1.
Kalinda’da’ Sebagai Karya Sastera
Kata Sastra
berasal dari bahasa Sangsekerta dengan kata dasar “Sas” yang berarti
instruksi atau ajaran. Sedangkan “Tra” berarti alat atau sarana.
Secara umum sastra adalah hasil cipta manusia berupa tulisan maupun lisan,
bersifat imajinatif, disampaikan secara khas, mengandung pesan (instruksi) yang
bersifat relatif. Sastra dapat direpresentasikan dalam bentuk gambar, melody -
music, lukisan ataupun karya lingkungan binaaan (arsitektur). Dalam bahasa
Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “Kesusastraan” atau
sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Sastra dalam
bahasa Inggiris disebut “Literature”, berasal dari kata “Litera”
yang berarti tulisan yang bersifat pribadi. Istilah ini secara umum
bermaksud mengidentifikasi makna yang terkandung dalam sebuah teks (tulisan)
termasuk prosa, fiksi, drama dan puisi. Sebelumnya telah dikenal sastra lisan;
seperti epic, legenda, mitos, balada (bentuk lain puisi lisan) dan cerita
rakyat (folktale).
Dalam arti
kesusatraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan
(sastra oral). Disini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi
dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengepresikan pengalaman atau
pemikiran tertentu.
Sastra dapat dibagi menjadi dua, yaitu
prosa dan puisi. Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat, misalnya :
Novel, Cerita/Cerpen, dan Drama. Sedangkan puisi adalah karya sastra yang
terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya sastra puisi yaitu :
Puisi, Pantun, dan Syair.
Dalam kamus
besar bahasa Indonesia (KBBI), sastra dijelaskan sebagai berikut :
(1) Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai
dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari);
(2) Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan
tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan,
keindahan dalam isi dan ungkapannya;
(3) Kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan;
(4) Pustaka; kitab primbon (berisi ramalan,
hitungan, dsb).
Wellek dan Austin Warren, berpendapat
bahwa; Sastra adalah :
(1) Sebuah ciptaan, kreasi, bukan Cuma imitasi;
(2) Luapan emosi yang sepontan;
(3) Bersifat otonom;
(4) Otonomi sastra bersifat koheren (selaras
bentuk dan isi);
(5) Menghadirkan sintesa antara hal-hal yang
saling bertentangan; (6) Mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan
bahasa sehari-hari.[1]
2.
Bentuk Bentuk Sastra
Prosa di Mandar
Selain kalinda’da’, ada berbagai macam karya
sastra yang beredar dikalangan masyarakat Mandar, antara lain:
-
Pau-Pau
Losong.
Pau-pau losong adalah salah satu bentuk karya sastra. Pomolitang atau
dongeng yang dalam
bahasa Inggris disebut
folklore. Dongeng
merupakan suatu cerita fantasi yang kejadian-kejadiannya tidak benar terjadi (Prof. Dr. Stjipto W, 1964:95). Pau-Pau Losong hidup dikalangan rakyat yang disajikan dengan
cara bertutur lisan oleh tukang cerita, seperti pelipur lara dan pawang,
termasuk jenis prosa fiksi yang tertua. Munculnya hampir
bersamaan dengan adanya kepercayaan dan kebudayaan suatu bangsa.
Pada mulanya dongeng berkaitan dengan
kepercayaan masyarakat yang kebudayaan primitif terhadap hal-hal yang
supranatural dan manifestasinya dalam alam kehidupan manusia seperti animisme,
dan lain-lain. Bagi manusia, dongeng berfungsi sebagai
hiburan, keprcayaan yang bersifat yang bersifat didaktik (pengajaran moral dan
nasehat bagi kehidupan), dan sumber pengetahuan. Yang terakhir ini dikemukakan
oleh Jacob Grimn bahwa dongeng-dongeng menggambarkan peri kehidupan dan
kebudayaan nenek moyang bangsa Jerman, serta sumber mempelajari bahasa dan
menemukan hukum-hukum bahasa Jerman.
Berdasarkan isinya, dongeng digolongkan atas beberapa jenis,
yaitu: mite,
legenda, sage, fabel, parabel, dongeng alam, dongeng
tentang peri dan hantu (ghots), dan dongeng jenaka. Dongeng-dongeng yang ada pada berbagai
kebudayaan bangsa-bangsa di dunia boleh dikatakan bersifat universal, yaitu memiliki banyak persamaan dalam
cerita-cerita dongeng itu. Ternyata budaya mendongeng juga
lengket dengan kehidupan masyarakat Mandar.
Pada tahun-tahun
60 sampai 80-an. Tradisi mendongeng masih kerap kita saksikan dalam berbagai
lapisan masyarakat. Umumnya setiap anak-anak mau tidur pada saat itu, ia selalu diantar dengan cara mendongeng. Materinya bermacam-macam, tapi yang sangat sering dijadikan materi adalah
dengan menggambarkan tingkah laku binatang yang baik dan buruk yang dapat
dicontohi oleh manusia misalnya dongeng I
Puccecang annaq I Pulladoq (Kera dengan Pelanduk), di mana kera
melaksanakan sifat yang baik dan pelanduk melaksanakan sifat yang kurang baik, atau tentang Asu mennaungguru lao di Posa (anjing berguru kekucing), tentang Nene’ Pakkande ate, dll.
-
Tolo’ (kisah)
Tolo’ adalah kisah yang menggambarkan
liku-liku kehidupan dari seseorang tokoh dalam masyarakat misalnya kisah Tonisesse’ di Tingalor (seorang bidadari jatuh dari kayangan dan
ditelan oleh seekor ikan Tingalor) dan tentang Ha’dara dari Renggeang. Tolo’ biasanya dinyanyikan oleh seorang pakkacaping saat tampil menghibur.
-
Sila-sila
(silsilah)
Sila-sila adalah
cerita yang menggambarkan suatu kerajaan dan
nama-nama rajanya secara turun-temurun, misalnya silsilah raja-raja di Balanipa, Tabulahang,
Aralle, Pamboang, Tabang, Mambi, Sendana, Bambang, Banggae dsb:
-
Pappasang
(pesan-pesan luhur)
Pappasang adalah pesan yang menggambarkan
ajaran norma, nasihat dan petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga dan bagi
kehidupan masyarakat yang lebih luas, misalnya pesan orang tua terhadap
anak-anaknya, pesan seorang kakek terhadap pasangan suami isteri, pesan seorang
sesepuh kepada warga masyarakat, pesan-pesan raja pada rakyatnya.[2]
Salah satu contoh
pappasang adalah “Naiyya
Mara’dia, tammatindoi di bongi, tarrarei di allo, na mandandang mata di mamatanna
daung ayu, dimalimbonna rura, dimadinginna litaq, diajarianna banne tau,
diatepuanna agama” (Adapun seorang raja, tidak dibenarkan tidur
lelap di waktu malam, berdiam diri dan berpangku tangan di waktu siang hari. Ia
wajib selalu memperhatikan akan kesuburan tanah dan tanam-tanaman, berlimpah
ruahnya hasil tambak dan perikanan, damai dan amannya Negeri/kerajaan,
berkembang biaknya manusia/penduduk dan mantap teguhnya agama).
-
Mantra (Paissangang)
Mantra atau Paissangang sesungguhnya adalah salah
satu bentuk karya sastra di Mandar. Misalnya “Passanreanging, Ranja’ ringe, Pittommuaneang- Pittowaineang, Panawar
dll. Berikut salah satu mantera paissangang
yang kerap digunakan oleh masyarakat Mandar :
(1) Leseo mating
anging
Nanaolai mating
Ipanjala-jala lino
Laso diting – Laso dini.
Wahai
angin kau menghindarlah
Karena
akan kesitu
Penjelajah
dunia
Kejantanan (laso) disitu kejantanan (laso)juga
disini
(2)
Russu’ a’dona (……….Nama orang)
Russu’ uwe’na
Kepo’ lawena
Matanna upadzipondo.
Bengkok
tulangnya (…..Nama orang)
Terlipat
pembuluh darahnya
Bibirnya
tak lurus
Mata
bolanya kusimpan di belakanku.
(3)
O….Matanna allo
Laoa’ alangang nyawana (….Nama orang)
Nyawana uponyawa
Ateu napoate
Atena upoate.
Wahai
sinar mentari
Kau jemput nyawahnya/perasaannya (…Nama orang)
Perasaanya
kujadikan perasaanku
Hatiku
tersimpan di hatinya
Hatinya
tersimpan dihatiku.
(4)
Pembolongo’o di pembolongammu
Memango’o di memangammu
Dao lamba-lamba
Siasayangngio luluare’mu.
Kau
lebur dipelaburanku
Kau
terperangkap diperangkapmu
Kau
jangan kemana-mana
Kau
saling menyayangi saudaramu. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar