Jumat, 13 Januari 2017

MENGELABORASI MAKNA KATA KADER


                                                         
 Oleh: Muhammad Munir

Sebuah percikan sejarah ketika bom atom mengguncang Hiroshima dan Nagasaki. Tak terhitung berapa jiwa manusia yang hilang melayang pada kejadian itu. Disaat yang sama sang kaisar datang memantau kejadian itu. Dari bibir Sang Kaisar itu kalimat pertama yang terucap adalah sebuah pertanyaan; ”Masih adakah guru yang hidup?’. Kenapa harus guru? Karena gurulah yang sangat berpeluang untuk membangun masa depan sebuah negara.

Ketika semua tokoh politik didaerah ini kehilangan jati diri, maka yang harus kita pertanyakan adalah masih adakah kader partai...? Kenapa kader? Karena kaderlah yang paling berpeluang untuk membangun masa depan partai. Kader adalah penentu kalah menang suatu partai dalam setiap kontestasi, baik itu pemilu, pilpres maupun pilkada. Kader adalah makhluk yang akan selalu ada dalam lingkup sebuah partai. Pimpinan boleh berganti, tapi kader tetaplah kader.

Istilah ‘kader’ adalah kosa kata yang sering kita sebut dan tidak terlalu banyak yang mencoba mengelaborasi makna kedalamannya. Dalam sebuah organisasi partai, kader dibedakan dalam dua kategori, yaitu “Kader Formalitas” dan “Kader Esensial”. Kader Formalitas adalah sebutan bagi siapapun pengurus struktural partai dan pernah mengikuti pelatihan kader. Sementara Kader Esensial adalah penjumlahan kualitas yang terdapat dalam diri seseorang tanpa melihat apakah orang itu berada dalam struktur partai atau tidak.

Kualitas yang dimaksud meliputi bentuk immaterial seperti cita-cita, angan-angan, niat baik, sifat ikhlash, tulus dll, hingga bentuk material yang dapat dilihat dalam konstribusi pemikiran, tenaga, dana dll. Pada pengertian Kader Formalitas yang tidak memiliki kualitas Kader Esensial cenderung akan menjadi beban dan penghalang untuk menang, bahkan mungkin tepat disebut “benalu partai”.
Mengelaborasi kata kader sesungguhnya merupakan upaya sebuah lembaga politik untuk membangun ruang akademis dan hati nurani.  Sebuah keniscayaan untuk menjadikan politik sebagai lapangan kompetisi sekaligus sportifitas. Kader bukanlah karyawan, bukan pula staf yang setiap saat harus menjadi pihak yang dituntut bertanggung jawab dalam setiap proses yang menjadi tugas dan tanggung jawab partai. Kader tak harus menjadi korban adanya penyelewengan, pembiaran dan apapun bentuknya, lalu dijadikan kekuatan untuk menjadikan kader sebagai pembela.

Adalah sebuah kesalahan fatal yang yang tidak bisa di tolerir, ketika dandanan-dandanan politik yang sifatnya menina bobokan kader. Pun partai tak harus menjadi muara dari seluruh kepentingan politik, sebab jika ingin besar, partai harus dijadikan seragam kolektif untuk mengakomodasi keinginan masyarakat lebih dahulu ketimbang kader. Karena atas nama demokrasilah partai politik menemui takdirnya untuk dilahirkan dengan fungsi utama sebagai rumah aspirasi rakyat.Jangan lagi mengeja konsep politik Belanda yang ketika ada segolongan yang tidak pro atau menentang maka jalan satu-satunya adalah disingkirkan.

Lembaga partai politik yang didalamnya ada banyak kader yang menjadi wakil rakyat. Sejatinya Partai dan lembaga DPR menjadi wadah aspirasi dan aksentasi konstituen dengan masyarakat secara umum. Pengurus partai dan anggota dewan seharusnya memposisikan diri sebagai aspirator, inisiator dan mediator bagi kebutuhan masyarakat secara umum dan konstituen secara khusus. Apabila aspirasi tidak mampu diakomodir secara baik dan benar, maka jangan heran jika kemudian kritik, opini, bahkan mosi tidak percaya sebab jika rakyat lelah maka makian dan sumpah serapah adalah halal baginya.

Sampai hari ini, sejak 2006, penulis masih menemukan adanya kader partai yang belum menemukan jati dirinya. Tak jarang kader tersebut menjadi kayu bakar dalam setiap pemilihan. Belum juga lahir wakil rakyat yang betul-betul bisa menjadi bagian dari solusi, yang ada malah menjadi bagian dari masalah. Pun belum kutemukan pimpinan partai yang betul-betul bisa menjadi corong kepentingan kader dan masyarakat konstituen, yang ada malah menjadikan jabatan sebagai pimpinan partai sebagai ajang gagah-gagahan. Baik Wakil Rakyat maupun Pimpinan Partai masih butuh proses untuk bisa connect dan menemukan frekwensi untuk bisa berkomunikasi dengan rakyat pada gelombang yang sama.

Lalu apakah kondisi seperti ini akan terus dipertahankan dan tak ada upaya-upaya yang bisa membuat kader lebih berdaya dan mandiri dalam kehidupan bermasyarakat ? Tulisan ini tidak untuk membangun ruang diskusi lebih banyak, tapi diharapkan menjadi katalisator tersampaikannya harapan untuk membuat para pemimpin partai dan wakil rakyat lebih banyak berintrasfeksi diri, lebih sering mengeja jiwanya untuk merasakan pedih perih menjadi rakyat yang asing dan terlantar dalam sistem didaerahnya. Tak ada makan siang gratis...itu pasti. Tapi rakyat ini tak butuh makan gratis, tak ingin makan enak melulu. Yang mereka butuhkan adalah enak makan.


Maka siapapun, hari ini mari merubah pola berpolitik kita. Jangan lagi kita sibuk berfikir untuk bisa beli ikan buat rakyat, tapi berilah mereka kail agar mereka bisa memancing ikan. Janganlagi kita sibuk mengumpul pundi-pundi untuk membagi puing-puing ke rakyat. Mulailah kita berfikir masa depan, jangan menjadikan rakyat sebagai bagian dari masa lalu kita. Berani Berubah !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar