Minggu, 01 Mei 2016

MEMBINCANG MANDAR DARI SISI HISTORIOGRAFI vs ARKEOLOGI, ATAU POLITIK VS REALITAS ? (Bagian 2) Dari Komunitas Literasi Menelusur Sejarah

Oleh: Muhammad Munir
(Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar
dan Penggiat Literasi Rumah Kopi dan Perpustakaan-Tinambung)
Membaca dan menelaah buku sejarah Mandar hari ini, hal yang pasti kita temukan didalamnya adalah adanya ketimpangan struktur penulisan. Termasuk aroma konstruksi penulis juga sangat terasa dalam alur penulisannya, sehingga nampak tak berbeda dengan naskah sinetron dan film yang di dalamnya terdapat unsur pemeran yang bersifat oposisi biner (binary oposition), yakni pemeran protagonis dan antagonis. Disinilah peran penting seorang peneliti seperti Horst H. Liebner menjadi penting, namun dibutuhkan sebuah totalitas untuk menyingkap dinding tirai yang menyelimuti sejarah kita di Mandar. Passokkorang dibutuhkan keberadaannya sebagai pelengkap narasi dan deskripsi awal untuk mulai merunut periodesasi sejarah Mandar.
Untuk megurai Passokkorang, menarik untuk kita coba kaitkan dengan paparan Paul Michael Munoz, bahwa peradaban Sulawesi sudah ada sejak 8000 tahun lalu, yakni dengan munculnya kerajinan mikrolith Toali di Maros Sulawesi Selatan. Kerajinan itu berupa mata pisau dan mata panah Maros yang terbuat dari batu belah dengan bentuk-bentuk geometrik. Terkait dengan jejak peradaban di Sulawesi, ada dua gelombang migrasi yang melatarinya. Gelombang pertama dari ras Mogoloid yang terjadi sejak 4000 tahun SM dengan rute awal dari daratan China, menyebrang ke pulau-pulau yang kini dikenal Taiwan. Dari sana mengarus ke selatan ke pulau Luzon, Filipina, lalu terbagi dua. Satu ke barat daya mendarat di Kalimantan bagian utara (2500 tahun SM) dan satunya lagi ke barat laut ke daratan Asia, yakni wilayah Indochina.
Gelombang migrasi kedua berlangsung 3000 tahun SM, meniti ke Mindanao dan seterusnya ke daratan Sulawesi Utara, menyebrangi Teluk Tomini ke daratan Sulawesi Tengah lalu ke Jazirah Sulawesi Selatan. Hal menarik dari migrasi ini adalah pada setiap tempat-tempat yang dilaluinya, selalu ada konsep tentang manusia yang turun dari langit atau Tomanurung. Dari pantai barat Sulsel migrasi berlanjut lewat laut menuju pulau Jawa pada 2500 tahun SM, terus mengarus ke Sumatera dan semenanjung Melayu dan Thailand sampai 1000 tahun SM.
Pada fase 1500 tahun SM ini sudah dikenal kebudayaan perunggu, bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menetap dan tidak lagi menjadi manusia pengembara. Ratusan tahun berlangsung kebudayaan ini, sehingga mereka berkembang dan membentuk sebuah kelompok-kelompok yang lebih besar, membentuk desa-desa dengan suku multi klan. Dari sinilah dikenal pemimpin yang tampilannya otoriter karena berdasar pada prinsip egalitee atau kebersamaan, dimana suara setiap anggota kelompok cenderung sama harganya. Para pemimpin menjalankan kehendak bersama para anggota dan dengan demikian memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Hal ini memiliki banyak kesamaan dengan sistem demokrasi di dunia Barat meski dalam bentuk yang masih sangat sederhana.
Sampai disini, ada sebuah segmen dari zaman prasejarah yang menyelimuti daratan pulau Sulawesi yang isa bisa dikatakan era pra Tomanurung. Masa dimana orang belum mengerti apa itu agama. Di sekitaran aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai sungai Mapilli)terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal. Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama PASSIKOKKOANG yang kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi PASSIKOKKORANG dan akhirnya menjadi PASSOKKORANG.
Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani, memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus. Setelah beberapa generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar