Jumat, 29 April 2016

Bung Ali Sjahbana dan Potret Pemuda Tinambung (1)

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 1)
“ Bung Ali Syahbana dan Potret Pemuda Tinambung”  
Oleh: Muhammad Munir


Tinambung hanyalah sebuah kota kecil kecamatan yang pendapatan warga masyarakatnya banyak bersumber dari hasil pertanian, melaut, berdagang dan sebagian lainnya adalah pegawai negeri sipil. Tinambung dikenal dengan Sungai Mandar-nya yang membelah kota tua ini. Selain sungai Mandar yang membelahnya, ia juga diapit areal perkebunan di kaki bukit dan gunung serta berada dekat pantai teluk Mandar. Sekitar beberapa meter dari aliran sungai Mandar, terdapat sebuah kompleks pasar yang menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi sejak lama. Pasar Tinambung ini ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar kecamatan Tinambung seperti Alu Balanipa bahkan Majene. Pasar ini menjadi ikon Tinambung sebelum kemudian pemerintah memindahkannya ke wilayah yang jauh dari jalan poros. Tahun 2012/2013 para pedagang direlokasi sehingga hari ini yang nampak hanyalah hamparan tanah lapang yang digenangi air, rumput tumbuh liar dan tak terawat menjadi penanda berakhirnya  riwayat pasar Tinambung sebagai pusat perdagangan tradisional yang menjadi ikon kota tua tersebut.
 
Cerita tentang pasar Tinambung memang melegenda dengan tabiat para kusir bendi yang tak mau menegnal rambu-rambu lalu lintas. Lampu merah (traffick light) Tinambung sejak berdirinya nyaris tak pernah difungsikan. Bagaimana tidak, sebab para kusir yang datang tak peduli dengan nyala lampu, merah kuning hijau semua ia labrak. Celakanya, tak jarang tiang traffick light tersebut jadi tambatan kuda. Apakah tak ada petugas keamanan? Oh jangan tanya itu, sebab para kusir yang kebanyakan hanya faham bahasa Mandar ini ketika ditegur, jawabannya hanya satu yaitu Kowi Lakka (parang panjang), berurusan dengan mereka jelas tak ada untungnya. Lalu apakah para kusir itu adalah komplotan preman? Jawabnya juga satu. Bukan !. Mereka adalah sekelompok manusia yang interaksi sosialnya sangat tinggi, tuturnya santun, sopan, ramah, suka menolong. Entah apa sebabnya, karena untuk urusan lampu merah, mereka tak mau kompromi. Itulah keunikan dari sebagian masyarakat Tinambung yang mungkin karakter seperti ini hanya satu di Indonesia, Sudah salah, duluan marah pula.
 
Cerita tentang Tinambung tak berhenti sampai disitu. Mereka adalah masyarakat yang terkenal dengan kebudayaan dan banyak melahirkan budayawan. Kota sejarah yang melahirkan banyak sejarawan, kampung seni yang melahirkan ratusan seniman handal, penulis yang piawai, aktor yang kesohor, politisi vocal dan banyak aksi, cerdas, berani dan banyak dituliskan. Tinambung sejak Indonesia ditulis menemukan takdirnya sebagai pusat kesenian dan kebudayaan. Teater Flamboyant (TF), adalah komunitas yang tumbuh, tidak saja sebagai komunitas kesenian yang melulu berteater melalui usungan karya seni ke pentas lokal tapi juga menasional. TF muncul menjadi semacam agen perubahan, dan pentafsir atas nilai-nilai kebudayaan (baca: kearifan budaya lokal) masyarakat Mandar. 

Dalam deskripsi TF yang ditulis oleh Muhammad Syariat Tajuddin menceritakan tentang awal kelahiran TF yang dibangun oleh para pemuda yang menandaskan hari-harinya dengan bertanggang dan main gitar, berjudi, minum tuak dan beragam pelaku khas gerombolan anak kampung, kemudian dilecut untuk menyatu dalam sebuah komunitas yang kemudian sanggup mengambil alih kesibukan dan perhatian para pemuda itu untuk lebih kratif mengembangkan kesenian. Apa yang digambarkan oleh M. Syariat Tajuddin tersebut dibantah oleh M. Sukhri Dahlan (Dewan Kehormatan TF). Menurutnya, tak ada pemuda yang khas gerombolan anak kampung (penjudi dan minum-minum) dalam ruang lingkup awal pendirian TF. Meski diakuinya, bahwa memang banyak pemuda yang hobbinya berjudi dan minum-minum di Tinambung, tapi itu tidak dalam lingkaran pemuda yang menjadi embrio dari komunitas TF ini. Pemuda yang menata diri lewat Flamboyant itulah yang kemudian menata para pemuda khas gerombolan itu menjadi komunitas yang tercerahkan dan mencerahkan.

Dalam wawancara penulis dengan M. Sukhri Dahlan, ia banyak menerangkan latar belakang dan kronologis terbentuknya TF. Sebagaimana yang ceritakannya, bahwa sejak tahun 70-an di Tinambung sudah terbentuk komunitas "Sebatin" atau "Seni Budaya Tinambung" yang dimotori oleh Ahmad Patingari, M. Asri, Nurdin dimana M. Dahlan tampil sebagai pihak yang mengupayakan alat musiknya. Pada tahun yang sama Bung Ali Syahbana, salah seorang sosok penggerak TF kelahiran Tinambung melanjutkan pendidikannya ke salah satu perguruan tinggi di Kota Gudeg Yogyakarta. Dari Kota Gudeg, ia kemudian banyak bersinggungan dengan seniman jalanan dan gelandangan Malioboro yang salah satu diantaranya Emha Ainun Najib, Eko Tunas, Ebiet G. Ade dan beragam lainnya yang sama-sama aktif dalam Study Sastra Persada Club dibawah asuhan Umbu Landu Paranggi (Presiden Penyair Malioboro) kala itu. (Bersambung).

(Tulisan ini dimuat di Radar Sulbar, Jumat, 29 April 2016)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar