Minggu, 01 Mei 2016

SAMAR: Sang Kembara Yang Semangatnya Membara.


Oleh: Muhammad Munir

Tulisan perdana kemarin (Radar, jumat 08 Januari2016) menangkat sosok tentang Bakri Latief, salah satu tokoh dan aset besar yang dimilik Mandar hari ini. Beliau multi talenta, juga tak salah jika beliau saya sebut sufi ketika membaca deretan puisi sufistik yang sementara saya garap dengan Manajemen Rumah Pustaka untuk dijadikan sebuah buku. Rumah Pustaka dalam setiap pergerakannya hanya mencoba memberi warna bagaimana berliterasi tidak hanya sekedar menyuguhkan, memajang buku untuk dibaca, tapi sekaligus menulis buku, memotifasi anak-anak untuk menulis, hingga sampai pada proses menulis seorang penulis, menulis deretan tokoh yang jarang ditulis, yang pada gilirannya sampai pada proses mensifati sifat tuhan yakni membesarkan seseorang, membangun seseorang, menciptakan sesuatu tanpa harus merasa kurang apalagi rugi. Maka jadilah kegiatan literasi ini menjadi sebuah sujud sosial yang tak ubahnya ketika kita masuk ke masjid melaksanakan shalat. Ketika melaksanakan sholat, kita tak perlu meniatkan bahwa kita sholat tujuannya untuk menjadi terkenal, menjadi besar, menjadi hebat atau menjadi apalah. Cukup kita melasanakan kewajiban itu sesuai kemampuan kita, tanpa harus memaksa diri melakukannya seperti nabi, khalifah atau seperti Imam Lapeo, dan annangguru yang lainnya.

Pada edisi kedua tulisan ini, saya ingin memperkenalkan kembali pada khalayak tentang keberadaan seorang seniman yang kerap kita tonton lewat VCD Album Mandar, atau dipanggung-panggung hiburan ketika ada pernikahan, hajatan,dll. Ia kerap tampil dengan lagu gambus ala Mandar, massayang-sayang. Ia punya penglihatan tidak sempurna, karena sejak lahir menyandang cacat tunanetra. Postur tubuhnya tak seatletis olahragawan, tidak ganteng seganteng artis-artis lainnya. Namanya singkat dan gampang dihafal.
Dari namanya, kita sudah bisa ditebak bagaimana orangnya, Samar adalah akronim dari Sayang Matanya Rabun. Ia memang lahir menyandang cacat tuna netra. Matanya yang buta, tapi hatinya tidak. Ia bahkan mampu menaklukkan keterbatasannya dan tumbuh dengan kehidupannya yang mengalir bagaikan air. Ia tumbuh dan berkembang menjadi seorang seniman, musisi hingga jadi seorang artis daerah Mandar. Sudah lebih 50-an lagu Mandar yang ia ciptakan. Beberapa album telah ia telurkan dari berbagai studio rekaman, diantaranya Pelangi Record, Jansen Record, Mentari Record dan lain-lain. Tak terhitung lagu yang diciptakannya dan dipopulerkan oleh beberapa penyanyi terkenal seperti Mamat GS dll.

Samar lahir di Batulaya, pada tahun 1960-an. Kehidupan yang susah dan masa-masa sulit sempat ia lalui. Mapparu lameaju, maande jepa, maqdokkang Pare Uma atau sebutan padi varietas lama yang tumbuh dengan batang lebih tinggi, lebih panjang ketimbang varietas baru yang pernah diperkenalkan pemerintah tahun 1970-an lewat program intensifikasi pertanian, macam PB-5 dan PB-8 yang berbatang pendek. Kondisi itu ia gambarkan lewat judul lagu "Melo Anna Andiang" yang dipopulerkan oleh Mamat GS. Lirik lagu bercerita tentang seorang ibu yang hanya mampu menyediakan makanan berupa jepa, dan doayu (sayur) lako-lako (sejenis sayur dari daun belokka yang buahnya menjadi makanan ular). Lagu itu juga bercerita tentang lingkungan masyarakat yang memanen padi dengan cara maqdokkang (panen padi atau pare uma dengan memakai raapang, bukan sabit) sementara ibunya hanya bisa mapparuq lameaju (memarut ubi kayu untuk kemudian di peras untuk dibuat jepa dan sokkol lameaju). Sebuah potret kehidupan dan kemiskinan pada masa lampau. Tapi menyerahkah dia?

Justru keterbatasan dan kemiskinan itulah yang membentuk karakternya, hingga ia dengan percaya diri beranjak dari proses kehidupannya yang menjadi seorang yang produktif di dunia seni tarik suara. Sebagaimana seniman-seniman besar yang lain, ia hidup dari panggung ke panggung. Kelihaiannya menyusun syair lagu sayang-sayang secara spontan dan penampilannya yang pas-pasan menjadi kelebihan tersendiri yang menarik simpati dihati masyarakat untuk mengundang ia tampil dalam setiap hajatan masyarakat setempat. Sekitar tahun 1988 ia kerap tampil dengan group musik Al-Muntaha di Segerang (kemudian berganti nama Al-Maidah). Masih sangat kental dalam ingatan saya. Ketika itu, tak banyak group musik yang bisa ditonton selain Al-Muntaha.

Saat itu, Samar sering tampil bersama Sama'da (almarhum) yang kerap membawakan lagu hits Terbayang-Bayang punya H.Ona Sutra. Syair dan notasi lagunya sebagian melo, beberapa beraliran padang pasir versi Mandar dan jenaka. Yang belum beredar Sureq di Alaqbai, matematika ini akan diangkat menjadi sampul album. Album lagunya diproduksi oleh Mentari Record, Pelangi Record, dan studio rekaman lain yang saat ini bertebaran dan tumbuh pesat di Sulbar.

Lirik dan syair lagu yang diciptakan oleh Samar tidak seadanya, syair-syairnya memenuhi standar dan karya sastra. Ketika bertandan ke Rumah Musik Beru-Beru Orchestra dan Rumah Pustaka kemarin, saya tertarik dengan syair-syair lagu yang ia bawakan langsung dengan petikan gitar diiringi gesekan biola Ainun Nurdin (Guru Musik Violis dan musik tradisional Mandar). Pesan yang tersampaikan lewat lagunya cukup kena, salah satu yang lagu yang ia ciptakan (belum beredar) berjudul Matematika, syairnya kira-kira begini: Satu kali ceko, dua kali ngoa, tiga kali siriate, Sama dengan Sapupala...... Pada lagu lain iya lebih piawai dalam pemilihan diksi pura pasarri sarau, pura balimbubengngi ia eloq-u Itaq namapparessu.

Demikian juga dalam lagu sayang-sayang yang ia lagukan. Syair-syairnya menyentuh dan itu secara spontanitas, seperti yang sempat ia nyanyikan saat selesai wawancara singkat dengan beliau: Namesioa manette// Namesioa manette Sureq sau sumombal// Sayange dipucca sasi todiqmo// dipucca sasi di biring rappaq lembong//- Sarau sau sumombal kandiq-e// Sarau sau sumombal mesa lipa nabawa// Sayange upasang lembong, kasiq-na// Upasang lembong damu base-basei// - Lembong dadza murittassi kandiq-e//Lemmbong dadza murittassidadza mubase-base// Sayange basei manini kasiq-na/ basei manini lipa pangindangaq-u//- Ubutungngi miq-abase kandiq-e// ubutungngi miq-abase ditangngana lolangan// Sayange usanga pura kandiq-u// Usanga pura tandayang upelei//- Natiapai napura sayange natiapami napura tandayang mupelei// Sayange suka lesseqmu todiqmo// Suka lesseqmu suka tandi tetteqna//- Kakkar sombal manya-manya// kakkar sombal manya-manya peloq-ii dande-dande// Sayange dioma kasiq-na// Dioma todi ditappaq pedoangmu//- Tania rurangan bega// tania rurangan bega mattarraqi lopiq-u// Sayange uwai mata kandiqu// Uwai mata mettonang di palaming//- Usanga bura poyosang// usanga bura poyosang diseqdena lopiq-u// Sayange ikandi palaka Massassai bayunna//

Samar saat ini banyak berdomisili di Mamuju. Dengan penampilan pas-pasan itu jangan dikira ia tak punya istri, bahkan diusianya yang telah menginjak 55 ini telah tercatat 6 kali nande likka (menikah). Samar memang tidak bisa diremehkan oleh siapapun. Sebagai musisi, pencipta lagu, dan penyayi ia banyak menginspirasi generasinya di Mandar. Terlebih pada sosok yang matanya buta, giginya carepa, dan postur tubuh yang pas-pasan itu. Bagi semua wanita yang ada di Mandar, saya hanya ingin berpesan agar dalam menghadapi Samar, atau orang yang punya keterbatasan fisik seperti Samar, jangan pernah meremehkannya, apalagi mentertawainya/mengejeknya. Sebab kebanyakan dari sikap seperti itulah yang membuat Mandar terkenal dengan ilmu guna-gunannya. Padahal sejatinta, tanpa ilmu mistik begitupun Tuhan lihat dan Tuhan tau bagaimana memperlakukan hambanya yang dianiaya, diadzolimi atau istilah Mandarnya digauq bawang.

Dalam wawancara singkat dengan beliau kemarin, 05 Januari 2016, ia berpesan janganlah kalian bersifat Barungan, Barungan itu peko dilalang madzoro disumbaling, tapi bersifatlah seperti Onde-onde, mammis dilalang maloppo di sumbaling. Demikian ia menutup wawancara singkatnya dengan saya yang lagi-lagi disampaikan lewat lagu yang akan ia rilis dalam albumnya di tahun 2016 ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar