Jumat, 13 Januari 2017

BUKU SILAT BURAQ PADANG BALANIPA : Pengantar Penulis



Penulis meminjam sebuah pribahasa kuno dari Indian Alaska,When an elder dies a library burns ketika seorang tua meninggal maka satu perpustaakan habis terbakar. Sebuah pertanyaan seketika muncul, sudah berapa perpustakaan kita yang hilang dan apa upaya kita untuk melestarikan perpustakaan yang hilang itu untuk tetap bertahan?. Pertanyaan ini penting untuk dijawab, sebab refleksi dari perkembangan abad manusia nusantara yang kian meninggalkan hikmah warisan para tetuanya. Sehingga tumbuh sebuah keraguan yang masih mencemak untuk melanggengkan warisan tersebut.

Penulis menganggap, pesan tetua inilah yang disebut sebagai filsafat ke-Indonesiaan kita. Kelompok filsafat barat menyebutnya hal itu sebagai fase fase kosmosentris. Tapi kita memiliki penamaan tersendiri  tanpa harus dikategori sebagai manusia animisme dan dinamisme. Kaitannya dengan fakta anak bangsa telah terjangkit modernisasi, baik tingkah laku dan pola pemikirannya, mereka hidup tanpa mengetahui bagaimana semangat lokalitas dan semangat yang ditawarkan modernisasi.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para tokoh bangsa Indonesia, ada salah satu fase dimana bangsa ini mulai meninggalkan falsafahnya. Itu dimulai dari munculnya para pemikir bangsa ini yang  melahirkan konsep emansipasi, madilog, sosialisme dan lain sebagainya. Konsep itu mengisyaratkan pada dunia bahwa tradisi dan kebudayaan Indonesia adalah karakter manusia timur yang tertinggal meski dipuja dari tata nilai namun tidak merubah persoalan taraf kehidupan. Lalu konsep-konsep tersebut mengambil celah keadaan bangsa ini dengan isu-isu kesejahteraan. Nah ketika modernisme ini kian merajalela, perubahan besar-besaran kemudian terjadi, dekonstruksi, rekontruksi nalar dan kesadaran anak bangsa tak dapat terbendung.

Akibatnya, situs-situs peribadatan agama kepercayaan lokal dimasa lalu, kini ditinggalkan. Padahal yang terpenting dari situs tersebut yakni sebagai simbol keberadaan kejayaan dimasa lalu. Paling tidak kita sadar untuk merawatnya dari termakannya zaman. Baik dia yang berbentuk karsa, rasa ataupun cipta artefak serta nilai falsafah.Dapat kita saksikan sendiri, kaum-kaum adat hari ini masuk sekolah lalu mengusai ilmu sains dan filsafat modern, hingga adat kini di anggap sebagai mistisme dan takhayyul serta ilusi kuno bin kolot.

Penghormatan masyarakat adat terhadap air dan roh air kini tergantikan oleh eksploitasi orang modern terhadap air, hingga air seenaknya dicemari. Laut pun kemudian dianggap boleh dicemari karena di anggap benda mati dan tak patut dihormati. Begitu juga penghormatan terhadap hutan dan roh hutan telah tergantikan dengan eksploitasi hutan, penanaman seuta pohon digalakkan, tapi seribu hektar hutan dibalak liar tak pernah bisa digagalkan, hutan kemudian sah -sah saja untuk dibakar dan dijadikan lahan industry, sebab hutan bukan lagi hal yang keramat. Parahnya, agama dengan muatan liberalisme dan radikalisasi ikut dijadikan alat untuk menghancurkan falsafah tersebut.
Bukankah agama telah mengajarkan kita untuk saling menghormati antara manusia dengan manusia termasuk terhadap alam. Isu-isu HAM dan Pluralisme menjadi bagian tak terpisahkan sebagai hasil konstruksi kesadaran dari rincian pengetahuan barat. Mungkin bisa direfleksi bagaimana metode suku Badui dan suku Mandar mengelola hasil alamnya tidak hanya dengan tata cara teknis belaka dengan kandungan makna ussul dan pemali yang dilakoninya, mereka tetap sejahtra untuk survive. Tidak hanya berfikir mau makan apa hari ini dan esok tetapi bagaimana kehidupan sosialnya terjaga.

Jika di Mandar Sulawesi Barat terdapat konsep tomanurung, filsafat orang Mandar yang memandang manusia sebagai makhluk yang berasal dari langit atau surga atau bahkan berasal dari negeri para kaum leluhur, telah tergantikan oleh filsafat moderen dibangku sekolah, bahwa manusia adalah makhkuk evolotif yang berasal dari kera (Manusia Purba). Beginilah cara dunia moderen meletuskan segala bentuk perang bagi peradaban manusia menuju globalitas runtuhnya peradaban.

Bagaimana dengan konsep memandikan pusaka (Massossor) ritual laut dan perahu bagi orang Mandar dahulu, sebagai keluluhuran filsafat orang nusantara kemudian direduksi hanya pada model tekhnis semata, bukan sebuah makna filosofi “amaniniang” keharmonisan antara unsur manusia, alam dan ketuhidan.

Bukan dianggap salah jika belajar segala bentuk ilmu pengetahuan tetapi tidak serta merta patron falsafah hidup kini berkiblat kebarat, dimana bangsa nusantara jauh sebelumnya, telah lebih awal mendulang kejayaan dengan konsepnya sendiri. Kemudian pengetahuanlah yang membuat masa keemasan dianggap feodalisme untuk pelanggengan kekuasaan, yang kemudian harus diganti oleh konsep demokrasi. Sistem ini justru jauh lebih membuka ruang kekuasaan.Sistem yang tak jauh beda dengan hukum rimba, hanya saja dibalut dalam model patron politik lokal.

Artinya bahwa politik dengan gembosan isu-isu kesejahteraan membuka keran oligarki dan semakin memperhadap-hadapkan kaum proletar dengan para borjuis, jika digali paradigmanya dianggaplah kelas sosial merupakan hasil reduksi pertarungan kasta yang dilanggengkan dengan pengejewantahan keleluhuran para leluhur sebagai anak tuhan. Padahal faktanya kini, justru negara lewat sistemnya dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasan kelompok tertentu, lalu tradisonalisme nusantara kemudian menjadi kambing hitam.

Akhirnya, yang terjadi tidak sekedar adanya pergeseran kesadaran manusia nusantara, tetapi dampak dari pergeseran tersebut, munculnya wujud egosentrisme manusia sebagai makhluk will to power, kehendak untuk berkuasa serta kesewenangan terhadap alam semesta atas nama hak rasio.

Salah satu perpustakaan terbesar bangsa ini adalah kebudayaan yang tak hanya sekedar kebudayaan, terkandung didalamnya nilai filosofis spritualisme dan pengejewantahan sejarah peradaban nusantara. Penulis mengambil salah satu contoh mahakarya terbesar bangsa Nusantara yang memenuhi berbagai aspek kehidupan, yakni pencak silat. Bagi penulis pencak silatlah yang mengandung itu semua. Olahraga, seni, kebudayaan dan spritual. Dialah pencak silat, mahakarya bangsa dan salah satu pilar semua dimensi peradaban nusantara yang senantiasa menyapa dunia, hari ini esok dan kemarin.

Akankah esok akan menjadi harapan, kemarin menjadi kisah indah, dan hari ini tetap sebagai jangkar yang kokoh untuk menuju harapan dan meneruskan kisah yang indah?. Jawabnya ada pada kesadaran anak bangsa dalam menghadapi zaman.

Penulis sangat bermimpi ingin membuat film silat seperti film taichi, bela diri Cina yang memainkan jurus dan filosofi bela dirinya dalam sebuah film kungfu.

Penulis teringat dengan sebuah film Cina yang menjelaskan kisah Ip Man (guru Bruce Lee), Ip Man menegakkan kedaulatan  bangsanya lewat bela diri, dia bertarung melawan penjajah dan melawan dominasi kebudayaan yang berupaya penjajah tanamkan didaratan Cina, lalu mencoba memandang remeh beladiri Cina.

Hingga suatu saat Ip Man harus bertarung melawan semua jenis beladiri asing Inggris dan Jepang atas nama bangsa Cina. Terbukti dengan tekad dan kemampuan serta militansi ideologi kecintaan terhadap negara, kebudayaan dan beladiri khas bangsanya, dia mampu melawan penjajah yang mencoba meremehkan negara dan bela diri khas bangsanya itu.

Nusantara sendiri memiliki sebuah perdaban yang besar, nasanatara mempunyai peradaban yang tak kalah dengan peradaban yang Cina miliki, tentu saja bangsa Indonesia bisa menegakkan nasionalisme dengan kebudayaannya. Melawan dengan primordialisme kebangsaan yang pantang tunduk pada penjajah. Sayangnya kebudayaan pencak silat hanya berkembang disektor olahraga tetapi tidak sejalan sebagai bentuk aspek budaya.

Awalnya rencana penelitian ini dimulai karena terdorong melihat aktivitas kebudaayaan yang  terdokumentasi di Mandar belum ada yang bicara tentang silat secara spesifik, umumnya kebudayaan dituliskan secara spesifik pada musik, sastra, bahari serta tarian. Tidak khusus membahas bagaimana perkembangan pencak silat. Padahal salah satu kebudayaan yang akan digeser oleh globalisasi adalah pencak silat, tidak hanya di Mandar tetapi di Indonesia secara umum. Silat kini menjadi sebuah identitas lokal bangsa yang terlupakan. Sehingga penting untuk dituliskan, terlebih tidak semua diantara kita ingin melakoninya.

Penulis teringat dengan sebuah ungkapan Datuk Edwel, bahwa terlalu murah harga bangsa saya jika saya tak bisa memberikan apa-apa, tapi ternyata ada kebudayaan khas saya yang bisa saya banggakan untuk kukenalkan kedunia, dan kebudayaan yang Edwel maksud adalah pencak silat.[1]

Ada hal yang membahagiakan dalam penyusunan karya ini. Sebagai pemula, karya ini adalah anugerah tersendiri dengan tercurahnya hidayah bisa menyusun karya ini. Sejak duduk di Kelas tiga SMA niat itu telah terbersit, namun belum memahami karya kebudayaan seperti apa dan dengan cara apa memulainya. Saat itu penulis sudah memiliki data-data dan pemahaman dasar ilmu beladiri.

Hal tersebut terjadi sebab sejak kecil penulis telah dibimbing langsung oleh ayahhanda untuk mempelajari yusika (sejenis bela diri silat). Saat masuk usia SMP, penulis telah belajar Black Panter. Demikian juga di SMA kerap mempelajari bela diri kempo dan melanjutkan tradisi silat di perguruan silat Minangkabau hingga dibangku kuliah. Penulis juga ikut serta sebagai atlit kempo Sulbar, dan tertarik untuk sedikit belajar beladiri karate. Dalam proses melihat, melakoni dan membandingkan itulah penulis mulai meramu data-data melalui cerita tutur para pendekar dan ahli beladiri asing hingga penulis kemudian memilih fokus di pencak silat.

 Keterlibatan penulis dalam berbagai kelas kejuaraan Kempo cukup memberi pengalaman berharga, meski tidak menorehkan prestasi gemilang. Hal ini terjadi karena terbatasnya waktu untuk mengikuti turnamen secara rutin. Bukan hanya itu, penulis juga memilih lebih fokus dibangku kuliah dan organisasi. Kendati demikian, penulis merasa bersyukur mempunyai kesempatan dalam melakoni beberapa pertarungan dan meraih juara ketiga di pertandingan terakhir di Unhas Makassar. Dan pada tahun 2010 lalu, penulis berhasil menjadi peserta terbaik ujian kenaikan sabuk tingkat Kiyu Dua Nasional.

Pada saat menjadi mengikuti program studi S2 di Jakarta, data-data tersebut penulis kembangkan dan lebih dipertajam. Perkenalan penulis dengan orang-orang Jawa, Betawi, Madura dan Minangkabau terlebih orang Bugis Makassar (sejak di Sulawesi) banyak memberi informasi baru, baik secara literatur maupun tutur. Ada banyak orang yang penulis temui dan mencoba mengorek informasi darinya, Namun dalam prosesnya, ada rasa kecewa sebab mereka menilai silat tradisional dianggap tidak boleh untuk dipublikasikan dan belum dalam kesadaran untuk menyusun karya ini.

Beruntunglah keberadaan Buraq Padang yang merupakan turunan dari Minangkabau di Mandar membuka peluang untuk menuliskan dan mendokumentasikannya, berkat hubungan kedekatan Minangkabau dan Buraq Padang serta kedekatan penulis dengan salah satu khalifah Buraq Padang dan guru besarnya. Sembari mempelajari data-data dan menggali rahasia gerakan yang dimiliki silat Buraq Padang.

Hikmahnya adalah, tekad untuk menyusun karya sederhana ini dalam membincang silat Mandar, akan dimulai dari BuraqPadang, yang tidak hanya mewakili keberadaan pencak silat di Mandar, tetapi juga melatari intrkasi kebudayaan dari sebuah peradaban antara orang Mandar dan Minangkabau. Hingga patut di syukuri, semoga karya ini bermanfaat untuk pelestarian kebudayaan di Mandar dan Indonesia khususnya pencak silat tradisional. Ucapan terimakasih sedalam-dalamnya tanpa terkeculai untuk kedua orang tua dan Abdi Ahmad selaku paman sekaligus ayah, sepupu dan para pembimbing penulis selama mendalami dunia jurnalistik dan kajian kebudayaan serta pengetahuan lainnya dibidang akademik.

Banyak dari beberapa tokoh intelektual dan kebudayaan menjadi tempat belajar dan berdiskusi, hingga tak luput ucapan terimakasih penulis sampaikan pada sosok guru Muhammad Ma’ruf Muhtar. Sahabat senior Muhammad Sukriadi Azis, Mas’ud Shaleh, Subair Sunar, Muslim Sunar, Askra Darwis, Syeh Ahmad Zaky Dfjafar Almahdaly, serta orang tua kami Nurdin Hamma dan Tammalele dan semua yang tak sempat dituliskan.

Ucapan terimakasih pula untuk Muhammad Ridwan Alimuddin, Dahari Dahlan, Muhammad Munir, Muhaimin Faisal, Adi Arwan Alimin dan sosok guru Muhammad Syariat Tajuddin yang banyak memberi masukan selama ini. Sahabat karib Aco Muhammad Rifai, Puaq Kali, Jasman Puaq Mi’na,Arif selaku senior dan guru pula buat penulisi. Dan terkhusus pribadi KH. Muhammad Syibli Sahabuddin. Serta Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, Husni Djamaluddin dan Prof. Dr. KH. Sahabuddin, bagi penulis, meski tidak bersentuhan langsung dan hanya mengenal sosok dari latar sejarah beliau disaat duduk dibangku sekolah, namun beliau adalah inspirator yang akan selalu tumbuh dihati generasi Mandar.

                                                            Penulis


                                                            Suryananda




[1] youtube

Tidak ada komentar:

Posting Komentar