Minggu, 01 Mei 2016

MEMBINCANG MANDAR DARI SISI HISTORIOGRAFI vs ARKEOLOGI, ATAU POLITIK VS REALITAS ? (Bagian 1) “ Dari Nusa Pustaka ke Lontaraq Pusaka


Oleh: Muhammad Munir
(Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar
dan Penggiat Literasi Rumah Kopi dan Perpustakaan -Tinambung)

Peluncuran Nusa Pustaka dan Pembukaan Pekan Rakyat Sepekan III di Pambusuang Kec. Balanipa (Minggu, 13 Maret 2016)adalah sebuah peristiwa sejarah yang membuat Perpustakaan dan Museum Bahari besutan Muhammad Ridwan Alimuddin ini bernilai sejarah. Disebut peristiwa sejarah, sebab dihadiri oleh Drs Darmansyah, Ketua Masyarakat Masyarakat Sejarawan (MSI)Cabang Sulbar, JJ. Rizal, Sejarawan Nasional dan Maman Suherman (Kang Maman), Notulen ILK dan penulis nasional. Baik JJ. Rizal maupun Kang Maman, keduanya adalah manusia dermawan yang akhir-akhir ini intens melakukan kunjungan ke Mandar. Kesemuanya itu menjadikan Nusa Pustaka semakin bernilai sejarah sebab ada juga Horst H. Horst Liebner, seorang peneliti sejarah maritim yang kehadirannya kali ini mencoba menelusur jejak-jejak sejarah Passokkorang melalui serpihan sejarah yang direkam dari berbagai manuskrip, deskripsi dan interview sejarah yang selama ini kerap dilisan tuliskan.

Hal menarik dari peristiwa ini adalah kehadiran Kadisbudpar Polewali Mandar, Andi Nursami Masdar, Camat Balanipa dan puluhan aktivis literasi, seni, tokoh pendidik, tokoh agama dan budayawan sebagai penyaksi dari peristiwa diresmikannya nusa pustaka ini. Nusa Pustaka adalah akumulasi dari berbagai upaya-upaya kecil yang tidak hanya lahir dari diskusi-diskusi tapi diikuti dengan aksentasi yang membuat semuanya menjadi punya ruang mengusung niat untuk bisa bermanfaat banyak kepada kemanusiaan yang lebih memanusiakan manusia. Muhammad Ridwan Alimuddin dan generasi muda Balanipa telah berhasil meretas jalan untuk membuktikan bahwa kelahiran manusia setiap saat menandakan bahwa Tuhan belum kapok dengan kemanusiaan.

Berangkat dari peristiwa sejarah, kegiatan yang bernilai sejarah di Nusa Pustaka, dan keberadaan manusia-manusia yang mencintai sejarah adalah sisi kemanusiaan yang tak akan luput dari catatan sejarah itu sendiri. Terlebih dari sebuah upaya Horst H. Liebner yang mencoba menelusur dan meneliti jejak-jejak peradaban tua di Mandar, yaitu Passokkorang. Passokkorang memang sebuah obyek yang mesti ditulis untuk melengkapi data periodesasi sejarah di Mandar. Jauh sebelum berdirinya Kerajaan Balanipa, terjadi sebuah perjanjian yang disebut Bocco Tallu yang digagas oleh Kerajaan Alu, Taramanu dan Sendana. Perjanjian Bocco Tallu bahkan diadakan dua kali dengan tujuan yang sama, yaitu menghadapi sepak terjang Passokkorang. Bahkan pasca berdirinya Kerajaan Balanipa pun, I Manyambungi Todilaling (1530-1565) masih terus disibukkan dengan upaya menghadapi Passokkorang yang ternyata baru tuntas terselesaikan setelah I Billa-Billami Tomepayung (1565-1580) menumpasnya dengan kekuatan militer penuh dari Joaq appeq Jannangang dan bala bantuan dari Alu, Tabulahang, Sendana dan kerajaan sekitar yang masuk dalan konfederasi PBB dan PUS

I Billa-Billami Tomepayunglah yang akhirnya berhasil menumpas kerajaan besar dan berdaulat selama beberapa generasi Takiya Bassi dan Labassi Kalling, yang juga ditumpas mulai dari Puatta Di Saragiang ke Puatta I Lepong, dan Puatta Di Galu-Galung,dari Tomakaka Lemo, Puang Di Gandang, ke I Manyambungi Todilaling dan I Billa-Billami Tomepayung. Sebuah proses perjalanan sejarah yang panjang dari Passokkorang kemudian diberangus dan mengganti wilayah kerajaannya menjadi Mapilli. Rentetan peristiwa sejarah tersebut tak hanya ditumpas secara militer, namun dalam penulisan sejarahpun jejak kerajaan Passokkorang tak diberi ruang, selain dengan stigmatisasi negatif dari rajanya yang biadab, serakah, semena-mena.

Dari Nusa Pustaka, kita kembali mengurai satu demi satu lontaraq pusaka tentang Passokkorang, dari Hort H. Liebner peneliti Sandeq ke langkah-langkah awal survey sejarah Mandar. Tak dapat disangkal, bahwa kedepan dengan penelitian sejarah Passokkorang ini, kembali sejarwan Mandar akan dipertemukan dengan perbedaan muatan sejarah dalam berbagai literatur. Namun apapun hasilnya, kita tentu berharap dalampenulisan sejarah kedepan, muatan perbedaan (distinction) itu tak menggiring kita dalam upaya pembedaan (discrimination), sebab jika ini terjadi, semua upaya penulisan dan penelitian seilmiah apapun sifatnya, tak lebih hanya berupa anomali sejarah yang pada akhirnya akan menjadi banalisasi sejarah. (Bersambung)
Radar, Jumat 18 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar