1.
Pengertian Kalinda’da’
Mandar adalah
salah satu suku yang mayoritas mendiami wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Dalam
catatan sejarah, manusia Mandar dikenal memiliki kemampuan merangkai kata dan
menghasilkan karya sastra yang membumi dan terus dilestarikan hingga saat ini.
Salah satu karya sastra yang cukup dikenal adalah Kalinda’da’.
Kalinda’da’ merupakan jenis sastra Mandar yang fungsi dan jangkauannya sangat luas, mampu memotivasi berbagai aspek kehidupan
masyarakat sejak dulu hingga kini. Hal tersebut terlihat dari berbagai macam naskah lontar
yang merekam keberadaan kalinda’da’ dalam rentang waktu yang begitu panjang.
Seacar bahasa
Kalinda’da’ banyak diinterpretasi secara berbeda, namun yang paling populer
menurut Idham Khalid Body[1]adalah ‘kali’ atau ‘gali’ dan da’da’ atau ‘dada’. Darmansyah juga mengurai Kalinda’da’ terdiri dari dua
kata, yakni K(g)ali “gali” sama dengan bahasa Madagaskar ‘kali’ dan ‘Da’da’ yang
berarti “dada” (bahasa Indonesia). N yang terdapat di tengah antara kali dan da’da’ adalah
fonim labio dental, fungsi fonim ‘n’ disini ialah menghaluskan/memperlancar
ucapan, sebab fonem ‘n’ dan ‘d’ adalah sama daerah artikulasinya[2].
Jadi kalinda’da’ terjemahan denotasinya adalah “gali dada” yang maksudnya ialah hasil menggali dada berupa
untaian perasaan dan pikiran dari isi dada yang di dalamnya ada hati, jadi
perasaan (dan pikiran) dari isi dada/hati. Kalinda’da’ berasal dari
ungkapan “kalimat indah-indah yang keluar
dari lubuk hati (sanubari) yang paling dalam” dengan kata lain kalinda’da adalah
cetusan perasaan dan pikiran yang
diungkapkan melalui kalimat-kalimat yang indah.
Kalinda’da’ termasuk dalam kategorisasi puisi lama.
Berbeda halnya dengan puisi baru, menurut Sutan
Takdir Alisyahbana bahwa perbedaan diantara keduanya sangatlah
besar jika dikaitkan dengan kebudayaan yang melatarbelakanginya. Menurut Nyoman (2011:107) ciri khas kelisanan adalah
penyebarannya yang dilakukan dari mulut ke mulut. Oleh
karna itu dapat dipastikan bahwa sastra lisan tumbuh subur di wilayah-wilayah
yang tradisinya tulisnya belum maju. Penyebarannya itu dilakukan pada
kegiatan-kegiatan kebudayaan, maupun dalam lingkup keluarga.[3]
Mengenai sastra
lisan, oleh Hutomo (1991;3-4) diungkapkan ciri-ciri
sebagai berikut:
a)
Sastra lisan hidup
dalam masyarakat tradisional,
b)
Dianggap sebagai
milik bersama,
c)
Seolah-olah tidak
ada pengarangnya, sehingga setiap orang bebas menyalin dan meresepsinya,
d)
Pada umumnya
terdiri dari beberapa versi,
e)
Tidak ada batasan
antara fakta dan fiksi,
f)
Estestis, dan
diucapkan berulang-ulang.
Sampai hari ini Kalinda’da’
berkembang di masyarakat Mandar tanpa ada yang mengklaim bahwa dialah yang
menggunakan pertama kali. Kalinda’da’ ini pada umumnya
disampaikan pada kegiatan Mappatamma
(khatam Al-Quran) dimana yang khatam Qur’an diarak keliling kampung dengan menggunakan kuda
atau sayyang pattu’du’. Kalinda’da
juga kerap digunakan saat acara Pettumaeang (melamar), serta kegiatan-kegiatan upacara kebudayaan lainnya.
Kalindaqdaq memilki kedudukan penting dalam kebudayaan
dan proses interaksi sosial masyarakat Mandar. Kalinda’da’ digunakan sebagai media untuk menyampaikan isi
hati dan pikiran, kalinda’da’ juga memiliki fungsi edukatif dan rekreatif
serta membentuk kepribadian.
Menurut Sarbin Syam (1997 : 58) Kalindaqdaq dikategorikan dalam beberapa tema diantaranya yaitu,
-
Humor (Kalinda’da’ Pangino).
-
Satire (Kalinda’da’ Mattedze)
-
Kritik sosial (Kalindaqda’ Pappakainga’).
-
Pendidikan/nasihat
(kalindaqda’ Pipatudzu).
-
Keagamaan (kalinda’da’ Masaalah).
-
Kejantanan/Patriotisme (Kalindaqdaq Pettummoaneang).
Sebagai salah satu warisan kebudayaan yang ada
di Mandar, kalinda’da’ tentu memiliki fungsi dan peranan penting
dalam struktur sosialnya. Sehingga beberapa ahli merumuskan beberapa fungsi Kalinda’da’ dalam kehidupan masyarakat Mandar sejak
dahulu kala hingga saat ini berfungsi sebagai: (1)
Sarana pendidikan akhlak, agama, dan budi pekerti. (2) Wahana penyebar luasan
informasi adat-istiadat. (3) Pelengkap upacara tradisional. (4) Alat penuturan
dalam pelamaran. (5) sebagai hiburan dalam masyarakat.
Jika diamati dari
kelima fungsi kalinda’da’ tersebut
segi pemanfaatan kelihatannya hampir punah, jarang
dijumpai ditengah-tengah lapisan masyarakat Mandar, yang tersisa adalah sebagai sarana hiburan yang dikenal dengan Passayang-sayang, pakkacaping, parrawana
towaine, itupun penggemarnya sebagian besar dari kalangan orang-orang tua.
Kalindaqdaq yang menyangkut pendidikan akhlak, budi
pekerti, dan agama islam, yang lazim dikenal dengan Elonna I Paragai, I Yamu’, I Hamil, I
Kai dapat dikatakan hampir punah. Padahal
menurut penuturan orang tua dalam kampung, konon dahulu kala selalu diadakan
upacara yang dihadiri oleh seluruh anggota masyarakat tua-muda dan anak-anak
untuk mendengar Elonna I Paragai, termasuk saya sering
mendengar elonna I Yamu’, I Hamil, I
Kaidalam iringan kecapi atau banyak juga disampaikan
lewat rebana (parrabana tobaine) yang syair-syairnya bermakna luas-dalam.[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar