SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT,
CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 1)
“ Bung Ali Syahbana
dan Potret Pemuda Tinambung”
Oleh: Muhammad Munir
Tinambung hanyalah
sebuah kota kecil kecamatan yang pendapatan warga masyarakatnya banyak
bersumber dari hasil pertanian, melaut, berdagang dan sebagian lainnya adalah
pegawai negeri sipil. Tinambung dikenal dengan Sungai Mandar-nya yang membelah
kota tua ini. Selain sungai Mandar yang membelahnya, ia juga diapit areal
perkebunan di kaki bukit dan gunung serta berada dekat pantai teluk Mandar.
Sekitar beberapa meter dari aliran sungai Mandar, terdapat sebuah kompleks
pasar yang menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi sejak lama. Pasar Tinambung ini
ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar kecamatan Tinambung seperti Alu
Balanipa bahkan Majene. Pasar ini menjadi ikon Tinambung sebelum kemudian
pemerintah memindahkannya ke wilayah yang jauh dari jalan poros. Tahun 2012/2013 para
pedagang direlokasi sehingga hari ini yang nampak hanyalah hamparan tanah
lapang yang digenangi air, rumput tumbuh liar dan tak terawat menjadi penanda berakhirnya riwayat pasar Tinambung sebagai pusat
perdagangan tradisional yang
menjadi ikon kota tua tersebut.
Cerita tentang
pasar Tinambung memang melegenda dengan tabiat para kusir bendi yang tak mau menegnal rambu-rambu
lalu lintas. Lampu merah (traffick light)
Tinambung sejak berdirinya nyaris tak pernah difungsikan. Bagaimana tidak, sebab para kusir yang
datang tak peduli dengan nyala lampu, merah kuning hijau semua ia labrak.
Celakanya, tak jarang tiang traffick light tersebut jadi tambatan kuda. Apakah
tak ada petugas keamanan? Oh jangan tanya itu, sebab para kusir yang kebanyakan
hanya faham bahasa Mandar ini ketika ditegur, jawabannya hanya satu yaitu Kowi Lakka (parang panjang), berurusan
dengan mereka jelas tak ada untungnya. Lalu apakah para kusir itu adalah komplotan preman?
Jawabnya juga satu. Bukan !. Mereka adalah sekelompok manusia yang interaksi sosialnya sangat
tinggi, tuturnya santun, sopan, ramah, suka menolong. Entah apa sebabnya,
karena untuk urusan lampu merah, mereka tak mau kompromi. Itulah keunikan dari sebagian masyarakat
Tinambung yang mungkin karakter seperti ini hanya satu di Indonesia, Sudah salah, duluan marah pula.
Cerita tentang
Tinambung tak berhenti sampai disitu. Mereka adalah masyarakat yang terkenal
dengan kebudayaan dan banyak melahirkan budayawan.
Kota sejarah yang
melahirkan banyak sejarawan, kampung seni yang melahirkan ratusan seniman
handal, penulis yang piawai, aktor yang kesohor, politisi vocal dan banyak aksi,
cerdas, berani dan banyak dituliskan. Tinambung sejak Indonesia ditulis
menemukan takdirnya sebagai pusat kesenian dan kebudayaan. Teater Flamboyant
(TF), adalah komunitas yang tumbuh, tidak saja sebagai komunitas kesenian yang
melulu berteater melalui usungan karya seni ke pentas lokal tapi juga menasional. TF muncul menjadi semacam
agen perubahan, dan pentafsir atas nilai-nilai kebudayaan (baca: kearifan
budaya lokal) masyarakat Mandar.
Dalam deskripsi TF yang
ditulis oleh Muhammad Syariat Tajuddin menceritakan tentang awal kelahiran TF
yang dibangun oleh para pemuda yang menandaskan hari-harinya dengan bertanggang
dan main gitar, berjudi, minum tuak dan beragam pelaku khas gerombolan anak
kampung, kemudian dilecut untuk menyatu dalam sebuah komunitas yang kemudian
sanggup mengambil alih kesibukan dan perhatian para pemuda itu untuk lebih
kratif mengembangkan kesenian. Apa yang digambarkan oleh M. Syariat Tajuddin
tersebut dibantah oleh M. Sukhri Dahlan (Dewan Kehormatan TF). Menurutnya, tak
ada pemuda yang khas gerombolan anak kampung (penjudi dan minum-minum) dalam
ruang lingkup awal pendirian TF. Meski diakuinya, bahwa memang banyak pemuda
yang hobbinya berjudi dan minum-minum di Tinambung, tapi itu tidak dalam
lingkaran pemuda yang menjadi embrio dari komunitas TF ini. Pemuda yang menata diri lewat Flamboyant itulah
yang kemudian menata para pemuda khas gerombolan itu menjadi komunitas yang
tercerahkan dan mencerahkan.
Dalam wawancara
penulis dengan M. Sukhri Dahlan, ia banyak menerangkan latar belakang dan
kronologis terbentuknya TF. Sebagaimana yang ceritakannya, bahwa sejak tahun
70-an di Tinambung sudah terbentuk komunitas "Sebatin" atau
"Seni Budaya Tinambung" yang dimotori oleh Ahmad Patingari, M. Asri,
Nurdin dimana M. Dahlan tampil sebagai pihak yang mengupayakan alat musiknya.
Pada tahun yang sama Bung Ali Syahbana, salah seorang sosok penggerak TF
kelahiran Tinambung melanjutkan pendidikannya ke salah satu perguruan tinggi di
Kota Gudeg Yogyakarta. Dari Kota Gudeg, ia kemudian banyak bersinggungan dengan
seniman jalanan dan gelandangan Malioboro yang salah satu diantaranya Emha
Ainun Najib, Eko Tunas, Ebiet G. Ade dan beragam lainnya yang sama-sama aktif
dalam Study Sastra Persada Club dibawah asuhan Umbu Landu Paranggi (Presiden
Penyair Malioboro) kala itu. (Bersambung).
(Tulisan ini dimuat di Radar Sulbar, Jumat, 29 April 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar