Penulis
meminjam sebuah pribahasa kuno dari Indian Alaska, “When an elder dies a library
burns” ketika seorang tua meninggal maka satu perpustaakan habis
terbakar. Sebuah pertanyaan
seketika muncul, sudah berapa perpustakaan kita yang hilang
dan apa upaya kita untuk melestarikan perpustakaan yang hilang itu untuk tetap bertahan?. Pertanyaan ini penting untuk dijawab, sebab refleksi
dari perkembangan abad manusia nusantara yang kian meninggalkan hikmah warisan
para tetuanya. Sehingga tumbuh sebuah keraguan
yang masih mencemak untuk melanggengkan warisan
tersebut.
Penulis menganggap, pesan tetua inilah yang disebut sebagai
filsafat ke-Indonesiaan kita. Kelompok
filsafat barat menyebutnya hal itu sebagai fase fase kosmosentris. Tapi kita memiliki penamaan tersendiri tanpa harus dikategori
sebagai manusia animisme dan dinamisme. Kaitannya dengan fakta anak bangsa telah terjangkit
modernisasi, baik tingkah laku dan pola pemikirannya,
mereka hidup tanpa mengetahui bagaimana semangat lokalitas dan semangat yang ditawarkan modernisasi.
Tanpa
mengurangi rasa hormat terhadap para tokoh bangsa Indonesia, ada salah satu fase dimana bangsa ini mulai
meninggalkan falsafahnya. Itu
dimulai dari munculnya para pemikir bangsa ini yang melahirkan konsep emansipasi, madilog, sosialisme
dan lain sebagainya. Konsep itu mengisyaratkan pada dunia bahwa tradisi dan
kebudayaan Indonesia adalah karakter manusia timur yang tertinggal meski dipuja
dari tata nilai namun tidak merubah persoalan taraf kehidupan. Lalu
konsep-konsep tersebut mengambil celah keadaan bangsa ini dengan isu-isu
kesejahteraan. Nah ketika modernisme ini kian merajalela, perubahan
besar-besaran kemudian terjadi, dekonstruksi, rekontruksi nalar dan kesadaran
anak bangsa tak dapat terbendung.
Akibatnya, situs-situs peribadatan agama
kepercayaan lokal dimasa lalu, kini ditinggalkan. Padahal yang terpenting dari
situs tersebut yakni sebagai simbol keberadaan kejayaan dimasa lalu. Paling
tidak kita sadar untuk merawatnya dari termakannya zaman. Baik dia yang
berbentuk karsa, rasa ataupun cipta artefak serta nilai falsafah.Dapat kita
saksikan sendiri, kaum-kaum adat hari ini masuk sekolah lalu mengusai ilmu
sains dan filsafat modern, hingga adat kini di anggap
sebagai mistisme dan takhayyul serta ilusi kuno bin kolot.
Penghormatan
masyarakat adat terhadap air dan roh air kini tergantikan oleh eksploitasi
orang modern terhadap air, hingga air seenaknya dicemari. Laut pun kemudian dianggap boleh dicemari karena
di anggap benda mati dan tak patut dihormati. Begitu
juga penghormatan terhadap hutan dan roh hutan telah tergantikan dengan
eksploitasi hutan, penanaman seuta pohon
digalakkan, tapi seribu hektar hutan dibalak liar tak pernah bisa digagalkan,
hutan kemudian sah -sah saja untuk dibakar dan dijadikan lahan industry,
sebab hutan bukan lagi hal yang keramat. Parahnya, agama dengan muatan
liberalisme dan radikalisasi ikut dijadikan alat untuk menghancurkan falsafah
tersebut.
Bukankah
agama telah mengajarkan kita untuk saling menghormati antara manusia dengan
manusia termasuk terhadap alam. Isu-isu HAM dan Pluralisme menjadi bagian tak
terpisahkan sebagai hasil konstruksi kesadaran dari rincian pengetahuan barat.
Mungkin bisa direfleksi bagaimana metode suku Badui dan suku Mandar mengelola
hasil alamnya tidak hanya dengan tata cara teknis belaka dengan kandungan makna
ussul dan pemali yang dilakoninya, mereka tetap sejahtra untuk survive. Tidak
hanya berfikir mau makan apa hari ini dan esok tetapi bagaimana kehidupan
sosialnya terjaga.
Jika
di Mandar Sulawesi Barat terdapat konsep tomanurung,
filsafat orang Mandar yang memandang manusia sebagai makhluk yang berasal dari
langit atau surga atau bahkan berasal dari negeri para kaum leluhur, telah
tergantikan oleh filsafat moderen dibangku sekolah, bahwa manusia adalah makhkuk
evolotif yang berasal dari kera (Manusia Purba). Beginilah cara dunia moderen
meletuskan segala bentuk perang bagi peradaban manusia menuju globalitas
runtuhnya peradaban.
Bagaimana
dengan konsep memandikan pusaka (Massossor) ritual laut dan perahu bagi orang
Mandar dahulu, sebagai keluluhuran filsafat orang nusantara kemudian direduksi
hanya pada model tekhnis semata, bukan sebuah makna filosofi “amaniniang”
keharmonisan antara unsur manusia, alam dan ketuhidan.
Bukan
dianggap salah jika belajar segala bentuk ilmu pengetahuan tetapi tidak serta
merta patron falsafah hidup kini berkiblat kebarat, dimana bangsa nusantara
jauh sebelumnya, telah lebih awal mendulang kejayaan dengan konsepnya sendiri.
Kemudian pengetahuanlah yang membuat masa keemasan dianggap feodalisme untuk
pelanggengan kekuasaan, yang kemudian harus diganti oleh konsep demokrasi.
Sistem ini justru jauh lebih membuka ruang kekuasaan.Sistem yang tak jauh beda
dengan hukum rimba, hanya saja dibalut dalam model patron politik lokal.
Artinya
bahwa politik dengan gembosan isu-isu kesejahteraan membuka keran oligarki dan
semakin memperhadap-hadapkan kaum proletar dengan para borjuis, jika digali
paradigmanya dianggaplah kelas sosial merupakan hasil reduksi pertarungan kasta
yang dilanggengkan dengan pengejewantahan keleluhuran para leluhur sebagai anak
tuhan. Padahal faktanya kini, justru negara lewat sistemnya dijadikan alat
untuk melanggengkan kekuasan kelompok tertentu, lalu tradisonalisme nusantara
kemudian menjadi kambing hitam.
Akhirnya,
yang terjadi tidak sekedar adanya pergeseran kesadaran manusia nusantara,
tetapi dampak dari pergeseran tersebut, munculnya wujud egosentrisme manusia
sebagai makhluk will to power,
kehendak untuk berkuasa serta kesewenangan terhadap alam semesta atas nama hak
rasio.
Salah
satu perpustakaan terbesar bangsa ini adalah kebudayaan yang tak hanya sekedar
kebudayaan, terkandung didalamnya nilai filosofis spritualisme dan
pengejewantahan sejarah peradaban nusantara. Penulis mengambil salah satu
contoh mahakarya terbesar bangsa Nusantara yang memenuhi berbagai aspek
kehidupan, yakni pencak silat. Bagi penulis pencak silatlah yang mengandung itu
semua. Olahraga, seni, kebudayaan dan spritual. Dialah pencak silat, mahakarya
bangsa dan salah satu pilar semua dimensi peradaban nusantara yang senantiasa
menyapa dunia, hari ini esok dan kemarin.
Akankah
esok akan menjadi harapan, kemarin menjadi kisah indah, dan hari ini tetap
sebagai jangkar yang kokoh untuk menuju harapan dan meneruskan kisah yang
indah?. Jawabnya ada pada kesadaran anak bangsa dalam menghadapi zaman.
Penulis
sangat bermimpi ingin membuat film silat seperti film taichi, bela diri Cina yang memainkan jurus dan filosofi bela
dirinya dalam sebuah film kungfu.
Penulis
teringat dengan sebuah film Cina yang menjelaskan kisah Ip Man (guru Bruce
Lee), Ip Man menegakkan kedaulatan
bangsanya lewat bela diri, dia bertarung melawan penjajah dan melawan
dominasi kebudayaan yang berupaya penjajah tanamkan didaratan Cina, lalu
mencoba memandang remeh beladiri Cina.
Hingga
suatu saat Ip Man harus bertarung melawan semua jenis beladiri asing Inggris
dan Jepang atas nama bangsa Cina. Terbukti dengan tekad dan kemampuan serta
militansi ideologi kecintaan terhadap negara, kebudayaan dan beladiri khas
bangsanya, dia mampu melawan penjajah yang mencoba meremehkan negara dan bela
diri khas bangsanya itu.
Nusantara
sendiri memiliki sebuah perdaban yang besar, nasanatara mempunyai peradaban
yang tak kalah dengan peradaban yang Cina miliki, tentu saja bangsa Indonesia
bisa menegakkan nasionalisme dengan kebudayaannya. Melawan dengan
primordialisme kebangsaan yang pantang tunduk pada penjajah. Sayangnya
kebudayaan pencak silat hanya berkembang disektor olahraga tetapi tidak sejalan
sebagai bentuk aspek budaya.
Awalnya
rencana penelitian ini dimulai karena terdorong melihat aktivitas kebudaayaan
yang terdokumentasi di Mandar belum ada
yang bicara tentang silat secara spesifik, umumnya kebudayaan dituliskan secara
spesifik pada musik, sastra, bahari serta tarian. Tidak khusus membahas
bagaimana perkembangan pencak
silat. Padahal salah satu kebudayaan yang akan digeser oleh globalisasi adalah
pencak silat, tidak hanya di Mandar tetapi di Indonesia secara umum. Silat kini menjadi sebuah identitas lokal bangsa yang
terlupakan. Sehingga penting untuk dituliskan, terlebih tidak semua diantara kita ingin
melakoninya.
Penulis
teringat dengan sebuah ungkapan Datuk Edwel, bahwa terlalu murah harga bangsa
saya jika saya tak bisa memberikan apa-apa, tapi ternyata ada kebudayaan khas
saya yang bisa saya banggakan untuk kukenalkan kedunia, dan kebudayaan yang
Edwel maksud adalah pencak silat.[1]
Ada
hal yang membahagiakan dalam penyusunan karya ini. Sebagai pemula, karya ini adalah anugerah tersendiri
dengan tercurahnya hidayah bisa menyusun
karya ini. Sejak
duduk di Kelas tiga SMA niat itu telah terbersit, namun belum memahami
karya kebudayaan seperti apa dan
dengan cara apa memulainya. Saat itu penulis sudah memiliki data-data dan pemahaman dasar ilmu beladiri.
Hal tersebut terjadi sebab sejak
kecil penulis telah
dibimbing langsung oleh ayahhanda untuk
mempelajari yusika (sejenis bela diri
silat). Saat masuk usia SMP, penulis telah belajar Black Panter. Demikian juga di SMA kerap mempelajari bela diri kempo dan melanjutkan tradisi silat di perguruan
silat Minangkabau
hingga dibangku kuliah. Penulis juga ikut
serta sebagai
atlit kempo Sulbar, dan tertarik untuk sedikit belajar beladiri karate. Dalam proses melihat, melakoni
dan membandingkan itulah penulis mulai meramu data-data melalui cerita tutur para
pendekar dan ahli beladiri asing hingga
penulis kemudian memilih
fokus di pencak silat.
Keterlibatan
penulis dalam berbagai kelas kejuaraan Kempo cukup memberi
pengalaman berharga, meski tidak menorehkan prestasi gemilang. Hal ini terjadi karena terbatasnya waktu untuk mengikuti
turnamen secara rutin. Bukan hanya itu,
penulis juga memilih lebih fokus dibangku kuliah dan organisasi. Kendati demikian, penulis merasa bersyukur mempunyai
kesempatan dalam melakoni beberapa pertarungan dan meraih
juara ketiga di pertandingan terakhir di Unhas Makassar. Dan pada tahun 2010 lalu, penulis berhasil menjadi peserta
terbaik ujian kenaikan sabuk tingkat Kiyu
Dua Nasional.
Pada saat menjadi mengikuti program studi S2 di Jakarta,
data-data
tersebut penulis kembangkan dan lebih dipertajam. Perkenalan penulis dengan orang-orang Jawa,
Betawi, Madura dan Minangkabau terlebih orang Bugis Makassar (sejak di Sulawesi) banyak
memberi informasi baru, baik secara literatur maupun tutur. Ada banyak orang yang penulis temui dan mencoba
mengorek informasi darinya, Namun dalam prosesnya, ada rasa kecewa sebab mereka menilai silat tradisional dianggap
tidak boleh untuk dipublikasikan dan belum dalam kesadaran untuk menyusun karya
ini.
Beruntunglah
keberadaan Buraq Padang yang merupakan
turunan dari Minangkabau di Mandar membuka peluang untuk menuliskan dan
mendokumentasikannya, berkat hubungan kedekatan Minangkabau dan Buraq Padang
serta kedekatan penulis dengan salah satu khalifah Buraq Padang dan
guru besarnya. Sembari mempelajari data-data dan menggali rahasia gerakan yang dimiliki
silat Buraq Padang.
Hikmahnya
adalah, tekad untuk menyusun karya sederhana ini dalam membincang silat Mandar,
akan dimulai dari BuraqPadang, yang
tidak hanya mewakili keberadaan pencak silat di Mandar, tetapi juga melatari
intrkasi kebudayaan dari sebuah peradaban antara orang Mandar dan Minangkabau.
Hingga patut di syukuri, semoga karya ini bermanfaat untuk pelestarian
kebudayaan di Mandar dan Indonesia khususnya pencak silat tradisional. Ucapan
terimakasih sedalam-dalamnya tanpa terkeculai untuk kedua orang tua dan Abdi
Ahmad selaku paman sekaligus ayah, sepupu dan para pembimbing penulis selama
mendalami dunia jurnalistik dan kajian kebudayaan serta pengetahuan lainnya
dibidang akademik.
Banyak
dari beberapa tokoh intelektual dan kebudayaan menjadi tempat belajar dan
berdiskusi, hingga tak luput ucapan terimakasih penulis sampaikan pada sosok
guru Muhammad Ma’ruf Muhtar. Sahabat senior Muhammad Sukriadi Azis, Mas’ud
Shaleh, Subair Sunar, Muslim Sunar, Askra Darwis, Syeh Ahmad Zaky Dfjafar
Almahdaly, serta orang tua kami Nurdin Hamma dan Tammalele dan semua yang tak
sempat dituliskan.
Ucapan
terimakasih pula untuk Muhammad Ridwan Alimuddin, Dahari Dahlan, Muhammad
Munir, Muhaimin Faisal, Adi Arwan Alimin dan sosok guru Muhammad Syariat
Tajuddin yang banyak memberi masukan selama ini. Sahabat karib Aco Muhammad
Rifai, Puaq Kali, Jasman Puaq Mi’na,Arif selaku senior dan guru pula buat
penulisi. Dan terkhusus pribadi KH. Muhammad Syibli Sahabuddin. Serta Prof. Dr.
H. Baharuddin Lopa, Husni Djamaluddin dan Prof. Dr. KH. Sahabuddin, bagi
penulis, meski tidak bersentuhan langsung dan hanya mengenal sosok dari latar
sejarah beliau disaat duduk dibangku sekolah, namun beliau adalah inspirator
yang akan selalu tumbuh dihati generasi Mandar.
Penulis
Suryananda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar