kata kerja dasar. Yang meliputi Tsulasi Mujarrad, Mazid dan Ruba'I. Begitupula pembagiannya seperti fi'il (madhi, mudhari dan amar), isim (masdhar, fa'il, maf'ul, makan, alat, dan zaman). Methode membaca kitab sarapaq dengan menimbang dan menghafal kata.
Pengajian Tingkat Atas
Pengajian diikuti kelompok usia 20-25 tahun yang meliputi pelajaran:
-          Mannahwu adalah pelajaran nahwu sharaf yang materinya adalah membaca kitab jurumiyyah, Mutammimah dengan methode menguraikan kata dengan ditunjang oleh hafalan.
-          Mappakihi adalah jenjang khusus untuk belajar ilmu fiqhi dan ushul fiqhi dengan kitab Fathul Wahab (Abi Yahya Zakariyah), Kitab Fathul Qarib, kitab Fathul Mu'in (Zainuddin Muhammad Ibnu Qadim) dan Ushul Fiqh yang ditulis oleh Al Qudhrawi.
-          Matapsere adalah istilah pengajian kitab tafsir dan kitab hadits dengan menggunakan kitab Tafsir Jalalain (Jalaluddin Al Mahali dan Jalaluddin As-Suyuti), Tafsir Al Maraghi (Mustafa Al Maraghi), Tantawil Jauhari (Al Jauhari), Bulughul Maram (Ibnu Hajar Asy Qalani) dan Kitab Riyadush-Shalihin (Zakariyah An-Nawawi).
-          Mambalaga yanf mempelajari kitab Balagha Al Wadhiha)
-          Mattassopu atau pengajian tasawuf meliputi akhlak, ilmu kalam dan sastra dengan menggunakan kitab Maraghi al Ubudiyah, Tanbih Al Ghafilin, Jawahir dan Ihya' Ulumuddin.
Pengajian Tingkat Tinggi
Pengajian tingkat tinggi ini diikuti usia 25 tahun keatas dengan kitab rujukan yang dianggap lebih bermutu seperti Tuhful Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj, Kitab Arodhi, Jam'ul Jawami', Jawahirul Maknun, Syarah Ihya' Ulumuddin.


SAMAR: Sang Kembara Yang Semangatnya Membara.


Oleh: Muhammad Munir

Tulisan perdana kemarin (Radar, jumat 08 Januari2016) menangkat sosok tentang Bakri Latief, salah satu tokoh dan aset besar yang dimilik Mandar hari ini. Beliau multi talenta, juga tak salah jika beliau saya sebut sufi ketika membaca deretan puisi sufistik yang sementara saya garap dengan Manajemen Rumah Pustaka untuk dijadikan sebuah buku. Rumah Pustaka dalam setiap pergerakannya hanya mencoba memberi warna bagaimana berliterasi tidak hanya sekedar menyuguhkan, memajang buku untuk dibaca, tapi sekaligus menulis buku, memotifasi anak-anak untuk menulis, hingga sampai pada proses menulis seorang penulis, menulis deretan tokoh yang jarang ditulis, yang pada gilirannya sampai pada proses mensifati sifat tuhan yakni membesarkan seseorang, membangun seseorang, menciptakan sesuatu tanpa harus merasa kurang apalagi rugi. Maka jadilah kegiatan literasi ini menjadi sebuah sujud sosial yang tak ubahnya ketika kita masuk ke masjid melaksanakan shalat. Ketika melaksanakan sholat, kita tak perlu meniatkan bahwa kita sholat tujuannya untuk menjadi terkenal, menjadi besar, menjadi hebat atau menjadi apalah. Cukup kita melasanakan kewajiban itu sesuai kemampuan kita, tanpa harus memaksa diri melakukannya seperti nabi, khalifah atau seperti Imam Lapeo, dan annangguru yang lainnya.

Pada edisi kedua tulisan ini, saya ingin memperkenalkan kembali pada khalayak tentang keberadaan seorang seniman yang kerap kita tonton lewat VCD Album Mandar, atau dipanggung-panggung hiburan ketika ada pernikahan, hajatan,dll. Ia kerap tampil dengan lagu gambus ala Mandar, massayang-sayang. Ia punya penglihatan tidak sempurna, karena sejak lahir menyandang cacat tunanetra. Postur tubuhnya tak seatletis olahragawan, tidak ganteng seganteng artis-artis lainnya. Namanya singkat dan gampang dihafal.
Dari namanya, kita sudah bisa ditebak bagaimana orangnya, Samar adalah akronim dari Sayang Matanya Rabun. Ia memang lahir menyandang cacat tuna netra. Matanya yang buta, tapi hatinya tidak. Ia bahkan mampu menaklukkan keterbatasannya dan tumbuh dengan kehidupannya yang mengalir bagaikan air. Ia tumbuh dan berkembang menjadi seorang seniman, musisi hingga jadi seorang artis daerah Mandar. Sudah lebih 50-an lagu Mandar yang ia ciptakan. Beberapa album telah ia telurkan dari berbagai studio rekaman, diantaranya Pelangi Record, Jansen Record, Mentari Record dan lain-lain. Tak terhitung lagu yang diciptakannya dan dipopulerkan oleh beberapa penyanyi terkenal seperti Mamat GS dll.

Samar lahir di Batulaya, pada tahun 1960-an. Kehidupan yang susah dan masa-masa sulit sempat ia lalui. Mapparu lameaju, maande jepa, maqdokkang Pare Uma atau sebutan padi varietas lama yang tumbuh dengan batang lebih tinggi, lebih panjang ketimbang varietas baru yang pernah diperkenalkan pemerintah tahun 1970-an lewat program intensifikasi pertanian, macam PB-5 dan PB-8 yang berbatang pendek. Kondisi itu ia gambarkan lewat judul lagu "Melo Anna Andiang" yang dipopulerkan oleh Mamat GS. Lirik lagu bercerita tentang seorang ibu yang hanya mampu menyediakan makanan berupa jepa, dan doayu (sayur) lako-lako (sejenis sayur dari daun belokka yang buahnya menjadi makanan ular). Lagu itu juga bercerita tentang lingkungan masyarakat yang memanen padi dengan cara maqdokkang (panen padi atau pare uma dengan memakai raapang, bukan sabit) sementara ibunya hanya bisa mapparuq lameaju (memarut ubi kayu untuk kemudian di peras untuk dibuat jepa dan sokkol lameaju). Sebuah potret kehidupan dan kemiskinan pada masa lampau. Tapi menyerahkah dia?

Justru keterbatasan dan kemiskinan itulah yang membentuk karakternya, hingga ia dengan percaya diri beranjak dari proses kehidupannya yang menjadi seorang yang produktif di dunia seni tarik suara. Sebagaimana seniman-seniman besar yang lain, ia hidup dari panggung ke panggung. Kelihaiannya menyusun syair lagu sayang-sayang secara spontan dan penampilannya yang pas-pasan menjadi kelebihan tersendiri yang menarik simpati dihati masyarakat untuk mengundang ia tampil dalam setiap hajatan masyarakat setempat. Sekitar tahun 1988 ia kerap tampil dengan group musik Al-Muntaha di Segerang (kemudian berganti nama Al-Maidah). Masih sangat kental dalam ingatan saya. Ketika itu, tak banyak group musik yang bisa ditonton selain Al-Muntaha.

Saat itu, Samar sering tampil bersama Sama'da (almarhum) yang kerap membawakan lagu hits Terbayang-Bayang punya H.Ona Sutra. Syair dan notasi lagunya sebagian melo, beberapa beraliran padang pasir versi Mandar dan jenaka. Yang belum beredar Sureq di Alaqbai, matematika ini akan diangkat menjadi sampul album. Album lagunya diproduksi oleh Mentari Record, Pelangi Record, dan studio rekaman lain yang saat ini bertebaran dan tumbuh pesat di Sulbar.

Lirik dan syair lagu yang diciptakan oleh Samar tidak seadanya, syair-syairnya memenuhi standar dan karya sastra. Ketika bertandan ke Rumah Musik Beru-Beru Orchestra dan Rumah Pustaka kemarin, saya tertarik dengan syair-syair lagu yang ia bawakan langsung dengan petikan gitar diiringi gesekan biola Ainun Nurdin (Guru Musik Violis dan musik tradisional Mandar). Pesan yang tersampaikan lewat lagunya cukup kena, salah satu yang lagu yang ia ciptakan (belum beredar) berjudul Matematika, syairnya kira-kira begini: Satu kali ceko, dua kali ngoa, tiga kali siriate, Sama dengan Sapupala...... Pada lagu lain iya lebih piawai dalam pemilihan diksi pura pasarri sarau, pura balimbubengngi ia eloq-u Itaq namapparessu.

Demikian juga dalam lagu sayang-sayang yang ia lagukan. Syair-syairnya menyentuh dan itu secara spontanitas, seperti yang sempat ia nyanyikan saat selesai wawancara singkat dengan beliau: Namesioa manette// Namesioa manette Sureq sau sumombal// Sayange dipucca sasi todiqmo// dipucca sasi di biring rappaq lembong//- Sarau sau sumombal kandiq-e// Sarau sau sumombal mesa lipa nabawa// Sayange upasang lembong, kasiq-na// Upasang lembong damu base-basei// - Lembong dadza murittassi kandiq-e//Lemmbong dadza murittassidadza mubase-base// Sayange basei manini kasiq-na/ basei manini lipa pangindangaq-u//- Ubutungngi miq-abase kandiq-e// ubutungngi miq-abase ditangngana lolangan// Sayange usanga pura kandiq-u// Usanga pura tandayang upelei//- Natiapai napura sayange natiapami napura tandayang mupelei// Sayange suka lesseqmu todiqmo// Suka lesseqmu suka tandi tetteqna//- Kakkar sombal manya-manya// kakkar sombal manya-manya peloq-ii dande-dande// Sayange dioma kasiq-na// Dioma todi ditappaq pedoangmu//- Tania rurangan bega// tania rurangan bega mattarraqi lopiq-u// Sayange uwai mata kandiqu// Uwai mata mettonang di palaming//- Usanga bura poyosang// usanga bura poyosang diseqdena lopiq-u// Sayange ikandi palaka Massassai bayunna//

Samar saat ini banyak berdomisili di Mamuju. Dengan penampilan pas-pasan itu jangan dikira ia tak punya istri, bahkan diusianya yang telah menginjak 55 ini telah tercatat 6 kali nande likka (menikah). Samar memang tidak bisa diremehkan oleh siapapun. Sebagai musisi, pencipta lagu, dan penyayi ia banyak menginspirasi generasinya di Mandar. Terlebih pada sosok yang matanya buta, giginya carepa, dan postur tubuh yang pas-pasan itu. Bagi semua wanita yang ada di Mandar, saya hanya ingin berpesan agar dalam menghadapi Samar, atau orang yang punya keterbatasan fisik seperti Samar, jangan pernah meremehkannya, apalagi mentertawainya/mengejeknya. Sebab kebanyakan dari sikap seperti itulah yang membuat Mandar terkenal dengan ilmu guna-gunannya. Padahal sejatinta, tanpa ilmu mistik begitupun Tuhan lihat dan Tuhan tau bagaimana memperlakukan hambanya yang dianiaya, diadzolimi atau istilah Mandarnya digauq bawang.

Dalam wawancara singkat dengan beliau kemarin, 05 Januari 2016, ia berpesan janganlah kalian bersifat Barungan, Barungan itu peko dilalang madzoro disumbaling, tapi bersifatlah seperti Onde-onde, mammis dilalang maloppo di sumbaling. Demikian ia menutup wawancara singkatnya dengan saya yang lagi-lagi disampaikan lewat lagu yang akan ia rilis dalam albumnya di tahun 2016 ini

ANNANGGURU DALAM IMPERIUM SEJARAH DAN SPEKTRUM POLITIK PRAKTIS




 
Oleh: Muhammad Munir
(Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar dan Pimpinan Komunitas Rumah Pustaka Tinambung)

Tanggal 25 Januari 2016 lalu, saya di undang pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW oleh Jamaah Pengajian Tarekat Qadariyah Sulbar di Limboro Kec. Limboro. Acara yang berlangsung di Lapangan Limboro tersebut dihadiri langsung oleh Gubernur Sulbar (Anwar Adnan Saleh), Bupati Polewali Mandar (Andi Ibrahim Masdar) serta Andi Ali Baal Masdar dengan KH. Ilham Saleh sebagai pembawa hikmah. Tulisan ini tidak bermaksud mengkampanyekan keberadaan ketiganya tentang suksesi 2017 yang saat ini lagi trend. Terlebih tak ingin membahas tentang KH. Ilham Saleh yang mengajak jamaahnya bermaulid bersama tiga politisi AAS, ABM dan AIM sebagaimana KH. Sybli Sahabuddin, SDK dan Aladin S. Mengga di acara Pengukuhan Pengurus Teater Flamboyant Mandar di Gedung Mita Tinambung (06 Januari 2016).

Saya hanya ingin sedikit mnyampaikan sanggahan kepada MC (Master Of Ceremony) yang mempersilahkan KH. Ilham Saleh naik ke panggung dengan sebutan Innongguru. Hal ini penting, sebab persoalan penyebutan gelar di Mandar adalah persoalan prinsip dan sakral. Seperti halnya Tosalamaq, Tomakakaq dan Tomanurung. Bagaimanapun juga, Annangguru adalah sematan yang tak harus diplesetkan lagi dengan sebutan Innongguru, Andongguru, Anreguru karna Annagguru adalah sebutan yang sudah baku di Mandar. Annangguru selain sebagai sebuah gelaran di Mandar, juga sekaligus menjadi status sosial di masyarakat. Posisi Annangguru bisa dipadankan dengan ulama yang dalam konteks lokal disebut Kiyai (Jawa), Ajengan (Jawa Barat), Teungku (Aceh), Buya (Sumatera Barat), Tuan Guru (Lombok) dan Gurutta (Sulsel). Meski sebenarnya peran antara Annangguru dengan Ajengan atau seorang Buya dapat saja berbeda, terutama dari segi peran, porsi dan posisi di masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat Mandar, Annagguru mempunyai dua peran sekaligus menjadi status yang dilikatkan padanya, yaitu sebagai elit sosial yang dijadikan sumber rujukan dan sebagai panutan yang sekaligus jadi pengayom masyarakat. Kedua peran itulah yang sukses dijalankan oleh Annangguru-Annangguru yang ada di Mandar, seperti Annangguru Ga'de, Annangguru Saleh, Annangguru Muhammad Tahir Imam Lapeo, Annangguru Sahabuddin dll. Peran dan status Annangguru sebagai elit sosial dan sumber rujukan itu bisa dilihat dari keseharian Annangguru seperti Imam Lapeo. Masyarakat sekitar menempatkannya sebagai sosok yang "diasiriq diarakke" (disegani dan ditakuti) dan setiap ada masalah yang dihadapi oleh masyarakat kerap menjadi pilihan pertama untuk dimintai bantuan dalam mencari jalan keluar.

Annangguru sebagai panutan itu disebabkan posisi annangguru dalam bertindak selalu "sippappas liq-a anna loa" (Sesuai kata dengan perbuatan). Annangguru juga lekat dengan nilai amalaqbiang di Mandar karena dianggap "Macoa kedzo, Macoa loa, Macoa gau". Hal itu menjadikan masyarakat selalu patuh terhadap informasi yang disampaikan oleh Annangguru. Annangguru Kuma (Salah satu anak Imam Lapeo) setiap saat memberikan informasi kepada masyarakat supaya "mattulaq bala" pada hari jumat jika dianggap alam lagi kurang bersahabat atau "makarraq nawang". Makarraq nawang itu misalnya akan ada ancaman banjir besar, angin puting beliung dll. Masyarakat dengan serta merta melakukan apa yang diperintahkan annangguru, sebab annangguru sebagai panutan dianggap sosok yang suci dan mampu melihat peristiwa yang akan terjadi.

Ketika terjadi banjir besar pada tahun 1987 annangguru mennjadi pelarian untuk minta do'a, demikian juga saat angin kencang atau badai, annangguru juga menjadi harapan masyarakat untuk mengalihkan arah angin. Hal-hal seperti itulah yang menjadikan Annangguru sebagai panutan yang patut dipatuhi sekaligus sebagai pengayom yang diharapkan mampu melindunginya dari mara bahaya. Imam Lapeo seperti yang banyak diceritakan secara tutur dan turun temurun, pernah tiba-tiba menghentikan pengajian di rumahnya dan langsung ke teras sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara. Annangguru Tosalamaq Imam Lapeo menjawab ketika ditanya muridnya, bahwa apa yang barusan dilakukan adalah upaya untuk menyelamatkan sekelompok nelayan yang sedang diamuk badai dan nyaris menenggelamkan kapalnya. Dan benar saja, sebab beberapa hari kemudian sekelompok nelayan dari Bugis yang datang berziarah dan bercerita bahwa keselamatannya berkat dan atas pertolongan Imam Lapeo, yang tiba-tiba muncul dibagian kepala perahu dan badaipun berlalu.

Pada saat Adam Air jatuh tahun 2007 lalu, salah seorang Annangguru sudah meramalkan bahwa akan ada peristiwa yang akan menngemparkan dunia. Dan ternyata benar, sebab Adam Air jatuh disekitaran teluk Mandar yang dalam pencarian kotak hitamnya melibatkan beberapa ahli dari Amerika. Demikian sosok Annangguru di Mandar. Bukan lagi sebuah dongeng sebab sejarah juga begitu gamblang menguraikan tentang keberadaan sosok annangguru-annangguru yang sempat lahir dan menyebarkan ajaran Islam, ajaran kebenaran. Bahkan salah satu yang memicu perkembangan agama Islam begitu pesat dan cepat diterima oleh masyarakat disebabkan oleh annangguru-annangguru yang menyampaikan dakwahnya.

Termasuk dalam hal ini, wilayah DOB Balanipa yang saat ini diperjuangkan sebagai kabupaten adalah salah satu wilayah yang tak satupun tempat ibadah lainnya selain Masjid. Dari 7 Kecamatan yang ada, nyaris disetiap kampung ada masjid. Ini tentu disebabkan oleh kehadiran sosok Tosalama dan Annagguru-Annangguru yang ada dan tetap terlahirkan sampai saat ini. Akhirnya Catatan ini saya tutup dengan sebuah harapan, Jangan adalagi acara-acara resmi yang memanggil annangguru sebagai Innongguru. Dan mereka yang saat ini dianggap sebagai sosok annangguru di Mandar, semoga mampu menjaga nilai-nilai sakral dibalik gelaran dan sematan yang didasari kepercayaan penuh dari masyarakat. Jangan usik pendahulu kita dengan tampilan sebagai Jurkam, sebab siapa lagi yang akan menjadi trah Tosalamaq kita jika Annanngguru-Annagguru juga tergadai dalam pusaran demokrasi yang namanya politik.

Semoga Annangguru kita hari ini bisa sedikit lebih cendekia, intelek dan mencoba merogoh kantong sejarah untuk mentadabburi kisah Abu Dzar Al Ghiffari yang dijamin Iman dan ketakwaannya oleh Rasulullah, tapi ketika meminta jabatan politik kepada Rasulullah, justru beliau disarankan oleh Rasulullah untuk tidak menjadi pejabat negara. Lalu apa yang ingin difaktualkan oleh Rasulullah atas kisah tersebut? Ternyata sangat sederhana, bahwa untuk membangun dan memperbaiki Negara dan keadaan di Mandar Sulawesi Barat, tanpa jadi gubernurpun bisa. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi renungan bersama. Wassalam bilma'af !


Jumat, 29 April 2016

DOKUMENTASI GERAKAN LITERASI RUMPITA DAN VIORIC


ANGGARAN DASAR MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA (MSI)

ANGGARAN DASAR
MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA
(MSI)

Pembukaan
Pasal I
Nama, Waktu, dan Kedudukan
  1. Nama oganisasi Masyarakat Sejarawan Indonesia, disingkat MSI
  2. MSI dibentuk di Yogyakarta pada 29 Agustus 1970
  3. Kedudukan MSI di Jakarta Ibukota Republik Indonesia
Pasal 2
Azas
  1. MSI berazaskan Pancasila
Pasal 3
Tujuan
  1. Memajukan ilmu dan pengetahuan sejarah
  2. Memajukan pengkajian Sejarah Indonesia dari segala aspek
  3. Menghimpun para sejarawan Indonesia dalam suatu wadah profesi
  4. Menjadi forum komunikasi para sejarawan  pendidik dan peminat sejarah
Pasal 4
Usaha
  1. Menyelenggarakan pertemuan ilmiah dalam bidang ilmu dan pengetahuan sejarah
  2. Mengusahakan apresiasi masyarakat terhadap sejarah
  3. Menerbitkan majalah dan monografi yang memuat hasil penelitian para ilmuwan dalam  dan luar negeri mengenai sejarah Indonesia
  4. Mengadakan kerjasama dengan lembaga keilmuan khususnya bergerak dalam penelitian dan pengembangan ilmu dan pengetahuan sejarah
  5. Mengusahakan bantuan untuk kegiatan penelitian sejarah Indonesia dan sejarah umum
  6. Mengusahakan dan mendorong sejarawan untuk berperan dalam pembangunan.
Pasal 5
Struktur Organisasi
  1. Organisasi MSI terdiri atas MSI tingkat Pusat. MSI Tingkat Cabang, dan MSI Komisariat.
  2. Di setiap propinsi atau Daerah Tingkat I dapat dibentuk Cabang MSI jika di tempat tersebut terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) komisariat
  3. Di setiap daerah Tingkat II, kabupaten atau kotamadya dapat dibentuk komisariat MSI jika di tempat tersebut komisariat MSI jika di tempat tersebut terdapat sekurang-kurangnya 10 anggota.
  4. Ketua umum MSI Tingkat pusat dipilih dan disahkan oleh kongrres
  5. Ketua MSI tingkat Cabang dipilih dalam musyawarah Cabang dan disahkan oleh MSI pusat.
  6. Ketua MSI komisariat dipilh dalam Musyawarah Paripurna Komisariat dan disahkan oleh MSI cabang.
Pasal 6
Keanggotaan
  1. Keanggotaan MSI terdiri dari
  2. Yang dapat menjadi anggota biasa ialah
  3. Anggota kehormatan ialah mereka yang diangkat oleh pengurus Pusat berdasarkan jasa mereka bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan sejarah
  4. Anggota Peminat terdiri atas
  5. Anggota Donatur ialah mereka yang memberikan sumbangan secara tetap kepada MSI tanpa mengikat.
  6. Keanggotaan berakhir karena
    1. Meninggal dunia
    2. Atas permintaan sendiri
    3. Diberhentikan oleh pengurus pusat berdasarkan usul pengurus komisariat dan pengurus cabang
  1. Anggota Biasa
  2. Anggota Kehormatan
  3. Anggota Peminat
  4. Anggota Donatur
  1. sekurang-kurangnya lulusan sarjana Jurusan Sejarah, Jurusan Arkeologi, Pendidikan Sejarah dari suatu perguruan tinggi
  2. Lulusan pergurruan tinggi dalam bidang lain, tetapi telah mengadakan penelitian bidang sejarah
  3. Mereka yang telah menghasilkan tulisan yang mempunyai arti bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan sejarah
  1. Para pengajar sejarah di tingkat pendidikan dasar dan menengah
  2. Para peminat sejarah yang menggunakan ilmu sejarah untuk menunjang karya atau profesinya
  3. Anggota Donator ialah mereka yang memberikan sumbangan secara tetap kepada MSI  tanpa mengikat
Pasal 7
Hak dan Kewajiban Anggota
  1. Anggota MSI berkewajiban menaati AD & ART, serta ketentuan MSI lainnya.
  2. Anggota MSI  berhak megikuti kegiatan organisasi dan memanfaatkan hasil kegiatan MSI
  3. Anggota MSI mempunyai hak suara dalam rapat paripurna anggota sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 8
Rapat Paripurna Anggota
  1. Rapat Paripurna Anggota di Tingkat Pusat disebut MSI
  2. Rapat Paripurna Anggota di Tingkat Cabang disebut  Musyawarah Cabang atau Muscab
  3. Rapat Paripurna Anggota di Tingkat Komisi disebut Musyawarah Komisariat atau Muskom
  4. Rapat Paripurna Anggota baik dalam bentuk Kongres, Muscab, dan Muskom adalah kekuasaan tertinggi dalam MSI sesuai dengan tingkat masing-masing.
  5. Kongres, Muscab, dan Muskom diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun bersamaan dengan penyelenggaraan kegiatan keilmuan sejarah.
  6. Kongres bersifat terbuka dan dihadiri oleh utusan-utusan MSI Tingkat Cabang dan Tingkat Komisariat.
  7. Dalam Kongres dibahas, dan ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
    1. Laporan keuangan dan pertanggungan jawab Pengurus Pusat
    2. Masalah kebijakan organisasi
    3. Masalah yang berhubungan dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan sejarah
    4. Menetapkan program kerja lima tahun
    5. Memilih dan menetapkan Pengurus Pusat
    6. Kongres Luar Biasa dapat diselenggarakan berdasarkan permintaan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah cabang, dalam keadaan:
      1. Akan membubarkan MSI, atau
      2. Pengurus Pusat MSI menyimpang dari ketentuan-ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Pasal 9
Pengurus
  1. Pengurus terdiri sekurang-kurangnya seorang ketua, dua orang wakil ketua, dua orang sekretaris, dan dua orang bendahara. Merupakan pengurus harian dengan dibantu
  2. Pengurus Harian dilengkapi oleh sejumlah komisi yang membantu merumuskan kebijakan pengembangan dalam bidang-bidang:
  3. Penelitian, Pengembangan, dan Penulisan
  4. Pendidikan, dan Pertemuan Ilmiah
  5. Organisasi
  6. Dana
  7. Publikasi dan Dokumentasi
  8. Masing-masing komisi pada ayat (2) dipimpin oleh sejumlah komisi yang membantu merumuskan kebijakan pengembangan dalam bidang-bidang:
  9. Rapat gabungan antara pengurus harian, para ketua komisi, dan para anggota pengurus yang diperbantukan kepda semua komisi merupakan Dewan Pengurus Paripurna yang bertugas merumuskan kebijakan untuk melaksanakan keputusan Kongres, Muscab,, dan Muskom.
  10. Pengurus MSI Cabang dipilih oleh Muscab, dan diangkat oleh Pengurus MSI Pusat berdasarkan usulan Muscab.
  11. Pengurus MSI Komisariat dipilih oleh Muskom, dan diangkat oleh Pengurus MSI Cabang berdasarkan usulan Muskom
  12. Untuk menyelenggarakan kegiatan ilmu dan pengetahuan sejarah yang bersamaan waktunya dengan kongres, muscab, dan muskom pengurus dapat membentuk suatu panitia penyelenggara
  13. Pengurus berhak bertindak sebagai Panitia Pengarah kegiatan sejarah yang diselenggarakan bersamaan dengan kongres, muscab, dan muskom.
  14. Masa bakti kepengurusan berlaku 5 tahun.
Pasal 10
Hak dan Kewajiban
  1. Pengurus Harian dan ketua-ketua komisi berhak mewakili dan berwenang untuk bertindak atas nama MSI baik ke luar maupun ke dalan dengan sepengetahuan ketua umum.
  2. Segala kewenangan dan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pengurus harian dipertanggungjawabkan kepada Kongres untuk Pengurus Pusat, Muscab, untuk Pengurus Komisariat.
  3. Kewenangan dan kebijakan yang dilakukan oleh ketua komisi dipertanggungjawabkan kepada Rapat Pengurus Paripurna.
  4. Pengurus berkewajiban memenuhi dan melaksanakan ketentuan AD, ART, dan Keputusan Rapat Paripurna atau Kongres Muscab, dan Muskom sesuai dengan tingkatanya.
  5. Pengurus berkewajiban melaksanakan program kerja untuk mewujudkan tujuan MSI
  6. Pengurus berkewajiban membela dan memajukan kepentingan para anggota serta mempertahankan integritas profesi.
  7. Pengurus berwenang menetapkan peraturan dan kebijaksanaan utuk menjalankan tugasnya sepanjang tidak bertentangan dengan AD, ART, dan keputusan kongres, muscab dan muskom
Pasal 11
Kekayaan
  1. Sumber keuangan unuk membiayai usaha MSI sesuai dengan tujuan yang tersebut pada pasal 3 adalah:
  2. Dalam usahanya mengembangkan ilmu dan pengetahuan sejarah MSI dapat mengelola milik-milik:
  1. Uang pangkal dan iuaran tahunan para anggota biasa dan anggota peminat.
  2. Sumbangan sukarela dari anggota penderma.
  3. Bantuan Pemerintah RI dn lembaga swasta.
  4. Sumbangan dari masyarakat berupa hibah, hibah wasiat, warisan dan pemberian lain yang sah dan tidak mengikat.
  1. Hasil publikasi
  2. Perpustakaan
  3. Lain-lain yang didapat dengan dengan usaha yang sah dan tidak mengikat.
Pasal 12
Pengesahan dan Perubahan Anggaran Dasar
  1. Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar hanya dapat dilaksanakan oleh sekurang-kurangnya 2/3 peserta kongres.
  2. Pemungutan suara dilakukan dalam Kongres bila sesuai keputusan tidak berhasil berdasarkan musyawarah dan mufakat (aklamasi), jika perlu juga dapat melalui referendum
Pasal 13
Pembubaran MSI
  1. Pembubaran MSI hanya dapat dilakukan apabila dikehendaki oleh 2/3 (dua pertiga) dari seluruh peserta Kongres.
  2. Apabila MSI dibubarkan, maka kekayaan yang dimiliki setelah semua hutang-hutang dibayar lunas dapat diserahkan kepada lembaga pengantinya yang mempunyai tujuan sama dengan MSI
Pasal 14
Penutup
  1. Hal-hal yang tidak dan belum diatur dalam Anggaran Dasar diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
  2. Anggaran Rumah Tangga disahkan oleh kongres berdasarkan usulan Pengurus Pusat.
  3. Anggaran Rumah Tangga tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar MSI.
Ditetapkan dan disahkan oleh Kongres MSI ke : IV
di                           : Jakarta
Pada tanggal        : 13 November 1996

Bung Ali Sjahbana dan Potret Pemuda Tinambung (1)

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 1)
“ Bung Ali Syahbana dan Potret Pemuda Tinambung”  
Oleh: Muhammad Munir


Tinambung hanyalah sebuah kota kecil kecamatan yang pendapatan warga masyarakatnya banyak bersumber dari hasil pertanian, melaut, berdagang dan sebagian lainnya adalah pegawai negeri sipil. Tinambung dikenal dengan Sungai Mandar-nya yang membelah kota tua ini. Selain sungai Mandar yang membelahnya, ia juga diapit areal perkebunan di kaki bukit dan gunung serta berada dekat pantai teluk Mandar. Sekitar beberapa meter dari aliran sungai Mandar, terdapat sebuah kompleks pasar yang menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi sejak lama. Pasar Tinambung ini ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar kecamatan Tinambung seperti Alu Balanipa bahkan Majene. Pasar ini menjadi ikon Tinambung sebelum kemudian pemerintah memindahkannya ke wilayah yang jauh dari jalan poros. Tahun 2012/2013 para pedagang direlokasi sehingga hari ini yang nampak hanyalah hamparan tanah lapang yang digenangi air, rumput tumbuh liar dan tak terawat menjadi penanda berakhirnya  riwayat pasar Tinambung sebagai pusat perdagangan tradisional yang menjadi ikon kota tua tersebut.
 
Cerita tentang pasar Tinambung memang melegenda dengan tabiat para kusir bendi yang tak mau menegnal rambu-rambu lalu lintas. Lampu merah (traffick light) Tinambung sejak berdirinya nyaris tak pernah difungsikan. Bagaimana tidak, sebab para kusir yang datang tak peduli dengan nyala lampu, merah kuning hijau semua ia labrak. Celakanya, tak jarang tiang traffick light tersebut jadi tambatan kuda. Apakah tak ada petugas keamanan? Oh jangan tanya itu, sebab para kusir yang kebanyakan hanya faham bahasa Mandar ini ketika ditegur, jawabannya hanya satu yaitu Kowi Lakka (parang panjang), berurusan dengan mereka jelas tak ada untungnya. Lalu apakah para kusir itu adalah komplotan preman? Jawabnya juga satu. Bukan !. Mereka adalah sekelompok manusia yang interaksi sosialnya sangat tinggi, tuturnya santun, sopan, ramah, suka menolong. Entah apa sebabnya, karena untuk urusan lampu merah, mereka tak mau kompromi. Itulah keunikan dari sebagian masyarakat Tinambung yang mungkin karakter seperti ini hanya satu di Indonesia, Sudah salah, duluan marah pula.
 
Cerita tentang Tinambung tak berhenti sampai disitu. Mereka adalah masyarakat yang terkenal dengan kebudayaan dan banyak melahirkan budayawan. Kota sejarah yang melahirkan banyak sejarawan, kampung seni yang melahirkan ratusan seniman handal, penulis yang piawai, aktor yang kesohor, politisi vocal dan banyak aksi, cerdas, berani dan banyak dituliskan. Tinambung sejak Indonesia ditulis menemukan takdirnya sebagai pusat kesenian dan kebudayaan. Teater Flamboyant (TF), adalah komunitas yang tumbuh, tidak saja sebagai komunitas kesenian yang melulu berteater melalui usungan karya seni ke pentas lokal tapi juga menasional. TF muncul menjadi semacam agen perubahan, dan pentafsir atas nilai-nilai kebudayaan (baca: kearifan budaya lokal) masyarakat Mandar. 

Dalam deskripsi TF yang ditulis oleh Muhammad Syariat Tajuddin menceritakan tentang awal kelahiran TF yang dibangun oleh para pemuda yang menandaskan hari-harinya dengan bertanggang dan main gitar, berjudi, minum tuak dan beragam pelaku khas gerombolan anak kampung, kemudian dilecut untuk menyatu dalam sebuah komunitas yang kemudian sanggup mengambil alih kesibukan dan perhatian para pemuda itu untuk lebih kratif mengembangkan kesenian. Apa yang digambarkan oleh M. Syariat Tajuddin tersebut dibantah oleh M. Sukhri Dahlan (Dewan Kehormatan TF). Menurutnya, tak ada pemuda yang khas gerombolan anak kampung (penjudi dan minum-minum) dalam ruang lingkup awal pendirian TF. Meski diakuinya, bahwa memang banyak pemuda yang hobbinya berjudi dan minum-minum di Tinambung, tapi itu tidak dalam lingkaran pemuda yang menjadi embrio dari komunitas TF ini. Pemuda yang menata diri lewat Flamboyant itulah yang kemudian menata para pemuda khas gerombolan itu menjadi komunitas yang tercerahkan dan mencerahkan.

Dalam wawancara penulis dengan M. Sukhri Dahlan, ia banyak menerangkan latar belakang dan kronologis terbentuknya TF. Sebagaimana yang ceritakannya, bahwa sejak tahun 70-an di Tinambung sudah terbentuk komunitas "Sebatin" atau "Seni Budaya Tinambung" yang dimotori oleh Ahmad Patingari, M. Asri, Nurdin dimana M. Dahlan tampil sebagai pihak yang mengupayakan alat musiknya. Pada tahun yang sama Bung Ali Syahbana, salah seorang sosok penggerak TF kelahiran Tinambung melanjutkan pendidikannya ke salah satu perguruan tinggi di Kota Gudeg Yogyakarta. Dari Kota Gudeg, ia kemudian banyak bersinggungan dengan seniman jalanan dan gelandangan Malioboro yang salah satu diantaranya Emha Ainun Najib, Eko Tunas, Ebiet G. Ade dan beragam lainnya yang sama-sama aktif dalam Study Sastra Persada Club dibawah asuhan Umbu Landu Paranggi (Presiden Penyair Malioboro) kala itu. (Bersambung).

RUMPITA: Melanggengkan Tradisi Intelektual yang Berbudaya

Oleh: Muhammad Munir 

RUMPITA (Rumah Kopi dan Perpustakaan) adalah beranda pustaka yang menjadi tempat kongkow-kongkow literasi yang menyediakan fasilitas ruang baca buku, Wi-fi untuk internetan. Nama Rumpita sendiri merupakan ide cerdas dari Abdul Rasyid Ruslan yang kemudian dikelola secara ikhlash untuk menata diri dan membuka ruang bagi aktifis pemuda, pelajar dan mahsiswa, budayawan, seniman serta sejarawan untuk berkumpul mengumpul kata banyolan yang tak ubahnya seperti sejarah yang selalu siap mencatat kebudayaan yang lahir sebagai peradaban. Selaku penulis sekaligus pengelola Rumpita juga tidak mengetahui asbab dari sebuah sebab yang membuat mereka berkumpul pada jam yang tak mau dicheklist dalam rangkaian agenda. 

Sejak launching pada 17 Februari 2016 yang dihadiri oleh Darwin Badaruddin (Asisten Bupati Polewali Mandar), Agusniah Hasan Sulur (Kabid Sosbud Bappeda Polman) dan Rusbi Hamid (Anggota DPRD Majene), sejak itu pula Rumpita menjadi alternatif untuk kumpul-kumpul. Kumpulnya seakan tak kenal waktu, entah pagi, siang, sore, malam bahkan sampai larut malam dan shubuhpun telah menjadi sesuatu yang lumrah atau sudah biasa dan terbiasa. Bukan hanya Tammalele yang kerap datang menyentil lalu hilang, bukan hanya Hendra Djafar yang kadang memekik tawanya ketika sampai pada titik klimaks diskusi, bukan juga hanya Muhammad Ishaq, Syuman Saeha, Bakri Latief, Ahmad Asdy, Hardi Jamal, Abdul Rahman Epo, Abdul Rahman Baas, Ramli Rusli, Mattotorang, Andi Morgan, Hasbi, Zulfihadi, Mursalin, yang dengan berbagai model teori dan materi terkupas terbelah liar. Bahkan Darmansyah, Nurdin Hamma, Horst Liebner, Hamzah Ismail, M. Sukhri Dahlan, Amru Sa'dong, Asri Abdullah, Saharuddin Madju, Arifin Nejas, Aldhin, Fausi Rizal, Muhammad Rahmat Muchtar-pun bukan orang asing dalam sebuah acara diskusi literasi dan kopi darat teman sosmed. 

Kebiasaan yang mungkin biasa tersebut ternyata bukanlah persoalan biasa-biasa saja yang sempat mereka munculkan. Ada hal yang begitu luar biasa ketika banyolan-banyolan itu sampai pada sebuah persoalan yang mesti diseriusi. Berkaca pada gerakan tambang sungai Mandar, membaca fenomena alam yang menggurita pada eksistensi lembaga yang bernama Flamboyant, taman budaya, literasi, festival sungai Mandar sampai pada persoalan poltik dan suksesi 2017pun diurai dengan sangat luar biasa. Katakanlah Tammalele yang dengan santainya mengatakan Budayawan bukanlah satu-satunya orang yang berbudaya. Ini tentu menjadi sebuah renungan yang tak biasa. Sebab hari ini, pembacaan pada persoalan kebudayaan, terutama pemerintah kadang jauh panggang dari api. Lihatlah ketika pemerintah membincang kebudayaan, bukankah kita hanya menemukan mereka terpenjara sebatas mengapresiasi budayawan dan seniman. 

Tidakkah Sandeq, Pakkacaping, Passayang-sayang, dan kesenian tradisional menjadi arti dan pemaknaan pada kebudayaan diantara mereka. Inilah yang mesti kita refly dan sasar untuk menjadi bagian dalam menentukan kajian dan pembacaan kita pada Sulbar secara makro. Tentu tak elegan lagi membincang Sulbar secara mikro, sebab bagaimanapun, Sulbar adalah ruang dialektika yang tentu menuntut siapapun untuk menjadikannya malaqbiq tidak sebatas jargon. Agama Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan, akan tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat lainnya, dari yang paling kecil sampai kepada yang lebih besar. Islam juga berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala siklus kehidupan. Dengan keberadaannya seperti itu, Islam bisa dikatakan selain sebagai agama juga bisa disebut satu kebudayaan yang sempurna yang tidak timbul dari hasil pergaulan masyarakat, bukan hasil ciptaan masyarakat, tapi merupakan kebudayaan yang langsung diturunkan Tuhan kepada masyarakat Arab yang juga berlaku untuk seluruh dunia. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan dan lain-lain, maka kebudayaan Islam hendaknya menjadi dapat diselaraskan dengan masing-masing masyarakat itu. 

Dalam kehidupan masyarakat, segala sesuatu saling mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan (cultur product), yang satu mempengaruhi yang lain selanjutnya mempengaruhi masyarakat yang lain. Dari sinilah kita mengenal Peradaban Masyarakat (Lafran Pane). Menarik dan sungguh sebuah keberuntungan bisa mengenal teman-teman diskusi yang dengan apa adanya menyuguhkan berbagai pengalaman untuk pengembangan cakrawala berfikir. Menyuguhkan sederet pengetahuan umum, pengetahuan agama yang dapat diselami menjadi ilmu serta membedah persoalan dengan cara kiri dan cara kanan. Ternyata situasi ini adalah sebuah bentuk membangun peradaban secara alami. Untuk menguatkan pernyataan tersebut, mari kita telisik dengan menggunakan teori Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan, tanda wujudnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optik, kedokteran, dan lain sebagainya. Dalam teori ini, substansi dari sebuah kemajuan-kemunduran suatu peradaban kuncinya di ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tentu tidak akan bisa berkembang tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. 

Penulis sangat yakin, bahwa diskusi-diskusi beginilah yang membentuk komunitas Teater Flamboyant Mandar dan Ali Syahbana begitu mengakar dan menyejarah hingga kematiannya. Dalam sejarah peradaban dunia, sebuah peradaban besar ternyata dimulai dari komunitas kecil, yang kemudian berkembang menjadi sebuah peradaban besar. Dalam perjalanan sejarah, komunitas itu umumnya lahir di perkotaan dan bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah, terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang darinya timbul suatu sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu negara. Kota Madinah, Kordova, Baghdad, Samara, Kairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan negara. Ibnu Khaldun bahkan memberikan gambaran lebih spesifik dengan tanda-tanda hidupnya sebuah peradaban yaitu dengan berkembangnya teknologi (tekstil, pangan, dan papan/arsitektur), kegiatan ekonomi, tumbuhnya praktik kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra, seni rupa, dll.). Dan dari balik tanda-tanda lahirnya sebuah peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan (Hariqo Wibawa Satri). 

Selain Ibnu Khaldun dengan teori dan tanda-tanda peradabannya, Sayyid Qutub beserta para sarjana Muslim kontemporer memasukkan agama, spiritual atau kepercayaan sebagai sumber peradaban. Beliau menyatakan bahwa, keimanan adalah sumber peradaban. Peradaban Islam misalnya, meski struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanen. Prinsip itu adalah keyakinan dan ketakwaan kepada Tuhan, supremasi kemanusiaan diatas segala yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, kesemuanya akan menyadarkan kita pada fungsi sebagai khalifatan fil ardh. Dari dua konsep tersebut muncul sebuah korelasi bahwa agama-agama samawi, Tuhan disimbolkan sebagai cahaya oleh para rasul melalui ajaran kitabnya. Dan kita tahu teori gerak benda dengan kecepatan tertentu akan menghasilkan energi, energi dengan kecepatan tertentu akan menhgasilkan cahaya. Ini rumus pengetahuan dan tentu saja ilmu harus kita sepakati sebagai Cahaya, Nur. 

Dari kesepakatan itulah kita sejatinya menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sebuah proses untuk mensifati sifat Tuhan. Dari sini kemudian menjadi menarik untuk kita simak pengakuan, Arnold Toynbee bahwa kekuatan spiritual (bathiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah yang kemudian disebut peradaban. Bahkan Muhammad Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban, entah itu peradaban purba seperti Yunani, Mesir, India maupun peradaban modern, agama, keyakinan atau kepercayaan mutlak harus dilibatkan dalam membangun sebuah peradaban. Sampai disini, terdapat 3 point penting yang menopang sebuah peradaban, yakni ilmu pengetahuan, komunitas yang mengembangkannya serta keyakinan atau agama sebagai asas peradaban. Dalam konteks ber-Indonesia, hal ini sudah berjalan ratusan tahun silam. Sebut saja Zaman Syailendra, Sriwijaya, Majapahit, termasuk Sulawesi dan tentu saja didalamnya ada Mandar, selain Bugis, Makassar, Luwu, Bone, Tator. Tapi kita tak akan masuk dalam membincang persoalan ratusan tahun lalu itu. 

Cukup hari ini kita menyadari, betapa pertukaran energi dari sebuah diskusi adalah hal yang paling urgen dan terbukti menjaga kesehatan dan memanjangkan umur. Demikian Pak Nurdin Hamma memberikan spirit untuk tetap mebangun budaya diskusi yang tidak saja menjadi esensi bagi terbangunnya peradaban, sekaligus sebagai bentuk pertukaran energi untuk memanjangkan umur secara fisik dan memanjangkan umur sebagai manusia yang menyejarah dan namanya kerap dilisankan meski ketiadaan melingkupi usia kemanusiaan kita. Akhirnya, penulis berharap komunitas apapun dan dimanapun mesti menjadi ruang bersama untuk menumbuhkan tradisi intelektual sebagai penanda bahwa kebudayaan kita hari ini masih menjadi penyaksi akan eksistensi peradaban Mandar yang kita jadikan identitas.

RUMPITA: BERANDA PUSTAKA DAN KONGKOW LITERASI

Oleh; Muhammad Munir

Berawal dari sebuah konsep Rumah Buku dan Cafe Baca yang dibentuk di Campalagian pada 2011. Konsep ini berjalan dengan menyediakan buku dan ruang baca plus minum kopi dan diskusi. Namun dalam perjalanannya tidaklah berjalan sesuai yang diharapkan. Hal ini kemudian mandeg dan hanya oleh karena rendahnya minat baca masyarakat dan berbagai kesibukan. Tahun 2013 -2014 pindah ke Wonomulyo, lagi-lagi tak mendapat respon dan tanggapan masyarakat terhadap budaya literasi. Dan nanti saat Pustaka Rakyat Sepekan yang diadakan kali keduanya ditahun 2015 oleh Generasi Muda Pambusuang (Dahri Dahlan) Barulah kemudian pengelola berinisiatif untuk pindah ke Tinambung. 

Di Tinambung kemudian ganti nama Komunitas Rumah Pustaka dengan moda Sepeda Pustaka, Rumah Buku dan Cafe Baca dan Motor Baca. Lengkaplah sudah moda pustaka untuk meramaikan kegiatan pustaka dan menularkan budaya literasi ke sekolah-sekolah dan beberapa model belajar di alam terbuka. Penulis menjadi salah satu penggembira dari demam literasi ini. Animo masyarakat dan apresiasinya begitu terasa. Adalah Darwin Badaruddin dan Abed El Mubarak, Adi Arwan Alimin dan Agusniah Hasan Sulur adalah sederet orang yang langsung mendonorkan sepedanya, begitupun donasi buku dari berbagai kalangan mulai dari pejabat bahkan masyarakat ikut berdonasi buku, termasuk Abdul Rahman dari Tandung ikut berdonasi dengan 1 unit Motor Honda CG100. 

Tak berhenti sampai disitu, Oktober 2015, Abdul Rasyid Ruslan Direktur CV. Juragan Pasar tak pake fikir lama langsung merogoh koceknya jutaan rupiah untuk menginjeksi semangat literasi dalam bentuk Rumah Kopi dan Perpustakaan disingkat Rumpita. Rumpita kemudian tampil menjadi tradisi baru yang menyatukan konsep gerakan sosial bidang literasi dengan konsep keirausahaan (entrepreneur). Dalam pandangan penulis, gerakan sosial tanpa adanya panding dana, hanya akan memperalat gerakan untuk merogoh kocek pemerintah untuk mengantongi anggaran. Rumpita kemudian menjadi wadah untuk mencerdaskan generasi dengan fasilitas buku bacaan dengan fasilitas jaringan Wifi yang bisa dinikmati setiap pengunjung. Pihak Rumpita menyediakan menu kopi susu, gorengan dan binte'. 

Membuka usaha kreatif via Rumpita adalah salah satu upaya untuk memperoleh keuntungan secara bermartabat yang sebagian dari keuntungan itu dialokasikan mendanai operasional kegiatan literasi. Rumpita dalam perkembangannya ikut membantu pemerintah Polewali Mandar sebagai media mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan hanya Polman, Manajemen Rumpita juga ikut berkonstribusi dilingkup pemerintahan dan komunitas masyarakat Majene dengan penguatan literasi. Penguatan yang dimaksud dengan menggarap beberapa buku tentang Mandar untuk diterbitkan oleh Pemda Majene. Salah satu yang sudah terbit adalah Sastra Mandar yang ditulis oleh Drs. Darmansyah dan Bakri Latief dan beberapa buku lain yang saat ini dalam proses cetak. 

Bilik Baca Rumpita sampai saat ini sudah ada di 10 titik di Kabupaten Polewali Mandar dan Majene. Setiap titik diberikan fasilitas buku bacaan 100 eksemplar untuk dibaca olen masyarakat di sekitar Bilik Baca Rumpita secara gratis. Rumpita juga kerap melakukan Beranda Pustaka dan Kongkow Literasi di berbagai komunitas masyarakat, sekolah dan desa-desa terpencil. Beranda Pustaka dengan cara tebar buku dan Kongkow Literasi disediakan untuk ruang diskusi dengan tema bebas. Pelaksanaannya tidak terjadwal resmi tapi kapan saja ketika Rumpita ditawari. Kondisi inilah yang membuat kami kewalahan dalam menyediakan buku bacaan sehingga kami sangat membutuhkan peran bapak/ibu untuk meringankan beban kami dalam menyediakan buku bacaan. Kepada yang berminat silahkan inboks kami atau invite pinBB 2653FE37.

ALAMAT:
RUMPITA (Rumah Kopi dan Perpustakaan)
Jl. Trans Sulawesi Depan Masjid Nurul Amin Kandemeng Desa Batulaya Kec. Tinambung Kab. Polewali Mandar Prov. Sulawesi Barat 91353