Oleh Muhammad Munir
Substansi peradaban dalam teori Ibnu Khaldun adalah ilmu pengetahuan.
Mengapa ilmu pengetahuan? Sebab secara pengetahuan kita boleh saja sepakat,
tapi secara ilmu itu belum tentu. Konsep ilmu pengetahuan ini mencakup sebuah proses mulai dari
membaca, menulis (literasi) sampai kepada komunitas yang mengembangkannya.
Suatu peradaban mustahil lahir tanpa peran komunitas.
Ibnu Khaldun bahkan hanya membutuhkan sebuah komunitas kecil yang nantinya
berproses menjadi komunitas besar. Komunitas biasanya muncul di perkotaan atau
bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itu akan terbentuk masyarakat yang
memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang darinya timbul suatu sistem
kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu negara. Kota Madinah, Kota
Kordova, Kota Baghdad, Kota Samara, Kota Kairo dan lain-lain adalah sedikit
contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan negara.
Tak berlebihan kiranya jika teori dan pernyataan ibnu khaldun tersebut
dikorelasikan dengan kegiatan teman-teman di pambusuang. Perpustakaan Rakyat
Sepekan (PRS) adalah agenda tahunan generasi muda di pambusuang yang di motori
oleh Dahri Dahlan dkk.
Dahri dahlan, adalah putra daerah Mandar kelahiran Pambusuang yang jadi
dosen di Universitas Mulawarman-Kaltim). PRS adalah biang dari sebuah komunitas
kecil yang aktif mengembangkannya. PRS-1 mulai digelar pada tahun 2014, PRS-2 tahun 2015,
dan PRS 3 digelar kembali tahun ini. Ajang PRS ini adalah penanda dari
berkembangnya sebuah peradaban baru dimana ribuan buku di pajang yang menyulap
lorong di sekitar masjid taqwa Pambusuang menjadi gelombang buku.
Seharian warga dan para pengunjung PRS akan sibuk memilah judul dan membaca
buku sesuai selera. Yang juga menarik dari arena PRS ini adalah kegiatan
diskusi yang diselenggarakan pada sore dan malam hari, serta didedikasikan
kepada semua masyarakat secara gratis.
Pada perhelatan PRS ke-3 yang dibuka pada minggu, 13 Maret 2016, mengusung tema “bacai
bacamu”. Sebagian orang menginterpretasi secara beragam tema mendasari
punggawa PRS ini memakai tagline itu, sebab dalam kalimat bacai bacamu konon
banyak digunakan oleh sebagian besar orang ketika mendapati oknum tertentu yang
mempunyai kelakuan yang tak terkontrol. Orang yang mempunyai perilaku tidak
sesuai dengan norma kesusialaan dan amasahoroan di di dalam kampung dan tidak
mau mengindahkan peringatan dan nasehat, “bacai bacamu” adalah pilihan
yang cukup untuk menimpalinya. Tapi sudahlah, ini bukan sesuatu yang mesti
dipolemikkan atau diperdebatkan, sebab yang terpenting adalah substansi yang
terkandung dalam PRS ini tersampaikan, dan Muhammad Ridwan Alimuddin juga sudah
menegaskan bahwa pemaknaan dari tema tersebut adalah pemaknaan yang coba
ditarik dari sisi literasinya, bukan pada mengusung persepsi negatif sebab
perhelatan ini sungguh tak ada celah untuk masuk dalam pusaran pemikiran
negatif.
PRS dari tahun ketahun
dalam setiap agendanya, tradisi pinjam buku, gelar tikar atau terpal yang
menjadi alas buku di pelataran masjid At-Taqwa Pambusuang itu dijajakkan,
dipajang sampai menjadi alautan buku yang bebas dikunjungi oleh pembaca tanpa
harus membayar. PRS III tahun ini menjadi lebih semarak dengan kehadiran nusa
pustaka yang terletak pas di arena pajangan buku. Nusa pustaka siap menampung
peserta diskusi dengan suasana yang nyaman dan ribuan koleksi buku tersusun
rapih menunggu tangan-tangan lembut menyentuhnya. Diskusi lesehan di nusa
pustaka menjadi penyaksi atas tema-tema diskusi dengan bermacam-macam tema dan
narasumber ahli dibidangnya. PRS III dan Nusa Pustaka kini menjadi sebuah
kesatuan yang utuh dan integral, tak terpisahkan, bergandengan mengusung
semangat cendekia dalam melahirkan generasi ghuraba dan intelektual yang mapan.
Para pengunjung dan temn-teman kadang menganggap PRS ini adalah ajang
pengisi waktu luang untuk menikmati sajian buku dari berbagai latar belakang
disiplin ilmu. Nusa pustakapun kadang dijadikan obyek dari sebuah pernyataan
konyol pengisi waktu luang itu. Kenapa konyol, karena pernyataan itu justru
sangat paradoks dengan kenyataan, sebab di arena ini tak akan ada waktu luang
selain belajar, membaca, diskusi yang tentunya menambah ilmu. Lihatlah, semua
pengunjung dimanjakan dengan ribuan buku dari berbagai latar belkang ilmu dan judul.
Lalu pada sore dan malam hari sebuah forum diskusi menanti.
Diskusi yang juga mempunyai tema yang secara spesifik diramu oleh
penyelenggara untuk membantu dalam meningkatkan wawasan berfikir para peserta,
baik sebagai masyarakat maupun sebagai pemerhati. Di diskusi prs itu ada
praktisi, politisi yang merunut program dan kebijakan serta regulasi, ada
sejarawan nasional JJ. Rizal, ada Maman Suherman,
selebriti yang sekaligus menjadi notulen khusus di ajang ini, ada ustadz guru
gaji yang mattale’ kittaq dengan tema agama dan peningkatan amaliah
serta ubudiyah kita. Ada juga dosen, aktifis, pelajar dan mahasiswa, ada
nelayan, petani dan pekerja kebun sampai pada pengangguran pun tak ketinggalan
kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari ide cerdas dan kreatif ini.
Dengan semuanya itu, PRS bukan lagi sebatas ajang menggali, membaca sesama dan
memaknai pola pikir terhadap proses pengubahan sikap dan tata laku dalam upaya
kemanusiaan melalui pola-pola ajar tertentu yang lasim kita sebut “pendidikan”,
tapi sekaligus menjadi ruang untuk refreshing, liburan dan selfie bersama
buku di Nusa Pustaka. Diskusi yang bercorak lingkungan, agama dan sastra
(dongeng), bisa dikatakan telah berhasil menyulut dan menyalakan obor inspirasi
yang tentu menjadi tantangan berikutnya bagi teman-teman penggagas dan pemuda
setempat agar bagaimana obor tersebut dapat terbias penuh dan terang terus
mengalahkan keterus-terangannya iklan Philips. Semangat lilin menyala dari apa
yang masih gelap guna merambah jalan kemuara yang sehat, beriman, berbudaya,
kreatif dan merdeka dari kebodohan untuk sampai pada makam minadzdzulumati ilan-nur, habis gelap terbitlah terang atau
mungkin pessungo’pota pettamao randang.
Generasi Mandar hari ini dan kedepan harus selalu membatinkan bahwa belajar
tidak hanya di sekolah dan di kampus, tapi bisa dimana saja. Karena sekolah dan
kampus hanya mengetahui mata pelajaran, mata kuliah tetapi tidak telinga, mulut
dan hati. Segala tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru dan segala
benda adalah ilmu. Selain PRS, ada sebuah ghirah baru dari maraknya gerakan
literasi, entah di Nusa Pustaka, Rumah Pustaka, Perahu Pustaka, Bendi Pustaka,
Sepeda Pustaka, Rumpita (Rumah Kopi Dan Perpustakaan) kini menjadi solusi untuk
menangkal benalu atau semacam parasit dalam dunia pembangunan karakter masa
depan generasi bangsa, wabilkhusus bagi pemerintah yang kadang abai pada
bagaimana menjadi bagian dari sebuah proses yang tak mereka sadari bahwa
kegiatan yang sunyi dari lembar disposisi dan kwitansi berlogo kantoran adalah insan-insan
yang telah mengambil alih sebagian tugas dan tanggung jawab mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Dengan tetap eksistnya prs, diharapkan budaya literasi kian bergema dan
menempati ruang-ruang peradaban yang jika sejarahnya dirunut, justru peradaban
itu sendiri besar dan berkembang seiring dengan tingginya semangat literasi
yang hidup pada jamannya. Hal terpenting yang mesti menjadi spirit buat kita,
bahwa literasi ini mesti tetap survive tanpa harus menjadikangerakan ini
sebagai wadah atau alat untuk memperoleh anggaran dari kantong APBD.
Gerakan literasi sejatinya dimaknai sebagai wujud ibadah sosial yang mesti
didasari dengan nawaitu dan kesadaran
bahwa ini adalah kewajiban, bukan sesuatu yang harus dibangga-banggakan. Jika
gerakan literasi ini motivasinya adalah pengabdian, maka tak harus ada yang
menjadi siapa-siapa, mendapat apa-apa, cukup melakukan apa saja yang mampu kita
lakukan sebagai bentuk pengabdian pada litaq pembolongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar