Oleh: Muhammad Munir
Sebuah percikan sejarah ketika
bom atom mengguncang Hiroshima dan Nagasaki. Tak terhitung berapa jiwa manusia
yang hilang melayang pada kejadian itu. Disaat yang sama sang kaisar datang
memantau kejadian itu. Dari bibir Sang Kaisar itu kalimat pertama yang terucap
adalah sebuah pertanyaan; ”Masih adakah guru yang hidup?’. Kenapa harus guru?
Karena gurulah yang sangat berpeluang untuk membangun masa depan sebuah negara.
Ketika semua tokoh politik didaerah
ini kehilangan jati diri, maka yang harus kita pertanyakan adalah masih adakah
kader partai...? Kenapa kader? Karena kaderlah yang paling berpeluang untuk
membangun masa depan partai. Kader adalah penentu kalah menang suatu partai
dalam setiap kontestasi, baik itu pemilu, pilpres maupun pilkada. Kader adalah
makhluk yang akan selalu ada dalam lingkup sebuah partai. Pimpinan boleh
berganti, tapi kader tetaplah kader.
Istilah ‘kader’ adalah kosa kata yang sering kita sebut dan tidak terlalu
banyak yang mencoba mengelaborasi makna kedalamannya. Dalam sebuah organisasi
partai, kader dibedakan dalam dua kategori, yaitu “Kader Formalitas” dan “Kader Esensial”. Kader Formalitas adalah sebutan bagi siapapun pengurus
struktural partai dan pernah mengikuti pelatihan kader. Sementara Kader Esensial
adalah penjumlahan kualitas yang terdapat dalam diri seseorang tanpa melihat
apakah orang itu berada dalam struktur partai atau tidak.
Kualitas yang dimaksud meliputi
bentuk immaterial seperti cita-cita, angan-angan, niat baik, sifat ikhlash,
tulus dll, hingga bentuk material yang dapat dilihat dalam konstribusi
pemikiran, tenaga, dana dll. Pada pengertian Kader Formalitas yang tidak
memiliki kualitas Kader Esensial cenderung akan menjadi beban dan penghalang
untuk menang, bahkan mungkin tepat disebut “benalu partai”.
Mengelaborasi kata kader
sesungguhnya merupakan upaya sebuah lembaga politik untuk membangun ruang
akademis dan hati nurani. Sebuah
keniscayaan untuk menjadikan politik sebagai lapangan kompetisi sekaligus
sportifitas. Kader bukanlah karyawan, bukan pula staf yang setiap saat harus
menjadi pihak yang dituntut bertanggung jawab dalam setiap proses yang menjadi
tugas dan tanggung jawab partai. Kader tak harus menjadi korban adanya penyelewengan,
pembiaran dan apapun bentuknya, lalu dijadikan kekuatan untuk menjadikan kader
sebagai pembela.
Adalah sebuah kesalahan fatal yang
yang tidak bisa di tolerir, ketika dandanan-dandanan politik yang sifatnya
menina bobokan kader. Pun partai tak harus menjadi muara dari seluruh
kepentingan politik, sebab jika ingin besar, partai harus dijadikan seragam
kolektif untuk mengakomodasi keinginan masyarakat lebih dahulu ketimbang kader.
Karena atas nama demokrasilah partai politik menemui takdirnya untuk dilahirkan
dengan fungsi utama sebagai rumah aspirasi rakyat.Jangan lagi mengeja konsep
politik Belanda yang ketika ada segolongan yang tidak pro atau menentang maka
jalan satu-satunya adalah disingkirkan.
Lembaga partai politik yang
didalamnya ada banyak kader yang menjadi wakil rakyat. Sejatinya Partai dan
lembaga DPR menjadi wadah aspirasi dan aksentasi konstituen dengan masyarakat
secara umum. Pengurus partai dan anggota dewan seharusnya memposisikan diri
sebagai aspirator, inisiator dan mediator bagi kebutuhan masyarakat secara umum
dan konstituen secara khusus. Apabila aspirasi tidak mampu diakomodir secara
baik dan benar, maka jangan heran jika kemudian kritik, opini, bahkan mosi
tidak percaya sebab jika rakyat lelah maka makian dan sumpah serapah adalah
halal baginya.
Sampai hari ini, sejak 2006,
penulis masih menemukan adanya kader partai yang belum menemukan jati dirinya. Tak
jarang kader tersebut menjadi kayu bakar dalam setiap pemilihan. Belum juga
lahir wakil rakyat yang betul-betul bisa menjadi bagian dari solusi, yang ada
malah menjadi bagian dari masalah. Pun belum kutemukan pimpinan partai yang
betul-betul bisa menjadi corong kepentingan kader dan masyarakat konstituen,
yang ada malah menjadikan jabatan sebagai pimpinan partai sebagai ajang
gagah-gagahan. Baik Wakil Rakyat maupun Pimpinan Partai masih butuh proses
untuk bisa connect dan menemukan frekwensi untuk bisa berkomunikasi dengan
rakyat pada gelombang yang sama.
Lalu apakah kondisi seperti ini
akan terus dipertahankan dan tak ada upaya-upaya yang bisa membuat kader lebih
berdaya dan mandiri dalam kehidupan bermasyarakat ? Tulisan ini tidak untuk
membangun ruang diskusi lebih banyak, tapi diharapkan menjadi katalisator
tersampaikannya harapan untuk membuat para pemimpin partai dan wakil rakyat lebih
banyak berintrasfeksi diri, lebih sering mengeja jiwanya untuk merasakan pedih
perih menjadi rakyat yang asing dan terlantar dalam sistem didaerahnya. Tak ada
makan siang gratis...itu pasti. Tapi rakyat ini tak butuh makan gratis, tak
ingin makan enak melulu. Yang mereka butuhkan adalah enak makan.
Maka siapapun, hari ini mari
merubah pola berpolitik kita. Jangan lagi kita sibuk berfikir untuk bisa beli
ikan buat rakyat, tapi berilah mereka kail agar mereka bisa memancing ikan. Janganlagi
kita sibuk mengumpul pundi-pundi untuk membagi puing-puing ke rakyat. Mulailah
kita berfikir masa depan, jangan menjadikan rakyat sebagai bagian dari masa
lalu kita. Berani Berubah !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar